62. Kejadian Beruntun Bugh!Bugh!"Kalau ga bisa nangkep bilang pass, gue bantu jagain."Aku mengerjap cepat, cukup terkejut dengan kejadian yang begitu tiba-tiba. Serangan Gladia yang mengarah kepadamu lagi berhasil dibalikkan oleh Diana. Aku tersenyum tipis lalu mengangguk untuk merespon ucapannya. Bugh! "Block!" Priitt! Teriakkan langsung menggema dari pendukung kelasku. Kelasku berhasil mencetak skor dan merebut giliran servis. Aku menggeser tempat, kukirim sejenak ke arah Diana yang tampak fokus menatap lurus ke depan. Setelah, aku ikut menatap tajam ke arah lawan. Mencoba melakukan yang terbaik untuk kelas. Bola kembali melambung tinggi. Berhasil dibalikkan oleh lawan. Dengan sigap kucoba membalikkan bola. Bugh! Aku mengumpat pelan ketika menyadari bahwa seranganku malah melambung lurus ke atas."Pass!"Bugh! "Kyaaa 11 IPS 2! GO! GO!""Satu point lagi untuk 11 IPS 2!"Aku tersenyum lega. Untungnya salah satu teman kelasku yang kukenal bernama Jihan langsung berlari cepat
63. Bukan Kabar BaikLangkahku terhenti ketika mendapati sepasang sepatu berdiri di depanku. Mendongak, mendapati sosok Kelabu yang menatapku tajam. Tanpa sadar kucengkeram kuat sisi rok seragamku. "Udah lupa? Atau memang keras kepala?" tanyanya datar. Aku menggigit bibir bawah. Tentu saja aku ingat. Hanya saja, sungguh aku lupa saat aku bersama dengan yang lainnya. Aku mengumpat pelan di dalam hati. Sudah dipastikan Kelabu marah besar denganku sekarang. Aku tersentak ketika merasakan seseorang mencengkeram erat tangan kananku. Aku meringis, belum sempat berucap Kelabu terlebih dahulu menarikku dengan kasar. Aku memilih diam, takut jika aku memprotes kemarahan Kelabu semakin membludak. Aku bersyukur, Kelabu rupanya membawaku ke rumah. Terlihat dari jalan yang dia ambil. Setidaknya rasa takutku berkurang sedikit. Kini hanya memikirkan cara agar Kelabu memaafkanku. Pantas saja di sekolah dia tidak terlihat, rupanya dia tengah marah besar denganku. "Masuk." Kelabu melepaskan cekala
64. Kejora–Kelam–GladiaAku meringis melihat wajah tampan Vino yang sekarang ini terhiasi banyak lembam kebiruan. Tidak sedikit juga sampai mengeluarkan cairan merah kental walau hanya sedikit. Tetapi, melihatnya saja membuatku ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh cowok itu. Dengan tangan sedikit gemetar, dengan hati-hati kuobati setiap luka lembam yang terdapat di wajahnya. Vino sendiri masih bisa bersikap tenang. Bahkan, cowok itu tidak terlihat meringis setiap luka yang coba kuobati. Malah aku sendiri yang sejak tadi meringis. "Kok bisa sih?" tanyaku yang sudah gatal untuk mengetahui alasan dari keadaan Vino sekarang ini. Perasaan, Vino bukan tipe anak yang banyak tingkah dan akan membuat orang lain kesal. Jadi dalam kata lain, musuh Vino tidak sebanyak itu hingga membuat wajah cowok di depanku ini akan bonyok seperti sekarang. "Genk Paradon." Aku seketika menoleh ketika mendengar suara yang tidak asing lagi bagiku. Kelam datang dengan pakaiannya yang sedikit basah. Sebab,
65. Tidak Ada Hubungan Apa-apa"Apaan? Balet? Yang bener aja gue sih ogah!"Aku mengembuskan napas kasar ketika mendapatkan penolakan tegas dari Gladia. Jika saran dariku ditolak apalagi yang akan kami tampilkan nanti? Sudah satu jam dan kami belum bisa menentukan jenis pentas apa yang akan kami tampilkan esok. Kelam sendiri sejak tadi tidak mengeluarkan suaranya. Cowok itu dengan santai duduk seraya menatapku dan Gladia yang sibuk beradu argumen. "Udahlah, drama aja. Gue jadi putrinya, Kelam jadi pangerannya," ucap Gladia enteng. Aku mengerutkan dahi. "Terus aku?" tanyaku kesal. "Lo jadi pelayan pribadi gue juga gapapa." Sialan! Mencoba menekan emosi yang mulai tersulut, aku lebih baik memutuskan mendengarkan musik dengan earphone. Untungnya aku sempat membawanya tadi sebelum berangkat ke sekolah. Dengan begini, setidaknya aku tidak mendengar suara cempreng Gladia atau cerocosan lainnya. Aku sudah muak dengan cewek di depanku ini. "Dance."Suara Kelam membuatku menoleh ke arahny
66. Bertemu Orang Tua Kelam"Aw! Yang bener dong!""Kalau ga bisa dance mending ga usah ikutan!"Aku mengembuskan napas panjang, harus bersabar menghadapi sikap Gladia. Padahal, jika dilihat sesuai kesepakatan, tempatku berdiri sekarang sudah benar, Gladia-nya saja yang bergerak mengambil tempatku saja. Jadi, jika aku tidak sengaja menabrak dirinya apakah aku yang disalahkan mengingat tempatku berdiri benar sesuai kesepakatan sebelumnya? "Kamu yang pindah tempat, Gla." Aku bersuara mencoba membela diri. "Halah kalau ga bisa ngaku aja, jangan nyari kesalahan orang lain!"Lho? Sejak tadi yang sibuk mencari kesalahan orang lain kan dirinya sendiri. Mengapa gadis itu tidak bercermin sama sekali? Mencoba tetap sabar mengingat sekarang aku berada di rumahnya. Jika aku salah sedikit saja sudah dipastikan akulah yang akan terlihat bersalah di mata semua orang di sini. Ditambah lagi banyak pelayan yang mondar-mandir mengamati pelatihan kami. "Fokus!"Seruan Kelam barulah membuat Gladia menu
67. Kehangatan Keluarga "Om kenal sama mama?" tanyaku hati-hati. Papa Ajun tertawa renyah dia mengangguk membenarkan. "Siapa yang ga kenal Pita? Rivalnya mama Iris waktu SMA dulu," bisik ayah Kelam tersebut kepadaku. Aku tersenyum kikuk ke arah mama Kelam yang terlihat kini tengah melotot kesal kepada ayah Ajun. Tubuhku bergeser ketika Kelam menarikku untuk duduk di sofa lain. Dengan segera aku menurut, tidak mau terjebak di tengah-tengah orang dewasa yang akan mengalami perang rumah tangga. "Aku sama Pita udah baikkan ya, Pa! Jangan diungkit-ungkit lagi!" Mama Iris mencebikkan bibirnya kesal. Aku sedikit tersentak ketika Kelam dengan santai membawa kepalaku ke dada bidangnya. Sehingga membuat posisi dudukku sedikit miring. Dengan lembut dia mengusap surai panjangku, sesekali memainkannya di jari telunjuknya. "Kita nonton aja, seru tuh," bisiknya membuatku terkekeh pelan. Sepertinya Kelam tidak takut jika nanti mendapatkan amukan dari kedua orang tuanya karena ucapannya tadi. "
68. Dance With You"Kamu pasti bisa! Semangat, Kejora!" Aku tersenyum lebar, menatap pantulan wajahku di kaca. Walau begitu, senyuman itu tidak bertahan lama. Kuhembuskan napas panjang, rupanya menyemangati diri sendiri itu tidak mudah. Sudah sepuluh menit aku berdiam diri di toilet sekolah hanya untuk menenangkan diri yang telah dilanda kegugupan yang luar biasa. Bodohnya aku melupakan satu fakta yang seharusnya tidak pernah kulupakan dalam hidupku. Aku mengidap demam panggung, bagus sekali! Hingga suara pintu yang dibuka kasar membuatku menoleh. Aku terdiam, cukup merasa takut ketika mengetahui bahwa yang memasuki toilet adalah Diana. Dengan segera kumatikan air kran yang sejak tadi menyala. Lalu, berjalan cepat meraih tisu kering untuk mengeringkan kedua tanganku yang basah. Baru saja hendak beranjak, suara Diana membuat langkahku harus berhenti. Cewek itu dengan santai mencipratkan kedua tangannya yang masih basah ke wastafel, lalu meraih tisu kering. Setelahnya, berjalan mende
69. Penolakan "There I was again tonight. Forcing laughter, faking smiles. Same old tired, lonely place. Walls of insincerity, shifting eyes and vacancy."Suara merdu milik Kelam terdengar mengalun indah di indera pendengaranku. Kedua mataku menatap lekat sosoknya yang begitu tampan hari ini. Kedua tangannya begitu lincah memainkan alat musik bernama gitar tersebut. Seakan terpaku, kini yang kulihat rasanya hanya ada sosok Kelam saja. Semuanya tampak buram dan tidak berarti. "Vanished when I saw your face. All I can say is, it was enchanting to meet you. Your eyes whispered, "Have we met?"'Cross the room your silhouette."Dia melangkah, mendekat ke arahku yang masih terjerat pesonanya. Senyum manisnya masih saja tertahan, mengarah untukku. Aku mendongak ketika sosoknya tepat berdiri di depanku. "Starts to make its way to me. The playful conversation starts. Counter all your quick remarks. Like passing notes in secrecy. And it was enchanting to meet you.All I can say is,