Selina mengusap punggung Zahrana dengan lembut. Ia mengerti benar perasaan Zahrana saat ini. Selina melepaskan pelukan mereka. Terlihat Zahrana hendak membuka bibirnya dengan gemetar.“Jangan katakan apapun! Aku tahu semuanya. Aku sudah mengikhlaskan ...” lirih Selina memegangi tangan Zahrana dan menatapnya dalam. “Takdir manusia siapa yang tahu. Jika saat ini kebahagiaan terenggut maka di hari berikutnya kesedihan yang akan senyap. Semua seperti siklus, akan ada masanya datang dan pergi. Terima kasih sudah menjadi sahabatku,”Deg,Pernyataan Selina itu terdengar singkat tetapi tepat menghujam batinnya. Benar sekali!“Barokallahu laka wabaroka alaika wajama'a bainakuma pi khoir!” bisik Selina lalu tersenyum pada Zahrana.Zahrana mendapatkan ucapan selamat dari sahabatnya. Namun ia merasa tak bahagia mendengarnya, justru ia merasa sakit.Selina meninggalkan Zahrana yang mematung dekat anak muridnya. Ia berjalan mengantar anak didiknya menuju ruang pidato dan debat bahasa Indonesia. Sem
Sepulang dari villa, Mahendra memutuskan untuk kembali ke Purwakarta menyelesaikan pekerjaannya. Setelah urusan pencemaran nama baik selesai ia akan berencana pindah ke Bandung, pindah ke salah satu rumah sakit swasta di sana. Sebenarnya ia mengajukan pindah ke rumah sakit Jakarta tetapi tidak bisa karena ia hanya bisa pindah ke daerah yang masih termasuk ke dalam provinsi Jawa Barat.Sebagai orang tua, Darius senang mendengar kabar itu karena Mahendra bisa tinggal serumah dengan istri kecilnya. Tentu saja Alana masih kuliah dan tak mungkin ia pindah kuliah saat ini. Berbeda dengan Mahendra, ia sama sekali tidak mengabari Alana jika ia akan pindah ke Bandung. Ia takut Alana akan mengira dirinya benar-benar menjalani pernikahan itu. Mahendra membeli apartemen.“Jadi Andra mau pulang ke Purwakarta sekarang?” tanya Kiran menatap mantunya yang lebih mirip adiknya. Sebab Kiran menikah di usia sangat muda sehingga ke dua putrinya juga tampak seperti bukan anaknya melainkan adiknya.“Iya, Ma
Lelaki yang terlihat mencurigakan itu mendekati Selina. Sontak, Selina pun melakukan perlawanan, martial art defense yang sudah ia pelajari dari kakaknya.‘Hiat!’ seru Selina menjatuhkan lawannya dalam satu kali jurus saat lift tepat berhenti di lantai dua. Selina bergegas keluar dari lift itu dan berlari. Lelaki itu pun dengan mudah dijatuhkan. Tentu saja lelaki itu benar-benar tak berniat menyerang Selina.“Ough!” serunya dengan meringis. Lalu bangun dengan sedikit sempoyongan. “Teh Selina, ini saya! Arif,” ucapnya melepas hoodie yang menutup kepalanya lalu berlari mengejar Selina. Namun karena tak terdengar Selina mengabaikan panggilannya.Tak menyerah, lelaki bernama Arif terus berlari dengan nafas terengah-engah mengejar Selina.‘Gila nih cewek cakep banget tapi agresif tendangannya,’ batinnya.“Teh Selina, saya disuruh Om Rian!” serunya.Mendengar nama Rian, Selina langsung menoleh terkejut. “Ap-pa? Rian? Om Rian?” ulang Selina tak percaya. Ia mengerutkan alisnya sejenak. Apa mu
131.“Tentu saja Bu Zahra pasti mengundang kita dong,” sambung Selina yang baru sadar bahwa Winda tengah memberi umpan agar Zahrana bercerita soal pernikahannya.Zahrana menarik sudut bibirnya. “Insyaallah! Aku permisi ya mau ke toilet dulu,” ucapnya merasa tegang. Ia kesal dengan obrolan Winda dan Hanum yang menyinggung perasaannya.Hanum dan Winda pun saling lirik. Sesuatu telah disembunyikan oleh Zahrana. Bukan Winda namanya jika tidak mencari tahu apa yang terjadi. Pasalnya ia merasa apa yang terjadi pada Zahrana itu berkaitan dengan Selina. Tentu saja Winda ada di pihak Selina.Obrolan pun berakhir. Keesokan harinya, hari yang paling dinanti para guru, antara tegang dan bahagia. Hari terakhir perlombaan akan menjadi penentu siapa yang akan memboyong juara umum.Para guru dengan setia menunggu detik demi detik acara lomba. Selina pun dengan sedikit was-was menunggu hasil penjurian. Apakah Ruri masuk tiga besar atau tidak. Di bawah bimbingannya Ruri bekerja keras dalam berlatih. Da
“Hei, kamu dapat dari mana foto papaku?” pekik Alana baru sadar jika foto yang diperlihatkan Mahendra adalah foto papanya bersama temannya. Alana menarik foto itu dari jemari Mahendra, membuat Mahendra terlihat kesal.“Kembalikan! Aku hanya bertanya siapakah foto seorang gadis yang bersama papamu itu?”sembur Mahendra dengan sedikit kesal.“No! Jawab dulu pertanyaanku! Mengapa kamu mencuri foto papaku? Itu foto dari album lama?” cerocos Alana dengan menyembunyikan foto itu di belakang punggungnya. Wajahnya seketika memerah karena marah. Ia tak suka barang pribadinya disentuh oleh orang lain.Mahendra bingung mau menjawab apa. Apa iya ia harus katakan jika gadis di foto itu mirip seseorang yang ia cintai? Mungkinkah? Apa reaksi Alana nantinya?Mahendra menarik nafas dalam. Ia tak mau berseteru terus dengan gadis itu, ia akan mengendalikan emosinya dan berbicara dengannya baik-baik.“Baiklah, Nana, aku akan akan ceritakan alasannya kenapa tapi tolong kembalikan foto itu karena aku akan m
Hari ini Aqsa akan mengadakan meeting dengan Mr Liam sebagai investor yang juga ditemani asistennya. Meeting dilakukan di gedung RAKHA Corp. Mereka berencana membahas soal pembangunan apartemen yang sempat tertunda. Sebelum meeting, Liam menyempatkan membesuk Ayu yang terbaring di rumah sakit. Dengan senang hati Aqsa dan Rakha menyambut kedatangannya. Mereka memasuki kamar di mana Ayu dirawat dengan memakai pakaian khusus terlebih dahulu.“Siang Bu Ayu! I am sorry, I have just known that you got a serious accident. Sa-ya baru tahu beberapa hari yang lalu,” ucap Liam berbelasungkawa, ia terkadang berbicara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang kurang fasih.“Thank you Mr Liam,” sahut Ayu dengan tersenyum. Ia masih dalam masa recovery dan observasi sehingga tidak bisa seperti dulu, banyak bicara dan ceria.“Makasih Mr Liam sudah meluangkan waktu membesuk istri saya,” sambung Rakha yang terus menggenggam tangan sang istri. Lalu melirik sang istri dan tersenyum padanya dengan hangat.
Selina mengedarkan pandangannya saat ia mengayunkan kakinya keluar dari lift lantai lima belas sebuah gedung apartemen. Jantungnya berdebar-debar, tak sabar ingin segera bertemu sosok perempuan yang ia rindukan selama ini. Akhirnya ia tiba di apartemen mewah nomor 115. Ia pun menatap pintu yang terlihat kokoh berwarna metalic di hadapannya. Ia melirik sekilat pada digital door viewer, sebuah bell interkom dua arah mirip CCTV. Penghuni apartemen bisa melihat tamu yang datang.Selina berusaha mengendalikan rasa gugupnya yang tinggi. Ia menarik nafas panjang lalu merapikan kerudungnya.Bismillah,“Assalamualaikum! Saya Selina. Um, mau bertemu dengan Bu Dewi Rahma,” ucap Selina dengan melongokan wajahnya ke kamera digital door viewer. Setelahnya ia membuang nafas kasar.Di dalam ruang apartemen seorang pria tengah tertawa melihat Selina.“Tuan, gadis itu sudah datang!” ucap seorang pelayan pribadinya.“Iya, kamu keluar dan suruh dia masuk!” katanya terkekeh.Pelayan seksi itu lantas kelu
Tak seperti para guru yang lain, yang terlihat santai, Winda terlihat gelisah. Alasannya, Selina belum pulang juga ke hotel. Sesekali ia menengok arlojinya. Ia melihat jarum pendek sudah merangkak ke angka delapan. Tiba-tiba perasaannya tidak enak. Seperti ada sebuah firasat.“Kenapa melamun? Belum cukup jalan-jalannya?” tanya Hanum merangkul bahu Winda. Mereka berjalan bersisian menuju kamar hotel. Mereka baru saja pulang dari butik, berbelanja pakaian wanita.“Bu Selina belum pulang!” sahut Winda bernada khawatir. Kunci kamar hotel tentu ia yang simpan. Tak mungkin Selina pulang duluan. Pasti menemuinya dulu.“Belum kali! Biasa kalau udah lama gak ketemu sodara, sekalinya bertemu pasti ngobrol panjang lebar,” kata Hanum terkikik.“Iya sih, tapi kok perasaanku gak enak ya,”“Sudahlah! Kamu itu ternyata khawatiran. Aku kira dulu kamu anak yang cerewet dan pasti cuek bebek,” katanya sembari tertawa.“Bu Win!” seru Ruri yang berlari menuju mereka.“Apa?”Winda menoleh dengan wajah masam