Sebelum berangkat ke Jakarta, Selina berusaha membujuk Ustaz Bashor untuk tidak mengajak santriwati yang akan mengawalnya selama di sana. Dia sudah merajuk, memelas dan membuat sejuta alasan agar membatalkannya. Namun, nihil, Ustaz Bashor begitu mencemaskan putrinya itu mengingat putrinya sangat cantik, takut menjadi incaran para lelaki apalagi lelaki kota. Ia pun sempat menyuruhnya memakai niqab alias cadar tetapi menolak dengan alasan belum siap.“Abah, please! Ada teman guru yang menemani kok. Um, bukan menemani, mereka juga sama sepertiku ditugasi sekolah untuk membimbing anak-anak lomba. Bahkan mereka lebih muda dariku. Apalagi anak murid, mereka bukan muda lagi Bah, tapi mereka masih remaja. Aku malu sekali dengan muridku Abah,” rengek Selina. “Orang tua mereka saja percaya sama gurunya. Mereka mempercayai kami para guru menjaga mereka selama di sana.”Ustaz Bashor tak berkomentar apa-apa. Bukan ia tak percaya pada Selina, lebih kepada menjaganya. Untuk saat ini Selina dari segi
“Aa, please udah sampe sini aja anterinnya,”Selina memelas dengan menunjukan ke dua bola mata mirip kelinci yang lucu, berharap sang kakak tidak mempermalukannya di depan para guru dan murid di sana.Beberapa pasang mata menajamkan penglihatan mereka, melihat keakraban yang terjadi di antara Selina dan Adam. Sekilat orang salah paham, mereka mirip sepasang kekasih padahal adik-kakak (sepersusuan).Adam menghentikan langkahnya dan menaruh koper itu di samping Selina. Lalu ia menengok arlojinya karena memang sudah waktunya ia pergi mengecek toko.Ia menoleh pada sang adik lalu mengusap pucuk kepalanya. “Baiklah, hati-hati di jalan adikku! Jangan nakal! Kalau nakal kena batunya,”“I swear!” ucap Selina nyengir dengan jari di tangan kanannya menunjukan pinky promise di depannya, sedangkan jari di tangan kirinya melipat pinky promise itu. Tak jauh dari sana beberapa guru sedang menggunjing kebersamaan Selina dan Adam.“Ya ampun! Gak nyangka Bu Selina begitu dekat dengan kekasih barunya,”
Shiza duduk termenung di depan jendela kamarnya. Ia mengingat pertama kali pertemuannya dengan Adam. Masih lekat di ingatannya, Adam begitu manis memperlakukan Selina. Ia jadi membayangkan andai ia adalah Selina yang seringkali mendapat perlakuan manis darinya. Maka betapa beruntungnya dirinya. Bulir air mata menetes begitu saja, mengingat keping demi keping memori tentangnya. Saat ia menubruk tubuhnya dan saat itu jaraknya begitu dekat dengan Adam. Seketika desir aneh tetapi terasa indah menyergapnya. Ada rindu yang menggebu. Namun saat yang sama, rasa kesal pun ikut hadir bercokol dalam dada tatkala menyaksikan kilatan amarah pada mata Adam ketika menyerang Aqsa. Shiza langsung menyeka air matanya kendatipun terasa begitu berat mengingat ini tentang rasa hingga tanpa sadar sang kakak sudah berada di belakangnya menghampirinya. “Kamu gak nungguin Mama?” tanya Aqsa menyentuh pundak sang adik hingga membuatnya menoleh. Tak ingin terlihat lemah dan murung di hadapan kakak, Shiza bur
Ruri terlihat marah lalu ia keluar dari kamar hotel. Melihat hal itu, Selina mengejarnya. Ia yakin jika Ruri tersinggung dengan sikap dan perkataan teman-temannya. Ada-ada saja masalah datang bertandang tanpa diundang!“Kalian!” Selina menggeram pelan menatap semua muridnya. “Seharusnya kalian tidak perlu berbicara seperti itu! Ingatlah! Di sini tidak ada senior atau junior, termasuk siapa yang paling cerdas. Kalian semua sama diberi kesempatan untuk mengikuti lomba. Tolong, jaga manner kalian!” ucapnya lagi dengan sedikit keras dan menguak daun pintu hingga lebar hendak mengejar Ruri yang entah pergi ke mana.Terlihat Ruri berjalan cepat menaiki lift menuju lantai bawah. Entah, kemana tujuan anak itu pergi. Mungkin, jika masih berada di lingkungan sekolah maka sudah dipastikan ia akan mengadu pada Wijaya. Sayang, Wijaya tidak ikut diwakilkan oleh wakil kepala sekolah karena sakit.“Ruri! Tunggu!”Dengan sedikit tersaruk-saruk Selina berlari mengikuti langkah kaki Ruri yang begitu ce
Selina mengusap punggung Zahrana dengan lembut. Ia mengerti benar perasaan Zahrana saat ini. Selina melepaskan pelukan mereka. Terlihat Zahrana hendak membuka bibirnya dengan gemetar.“Jangan katakan apapun! Aku tahu semuanya. Aku sudah mengikhlaskan ...” lirih Selina memegangi tangan Zahrana dan menatapnya dalam. “Takdir manusia siapa yang tahu. Jika saat ini kebahagiaan terenggut maka di hari berikutnya kesedihan yang akan senyap. Semua seperti siklus, akan ada masanya datang dan pergi. Terima kasih sudah menjadi sahabatku,”Deg,Pernyataan Selina itu terdengar singkat tetapi tepat menghujam batinnya. Benar sekali!“Barokallahu laka wabaroka alaika wajama'a bainakuma pi khoir!” bisik Selina lalu tersenyum pada Zahrana.Zahrana mendapatkan ucapan selamat dari sahabatnya. Namun ia merasa tak bahagia mendengarnya, justru ia merasa sakit.Selina meninggalkan Zahrana yang mematung dekat anak muridnya. Ia berjalan mengantar anak didiknya menuju ruang pidato dan debat bahasa Indonesia. Sem
Sepulang dari villa, Mahendra memutuskan untuk kembali ke Purwakarta menyelesaikan pekerjaannya. Setelah urusan pencemaran nama baik selesai ia akan berencana pindah ke Bandung, pindah ke salah satu rumah sakit swasta di sana. Sebenarnya ia mengajukan pindah ke rumah sakit Jakarta tetapi tidak bisa karena ia hanya bisa pindah ke daerah yang masih termasuk ke dalam provinsi Jawa Barat.Sebagai orang tua, Darius senang mendengar kabar itu karena Mahendra bisa tinggal serumah dengan istri kecilnya. Tentu saja Alana masih kuliah dan tak mungkin ia pindah kuliah saat ini. Berbeda dengan Mahendra, ia sama sekali tidak mengabari Alana jika ia akan pindah ke Bandung. Ia takut Alana akan mengira dirinya benar-benar menjalani pernikahan itu. Mahendra membeli apartemen.“Jadi Andra mau pulang ke Purwakarta sekarang?” tanya Kiran menatap mantunya yang lebih mirip adiknya. Sebab Kiran menikah di usia sangat muda sehingga ke dua putrinya juga tampak seperti bukan anaknya melainkan adiknya.“Iya, Ma
Lelaki yang terlihat mencurigakan itu mendekati Selina. Sontak, Selina pun melakukan perlawanan, martial art defense yang sudah ia pelajari dari kakaknya.‘Hiat!’ seru Selina menjatuhkan lawannya dalam satu kali jurus saat lift tepat berhenti di lantai dua. Selina bergegas keluar dari lift itu dan berlari. Lelaki itu pun dengan mudah dijatuhkan. Tentu saja lelaki itu benar-benar tak berniat menyerang Selina.“Ough!” serunya dengan meringis. Lalu bangun dengan sedikit sempoyongan. “Teh Selina, ini saya! Arif,” ucapnya melepas hoodie yang menutup kepalanya lalu berlari mengejar Selina. Namun karena tak terdengar Selina mengabaikan panggilannya.Tak menyerah, lelaki bernama Arif terus berlari dengan nafas terengah-engah mengejar Selina.‘Gila nih cewek cakep banget tapi agresif tendangannya,’ batinnya.“Teh Selina, saya disuruh Om Rian!” serunya.Mendengar nama Rian, Selina langsung menoleh terkejut. “Ap-pa? Rian? Om Rian?” ulang Selina tak percaya. Ia mengerutkan alisnya sejenak. Apa mu
131.“Tentu saja Bu Zahra pasti mengundang kita dong,” sambung Selina yang baru sadar bahwa Winda tengah memberi umpan agar Zahrana bercerita soal pernikahannya.Zahrana menarik sudut bibirnya. “Insyaallah! Aku permisi ya mau ke toilet dulu,” ucapnya merasa tegang. Ia kesal dengan obrolan Winda dan Hanum yang menyinggung perasaannya.Hanum dan Winda pun saling lirik. Sesuatu telah disembunyikan oleh Zahrana. Bukan Winda namanya jika tidak mencari tahu apa yang terjadi. Pasalnya ia merasa apa yang terjadi pada Zahrana itu berkaitan dengan Selina. Tentu saja Winda ada di pihak Selina.Obrolan pun berakhir. Keesokan harinya, hari yang paling dinanti para guru, antara tegang dan bahagia. Hari terakhir perlombaan akan menjadi penentu siapa yang akan memboyong juara umum.Para guru dengan setia menunggu detik demi detik acara lomba. Selina pun dengan sedikit was-was menunggu hasil penjurian. Apakah Ruri masuk tiga besar atau tidak. Di bawah bimbingannya Ruri bekerja keras dalam berlatih. Da