60. Perlombaan Antar Kelas"Woi, Rai semangat!""Jangan letoy, Rai! Babat habis pokoknya! Senggol aja yang ngalangin lo!""Sayang semangat!"Rai menoleh. Dia dengan semangat mengacungkan ibu jarinya ke arah Iqbal yang duduk di kursi rodanya. Membuat Gelang dan Risky yang memang kebetulan ikut menonton pertandingan bola basket berdecak kesal. Mungkin mereka kesal karena teriakkan mereka tidak dihiraukan oleh Rai, giliran Iqbal yang berteriak barulah gadis itu akan menoleh. Aku yang berdiri di belakang kursi roda Iqbal hanya bisa mengulum senyum geli.Sebenarnya, aku dan Rai sudah melarang keras Iqbal untuk berangkat ke sekolah dengan kondisinya yang baru saja siuman kemarin sore. Tetapi, mendengar jika Rai akan mengikuti pertandingan di sekolah, membuat cowok itu keras kepala dan memaksa untuk berangkat sekolah dengan ancaman tidak mau minum obat jika tidak ikut. Karenanya, kami semua mau tidak mau menuruti kemauan cowok itu. Dan, aku dengan senang hati menawarkan diri untuk mendorong
61. Kejora vs Gladia"Udah-udah jangan dipikirin gue dan yang lainnya yakin lo bisa menang, Ra." Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Rai. Mendengarnya saja mustahil bagiku. Tetapi, jika orang lain percaya mengapa aku tidak bisa percaya pada kemampuan diriku sendiri? Aku mengangguk mantap, menyakinkan diriku sendiri. "Gimana babak finalnya?" tanyaku kepada Rai. Dia melepas rangkulan di pundakku, terlihat sedikit mengingat. "Kalau ga salah nanti setelah jam istirahat. Yah, tunggu aja ada pengumuman dari speaker." Aku hanya menganggukkan kepala saja. Langkah kami kini tertuju ke arah kantin sekolah. Jangan ditanya seberapa penuhnya kantin sekolah sekarang. Bahkan, jika kulihat sudah tidak ada bangku kosong untuk kami duduk, untungnya Dion dan Risky sudah menawarkan diri untuk mencari bangku terlebih dahulu sebelum kami datang ke kantin. Sehingga, di sinilah kami. Duduk di bagian pojok kantin bertujuh denganku. "Kalian ga ikutan lomba?" tanyaku kepada keempat cowok yang sedang asik
62. Kejadian Beruntun Bugh!Bugh!"Kalau ga bisa nangkep bilang pass, gue bantu jagain."Aku mengerjap cepat, cukup terkejut dengan kejadian yang begitu tiba-tiba. Serangan Gladia yang mengarah kepadamu lagi berhasil dibalikkan oleh Diana. Aku tersenyum tipis lalu mengangguk untuk merespon ucapannya. Bugh! "Block!" Priitt! Teriakkan langsung menggema dari pendukung kelasku. Kelasku berhasil mencetak skor dan merebut giliran servis. Aku menggeser tempat, kukirim sejenak ke arah Diana yang tampak fokus menatap lurus ke depan. Setelah, aku ikut menatap tajam ke arah lawan. Mencoba melakukan yang terbaik untuk kelas. Bola kembali melambung tinggi. Berhasil dibalikkan oleh lawan. Dengan sigap kucoba membalikkan bola. Bugh! Aku mengumpat pelan ketika menyadari bahwa seranganku malah melambung lurus ke atas."Pass!"Bugh! "Kyaaa 11 IPS 2! GO! GO!""Satu point lagi untuk 11 IPS 2!"Aku tersenyum lega. Untungnya salah satu teman kelasku yang kukenal bernama Jihan langsung berlari cepat
63. Bukan Kabar BaikLangkahku terhenti ketika mendapati sepasang sepatu berdiri di depanku. Mendongak, mendapati sosok Kelabu yang menatapku tajam. Tanpa sadar kucengkeram kuat sisi rok seragamku. "Udah lupa? Atau memang keras kepala?" tanyanya datar. Aku menggigit bibir bawah. Tentu saja aku ingat. Hanya saja, sungguh aku lupa saat aku bersama dengan yang lainnya. Aku mengumpat pelan di dalam hati. Sudah dipastikan Kelabu marah besar denganku sekarang. Aku tersentak ketika merasakan seseorang mencengkeram erat tangan kananku. Aku meringis, belum sempat berucap Kelabu terlebih dahulu menarikku dengan kasar. Aku memilih diam, takut jika aku memprotes kemarahan Kelabu semakin membludak. Aku bersyukur, Kelabu rupanya membawaku ke rumah. Terlihat dari jalan yang dia ambil. Setidaknya rasa takutku berkurang sedikit. Kini hanya memikirkan cara agar Kelabu memaafkanku. Pantas saja di sekolah dia tidak terlihat, rupanya dia tengah marah besar denganku. "Masuk." Kelabu melepaskan cekala
64. Kejora–Kelam–GladiaAku meringis melihat wajah tampan Vino yang sekarang ini terhiasi banyak lembam kebiruan. Tidak sedikit juga sampai mengeluarkan cairan merah kental walau hanya sedikit. Tetapi, melihatnya saja membuatku ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh cowok itu. Dengan tangan sedikit gemetar, dengan hati-hati kuobati setiap luka lembam yang terdapat di wajahnya. Vino sendiri masih bisa bersikap tenang. Bahkan, cowok itu tidak terlihat meringis setiap luka yang coba kuobati. Malah aku sendiri yang sejak tadi meringis. "Kok bisa sih?" tanyaku yang sudah gatal untuk mengetahui alasan dari keadaan Vino sekarang ini. Perasaan, Vino bukan tipe anak yang banyak tingkah dan akan membuat orang lain kesal. Jadi dalam kata lain, musuh Vino tidak sebanyak itu hingga membuat wajah cowok di depanku ini akan bonyok seperti sekarang. "Genk Paradon." Aku seketika menoleh ketika mendengar suara yang tidak asing lagi bagiku. Kelam datang dengan pakaiannya yang sedikit basah. Sebab,
65. Tidak Ada Hubungan Apa-apa"Apaan? Balet? Yang bener aja gue sih ogah!"Aku mengembuskan napas kasar ketika mendapatkan penolakan tegas dari Gladia. Jika saran dariku ditolak apalagi yang akan kami tampilkan nanti? Sudah satu jam dan kami belum bisa menentukan jenis pentas apa yang akan kami tampilkan esok. Kelam sendiri sejak tadi tidak mengeluarkan suaranya. Cowok itu dengan santai duduk seraya menatapku dan Gladia yang sibuk beradu argumen. "Udahlah, drama aja. Gue jadi putrinya, Kelam jadi pangerannya," ucap Gladia enteng. Aku mengerutkan dahi. "Terus aku?" tanyaku kesal. "Lo jadi pelayan pribadi gue juga gapapa." Sialan! Mencoba menekan emosi yang mulai tersulut, aku lebih baik memutuskan mendengarkan musik dengan earphone. Untungnya aku sempat membawanya tadi sebelum berangkat ke sekolah. Dengan begini, setidaknya aku tidak mendengar suara cempreng Gladia atau cerocosan lainnya. Aku sudah muak dengan cewek di depanku ini. "Dance."Suara Kelam membuatku menoleh ke arahny
66. Bertemu Orang Tua Kelam"Aw! Yang bener dong!""Kalau ga bisa dance mending ga usah ikutan!"Aku mengembuskan napas panjang, harus bersabar menghadapi sikap Gladia. Padahal, jika dilihat sesuai kesepakatan, tempatku berdiri sekarang sudah benar, Gladia-nya saja yang bergerak mengambil tempatku saja. Jadi, jika aku tidak sengaja menabrak dirinya apakah aku yang disalahkan mengingat tempatku berdiri benar sesuai kesepakatan sebelumnya? "Kamu yang pindah tempat, Gla." Aku bersuara mencoba membela diri. "Halah kalau ga bisa ngaku aja, jangan nyari kesalahan orang lain!"Lho? Sejak tadi yang sibuk mencari kesalahan orang lain kan dirinya sendiri. Mengapa gadis itu tidak bercermin sama sekali? Mencoba tetap sabar mengingat sekarang aku berada di rumahnya. Jika aku salah sedikit saja sudah dipastikan akulah yang akan terlihat bersalah di mata semua orang di sini. Ditambah lagi banyak pelayan yang mondar-mandir mengamati pelatihan kami. "Fokus!"Seruan Kelam barulah membuat Gladia menu
67. Kehangatan Keluarga "Om kenal sama mama?" tanyaku hati-hati. Papa Ajun tertawa renyah dia mengangguk membenarkan. "Siapa yang ga kenal Pita? Rivalnya mama Iris waktu SMA dulu," bisik ayah Kelam tersebut kepadaku. Aku tersenyum kikuk ke arah mama Kelam yang terlihat kini tengah melotot kesal kepada ayah Ajun. Tubuhku bergeser ketika Kelam menarikku untuk duduk di sofa lain. Dengan segera aku menurut, tidak mau terjebak di tengah-tengah orang dewasa yang akan mengalami perang rumah tangga. "Aku sama Pita udah baikkan ya, Pa! Jangan diungkit-ungkit lagi!" Mama Iris mencebikkan bibirnya kesal. Aku sedikit tersentak ketika Kelam dengan santai membawa kepalaku ke dada bidangnya. Sehingga membuat posisi dudukku sedikit miring. Dengan lembut dia mengusap surai panjangku, sesekali memainkannya di jari telunjuknya. "Kita nonton aja, seru tuh," bisiknya membuatku terkekeh pelan. Sepertinya Kelam tidak takut jika nanti mendapatkan amukan dari kedua orang tuanya karena ucapannya tadi. "
94. Ending "Maaf, ini calon tunangan ceweknya mana ya?" Tante Oliv yang tengah disibukkan dengan sambungan teleponnya seraya mengatur para maid di mansionnya dibantu oleh Kejora yang sudah datang pagi-pagi buta pun terdiam. Begitu pula dengan Kejora yang berdiri tidak jauh dari wanita paruh baya itu. Terkejut dengan pertanyaan tim perias, pasalnya jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dua jam lagi acara pertunangan putrinya dengan sang kekasihnya-Iqbal akan segera digelar. "Lho emang dia belum nemuin mbaknya?" Tante Oliv melempar pertanyaan yang langsung mendapat gelengan polos dari tim perias. Wanita paruh baya itu tampak menggerutu, samar-samar nama Rai disebut-sebutkan. Wanita itu kesal sekaligus gemas dengan putrinya. Apakah Rai belum kunjung bangun? Padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja membangunkan putrinya dan Rai menjawab akan segera turun. Karena itulah dia pikir putrinya itu sudah bangun sejak tadi. "Ra, tante minta tolong bangunkan Rai ya?" Kejora lan
93. Menuju EndingSuara tawa dan drum yang ditabuh begitu kencang meramaikan sebuah lapangan sekolah yang begitu luas di SMA Bakti Sakti. Semua murid bersorak, menyambut kelulusan mereka. Banyak murid berlalu-lalang saling mencoret seragam putih biru mereka. Satu-dua menyalakan bom asap yang penuh warna. Ada juga yang mengabadikan acara tersebut dengan berfoto bersama, seperti yang tengah dilakukan Kelam dan sahabatnya, plus Iqbal yang sudah mereka anggap sebagai anggota ke-enam mereka."Harus kaya gini gayanya?" tanya Kelam menatap sinis Risky, Gelang dan Dion yang menjadi akal untuk berfoto bersama.Sebenarnya tidak masalah untuk fotonya tetapi pose yang dirancang tiga cecunguk itu membuat Kelam jengah. Pasalnya mereka berenam akan melakukan pose membentuk sebuah bintang segi enam dengan tangan mereka yang saling menyentuh sama lain. Menurut Kelam pose mereka terlalu berlebihan, tetapi tiga cecunguk sahabatnya itu menyanggah dengan jawaban yang membuat Kelam semakin muak."Gue mau k
92. Bahagia yang SederhanaDua minggu telah berlalu. Dua minggu yang berhasil membuat semua murid SMA Bakti Sakti menjerit karena ujian serta ulangan yang mereka hadapi. Karenanya minggu ini langsung disambut pekikan senang dan hembusan lega dari mereka semua termasuk segerombolan anak yang kini duduk meligkar di atas rooftop sekolah. Sembilan remaja itu terlihat saling melempar sendau gurau satu sama lain. Di tengah lingkaran yang mereka buat sudah tertata banyak beberapa jenis makanan ringan."Ga kerasa ya cuma tinggal hitungan jari kita bakal lulus," celetuk Risky membuat tawa yang semula menemani mereka seketika lenyap tergantikan dengan keheningan. Mereka semua mulai terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing, memikirkan jalan mana nantinya yang akan mereka tempuh setelah resmi keluar dari status anak SMA."Kalian mau lanjut ke mana?" Riyan yang bertanya.Ternyata cowok itu tidak sekaku dan segalak yang terlihat dari tampangnya. Cowok itu cukup ramah dengan caranya sendiri wala
91. Kilas Kisah GelangKelam mengerutkan dahi menatap frustasi soal-soal yang tertera di depannya. Begitu panjang dan rumit. Bahkan Kelam bisa membayangkan adanya wajah meledek pada kertas berisikan soal yang kini dia genggam dengan erat. Berdecak pelan, sekilas melirik ke arah teman-temannya berada yang tampaknya juga mengalami gejala stress akut. Terlihat sekali dengan adanya asap yang mengepul keluar dari kepala mereka. Oke, kalimat terakhir tadi hanyalah bayangan imaji yang Kelam ciptakan."Psstt lihatin jawaban Vino di kelas sebelah dong, Tan.""Kelam Putra Arjuna!"Teriakkan menggema itu membuat Kelam seketika mendatarkan kembali wajahnya. Mengangkat wajah menatap lempeng guru pengawas yang rupanya berhasil menangkap basah dirinya tengah berceloteh. Mempertahankan wajah sok coolnya, walau tengah menjadi pusat perhatian murid lainnya, Kelam mencoba tenang."Berbicara dengan siapa kamu?" tanya sang guru pengawas tajam."Tidak ada."Di dalam hati remaja cowok itu merutuki sang guru
90. Belajar Bersama"Ini soalnya pendek tapi kenapa caranya panjang bener dah."Basecamp kali ini telah diramaikan dengan gerutuan dan protessan dari bibir Dion, Risky, Gelang, dan Rai. Sedangkan Vino, Iqbal dan Kejora sudah beralih profesi menjadi mentor belajar mereka. Sebab nilai dan peringkat mereka jauh lebih unggul daripada yang lainnya. Sedangkan Kelam? Cowok itu tampak diam seraya menatap buku LKS yang jarang dia buka. Oh ayolah bahkan dia sentuh saja jarang. Sebenarnya dia ingin mengeluarkan sumpah serapah dengan materi mapel matematika yang tengah dia pelototi itu. Tetapi hanya untuk menjaga image di depan Kejora, cowok itu memilih diam dan seakan-akan mampu menguasai materi tersebut.Walau begitu ada sepasang mata yang tidak bisa dia bohongi. Vino menggeleng pelan melihat tingkah ketuanya itu. Dapat dia tangkap jelas dahi cowok itu yang tampak menegang sesekali mengerut karena menahan kekesalan. Walau begitu dia tidak mau membuat sang sahabatnya itu merasa malu karena kepur
89. BerdamaiDi sinilah Kelam sekarang. Berada di lapangan sekolahnya yang amat luas. Berlari mengelilingi lapangan tersebut ditemani dengan seorang guru laki-laki dengan peluit di bibirnya yang terus bersuara, menyuruh Kelam untuk terus berlari. Kelam berdecak, dia mengusap dahinya dengan kasar. Mentari yang entah bagaimana bisa tiba-tiba bersinar dengan teriknya, padahal tadi pagi jelas-jelas langit kelabu menghiasi. "Sialan, kenapa tiba-tiba jadi panas gini sih," gerutunya seraya mengusap peluhnya yang telah membasahi kaos hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Dia memang sengaja menanggalkan baju seragamnya agar tidak ikut bau keringat nantinya. "Ayo dua putaran lagi!" Kelam semakin kesal ketika seruan dan suara peluit yang terus mengganggu indera pendengarannya. Karena tertangkap basah melamun di jam pelajaran Bu Tuti, dia berakhir dihukum seperti ini. Dan sialnya, ada Pak Joko yang terus mengawasinya sehingga membuatnya tidak bisa kabur dari hukuman. "Bagus. Besok lagi diu
88. Dimabuk Cinta"Ra."Kejora menoleh, menunggu ucapan Kelam yang ingin cowok itu ucapkan. Cowok itu mendekat, tanpa aba-aba mendekap tubuh mungil gadis itu. Berhasil membuat sang gadis mati kutu karena gugup. Ditambah lagi debaran keduanya yang semakin keras membuat keduanya sama-sama terhanyut dalam kehangatan. Rona merah menjalar pada kedua pipi Kejora, membuat gadis itu semakin manis di bawah sinar rembulan. "Makasih untuk malam ini," bisik Kelam. Kejora hanya mengangguk kecil, terlalu takut jika dia membuka suara, suaranya tergagap karena gugup. "Besok pagi aku jemput kaya biasa." Lagi-lagi Kejora hanya bisa mengangguk menurut. Kedua mata gadis itu terpejam ketika Kelam memberikan kecupan hangat di dahinya. Sekali lagi getaran itu membuat keduanya semakin terhanyut. Sebelum suara deheman dari seseorang membuat adegan romantis itu seketika hancur. "Bagus ya main nyosor-nyosor anak mama. Sudah siap kamu nikahin putri mama, Kelam?" Kelam menyengir lebar. Kepergok calon mertua
87. DinnerMelihat keadaan kamarnya yang tampak lenggang membuat Kejora termangu di depan pintu kamar. Ingatannya menerawang, kembali mengingat kenangannya dengan Kelabu selama ini. Sosok khayalan yang selama ini menemaninya di saat sepi menyapa. Sosok yang berhasil membuatnya terhanyut ke dalam pesonanya. Sosok yang selama ini nyata dengan kesempurnaan yang dia miliki, bahkan sosok yang selama ini berhasil masuk ke dalam relung hatinya sebelum kedatangan Kelam.Menghela napas panjang. Lekas dihapusnya ingatan itu. Bukan karena dia marah atau bahkan menyesal mengenal sosok Kelabu. Tetapi karena dia teringat akan janjinya kepada sang mama untuk melupakan semuanya. Melupakan semua tindakan bodohnya yang bermain-main dengan imaji. Menggelengkan kepalanya, gegas Kejora menutup pintu kamarnya dan segera turun ke lantai dasar. Dicengkeramnya erat tas selempang yang dia kenakan. Bagaimana pun sekarang dia harus mulai bisa melupakan semua kenangan tersebut. Dia harus ingat akan dunianya sendi
86. Balikan? Kejora dibuat terkejut ketika langkahnya baru saja menginjak keluar kelas tetapi harus mendapati sosok Kelam yang menyandar pada dinding kelasnya. Ditambah lagi dengan tatapan yang mengarah kepadanya membuat Kejora ingin sekali pergi jauh dari sana. Sedangkan sang pelaku malah tersenyum kecil, dengan santainya digenggamnya tangan kiri Kejora dan membawanya menuju ke kantin. Meninggalkan Rai yang melongo, hanya bisa menatap kepergian mereka. Padahal, niat hati dia ingin pergi ke kantin bersama sepupunya tersebut. Jika tahu begini, dia juga meminta dijemput sang kekasih. "Ah resek emang," dengusnya membuat tawa Diana yang memang masih di dalam kelas terdengar. Menertawakan nasib gadis itu. "Diem lo cabe," ketus Rai. Dengan menghentakkan kakinya menahan kesal, dia berlalu menuju ke kantin seorang diri. Kembali kepada Kejora dan Kelam. Kedatangan mereka di kantin langsung menjadi pusat perhatian. Ditambah lagi dengan genggaman tangan Kelam pada tangan Kejora, berhasil men