Share

Bab 4

Penulis: Sariroh Azzah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Sayang, tolong buka pintunya. Sarapan dulu, yuk!" 

Sudah tiga puluh menit Murni berdiri di depan pintu bercat putih itu. Namun, ia tak mendapati sahutan dari dalam. Zakia sudah merajuk sejak dua jam yang lalu. Wanita itu mendesah berat dengan tangan memegang nampan berisi susu dan roti berlapis selai cokelat, kesukaan putri semata wayangnya.

Pintu terus saja diketuk dengan lembut, membuat wanita berambut sebahu itu dirundung cemas. Ia hanya takut Zakia kenapa-kenapa di dalam. Apalagi jika mengingat riwayat mag yang diderita gadis remaja itu.

"Bi Ijah, tolong kemari sebentar." Murni memanggil wanita yang berkisar lima puluh tahun. Wanita itu tidak sengaja melewati kamar Zakia hendak turun, setelah membersihkan kamar di ujung ruangan.

"Iya, Nya, ada apa?" Wanita itu berjalan dengan tergopoh-gopoh, lantas menunduk hormat. Tampak wajahnya sudah dipenuhi keriput dengan raut lelah.

"Tolong pegang ini, pastikan Zakia memakannya. Saya mau ke bawah sebentar."

Murni menyerahkan nampan berwarna cokelat itu kepada Bi Ijah, sementara dirinya berlalu ke bawah. Wanita itu sudah tidak tahan membiarkan putrinya merajuk terlalu lama. Satu-satunya cara ampuh untuk membujuk Zakia agar mau membuka pintu adalah dengan memanggil Hilda. 

Zakia yang terduduk meringkuk di belakang pintu menangis tersedu-sedu. Ia membenamkan wajahnya di balik lipatan tangan yang berpangku pada lutut. Matanya tampak sembap.

Gadis itu menatap kamarnya yang tampak luas dan lengang dengan tatapan kosong. Ada kekecewaan yang jelas terpancar dari sorot matanya. Ia sudah sangat lelah menghadapi tingkah Rukmini yang selalu seenaknya sendiri. Zakia mengabaikan teriakan orang-orang yang memanggilnya di luar.

"Zakia ...."

Samar dan lirih, Zakia mendengar suara seseorang menyerukan namanya. Suara itu terdengar seperti berbisik di telinga. Zakia dapat merasakan desir angin yang berembus dingin. Gadis itu bergidik sambil meraba tengkuknya. Lalu, ia pun menengadah menatap sekitar dengan alis bertaut.

Aneh. Padahal, di ruangan bernuansa biru langit itu tidak ada siapa-siapa. Namun, Zakia dapat merasakan ada aura lain di kamarnya, entah milik siapa. Aura itu terasa kuat sampai-sampai ia bergidik takut.

"Si-siapa?" tanyanya celingukan, guna memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

"Kemarilah, Nak ...."

"Siapa kamu?!" Zakia menutup kedua telinganya dengan tangan gemetar, berusaha menghalau suara-suara yang berulang kali memanggil dirinya. Takut, itulah yang dirasakan oleh Zakia saat ini.

"Di sini ...."

Seketika mata indah itu membeliak sempurna. Tatapannya tertuju kepada sesosok wanita bergaun putih yang tengah membelakanginya menghadap jendela. Embusan angin sepoi-sepoi menerbangkan gorden abu-abu, membuat Zakia tidak dapat memastikan rupa sosok itu.

"Siapa kamu?!" tanya Zaskia sekali lagi.

Tanpa menjawab pertanyaan Zakia, sosok itu berjalan menuju arah samping. Gadis cantik itu dengan gugup berusaha mendekati secara perlahan, saat rasa takut sekaligus penasaran menghampiri di waktu bersamaan.

Langkah gadis remaja itu seketika terhenti saat melihat sosok itu menembus dinding kaca yang menghubungkan antara kamar dan ruang belajar miliknya. Di sana terdapat sebuah cermin usang yang terpajang di dinding, menghiasi ruangan. Zakia berjalan menghampiri cermin itu, lalu mengusapnya pelan. Tampak debu tebal mengotori jemari lentiknya.

Sesaat ia bergeming kala mendapati bayangan dirinya yang tampak kacau di cermin. Lalu, dalam sekejap gadis itu terperanjat dengan mata melotot, dan jantungnya bertalu dengan cepat saat melihat pantulan sosok wanita itu di cermin, tengah berdiri di sudut ruangan sebelah jendela.

Sosok itu bergaun putih dengan surai hitam panjang yang menutupi seluruh wajahnya, sehingga Zakia tidak dapat memastikan rupa sosok itu seperti apa. Satu hal yang pasti, ia dapat merasakan aura sosok itu sangatlah kuat.

Gadis penyuka lagu melonkolis itu mematung di tempat saat jantungnya kian berdebar dengan cepat. Sesaat ia memutar tubuhnya untuk menatap meja belajar dan rak buku yang tertata dengan rapi, tetapi sosok itu tidak ditemukan di sudut mana pun. Bahkan di sudut jendela yang sempat ia lihat di cermin. 

Zakia menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin mulai membasahi wajah cantiknya. Ia mengepalkan tangan seraya meyakinkan diri sendiri untuk kembali menatap cermin, tetapi tiba-tiba sosok itu muncul di depannya dengan mata melotot.

"Aaaa ...!" jerit Zakia histeris.

Begitu mendengar pekikan dari dalam, buru-buru Bi Ijah menggedor pintu kamar nona mudanya secara brutal. Ia sangat khawatir akan terjadi sesuatu kepada Zakia di dalam. Terlebih lagi, ia tahu bahwa Zakia telah melanggar aturan yang ditetapkan Rukmini. 

"Non Kia, apakah Nona baik-baik saja di dalam? Tolong jawab bibi, Non!" teriak Bi Ijah panik. Namun, tak ada sahutan dari dalam.

Wanita bertubuh gempal itu seketika menggigit kuku ibu jari dengan keringat dingin yang bercucuran memenuhi pelipisnya. Ia benar-benar mencemaskan keadaan Zakia.

"Non, tolong buka pintunya, Non!" Bi Ijah menggedor pintu yang menjulang itu secara terus-menerus. Namun, sia-sia. Zakia sama sekali tak menggubris teriakannya.

"Bi Ijah, apa yang terjadi?" Murni bertanya dengan napas terengah-engah setelah berlari menaiki tangga dengan tergopoh-gopoh. Teriakan bernada panik dari Bi Ijah sangat kencang sampai-sampai terdengar ke bawah, membuat ia kalang kabut mengkhawatirkan putrinya 

"A-anu, Nya ... tiba-tiba Non Kia berteriak histeris dari dalam. Bibi khawatir terjadi sesuatu padanya," terang Bi Ijah takut. Keriput di wajah wanita gempal itu terlihat sangat jelas saat keningnya bertaut. Resah dirasakannya, mengingat Zakia sudah ia anggap sebagai anak sendiri.

"Ya ampun ...." Hilda yang baru saja tiba setelah mendapat panggilan dari Murni secara mendadak itu menutup mulut yang menganga dengan kedua tangan. Ia bahkan belum mandi sama sekali, saking khawatirnya dengan aksi mogok makan temannya itu. "Kenapa bisa sampai begini," gumamnya bingung.

"Sayang, kamu dengar bunda, 'kan? Tolong buka pintunya. Are you okay, Dear?"

Sabar, itulah Murni. Meski terkadang sikap Zakia terlihat sangat kekanak-kanakan, tetapi ia tetap menyayangi putrinya dengan sepenuh hati. Bagaimanapun, ia melahirkan Zakia dengan penuh perjuangan. Telah banyak cobaan yang ia lalui saat mengandung gadis remaja itu. Cobaan itu berasal dari gangguan makhluk gaib yang menginginkan janinnya untuk santapan mereka.

Lahirnya seorang anak dalam bahtera rumah tangga adalah suatu anugerah yang selalu dinantikan kehadirannya oleh setiap pasangan. Walau dari awal ia menikah dengan Hardi tanpa berlandaskan cinta, hingga kini. Besar harapan Murni kepada Zakia, karena ia sangat yakin kehadiran putrinya akan membawa suatu perubahan yang sangat besar. 

Tidak peduli sebanyak apa ranjau yang siap menghadangnya nanti. Karena ia tahu seberapa besar konsekuensi itu. Kembali hidup dengan normal, itu adalah impiannya sejak lama. Ia sudah muak dan tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Ia ingin hidup dengan damai walau tak bergelimang harta.

"Bi, kita masih ada kunci cadangan, 'kan?" tanya Murni kepada Bi Ijah.

Berdiri saja di depan pintu dan berteriak seperti orang gila itu hal percuma. Berharap Zakia akan membukakan pintu itu hanya angan semata. Gadis itu kalau sudah merajuk memang sulit dibujuk. 

"A-ada, Nya. Sebentar, bibi ambilkan dulu," kata Bi Ijah seraya berlalu dengan tergopoh-gopoh.

Sementara Bi Ijah mengambilkan kunci, kali ini giliran Hilda yang beraksi. Gadis itu menghela napas dalam sebelum akhirnya berteriak lantang. "Zakia, ini aku, Hilda. Tolong bukakan pintunya!"

Bahkan, pawangnya pun dibuat terheran-heran. Tidak biasanya Zakia begini. Hilda adalah orang kepercayaan Zakia, sehingga mudah baginya untuk membujuk gadis itu ketika merajuk. Amarah Zakia akan mereda setelah menumpahkan segala keluh kesahnya kepada sang sahabat. Namun, kali ini pengecualian. Murni dan Hilda dibuat cemas tak karuan karena sedari tadi tak mendapati sahutan dari dalam.

"I-ni, Nyonya," ujar Bi Ijah setelah sepuluh menit berlalu. Ia menyerahkan beberapa kunci cadangan yang bertumpuk menjadi satu.

Murni menerimanya dengan kasar. Ia terlihat sangat kepayahan ketika mencari kunci yang pas untuk pintu kamar Zakia.

Pintu pun akhirnya terbuka. Ketiga perempuan beda usia itu bergegas masuk ke kamar dengan wajah kebingungan. Pasalnya, mereka tidak mendapati Zakia di kamarnya. Kasur berukuran queen itu tampak kosong dan sedikit berantakan.

"Zakia!"

"Non Kia!

"Sayang!"

Ketiganya berseru di waktu yang bersamaan. Namun, hening. Kamar itu benar-benar terasa lengang.

"Di mana dia?"

Murni berjalan menuju balkon saat angin sepoi membelai gorden abu-abu hingga meliuk-liuk memperlihatkan sepasang kaki di tepi balkon. Sementara Hilda berlalu menuju kamar mandi, barangkali saja gadis itu mengurung diri di sana. Sedangkan Bi Ijah menggeledah seisi ruangan karena ia paham betul, nona mudanya itu sangat senang bermain petak umpet.

"Zakia?" tanya Murni mengernyitkan alisnya.

Angin sepoi membelai rambut sebahu wanita itu. Lantas, ia pun membuka pintu balkon yang tertutup gorden. Namun, kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Wanita cantik itu mulai bertanya-tanya dalam hati, kalau bukan Zakia, lantas kaki itu milik siapa?

Bab terkait

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 5

    “Nina, jangan lari kamu!” Seorang bocah perempuan berusia tujuh tahun terlihat berlari-lari di tengah kebun karet. Terdengar dersik daun kering saling bergesekkan. Gadis kecil itu tertawa dengan riang kala seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun mengejarnya di belakang. “Kena ...!” teriak bocah laki-laki itu menepuk pundak Nina. “Sekarang giliran kamu yang jaga.” “Yah ... gak seru, ah!” rajuk bocah perempuan berambut sebahu itu. “Kamu jangan curang, dong! Masa dari tadi aku terus yang jaga.” Bocah laki-laki sembilan tahun itu memutar tubuhnya, berjalan menuju gubuk tua dengan perasaan dongkol. Si bocah perempuan mengentak-entakkan kaki, merasa belum puas bermain. “Sudah, sudah, berhenti bermain. Sekarang, tolong bantu kakak mengambil air di sungai.” Seorang perempuan muda terlihat tergopoh-gopoh mengangkat setumpuk ranting kering menggunakan kain se

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 6

    Semburat jingga telah menjelma menjadi kelabu. Sore telah berganti malam. Amanda menyalakan lampu teplok menggunakan korek api untuk menerangi gubuk tua itu agar tidak terlihat menyeramkan, apalagi ketika terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Bising suara hewan saling bersahutan. Terlebih suara burung hantu yang terdengar menakutkan. Menjadi perempuan pemberani sudah ditanamkan orang tuanya sejak dini, sehingga suara-suara yang mengganggu di luar diabaikannya. Bahkan, makhluk tak kasat mata pun sering kali dijumpainya. Perempuan cantik itu duduk di atas dipan kayu seraya memandang tubuh kurus adik-adiknya yang tidur meringkuk tanpa alas. Perempuan muda itu menepuk-nepuk tangan di udara, mencoba membunuh nyamuk yang sedari tadi mengganggu tidur kedua adiknya. Dia duduk bersandar pada dinding kayu, remang cahaya lampu teplok bergoyang pelan karena tertiup angin. Malam semakin larut, dingin menyapa kulit

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 7

    Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 8

    Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 9

    Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 10

    “Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 11

    Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 12

    Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak

Bab terbaru

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 15

    “Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 14

    Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 13

    Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 12

    Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 11

    Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 10

    “Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 9

    Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 8

    Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah

  • TUMBAL DARAH PERAWAN (DARAH SANG DARA   Bab 7

    Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti

DMCA.com Protection Status