Semburat jingga telah menjelma menjadi kelabu. Sore telah berganti malam. Amanda menyalakan lampu teplok menggunakan korek api untuk menerangi gubuk tua itu agar tidak terlihat menyeramkan, apalagi ketika terdengar suara lolongan anjing di kejauhan.
Bising suara hewan saling bersahutan. Terlebih suara burung hantu yang terdengar menakutkan. Menjadi perempuan pemberani sudah ditanamkan orang tuanya sejak dini, sehingga suara-suara yang mengganggu di luar diabaikannya. Bahkan, makhluk tak kasat mata pun sering kali dijumpainya.
Perempuan cantik itu duduk di atas dipan kayu seraya memandang tubuh kurus adik-adiknya yang tidur meringkuk tanpa alas. Perempuan muda itu menepuk-nepuk tangan di udara, mencoba membunuh nyamuk yang sedari tadi mengganggu tidur kedua adiknya.
Dia duduk bersandar pada dinding kayu, remang cahaya lampu teplok bergoyang pelan karena tertiup angin. Malam semakin larut, dingin menyapa kulit tak berkesudahan. Perempuan itu meraba bulu kuduknya yang terasa meremang. Berbekal selimut lusuh dengan banyak tambalan, ia merebahkan kepala di atas dipan dan tangan kirinya ia jadikan sebagai bantal.
Mata lentik itu menatap atap rumah yang terbuat dari daun sagu yang diawetkan dalam air lumpur selama berhari-hari. Sekali terpaan angin Barat, rumah itu pasti akan runtuh menyisakan puing-puing lusuh.
Pikiran gadis itu kembali berkelana pada kertas yang ia baca saat di pasar tadi pagi. Kertas itu masih disimpannya rapi di bawah kendi.
"Apakah aku harus pergi ke tempat itu dan menjadi istri muda saudagar kaya itu?" gumamnya pelan.
Amanda melirik kedua adiknya yang tampak mendengkur dengan teratur. Kemudian, perempuan itu menghela napas gusar.
'Tapi aku sendiri tak yakin dengan ini. Ini pilihan yang berat untukku. Ah, andai ....'
Suara lembut perempuan cantik itu mengambang di udara saat tiba-tiba mendengar suara dersik daun kering seperti disapu dari luar.
Srek, srek, srek
Suara yang tadinya berasal dari jauh kini perlahan mendekat dan sangat dekat. Suara berhasil membuat Amanda bergidik ngeri. Hingga terdengar suara gedoran pintu yang semakin membuat perempuan itu beringsut ketakutan dengan mata terpejam.
'Dia datang lagi. Dia datang lagi. Tuhan, tolong lindungi aku dan adikku. Jangan sampai dia masuk ke dalam,' batinnya memohon pertolongan.
Dalam sekejap, hening menyapa pendengaran, menyisakan kicauan burung-burung dan jakrik. Suara dersik daun dan gedoran pintu tak lagi terdengar, berganti dersik angin yang membelai pepohonan.
“Syukurlah, dia sudah pergi.”
Gadis itu mengurut dada seraya menghela napas lega. Hal-hal seperti ini sudah sering dialaminya. Ia kerap kedatangan "tamu" tak diundang yang menabuh jantungnya untuk berdegup kian cepat. Siapa lagi kalau bukan mereka (makhluk tak kasat mata).
***
“Rangga, Nina, bangun! Kakak mau mencari kayu bakar dulu di hutan untuk dijual ke desa seberang nanti siang.”
Tangan kurus kering perempuan itu menggoyang-goyangkan tubuh mungil kedua adiknya yang masih terlelap dibuai mimpi. Dengan sabar, ia menepuk-nepuk pipi Nina dan Rangga, lalu kembali berbisik di telinga keduanya. Namun, hal itu tak berselang lama saat bocah itu menggeliat-geliat dan mengigau dengan liur yang menetes.
“Kak, aku mau makan tempe bacem ....”
Amanda menggigit bibir bagian bawah dengan pandangan meredup. Hatinya terasa sakit bagai diremas-remas hingga hancur berkeping-keping. Ia tidak tahu mimpi apa yang dialami Nina, tetapi yang pasti mimpi itu yang selalu mereka damba-dambakan dalam hidup. Ya, hidup berkecukupan agar bisa makan enak setiap hari.
Rangga perlahan bangkit dari tidurnya. Bocah laki-laki itu mengucek-ngucek mata yang masih terasa sepet. Samar-samar ia melihat Amanda tengah menghapus kedua pipinya yang basah.
“Kak, hari ini kita makan apa?” tanyanya setelah membuka mata.
Bocah laki-laki berkulit sawo matang dengan hidung mancung dan alis mata yang terlihat menyatu juga tebal, membuat Amanda tersenyum getir saat melihat paras menawan adiknya yang baru bangun tidur.
“Biasa, Dek ... pisang rebus,” jawabnya dengan bibir bergetar.
Setiap hari hanya dua menu yang mampu ia sajikan untuk kedua adiknya. Pisang dan singkong rebus atau dibakar. Ada yang berdenyut sakit di dalam dadanya, perempuan cantik itu mengulas senyum pedih. Karena tidak mampu dibendungnya lagi, setetes butiran permata jatuh membasahi pipi.
“Kakak, kenapa menangis?” tanya Nina yang baru saja bangun.
Bocah perempuan itu menatap heran kedua kakaknya yang membisu dengan mata berkaca-kaca.
“Enggak pa-pa, Dek. Kakak cuma kelilipan aja,” jawab Amanda berbohong, lalu menghapus kasar jejak permata di ujung pelupuknya.
Amanda berjalan menuju dapur, mengambil seutas tali dari bonggol daun pisang yang sudah kering, juga kain selendang yang biasa ia gunakan. “Kalian jaga diri baik-baik di sini, ya. Kakak mau mengumpulkan kayu bakar dulu untuk dijual ke pasar,” pamitnya pada dua bocah yang terduduk di atas dipan.
Rangga turun dari dipan, lalu berjalan ke arah dapur dan mengambil sedikit air dari kendi lantas membasuh muka untuk menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Nina pun menyusulnya, melakukan kegiatan serupa agar menghilangkan bekas kotoran dari wajahnya.
“Kak, kami mau ikut. Boleh, ya?” pinta Rangga memelas. Bocah laki-laki itu kembali duduk di atas dipan, tetapi dengan tangan yang menggenggam pisang rebus.
Nina pun demikian, bocah perempuan itu duduk di sebelah kiri Rangga dengan tatapan polos. “Iya, Kak. Kami juga mau ikut. Mau bantu Kakak mengumpulkan kayu bakar yang banyak untuk dijual. Terus, kita bisa makan enak, deh!” serunya semangat.
Lagi-lagi Amanda dibuat gamang. Embun di mata kembali menggunung. Karena tidak tega, perempuan cantik yang hari-harinya memakai kebaya lusuh peninggalan sang ibunda itu mengangguk dengan seulas senyum. “Baiklah, mari kita berangkat ke hutan!” ujarnya pura-pura tegar.
“Hore ... bisa makan enak!” seru Nina bersemangat.
Rangga tidak banyak bicara. Bocah laki-laki itu sudah besar, tahu kehidupan mereka susah semenjak orang tua mereka meninggal. Ia menenggak air dalam kendi menggunakan bambu yang dipotong menyerupai gelas. Lalu ia pun berkata, “Kak, aku mau ketemu Ibu dulu boleh, ya?”
Amanda mengangguk mengiyakan. Kebetulan ia juga rindu, hendak memohon doa restu atas apa yang akan ia lakukan setelah ini. Mungkin, menjual harga diri itu lebih baik daripada ia dan kedua adiknya harus mati kelaparan di tengah jelaga tanpa ada yang memedulikan.
***
“Nyonya, Non Zakia ada di sini!” teriak Bi Ijah lantang saat mendapati nona mudanya tergeletak pingsan di lantai, dekat cermin usang.
Murni dan Hilda sontak berlari menghampiri Bi Ijah yang tampak kepayahan mengangkat tubuh Zakia. Wajah gadis itu tampak pucat pasi, membuat ibu muda itu mendelik karena terkejut.
“Ya, ampun ... Zakia. Kamu kenapa, Nak?” Diangkatnya kepala gadis itu, Murni menangis seraya menyapu anak rambut yang menghalangi wajah cantik putri semata wayangnya. “Bi, tolong bantu saya angkat tubuh Zakia,” pintanya dengan seraut wajah ditekuk.
Bi Ijah pun mengangguk tanpa banyak bicara.
Sementara Hilda, sebagai sahabat dekat Zakia, gadis itu membantu Murni dan Bi Ijah tanpa menunggu perintah.
Mereka membaringkan tubuh mungil Zakia di atas ranjang, lalu dengan cekatan Bi Ijah mengoleskan minyak aroma terapi pada bagian perut, hidung, dan kepala Zakia.
Tangan Murni sibuk mengelus-elus tangan Zakia yang terasa dingin, mencoba menghangatkan kembali tubuh anaknya yang terasa dingin dengan jiwa keibuan.
“Ibu ... maafkan aku,” gumam Zakia lirih, beruraikan air mata.
Murni dan Bi Ijah saling beradu pandang dengan alis bertaut. Dari pandangan mereka seakan bertanya-tanya, ibu? Jelas-jelas Murni senantiasa dipanggil bunda, tetapi mengapa kali ini berbeda? Mereka semua mengernyit tidak mengerti. Namun, satu hal yang pasti, Zakia sudah sadarkan diri. Hal itu membuat mereka tersenyum lega.
Dengan gerakan cepat Murni meraih tubuh Zakia ke dalam pelukannya beruraikan air mata, membuat gadis itu membelalak terkejut.
“Syukurlah kamu gak kenapa-napa, Nak,” bisik Murni lirih, lalu mencium kening gadis itu lembut.
Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti
Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah
Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu
“Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa
Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng
Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak
Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah
Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri
“Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo
Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri
Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah
Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak
Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng
“Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa
Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu
Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah
Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti