Tubuh mungil itu kini terbalut kain kebaya berwarna hijau lumut. Wajah ovalnya tampak cantik setelah dipoles sedikit make-up. Senyum terpancar indah menghias bibir tipisnya. Bahagia tidak terkira Zakia rasakan kini, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-18, gadis cantik itu merayakan kelulusan sekolah menengah pertama.
"Cieee ... yang dapet juara umum selama tiga tahun secara berturut-turut," goda Hilda seraya mencolek dagu lancip temannya, Zakia.
Semburat rona merah jambu terlukis dengan malu-malu, Zakia tersenyum menanggapi gurauan temannya. "Alhamdulillah, ini hasil kerja kerasku selama ini, Hil. Selama ini aku percaya, bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati usaha," balasnya bangga.
Kedua gadis remaja itu tertawa bersama. Sebagai tanda perpisahan, mereka menghabiskan waktunya di belakang panggung setelah lelah bergelut dengan berbagai acara. Zakia duduk di tepi tembok pembatas koridor, sementara Hilda berdiri sambil berpangku tangan.
"Berasa disindir aku tuh," rajuk Hilda mencebik. Namun, ia tidak serius mengatakan itu.
Gadis remaja itu merasa bangga sekaligus iri karena mendapat teman seperti Zakia. Seorang Zakia terlalu sempurna untuknya. Bisa lulus dengan nilai yang sesuai minimal kriteria umum saja sudah syukur-syukur alhamdulillah. Sebab, nilai Hilda tidak sesempurna Zakia. Ia terlalu lamban dalam banyak hal. Bahkan, jika ada tugas kelompok Hilda lebih mengandalkan temannya itu.
"Gak gitu juga kali." Zakia menggeleng pelan. Ia tidak bermaksud menyinggung teman karibnya itu. Ia berkata demikian karena selama ini sudah belajar dengan tekun, tidak pernah absen jika ada kegiatan ekstrakurikuler, selalu bersedia jika dimintai tolong oleh siapa pun. Sehingga, gadis itu disukai banyak orang.
"Rencana mau kuliah di mana, Hil?" tanya Zakia seraya memainkan ponsel canggih di tangannya.
"Belum tahu nih, masih nyari-nyari yang pas. Kalau kamu?"
Zakia bergeming. Senyum yang tadi sempat terbit perlahan surut. Binar bola mata hitam itu tampak meredup. Ada guratan kecewa yang jelas terpancar di wajah mulusnya. "Aku ... gak diizinkan lanjut ke jenjang perguruan tinggi oleh keluargaku," gumamnya lirih.
"Apa?!" Hilda membulatkan mata. Gadis yang memakai kebaya krem itu tidak habis pikir, salah dengarkah ia? Tetapi itu tidak mungkin. Jelas-jelas tadi pagi setelah mandi ia sudah membersihkan telinganya menggunakan cotton buds. Jadi, tidak mungkin jika pendengarannya yang bermasalah.
"Bukan apa-apa," kilah Zakia dengan senyum yang dipaksakan. "Oh, iya. Aku harus balik nih, ditunggu sama ayah dan bunda." Jemari lentiknya menunjuk sepasang suami-istri yang terlihat kelimpungan mencari sesuatu. Mungkin mencari Zakia yang sedari tadi asyik bercengkerama dengan Hilda di belakang panggung usai melakukan pentas seni.
"Ya udah, deh. Take care, ya!" teriak Hilda seraya melambaikan tangan.
Zakia mengangguk kemudian berlari kecil, takut membuat orang tuanya khawatir. Hari sudah beranjak petang, tidak elok bagi anak gadis terlalu lama di luar, apalagi malam sudah menjelang.
Ada aturan khusus yang sedari dulu diterapkan oleh keluarga Zakia secara turun temurun. Anak gadis dilarang keras ke luar rumah lewat dari jam lima sore, tidak boleh berteman dengan anak laki-laki apalagi pacaran, wajib dinikahkan jika usianya sudah genap delapan belas tahun. Itulah sebabnya wajah Zakia tampak murung saat ditanya oleh Hilda, ia ingin melanjutkan sekolah di mana?
Bukan tidak ingin baginya meraih cita dan cinta di masa putih abu-abu. Akan tetapi, garis keras sudah mewanti di hadapannya kini. Terlebih lagi, hari ini adalah ulang tahunnya. Gadis itu paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya mampu tertunduk pasrah, ia tidak bisa mengelak walau enggan sekali pun.
"Ayah, Bunda!" sapa Zakia sesampainya di depan aula gedung. Napas gadis itu terdengar tersengal, mungkin lelah karena habis berlari.
"Dari mana saja kamu?" tanya seorang wanita paruh baya. Wanita itu tampak sangat cantik dan awet muda. Wajahnya pun sangat mirip dengan Zakia.
"Abis di belakang panggung, Bun. Tadi ngobrol sebentar sama Hilda."
Murni mengangguk paham. Ia sangat mengenal Hilda seperti apa, anak itu sudah sering main ke rumahnya. Setiap kali ada tugas kelompok atau hari libur, Hilda lebih memilih menyambangi rumah Zakia daripada ikut mama-papanya berlibur ke luar kota.
Sebab, Hilda tahu seperti apa kerasnya kehidupan keluarga Zakia. Terlalu banyak aturan membuat Zakia seolah-olah berada di dalam penjara. Namun, gadis itu tidak tahu bahwa Zakia akan dinikahkan jika usianya sudah genap delapan belas tahun dengan lelaki pilihan keluarganya. Bukan, lebih tepatnya pilihan neneknya.
"Sudah 'kan, mainnya? Yuk, pulang," ajak Murni lemah lembut. Zakia menunduk manut, sedangkan pria setengah abad di samping Murni hanya bertingkah layaknya robot. Tidak banyak berucap, lebih cenderung pendiam dan penurut.
Hal itu mungkin terdengar aneh di kalangan masyarakat, tetapi tidak di kalangan keluarga besar Murni. Hal itu sangatlah lazim. Karena sejak zaman nenek moyang mereka sudah begitu. Ada hal rahasia yang tak diketahui publik, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Salah satunya adalah Murni, karena ia sudah mengalaminya sendiri.
Kini ketiganya sudah berada di dalam mobil sedan berwarna silver. Sejenak keheningan tercipta, Murni larut dalam pikirannya yang entah ada di mana. Sedangkan Hardi, suami Murni, memilih fokus pada jalanan yang ramai dipadati pengendara.
"Sayang, nanti jangan kaget, ya? Kalau sudah sampai di rumah," ujar Murni berbisik di telinga Zakia.
"Hmm ...." Zakia bergumam pelan dengan napas lelah, gadis itu memejam saat musik degung diputar keras oleh Hardi.
Entah kenapa selera musik mereka sangat aneh dan kuno. Padahal, ada banyak sekali jenis musik yang dapat dinikmati setiap hari, dibandingkan dengan musik degung yang terdengar kolot dan membosankan. Biasanya musik ini diputar pada saat acara hajatan atau acara-acara tertentu seperti pentas seni; tari jaipong, pewayangan dan semacamnya. Entahlah. Keluarga itu memang sedikit aneh.
"Lingsir wengi ...."
"Loh, aku ada di mana?"
Gadis itu menggaruk tengkuk leher dengan tatapan heran. Aneh saja. Padahal, tadi ia hanya memejam karena bosan mendengar musik degung, lalu sayup-sayup terdengar suara seorang wanita bersenandung. Namun, saat membuka mata ia malah berada di tempat asing.
"Ayah ... Bunda?" Zakia tampak celingukan dengan wajah bingung. Ia mendapati dirinya ada di sebuah hutan pinus yang dipenuhi kabut asap tebal. Semuanya tampak gelap, tetapi samar-samar gadis itu datap menangkap sesosok wanita tengah menari di kejauhan dengan gemulai seraya bersenandung, "Lingsir wengi ... dadiyo sebarang ...."
Rasa penasaran yang membuncah membuat Zakia berjalan pelan menyusuri gelapnya malam. Dersik daun kering yang gadis itu injak memecah keheningan. Tepat setelah kakinya melangkah di hitungan ketiga, sosok perempuan itu berbalik seraya menyeringai licik. Sosok itu tampak menyeramkan dengan mata membusuk, tubuhnya sedikit bengkok dengan rahang yang sudah rusak.
Sosok perempuan itu perlahan mendekat dengan kaki setengah diseret, membuat Zakia membelalak terkejut. Tubuh gadis itu membeku di tempat. Zakia hendak menjerit, tetapi suaranya tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Debaran jantung gadis itu terdengar memburu saat selendang merah menyala yang dikenakan sosok itu mulai melilit lehernya.
"Ukh ...." Napas Zaskia mulai tersengal. Ia berusaha keras melepas kain merah berbau anyir di lehernya, tetapi nihil. Kain itu makin mejerat lehernya dengan kuat. "Le-pas-kan ...."
"Aarrgghh!" Teriakan memilukan menggema di udara. Gadis itu mengejang, perlahan mata lentiknya terpejam seiring dengan tubuh yang melayang di udara. Ia hampir mati kehabisan napas. Rasa sakit yang amat menyiksa membuatnya tak berdaya.
"Gadis yang malang ... matilah bersamaku," lirih sosok itu, tetapi sangat menyayat telinga. "Hihihi ...!"
Tawa cekikikan sosok itu terdengar melengking terbawa sapuan angin. Tampak lidahnya menjulur panjang berwarna hijau dan berbau busuk, sangat menyengat. Sosok itu menjilati tubuh Zakia penuh minat. "Bau tubuhmu enak sekali. Santapan yang lezat."
"Tidaaak ...!"
Zakia bangkit dari tidurnya dengan napas terengah-engah, seperti habis lari maraton sebanyak sepuluh putaran. Keringat dingin membanjiri wajah cantiknya. Dengan gerakan cepat ia meraba lehernya yang terasa sakit.
"Ah, rupanya cuma mimpi." Ada sedikit kelegaan yang terdengar dari helaan napasnya yang memburu.
Ia menatap ayah dan bundanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing di kursi depan, sementara dirinya tengah berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup cepat. "Mimpi apa itu? Kenapa rasanya terasa nyata? Padahal aku cuman tidur sebentar aja," gumamnya bermonolog.
"Sayang, kamu kenapa?" Murni yang sudah bersiap membuka seat belt berbalik dengan alis bertaut. Pasalnya teriakan Zakia terdengar memilukan. Terlebih lagi raut wajah gadis itu terlihat sangat ketakutan. "Are you okay, Dear?" tanyanya memastikan.
Zakia yang masih berusaha menenangkan degup jantungnya itu lantas mendongak, lalu menggeleng dengan seulas senyum penuh keraguan. "Eng-gak kok, Bunda ... aku cuma kecapekan aja," jawabnya berbohong.
Hardi yang sedari tadi diam memperhatikan pun akhirnya melirik Zaskia yang terduduk lesu di kursi belakang melalui kaca spion dengan bibir menyeringai. Tatapan lelaki itu tampak tajam. Dengan ekspresi datar lelaki setengah abad itu berucap, "Kita sudah sampai, Sayang. Ayo turun."
Bersambung!
Halo, semuanya. kenalin namaku Sariroh Azzah. Semoga kalian suka dengan cerita Darah Sang Dara. Sekadar info, bahwa sebenarnya novel ini sudah terbit. Tapi setelah mendapat saran dari pihak GN, ada sedikit revisi mengenai nama dan usia tokoh. Demikian juga dengan adegan yang tidak ada di novel. Terima kasih sudah mamir>.<
Malam pun tiba, purnama telah menampakkan seberkas cahayanya. Pesta ulang tahun kini digelar, berdebum melodi musik mengalun dengan begitu merdu. Suasana bising nyaris membuat gendang telinga pecah, nyeri dan berdengung.“Sudah siap?” Murni bertanya pada Zakia dengan seulas senyum. Dia berdecak kagum, anak gadisnya itu bak seorang putri raja pada malam ini.Gaun merah delima selutut membalut tubuh mungil Zakia, dengan surai hitam sepinggang yang dibiarkan tergerai. Sebuah bando pita berwarna senada dengan gaun tampak menghiasi kepalanya. Beberapa pernak-pernik pun menghiasi tubuhnya dengan anggun. Gadis itu tersenyum manis, kemudian mengangguk pelan.“Yuk, ke bawah,” ajak Murni seraya mengulurkan tangan. Zakia menerimanya dengan ragu, tanpa mengucap sepatah kata.“Itu Zakia Anastasia? Sungguh luar biasa!”“Sangat anggun dan memesona.&rdqu
Semilir angin pagi berembus meraba dinding kulit hingga ke tulang. Zakia terduduk di tepi jendela sambil menatap luasnya hamparan kebun yang mengelilingi rumahnya. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, saat first kiss-nya dirampas tanpa perasaan cinta.Tangan mungil itu tidak henti-hentinya memainkan bibir merah muda alaminya. Sedari semalam ia berusaha menghapus jejak Arga di sana, tetapi rasanya percuma saja. Sebab, bayangan mengerikan itu terus-menerus terlintas di kepalanya."Ughh ... menjijikkan!" Zakia meracau tidak jelas seraya menampar bibirnya sendiri cukup keras. Sungguh, bayangan semalam membuat dirinya sangat ingin hilang ingatan.Bagaimana mungkin ciuman pertamanya dirampas dengan semudah itu. Ia dapat mengingat dengan jelas bagaimana deru napas lelaki itu semalam. Permainan menjijikan yang anehnya membuat sekujur tubuh Zakia dijalari perasaan panas membara. Entah, ia sendiri tidak tahu perasa
"Sayang, tolong buka pintunya. Sarapan dulu, yuk!" Sudah tiga puluh menit Murni berdiri di depan pintu bercat putih itu. Namun, ia tak mendapati sahutan dari dalam. Zakia sudah merajuk sejak dua jam yang lalu. Wanita itu mendesah berat dengan tangan memegang nampan berisi susu dan roti berlapis selai cokelat, kesukaan putri semata wayangnya. Pintu terus saja diketuk dengan lembut, membuat wanita berambut sebahu itu dirundung cemas. Ia hanya takut Zakia kenapa-kenapa di dalam. Apalagi jika mengingat riwayat mag yang diderita gadis remaja itu. "Bi Ijah, tolong kemari sebentar." Murni memanggil wanita yang berkisar lima puluh tahun. Wanita itu tidak sengaja melewati kamar Zakia hendak turun, setelah membersihkan kamar di ujung ruangan. "Iya, Nya, ada apa?" Wanita itu berjalan dengan tergopoh-gopoh, lantas menunduk hormat. Tampak wajahnya sudah dipenuhi keriput dengan raut lelah. &n
“Nina, jangan lari kamu!” Seorang bocah perempuan berusia tujuh tahun terlihat berlari-lari di tengah kebun karet. Terdengar dersik daun kering saling bergesekkan. Gadis kecil itu tertawa dengan riang kala seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun mengejarnya di belakang. “Kena ...!” teriak bocah laki-laki itu menepuk pundak Nina. “Sekarang giliran kamu yang jaga.” “Yah ... gak seru, ah!” rajuk bocah perempuan berambut sebahu itu. “Kamu jangan curang, dong! Masa dari tadi aku terus yang jaga.” Bocah laki-laki sembilan tahun itu memutar tubuhnya, berjalan menuju gubuk tua dengan perasaan dongkol. Si bocah perempuan mengentak-entakkan kaki, merasa belum puas bermain. “Sudah, sudah, berhenti bermain. Sekarang, tolong bantu kakak mengambil air di sungai.” Seorang perempuan muda terlihat tergopoh-gopoh mengangkat setumpuk ranting kering menggunakan kain se
Semburat jingga telah menjelma menjadi kelabu. Sore telah berganti malam. Amanda menyalakan lampu teplok menggunakan korek api untuk menerangi gubuk tua itu agar tidak terlihat menyeramkan, apalagi ketika terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Bising suara hewan saling bersahutan. Terlebih suara burung hantu yang terdengar menakutkan. Menjadi perempuan pemberani sudah ditanamkan orang tuanya sejak dini, sehingga suara-suara yang mengganggu di luar diabaikannya. Bahkan, makhluk tak kasat mata pun sering kali dijumpainya. Perempuan cantik itu duduk di atas dipan kayu seraya memandang tubuh kurus adik-adiknya yang tidur meringkuk tanpa alas. Perempuan muda itu menepuk-nepuk tangan di udara, mencoba membunuh nyamuk yang sedari tadi mengganggu tidur kedua adiknya. Dia duduk bersandar pada dinding kayu, remang cahaya lampu teplok bergoyang pelan karena tertiup angin. Malam semakin larut, dingin menyapa kulit
Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti
Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah
Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu
“Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo
Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri
Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah
Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak
Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng
“Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa
Amanda terperangah melihat kondisi Nina yang terbujur lemah di atas tanah. Seekor ular belang berhasil menggigit kaki adiknya. Perempuan itu menangis tersedu, lalu memangku sang adik dengan perasaan bersalah. Salah karena dirinya terlalu hanyut dalam suasana. Tidak ada waktu lagi bagi Amanda untuk berpikir walau sejenak, Nina harus segera ditangani oleh tabib. Jika tidak, tamat sudah riwayat hidupnya. “Rangga, ayo kita ke desa!” ajak Amanda panik. Perempuan itu berjalan dengan tergesa-gesa, melihat kaki mungil Nina mulai membiru. “Kak ... panas, Kak,” lirih Nina menahan sakit. Bocah berambut hitam sebahu itu memejam, keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya. Perlahan tetapi pasti, imun dalam tubuhnya menurun. Bisa ular itu mulai menyebar. Di tengah perjalanan, Amanda menurunkan tubuh Nina dalam pangkuannya. Lekas ia pun menyuruh Rangga untuk memangku Nina terlebih dulu. Kain sarung bermotif batik itu
Dalam kegelapan, Zakia kelimpungan mencari jalan keluar. Semua tampak hitam dan menyeramkan. Gadis itu terus saja berlari dengan napas terengah-engah. “Halo, adakah orang di sini?” Kepalanya celingukan ke sana kemari. “Siapa pun, tolong aku ...!” jeritnya pilu. Air mata tumpah ruah membasahi pipi. Semuanya tampak gelap, ketakutan menguasai dirinya. “Bunda ... Kia takut,” cicitnya, menggigit bibir bagian bawah. Zakia terus saja berlari mengitari ruangan kosong bagai labirin yang tak memiliki ujung. Kabut asap tipis memenuhi ruangan, gadis itu menyipitkan mata kala sebuah cahaya masuk menerangi ruangan gelap dan pengap itu. “Siapa di sana?” selidik Zakia mengepalkan tangan. Sesosok hitam perlahan mendekat, tak menggubris teriakan gadis di depannya. Ia terus saja berjalan mendekat, terus mendekat, hingga membuat gadis itu bergeming di tempat. Kerongkongan Zakia seolah-olah
Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia. Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya. Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya. Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan anti