Malam pun tiba, purnama telah menampakkan seberkas cahayanya. Pesta ulang tahun kini digelar, berdebum melodi musik mengalun dengan begitu merdu. Suasana bising nyaris membuat gendang telinga pecah, nyeri dan berdengung.
“Sudah siap?” Murni bertanya pada Zakia dengan seulas senyum. Dia berdecak kagum, anak gadisnya itu bak seorang putri raja pada malam ini.
Gaun merah delima selutut membalut tubuh mungil Zakia, dengan surai hitam sepinggang yang dibiarkan tergerai. Sebuah bando pita berwarna senada dengan gaun tampak menghiasi kepalanya. Beberapa pernak-pernik pun menghiasi tubuhnya dengan anggun. Gadis itu tersenyum manis, kemudian mengangguk pelan.
“Yuk, ke bawah,” ajak Murni seraya mengulurkan tangan. Zakia menerimanya dengan ragu, tanpa mengucap sepatah kata.
“Itu Zakia Anastasia? Sungguh luar biasa!”
“Sangat anggun dan memesona.”
“Benar-benar mirip dengan ibunya.”
Riuh para insan saling bersahut memuji Zakia, kala gadis itu menuruni anak tangga dipapah oleh ibunya. Semua orang meliriknya dengan tatapan kagum. Sungguh perfeksionis!
Gadis remaja itu menunduk malu dengan semburat merah jambu. Ia merasa enggan menyapa tamu satu per satu. Meskipun ini acara ulang tahunnya, Zakia tahu bahwa acara ulang tahun hanya sebagai formalitas saja.
Lihat saja, tamu yang diundang pun hanya kolega bisnis Rukmini saja. Tidak ada teman sekolah, apalagi kado terindah. Jangankan teman sekolah. Hilda, teman karibnya saja tidak ada di sana. Hal itu membuat Zakia menghela napas lelah. Drama orang tua bau tanah itu benar-benar membuatnya muak.
Sang nenek tersenyum bangga ketika mendengar banyaknya pujian yang terlontar untuk cucu kesayangannya. Hari ini sungguh luar biasa. Sekolah telah usai, pesta ulang tahun pun kini digelar. Lalu, sebentar lagi pesta pernikahan sang cucu akan memeriahkan rumah mewah itu. “Kemarilah, Nak,” ujarnya lirih.
Zakia mengangguk, setelah sedikit disikut oleh sang ibunda dengan tatapan tajam dan bisikan menghunjam. Kemudian, ia menghampiri wanita renta yang hampir berusia delapan puluh tahun itu. Dia tampak terduduk di kursi roda dekat sofa. 'Tua bangka itu sudah sepantasnya beristirahat dengan tenang di liang lahat,' bisiknya dalam hati.
“Iya, Nek,” sahutnya malas dengan senyum sok manis. Padahal, ia sangat ingin memaki wanita tua bangka itu.
“Berapa usiamu sekarang?” Rukmini tersenyum lembut. Tangannya yang sudah keriput terulur untuk mengelus lengan Zakia, membuat gadis itu terpaksa bersimpuh lutut agar bisa menyejajarkan tubuhnya dengan sang nenek.
Tidak peduli jika ia hari ini menjadi sorotan publik. Karena sejak awal Zakia memang sudah menjadi pemeran utama pada malam Rabu Legi. Pemeran utama yang dijadikan pion, hanya untuk kepentingan pribadi sang nenek.
“Delapan belas tahun, Nek,” jawab Zakia datar.
Pandangan gadis itu tampak kosong, dengan helaan napas berat. 'Enak saja menjadikanku sebagai mainan untuk mendapatkan kekayaan!' Lagi-lagi, makian itu hanya ia simpan di hati, di balik senyuman manis yang terukir di wajahnya, penuh sandiwara.
“Nah, kamu tahu ‘kan, apa yang akan terjadi selanjutnya?” Rukmini menaikkan kedua alisnya dengan tatapan mengerling, membuat Zakia mengangguk bimbang.
Murni yang berdiri tak jauh dari Zakia, tepatnya di sebelah tangga dekat ruang tamu, menunjukkan raut gelisah. Sedari tadi wanita cantik itu memilin ujung gaun putih yang melekat di tubuhnya. Ia merasa takut sekaligus tidak tega dengan kehidupan putri sulungnya kelak.
“Perhatian semuanya!” Suara tepukan dari tangan renta wanita itu mengalihkan atensi para hadirin yang berkenan hadir pada acara malam ini.
Suasana seketika hening, menyisakan ritme musik yang berdengung. Hardi menyerahkan mikrofon pada Rukmini, sehingga suaranya yang lirih dapat didengar semua orang dengan lantang. “Hari ini cucuku genap delapan belas tahun. Oleh karena itu, saya ingin memperkenalkan seorang tamu spesial pada malam ini. Arga, kemarilah, Nak.”
Pandangan wanita itu tertuju pada seorang pemuda yang sedang asyik berbincang bersama beberapa kolega bisnisnya. Tangannya melambai, membuat lelaki bernama Arga itu mendesah berat, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menghampiri Rukmini, nenek Zakia.
“Iya, Nek, ada apa?” tanyanya pura-pura lupa. Padahal, jelas ia sangat mengingat perjanjian apa yang sudah tertulis antara ayahnya dan Rukmini tempo hari, sebelum acara pertunangan ini terjadi.
“Para hadirin sekalian, perkenalkan dia Arga Bramantyo, putra bungsu dari pasangan Tania dan Wisnu Bramantyo,” ujarnya, “dia yang akan menjadi pasangan Zakia.”
Semua orang paham apa maksud dari ucapan Rukmini. Tradisi leluhur sudah dianggap tabu oleh masyarakat sekitar, pun para kolega bisnis. Sadar atau tidak, pengaruh bisnis lebih besar dampaknya ketimbang kontra itu sendiri. Bagi mereka, meraup keuntungan adalah yang terpenting. Mengingat, kekayaan keluarga Rukmini tidak tertandingi. Tidak peduli jika itu akan merugikan siapa nantinya. Toh, mereka tidak ikut andil di dalamnya.
“Bertepatan pada hari cucuku berulang tahun yang ke-18, Arga dan Zakia akan bertunangan. Untuk itu, kami memohon restu pada hadirin sekalian,” lanjut Nenek Zakia semringah.
Riuh tepuk tangan kembali menggema, menyambut hangat acara pada malam ini. Mereka bertingkah seolah-olah peduli, padahal nyatanya tidak sama sekali.
Zakia menunduk dalam mendengar ucapan neneknya. Gadis itu mengepalkan tangan dengan geram, berusaha menahan tangis. Sungguh, ia tidak menginginkan hal ini. Usianya terlalu dini untuk dinikahkan. Banyak hal yang ingin ia gapai di masa depan, salah satunya adalah memilih pasangan sesuai pilihan hatinya sendiri.
Murni terpaksa berjalan mendekat, meraih bahu Zakia yang bergetar agar lekas bangkit. Ia menuntun anak gadisnya agar berdiri berdampingan dengan lelaki dewasa berumur tiga puluh tahun.
Arga pun demikian. Ia terpaksa bersikap seolah-olah bersedia menjadi pendamping Zakia, padahal di luar sana ada wanita lain yang tengah menanti pinangannya. Sungguh, drama ini baru saja dimulai, tetapi sudah terasa memuakkan.
Rukmini menyerahkan kotak biru berbalut kain beludru pada Murni, sementara Hardi hanya terdiam membisu, berdiri di belakang Rukmini seperti patung. Sebagai seorang menantu, ia lebih terlihat seperti bodyguard wanita renta itu.
Murni menerimanya dengan ragu, lantas membuka kotak itu secara perlahan. Tampaklah sepasang cincin emas putih dengan permata merah delima di tengahnya. Wanita itu menyerahkan cincin bagian Zakia pada Arga, begitu pula sebaliknya.
Dua sejoli itu menerimanya dengan ragu. Hati berkata tidak, tetapi dorongan keluarga membuat keduanya tampak tak berdaya. Ada sebuah ancaman yang mewanti, apabila salah satu dari keduanya berontak. Keluarga Arga berhalangan hadir, tetapi seorang mata-mata sedang mengawasi dari kejauhan. Arga tahu itu. Sedangkan Zakia, sejak awal ia memang sudah terancam.
Suara tepuk tangan kembali terdengar bergemuruh. Zakia dan Arga sudah bertukar cincin, keduanya resmi bertunangan, tinggal menunggu hari di mana pesta pernikahan akan digelar. Kedua bola mata Zakia sejenak beradu dengan bola mata hitam pekat milik Arga. Dingin dan tajam, itu yang ia rasakan dari tatapan lelaki di hadapannya.
“Sayang, lakukan permohonan dan tiup lilinnya,” ujar Rukmini seraya menyerahkan kue tar yang sudah dinyalakan lilinnya.
Zakia mengangguk, lantas memejam seraya menangkupkan tangan di depan dada. 'Tuhan, aku ingin hidup seperti manusia normal pada umumnya. Jika Kau memang benar-benar ada, aku ingin pernikahan ini tidak pernah terjadi.' Lantas, ia pun meniup lilin berbentuk angka 18 di atas kue tar rasa cokelat dengan tulisan ‘Happy birthday’.
“Sayang, selamat menempuh hidup baru. Semoga Tuhan selalu menyertaimu,” lirih Murni, seraya mengelus pundak Zakia pelan.
Gadis itu mengangguk lesu, apalagi setelah melihat seringai licik terbit dari bibir Hardi dan Rukmini. Hal itu membuatnya semakin terintimidasi. Ingin sekali rasanya ia melarikan diri.
“Bun, aku mau ke belakang dulu, ya?” pamitnya pada sang ibunda, lantas melirik Rukmini sekilas. Setelah mendapat anggukan dari kedua belah pihak, gadis remaja itu berjalan cepat menuju taman belakang karena merasa tak nyaman jika terus-menerus berada di dalam.
“Huh, tadi itu sungguh menyebalkan!” gerutunya tertahan seraya mengepalkan tangan.
“Arga, gih, susul Zakia,” suruh Rukmini pada lelaki tampan yang berdiri di hadapannya.
Walaupun enggan, Arga pun mengangguk pelan. Ia sama halnya dengan Zakia, merasa tak nyaman dengan semua sandiwara ini. Ia manut karena ingin menghirup udara segar di luar. Ya, meskipun hanya sebentar.
Zakia terduduk di bibir kolam renang. Kaki mungilnya dimasukkan ke dalam air. Dari belakang, tampak bahu gadis itu bergetar, seperti sedang sesenggukan. Cincin yang tersemat di jari manisnya ia remas kuat lantas mengumpat, “Kalian semua jahat! Bajingan! Kalian tidak pantas hidup!”
Tiba-tiba desir angin menyapa, membuat bulu kuduk meremang seketika. Zakia meraba tengkuk lehernya yang tersapu embusan angin. Terlebih lagi indra penciumannya merasakan semilir bau dupa dan kembang kantil. Sontak Zakia menghentikan tangisannya dengan mata mendelik tajam.
“Bukan cuma kamu, saya pun sama menderitanya dengan kamu!” Entah ada angin dari mana, tangan kokoh Arga membelai surai hitam Zakia. Gadis itu sontak berdiri dengan mata membelalak. Tatapan Arga terlihat murka, dengan tangan terkepal dan kekehan kecil.
“Heh, bocah! Kalau bukan karena terpaksa, saya tidak akan pernah sudi menikahi bocah ingusan seperti kamu!” Tangan kekar itu menunjuk wajah Zakia, membuat gadis di depannya berjalan mundur karena ketakutan. “Gara-gara kamu—“
“A-apa maumu?” tanyanya menginterupsi.
Tangan kekar Arga meraih pinggang Zakia, membuat gadis itu memukul-mukul dada bidangnya sekuat tenaga, berusaha melawan tetapi kalah tenaga. “Sebentar lagi kita akan menikah, ‘kan?” Bau mint menguar saat tatapan keduanya saling beradu. Napas Arga terdengar memburu.
Perlakuan Arga sangat berbeda dengan ucapannya beberapa detik lalu. Terlebih lagi dengan tatapan dingin yang menghunus tajam. Meski sama-sama kasar, tetapi Zakia dapat merasakan ada aura lain dari tubuh lelaki itu. Panas dan bergairah. Tanpa menunggu komando, dengan lancang Arga meraup bibir merah muda Zakia, membuat si pemilik bibir melotot tak percaya.
'Gila, gila! Ciuman pertama gue ....-
“Mmhh. ... lepaskan!” Tangan mungil Zakia menampar wajah yang terpahat indah itu secara spontanitas, membuat Arga membeliak kaget.
“A-apa yang—“ Pemuda itu tidak menyadari apa yang baru saja terjadi, sehingga tamparan Zakia yang tak seberapa itu menyadarkannya kembali.
“Apa yang kamu lakukan?!” Rahang Zakia tampak mengeras, dengan derai air mata yang mengucur deras. Air kolam yang tampak tenang itu langsung muncrat ke permukaan saat gadis itu menceburkan diri ke sana. Dengan harapan, bekas bibir Arga yang terasa menjijikkan lekas hilang. Tidak peduli bahwa udara malam akan membuatnya kedinginan.
Arga menyugar rambutnya ke belakang. Tatapan tajam lelaki itu tampak mengilat. Kemudian, ia pun berjongkok seraya menatap Zakia yang menenggelamkan diri di kolam renang dengan perasaan bersalah.
“Maaf ... saya tidak sengaja,” gumamnya. "Saya tidak tahu apa yang terjadi. Tanpa sadar tubuh saya bergerak sendiri. Saya benar-benar minta maaf."
Zakia berdecih geli. Sapuan hangat bibir lelaki itu membuatnya terkejut sekaligus jijik. Ciuman pertama yang seharusnya ia serahkan kepada orang yang ia cintai, malah didapatkan oleh lelaki dewasa tidak tahu diri. "Apa kau tahu? Kau telah mencuri ciuman pertamaku!" sentaknya emosi.
"Maaf ...."
Semilir angin pagi berembus meraba dinding kulit hingga ke tulang. Zakia terduduk di tepi jendela sambil menatap luasnya hamparan kebun yang mengelilingi rumahnya. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, saat first kiss-nya dirampas tanpa perasaan cinta.Tangan mungil itu tidak henti-hentinya memainkan bibir merah muda alaminya. Sedari semalam ia berusaha menghapus jejak Arga di sana, tetapi rasanya percuma saja. Sebab, bayangan mengerikan itu terus-menerus terlintas di kepalanya."Ughh ... menjijikkan!" Zakia meracau tidak jelas seraya menampar bibirnya sendiri cukup keras. Sungguh, bayangan semalam membuat dirinya sangat ingin hilang ingatan.Bagaimana mungkin ciuman pertamanya dirampas dengan semudah itu. Ia dapat mengingat dengan jelas bagaimana deru napas lelaki itu semalam. Permainan menjijikan yang anehnya membuat sekujur tubuh Zakia dijalari perasaan panas membara. Entah, ia sendiri tidak tahu perasa
"Sayang, tolong buka pintunya. Sarapan dulu, yuk!" Sudah tiga puluh menit Murni berdiri di depan pintu bercat putih itu. Namun, ia tak mendapati sahutan dari dalam. Zakia sudah merajuk sejak dua jam yang lalu. Wanita itu mendesah berat dengan tangan memegang nampan berisi susu dan roti berlapis selai cokelat, kesukaan putri semata wayangnya. Pintu terus saja diketuk dengan lembut, membuat wanita berambut sebahu itu dirundung cemas. Ia hanya takut Zakia kenapa-kenapa di dalam. Apalagi jika mengingat riwayat mag yang diderita gadis remaja itu. "Bi Ijah, tolong kemari sebentar." Murni memanggil wanita yang berkisar lima puluh tahun. Wanita itu tidak sengaja melewati kamar Zakia hendak turun, setelah membersihkan kamar di ujung ruangan. "Iya, Nya, ada apa?" Wanita itu berjalan dengan tergopoh-gopoh, lantas menunduk hormat. Tampak wajahnya sudah dipenuhi keriput dengan raut lelah. &n
“Nina, jangan lari kamu!” Seorang bocah perempuan berusia tujuh tahun terlihat berlari-lari di tengah kebun karet. Terdengar dersik daun kering saling bergesekkan. Gadis kecil itu tertawa dengan riang kala seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun mengejarnya di belakang. “Kena ...!” teriak bocah laki-laki itu menepuk pundak Nina. “Sekarang giliran kamu yang jaga.” “Yah ... gak seru, ah!” rajuk bocah perempuan berambut sebahu itu. “Kamu jangan curang, dong! Masa dari tadi aku terus yang jaga.” Bocah laki-laki sembilan tahun itu memutar tubuhnya, berjalan menuju gubuk tua dengan perasaan dongkol. Si bocah perempuan mengentak-entakkan kaki, merasa belum puas bermain. “Sudah, sudah, berhenti bermain. Sekarang, tolong bantu kakak mengambil air di sungai.” Seorang perempuan muda terlihat tergopoh-gopoh mengangkat setumpuk ranting kering menggunakan kain se
Semburat jingga telah menjelma menjadi kelabu. Sore telah berganti malam. Amanda menyalakan lampu teplok menggunakan korek api untuk menerangi gubuk tua itu agar tidak terlihat menyeramkan, apalagi ketika terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Bising suara hewan saling bersahutan. Terlebih suara burung hantu yang terdengar menakutkan. Menjadi perempuan pemberani sudah ditanamkan orang tuanya sejak dini, sehingga suara-suara yang mengganggu di luar diabaikannya. Bahkan, makhluk tak kasat mata pun sering kali dijumpainya. Perempuan cantik itu duduk di atas dipan kayu seraya memandang tubuh kurus adik-adiknya yang tidur meringkuk tanpa alas. Perempuan muda itu menepuk-nepuk tangan di udara, mencoba membunuh nyamuk yang sedari tadi mengganggu tidur kedua adiknya. Dia duduk bersandar pada dinding kayu, remang cahaya lampu teplok bergoyang pelan karena tertiup angin. Malam semakin larut, dingin menyapa kulit
Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti
Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah
Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu
“Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa
“Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo
Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri
Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah
Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak
Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng
“Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa
Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu
Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah
Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti