Share

Bab 7

Author: Sariroh Azzah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia.

Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya.

Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya.

Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan antik menyapa mata. Seperti guci, lampu gantung, piring-piring keramik raksasa dan masih banyak barang antik lainnya.

Karena semalam tidak sempat memperhatikan rumah Rukmini, mata elang itu memindai sekeliling. Ada sebuah lukisan terpajang di dinding ruang tamu yang menarik perhatiannya. Dalam lukisan itu terdapat sebuah gubuk tua yang berdiri kokoh di tengah hutan, di dalamnya terdapat satu orang dewasa dan dua orang bocah yang saling berpelukan.

Pemuda itu tidak menampik bahwa lukisan itu sangat indah. Saat asyik-asyiknya menatap lukisan itu, seketika bulu kuduknya meremang seiring dengan embusan angin dingin menyapa kulit. Arga mengusap tengkuk belakang lehernya, serasa ada yang membelai dengan lembut di belakang sana.

Ditatapnya lekat lukisan itu, seperti ada yang bergerak di sana. Arga mengucek matanya, memastikan bahwa ia hanya salah lihat. Dalam hitungan ketiga, ada sebuah tangan yang keluar dari lukisan itu, membuat Arga terperangah dan perlahan menjauh.

“Arga, kamu sudah datang, Nak?” Rukmini tersenyum dengan raut wajah keriput. Seperti biasa, Hardi menjadi pengawal pribadi bagi wanita tua itu.

Arga berbalik menatap Rukmini, lantas mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. “Iya, Nek,” jawabnya singkat seraya mengusap tengkuk leher yang basah oleh keringat. 'Apa-apaan tadi? Apakah aku sedang berhalusinasi?' Arga bergelut dengan pikirannya sendiri.

“Arga, apakah kamu baik-baik saja?” tanya Rukmini, mengguncang lengan Arga pelan. Pemuda itu tampak melamun, seperti ada beban berat yang dipikulnya.

“Oh! Tidak. Sepertinya saya sedikit lelah karena pekerjaan di kantor. Ya, saya pasti lelah,” ucap Arga manggut-manggut. Pemuda itu berusaha meyakinkan dirinya sendiri, bahwa tidak terjadi apa-apa tadi. Ditatapnya kembali lukisan itu, memang tidak ada apa-apa. Arga semakin yakin bahwa dirinya hanya berhalusinasi saja. 

Meskipun raut wajahnya tampak tenang, tetapi dalam hati ia sungguh tegang. Dalam hidupnya jarang sekali menemukan hal-hal di luar nalar. Bisa dibilang ini kali pertama dalam sejarah hidupnya setelah dewasa. Tampak Arga memijit pangkal hidungnya, ia merasa pusing jika memikirkan semuanya dengan logika. 

Rukmini berdeham karena tidak ingin membuat pemuda di hadapannya curiga. “Duduk dulu, Nak. Kamu pasti lelah,” titahnya.

Pemuda tampan itu mengangguk patuh, lantas menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa di ruang tamu itu. Dia menengadah menatap langit-langit dengan kepala bersandar pada sofa, tampak lampu gantung mewah menyapa mata. Pemuda itu sejenak memejam, bulu mata lentik dengan alis tebal menghiasi wajah pemuda itu.

Di dalam kamar, tampak Zakia duduk bersandar pada ranjang. Decit ranjang terdengar saat Murni turut menjatuhkan bobot tubuhnya di tepian. Pandangan gadis remaja itu terpaku pada dinding kaca di sebelah sana, ada sesuatu yang membuat bibirnya kelu. 

“Sayang, tadi kata Bi Ijah kamu menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu ditemukan tergeletak pingsan di dalam ruangan itu?” cecar Murni, dengan raut wajah ditekuk. 

Zakia tidak menjawab. Gadis itu bungkam seribu bahasa. Tangannya menjulur, menunjuk cermin usang di pojok ruang belajar. Dia ingin berucap ada sesosok wanita di dalam sana, tetapi ia tidak dapat berkata-kata.  Bibirnya benar-benar kelu.

Murni menautkan keningnya, mata indah itu melihat lurus ke arah jemari telunjuk putrinya. Dengan sedikit terperangah, wanita itu kembali menatap Zakia. “Apakah kamu ... baru saja melihat seorang wanita bergaun putih?” tanyanya memastikan.

Zakia mengangguk dengan mata berembun. Gadis itu masih syok. Dalam hati mulai bertanya-tanya, ada apa dengan rumah ini? Siapa Amanda? Kenapa perempuan itu sempat hadir dalam mimpiku? Pikirannya semakin berkecamuk.

“Apakah kamu mengetahui sesuatu tentang sosok itu?” Murni bertanya dengan seraut gelisah. Jemari tangannya diremas kuat, bermandikan keringat. 

Zakia ingin mengangguk, tetapi tiba-tiba saja kepalanya terasa kaku. Perlahan, gadis itu menggeleng pelan. Semua yang terjadi benar-benar di luar kendali. 

“Em ... ya, sudah. Bunda ke bawah dulu, ya? Bunda dengar nenek memanggil Arga untuk datang hari ini. Kamu istirahatlah, jaga diri baik-baik,” pesannya seraya mengembuskan napas secara perlahan. Tangan Murni mengelus lembut surai hitam Zakia yang terlihat semrawut, kemudian mengecup kening putrinya dengan lembut. 

Zakia merasakan benda kenyal itu terasa dingin menyapa kulit. Mata gadis itu terpejam, merasakan besarnya kasih sayang sang bunda terhadap dirinya. Ia tidak menampik, bahwa Murni adalah ibu yang baik. Sejenak, gadis itu hanyut dalam angannya tentang masa-masa di mana sang bunda akan membela, saat Rukmini dan Hardi menghakiminya. Ketika terjatuh, Murni selalu ada untuk membasuh lukanya. Tanpa terasa, air mata Zakia menetes.

Murni sudah hilang ditelan pintu. Zakia kembali pada kenyataan, bahwa tinggal ia sendiri di kamarnya. Gadis itu menelan saliva dengan kepayahan. Pandangannya tidak bisa lepas dari dinding kaca transparan itu. Ia merasa, seperti ada mata yang mengawasinya di balik buku-buku yang berjejer rapi. Tubuh gadis itu beringsut, kepalanya bersembunyi di balik selimut.

Tak, tak, tak.

Terdengar suara langkah sepatu mendekat. Di bawah selimut pastel yang membungkus tubuhnya, Zakia gemetaran menahan takut. “Dia datang lagi. Dia datang lagi. Tuhan, tolong lindungi aku dan adikku. Jangan sampai dia masuk ke dalam.” Tanpa disadari, bibirnya bergumam pelan.

Gadis itu membeliak, kala selimut yang membalut tubuhnya ada yang menarik. “A-apa maumu?” gagap Zakia seraya menatap sosok wanita bergaun putih itu.

Seberkas senyum tipis menghiasi bibir pucat sosok itu. Cantik, satu kata yang keluar dari bibir Zakia. Akan tetapi, pujian itu hanya berlaku untuk sekejap saja. Sosok itu menyeringai, sorot matanya yang putih dan kosong menghunus tajam. 

Angin berembus kencang membuat jendela terbanting cukup keras. Seisi kamar tampak tunggang-langgang dalam sekejap mata. Secepat kilat sosok itu merasuki tubuh Zakia, memaksa gadis itu untuk ikut ke alamnya.

Zakia yang awalnya mengejang perlahan berjalan menuju balkon dengan tatapan kosong, kemudian menaiki pagar pembatas balkon. Ia terdiam untuk sejenak, sebelum akhirnya terjun bebas.

“Non Kia ...!” pekik Bi Ijah terkejut, mendapati nona mudanya terkapar di taman belakang.

Dengan posisi tengkurap dan tangan telentang, gadis itu memejam dengan darah mengucur deras di kepalanya setelah menghantam batu. Sesosok perempuan bergaun putih itu menyeringai sebelum akhirnya menghilang diterpa angin.

Langkah wanita tua itu tergopoh-gopoh dengan deraian air mata. Ia menarik tubuh Zakia ke dalam pelukannya. “Nyonya, Tuan, tolong Non Kia ...!” jeritnya histeris.

Murni, Rukmini, Hardi, dan Arga yang berada di ruang tamu lekas berlari menghampiri Bi Ijah yang menangis histeris. Untuk sejenak mereka terpaku, sebelum akhirnya membopong tubuh gadis itu menuju IGD.

Sementara Arga, pemuda itu mengernyit heran, ada apa dengan Zakia? Seenggan itukah dia menikah dengan dirinya, sampai nekat terjun dari lantai dua? Entah. Arga segera menepis pikirannya dan ikut mengantar gadis itu ke rumah sakit.

Related chapters

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 8

    Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 9

    Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 10

    “Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 11

    Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 12

    Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 13

    Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 14

    Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 15

    “Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo

Latest chapter

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 15

    “Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 14

    Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 13

    Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 12

    Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 11

    Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 10

    “Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 9

    Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 8

    Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 7

    Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti

DMCA.com Protection Status