“Nina, jangan lari kamu!”
Seorang bocah perempuan berusia tujuh tahun terlihat berlari-lari di tengah kebun karet. Terdengar dersik daun kering saling bergesekkan. Gadis kecil itu tertawa dengan riang kala seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun mengejarnya di belakang.
“Kena ...!” teriak bocah laki-laki itu menepuk pundak Nina. “Sekarang giliran kamu yang jaga.”
“Yah ... gak seru, ah!” rajuk bocah perempuan berambut sebahu itu.
“Kamu jangan curang, dong! Masa dari tadi aku terus yang jaga.” Bocah laki-laki sembilan tahun itu memutar tubuhnya, berjalan menuju gubuk tua dengan perasaan dongkol. Si bocah perempuan mengentak-entakkan kaki, merasa belum puas bermain.
“Sudah, sudah, berhenti bermain. Sekarang, tolong bantu kakak mengambil air di sungai.”
Seorang perempuan muda terlihat tergopoh-gopoh mengangkat setumpuk ranting kering menggunakan kain selendang, wajahnya ayu rupawan. Perempuan itu tampak memakai baju kebaya abu-abu tua, dengan kain batik sebagai pengganti rok. Rambut hitam perempuan itu disanggul ke atas.
“Oke, Kak!” sahut dua bocah itu serempak.
“Kejar aku kalau bisa!” teriak bocah laki-laki menyenggol bahu Nina.
“Ish, Kak Rangga ...!”
Keduanya mengambil sebuah ember yang terbuat dari kayu dan bambu, lantas kembali berlari melanjutkan permainan yang tadi. Perempuan muda itu menggeleng seraya tersenyum saat melihat tingkah lucu kedua adiknya. Lantas, ia pun menaruh kayu bakar itu di samping rumah, dan menyusunnya dengan rapi.
Perempuan cantik itu kemudian memasuki gubuk tua yang sudah reyot dimakan rayap. Kaki mulusnya menginjak tanah tanpa alas, lalu menjatuhkan bobot tubuh di atas dipan kayu. “Panas ....” Ia mengipas-ngipaskan kain selendang yang tadi dipakainya untuk mengangkat ranting dahan, berusaha mengusir lelah dan dahaga sore itu.
Tak berselang lama, dua bocah tadi pulang dengan ember berisi air sungai yang bersih dan jernih. “Ini, Kak, airnya,” kata dua bocah itu.
“Makasih, Dek. Tolong dituang dalam kendi, ya? Kakak capek,” ujar sang kakak dengan wajah pucat.
Dua bocah itu mengangguk paham, lantas saling bahu membahu menggotong air dalam ember agar tak tumpah. Dimasukkannya air itu ke dalam kendi yang terbuat dari tanah liat merah secara hati-hati. Lantas, menghampiri si Juwita dengan binar mata penuh harapan. “Kak, hari ini kita makan apa?” tanya dua bocah itu seraya mengelus-elus perutnya.
Sang kakak mendesah berat, gelengan kepala menjadi jawaban yang mengecewakan. “Yah ... kami lapar, Kak!” keluh keduanya bersamaan.
Hati siapa yang tidak berdenyut nyeri, saat melihat dua bocah kesayangannya merengek meminta makanan? Perempuan itu menghentikan aktivitas mengipas wajahnya dengan raut sedih.
“Tahan sebentar ya, Dek, kakak rebus singkong dulu,” katanya.
Kemudian, perempuan itu turun dari dipan, lantas berlalu menuju halaman belakang. Tampak rimbun dedaunan singkong dan pisang yang tumbuh di tanah yang gembur. Perempuan itu meregangkan otot-ototnya yang kaku sebelum mencabut satu batang singkong dengan sekuat tenaga sampai akar-akarnya tercabut sempurna.
***
“Horeee, singkong rebus!” sorak dua bocah itu girang.
Nyeri dirasakan ulu hati perempuan itu, ketika melihat dua bocah kesayangannya tersenyum senang hanya karena memakan singkong rebus tanpa garam. Bukan tidak ingin baginya memberi makanan yang enak dan bergizi kepada Nina dan Rangga, tetapi apalah daya. Jangankan membeli makanan mewah, membeli beras saja ia tidak mampu.
Perempuan itu berlalu menuju dapur dengan mata berkaca-kaca. Ia berdiam diri di tepi tungku yang masih mengobarkan api dengan bara sisa-sisa pembakaran kayu bakar.
Perempuan cantik itu lalu terisak lirih di depan tungku. Ia merasa tidak sanggup hidup di dunia yang fana dengan sebatang kara. Dua pahlawan dalam hidupnya sudah lama tiada. Kini tinggal ia sendiri ditemani telaga sunyi, mengurus dua bocah polos tak berdosa dengan seadanya. Hal itu benar-benar melukainya.
"Ibu, Bapak ... aku harus apa? Aku rindu kalian ...," lirihnya tergugu.
“Kak, sini makan bersama kami!” teriak Nina memanggil dari dalam.
“Kakak gak lapar, Dek. Singkongnya kalian habiskan saja, gak pa-pa,” sahutnya.
Perempuan cantik berhidung mancung itu memeluk lutut dengan erat. Mata lentiknya menatap api yang perlahan mulai padam.
Senja telah tiba, raungan jangkrik mulai terdengar saling bersahut di hutan. Amanda menghapus air matanya yang terasa asin dan lengket, lalu menghampiri Nina dan Rangga yang terduduk di teras depan.
“Dek, besok kakak mau ke desa, barangkali ada kerjaan di sana. Kalian mau ikut atau di sini saja?” tanyanya usai menumpahkan keresahan di depan perapian.
“Ikut, Kak!” jawab Rangga dan Nina serempak. Perempuan itu tersenyum seraya mengelus lembut dua jagoan yang sudah menemani hari-harinya di tengah jelaga yang sunyi.
***
Esok pun tiba, ketiganya berjalan menyusuri hutan dengan kaki tak beralaskan apa pun. Untuk sampai di desa, mereka harus berjalan pelan menyeberangi jembatan tua yang reyot karena terbuat dari rakitan bambu, lalu melewati rimbunnya dedaunan, dan pohon karet mereka temukan di sepanjang jalan.
Setelah hampir satu jam berjalan kaki, barulah ketiganya sampai di desa seberang. Bukan tidak ingin bagi mereka untuk hidup berdampingan bersama para warga, tetapi karena tersendat biayalah perempuan cantik itu memilih hidup di tengah jelaga, gubuk usang peninggalan kedua orang tuanya.
“Kak, lihat itu!” Nina menunjuk seekor kera yang sedang melakukan pertunjukkan, membuat gadis kecil bergigi ompong itu tertawa kegirangan. Sementara Rangga sibuk melihat-lihat banyaknya pedagang yang berjajar rapi di pasar tradisional itu.
Ada banyak mainan di sana. Boneka, gangsingan kayu, egrang dan masih banyak mainan tradisional lainnya. Andaikan ada lelaki dewasa di keluarga mereka, sudah pasti semua kebutuhan itu mudah tercukupi. Akan tetapi, tidak. Semua ingin itu hanya mampu disimpannya dalam benak saja.
Perempuan itu menarik dua adiknya mendekati pendagang buah-buahan untuk menanyakan sesuatu. “Permisi, Tuan. Bolehkah saya bertanya?”
“Mau bertanya apa, ya?” tanya pedagang itu dengan tangan yang sibuk menyusun buah-buahan.
“Apakah di sini ada pekerjaan? Saya butuh uang untuk membeli makan. Kasihan adik-adik saya, mereka tak pernah memakan nasi lagi sejak dua tahun yang lalu,” jelas perempuan cantik itu, menunjuk kedua bocah di belakangnya yang tampak mengangguk cepat.
“Tidak ada! Jangankan untuk kalian, untuk keluarga saya sendiri saja sudah pas-pasan. Pergi sana kalian! Saya tidak ada uang buat pengemis macam kalian!” usir pedagang lelaki itu kasar.
Kesal dan kecewa, perempuan cantik itu mengajak kedua adiknya pergi untuk mencari orang yang sudi menawarkan pekerjaan. Apa pun itu, asal ia dan kedua adiknya dapat memakan sesuap nasi pasti akan ia kerjakan dengan sepenuh hati.
Semilir angin berembus, menerbangkan rambut hitam yang disanggul secara sembarang. Sebuah kertas tiba-tiba menempel di wajah perempuan itu karena tertiup angin. Ia mengambil kertas itu, terdapat tulisan di sana. Saat membacanya, mata indah itu membeliak seketika. “Dicari istri muda yang bisa memberikan keturunan, dengan jaminan hidup bergelimang harta.”
Perempuan itu meneguk ludah saat membayangkan hidup bergelimang harta. Ia jadi merasa tergoda dengan tawaran di kertas selebaran itu. Haruskah ia menjual diri, agar hidup kedua adiknya tak susah lagi? Diliriknya dua bocah yang asyik menatap seorang pedagang gorengan, dua bocah itu tampak memegangi perutnya sambil berkata, “Kak, kami pengen itu.”
Perempuan itu mendesah berat, lalu meremas kertas yang digenggamnya kuat-kuat. Ada alamat yang tertera di dalam kertas itu. Haruskah ia ke sana, agar hidup kedua adiknya lebih terjamin?
“Dek, ayo kita pergi dari sini,” ajak perempuan itu kepada dua adiknya.
Rangga dan Nina pun menunduk kecewa.
Semburat jingga telah menjelma menjadi kelabu. Sore telah berganti malam. Amanda menyalakan lampu teplok menggunakan korek api untuk menerangi gubuk tua itu agar tidak terlihat menyeramkan, apalagi ketika terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Bising suara hewan saling bersahutan. Terlebih suara burung hantu yang terdengar menakutkan. Menjadi perempuan pemberani sudah ditanamkan orang tuanya sejak dini, sehingga suara-suara yang mengganggu di luar diabaikannya. Bahkan, makhluk tak kasat mata pun sering kali dijumpainya. Perempuan cantik itu duduk di atas dipan kayu seraya memandang tubuh kurus adik-adiknya yang tidur meringkuk tanpa alas. Perempuan muda itu menepuk-nepuk tangan di udara, mencoba membunuh nyamuk yang sedari tadi mengganggu tidur kedua adiknya. Dia duduk bersandar pada dinding kayu, remang cahaya lampu teplok bergoyang pelan karena tertiup angin. Malam semakin larut, dingin menyapa kulit
Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti
Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah
Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu
“Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa
Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng
Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak
Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah
“Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo
Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri
Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah
Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak
Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng
“Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa
Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu
Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah
Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti