52. Waktu Bersama KelabuAku tersenyum kecil ketika melihat wajah Kelabu yang terlihat begitu serius sekarang. Kerutan di dahinya tidak membuat kadar ketampanan cowok itu pudar. Seakan tahu tengah kuamati, ia menoleh membalas tatapanku dengan senyum manisnya. Seketika tubuhku yang sejak tadi bertopang dagu untuk nyaman dalam melihat sosoknya menegang. Waktu seakan berhenti, suasana seakan hening. Hanya terdengar detak jantungku yang semakin menjadi-jadi. Kedua pipiku pun sudah terasa begitu panas. Terlebih ketika Kelabu malah mendekatkan wajahnya ke arahku. Dengan santai dia menempelkan hidung mancungnya dengan hidungku. Menggeseknya pelan membuatku semakin memanas. Ingin rasanya menjerit, tetapi mengingat kini tengah jam pelajaran membuatku menggigit kuat bibir bawahku. "Jangan dilihatin terus, aku ga bakal hilang, Ra." Bisikan lembut Kelabu berhasil membuatku menahan napas. Kelabu terkekeh kecil. Dia lantas kembali menarik wajahnya, menjauh dari wajahku. Masih dengan tawa kecilny
53. Dejavu"Pulang sama gue."Sontak aku melotot terkejut. Tidak mengerti dengan apa yang kini berada di dalam pikiran cowok itu. Bisa-bisanya dia menyuruhku bahkan memaksaku untuk pulang dengannya yang memiliki status calon tunangan dari sepupuku sendiri? Kewarasanku untung saja masih ada, jika tidak mungkin cowok di depanku yang kini telah berdiri di depanku dengan melipat kedua tangannya di depan dada itu sudah tersungkur karena aksi bogeman kesal dariku sendiri. Bahkan, kedua tanganku rasanya sudah sangat gatal untuk tidak memberikannya pelajaran. Iqbal gila! Dia gila dengan santainya menawarkan hal itu bahkan ketika dia masih berada di depan rumah kekasihnya sendiri. "Sinting," gumamku pelan. "Lebih sintingan lo kalau lo masih kekeuh ga mau pulang bareng sama gue." Aku terhenyak mendengar nada rendah penuh penekanan cowok itu. Bisa-bisanya dia mengataiku sinting tanpa alasan yang jelas?! "Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih," jawabku cepat enggan berlama-lama berhadapan deng
54. Paket MisteriusSeusai sampai di rumah sakit yang kutuju. Langsung saja aku berlari cepat mencari nomor ruangan yang juga telah diberitahu Rai sebelumnya. Kepalaku bergerak, melihat setiap nomor-nomor ruangan yang kulewati. Sesekali kuhentikan langkahku ketika di persimpangan, mencoba menimang-nimang jalan mana yang harus kupilih. Untungnya, tidak lama kemudian sosok Rai terlihat. Tidak hanya Rai, Tante Oliv pun juga terlihat. Melihat keduanya, aku kembali berjalan cepat, mendekat. "Gimana keadaan Iqbal, Mommy?" tanyaku kepada Tante Oliv. Tante Oliv menoleh, tersenyum tipis menyadari kehadiranku. Senyuman itu hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya tatapan sendu di wajah cantik wanita itu tercipta, menatap ke arah pintu ruangan di depan kami. "Kritis." Satu kata itu berhasil membuatku terdiam. Tangis Rai masih terdengar. Sesekali Tante Oliv memberikan kalimat penenang untuk menenangkan putrinya. Melihat Rai yang begitu kacau membuatku ikut sedih. Dengan pelan, kudekatkan diri
55. Foto PetunjukKucengkeram erat kertas tersebut. Sekali lagi, aku mendapatkan pesan yang tidak bisa kucerna. Otakku terasa penuh untuk berpikir keras mencoba memecahkan arti di setiap kalimat yang tertera. Hingga tatapanku teralih ke sebuah amplop berukuran cukup besar. Tidak ada tulisan di sana. Dengan segera kubuka amplop tersebut dan menunjukkan beberapa buah foto. Aku mengernyit ketika menyadari bahwa semua foto tersebut adalah tangkapan diriku yang diambil dari jarak cukup jauh. Setelah kucermati lebih teliti, semua adegan dan tempat yang tertangkap pada foto tersebut membuatku terdiam. Terlebih ketika sebuah foto terakhir yang menampilkan adegan diriku kemarin sore. Di sebuah taman belakang sekolah. Ingatan itu masih segar di pikiranku. Istirahat kedua, aku di sana bersama Kelabu. Menghabiskan waktu bersama dengan berbincang dan menikmati kue kering buatan mamaku. Tetapi, entah mengapa di dalam foto itu hanya ada diriku. Padahal, aku ingat betul saat adegan di dalam foto it
56. Obrolan yang BeratIqbal masih belum juga menunjukkan tanda-tanda akan membuka matanya. Hal itu membuat Rai yang semula berhasil tertawa lepas kembali termenung. Sepupuku itu sudah hampir satu jam menutup mulutnya, setia memegang tangan kanan sang kekasih, berharap pujaan hati segera kembali menyapanya lagi. Kuusap lembut bahu kanan Rai, mencoba menyemangatinya. Rai menoleh, tersenyum tipis. Di ruang yang berukuran cukup besar itu hanya ada diriku dan Rai. Keluarga Iqbal hanya bisa menjenguk sejenak karena sang mama yang harus merawat sang nenek dan ayah yang harus kembali ke perusahaannya. Sedangkan Iqbal sendiri adalah anak satu-satunya seperti, Rai. "By the way ayo cerita soal tadi di sekolah, gue hampir lupa," ucap Rai membuatku terdiam. Sedangkan Rai sudah menuntunku menuju ke sofa mewah yang tersedia di ruangan itu. "Kemarin aku dapat paket dari seseorang," balasku gamang. Pikiranku kembali melayang ke kejadian kemarin di mana bibi tiba-tiba memberikan sebuah kotak berwarn
57. Tetap Menjadi Bu BosEntah apa yang sedang kupikirkan selama ini membuatku tiba di lapangan basket yang letaknya berada di sisi kanan wilayah sekolah. Usai mengerjakan ujian jam terakhir, tanpa sadar aku melangkah hingga sampai ke tempat ini. Suara decitan dan pantulan bola basket membuatku tertarik. Dengan langkah pelan, aku menuju ke tribun penonton, duduk di sana seorang diri mengamati sekumpulan cowok yang tengah bermain bersama. Tetapi, hanya satu yang menjadi pusat perhatianku. Sosok Kelam yang tengah mendribel bola dan menggiringnya dengan cepat lalu melakukan lay-up hingga bola masuk dengan begitu mulusnya ke ring, tertangkap jelas di kedua mataku. Bahkan, ketika cowok itu mulai berjalan ke pinggir lapangan, kedua mataku tidak lepas menatapnya. "Kak Kelam keren banget!"Hingga teriakkan lengking itu membuatku menggerakkan sedikit arah pandanganku. Mendapati seorang gadis yang sudah beberapa minggu ini berstatus sebagai kekasih Kelam. Gladia, cewek itu berlari kecil mengh
58. Dia Pelakunya"Serius woi ini yang bolong masih banyak, siapa lagi yang mau ngisi!"Teriakkan dari sang ketua kelas membuatku reflek menoleh ke arah Rai. Bukankah gadis itu pernah berkata akan mengikuti semua lomba yang berbau olahraga? Lalu, sekarang apa yang dia lakukan? Hanya duduk diam seraya menopang dagu dengan wajah malas. Seakan tidak tertarik dengan semua perlombaan yang bahkan hampir semuanya mencangkup bidang olahraga."Kamu ga jadi ikut, Rai? Itu masih banyak yang kosong lho. Basket, voli, futsal masih kekurangan anggota," celetukku seraya membaca tulisan jenis-jenis perlombaan yang akan diadakan di papan tulis. Ujian telah selesai kami laksanakan kemarin, hingga pada hari ini full jam kosong karena guru-guru tengah rapat dan untuk mengisi kekosongan pada OSIS mengumpulkan masing-masing ketua kelas untuk berkumpul dalam rangka membahas perlombaan antar kelas yang akan diadakan. Dan, berakhirlah kelas ini dalam keadaan sedikit bising karena penolakan para anak-anak kel
59. Tawaran dan PerjanjianSudah hampir satu jam aku bersitegang dengan Kelabu. Tatapan tajam cowok itu masih bertahan hingga sekarang. Kuhembuskan napas panjang, mencoba menenangkan perasaanku yang mulai berkecamuk. Aku tahu, Kelabu cemburu dengan apa yang Iqbal lakukan beberapa waktu yang lalu. Ditambah lagi, aku juga menyetujui bahwa tindakan Iqbal cukup kurang ajar sebab dengan santainya cowok itu menarikku dan memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya tanpa penjelasan dan meninggalkan Kelabu begitu saja yang saat itu bersamaku. Tentu saja aku paham semarah apa Kelabu kepada Iqbal. Tetapi, apakah harus dengan begini? Aku tidak menyukai tindakan Kelabu yang bertindak di luar batas seperti ini. Bahkan, Kelabu hendak membunuh Iqbal di depan mataku sendiri. Memikirkannya membuatku frustasi. Aku tidak percaya bahwa Kelabu akan semarah ini karena rasa cemburunya. "Aku mohon sama kamu, Kelabu. Jangan pernah sentuh keluargaku, dengan imbalan apapun yang kamu inginkan akan aku penuhi." Kel