67. Kehangatan Keluarga "Om kenal sama mama?" tanyaku hati-hati. Papa Ajun tertawa renyah dia mengangguk membenarkan. "Siapa yang ga kenal Pita? Rivalnya mama Iris waktu SMA dulu," bisik ayah Kelam tersebut kepadaku. Aku tersenyum kikuk ke arah mama Kelam yang terlihat kini tengah melotot kesal kepada ayah Ajun. Tubuhku bergeser ketika Kelam menarikku untuk duduk di sofa lain. Dengan segera aku menurut, tidak mau terjebak di tengah-tengah orang dewasa yang akan mengalami perang rumah tangga. "Aku sama Pita udah baikkan ya, Pa! Jangan diungkit-ungkit lagi!" Mama Iris mencebikkan bibirnya kesal. Aku sedikit tersentak ketika Kelam dengan santai membawa kepalaku ke dada bidangnya. Sehingga membuat posisi dudukku sedikit miring. Dengan lembut dia mengusap surai panjangku, sesekali memainkannya di jari telunjuknya. "Kita nonton aja, seru tuh," bisiknya membuatku terkekeh pelan. Sepertinya Kelam tidak takut jika nanti mendapatkan amukan dari kedua orang tuanya karena ucapannya tadi. "
68. Dance With You"Kamu pasti bisa! Semangat, Kejora!" Aku tersenyum lebar, menatap pantulan wajahku di kaca. Walau begitu, senyuman itu tidak bertahan lama. Kuhembuskan napas panjang, rupanya menyemangati diri sendiri itu tidak mudah. Sudah sepuluh menit aku berdiam diri di toilet sekolah hanya untuk menenangkan diri yang telah dilanda kegugupan yang luar biasa. Bodohnya aku melupakan satu fakta yang seharusnya tidak pernah kulupakan dalam hidupku. Aku mengidap demam panggung, bagus sekali! Hingga suara pintu yang dibuka kasar membuatku menoleh. Aku terdiam, cukup merasa takut ketika mengetahui bahwa yang memasuki toilet adalah Diana. Dengan segera kumatikan air kran yang sejak tadi menyala. Lalu, berjalan cepat meraih tisu kering untuk mengeringkan kedua tanganku yang basah. Baru saja hendak beranjak, suara Diana membuat langkahku harus berhenti. Cewek itu dengan santai mencipratkan kedua tangannya yang masih basah ke wastafel, lalu meraih tisu kering. Setelahnya, berjalan mende
69. Penolakan "There I was again tonight. Forcing laughter, faking smiles. Same old tired, lonely place. Walls of insincerity, shifting eyes and vacancy."Suara merdu milik Kelam terdengar mengalun indah di indera pendengaranku. Kedua mataku menatap lekat sosoknya yang begitu tampan hari ini. Kedua tangannya begitu lincah memainkan alat musik bernama gitar tersebut. Seakan terpaku, kini yang kulihat rasanya hanya ada sosok Kelam saja. Semuanya tampak buram dan tidak berarti. "Vanished when I saw your face. All I can say is, it was enchanting to meet you. Your eyes whispered, "Have we met?"'Cross the room your silhouette."Dia melangkah, mendekat ke arahku yang masih terjerat pesonanya. Senyum manisnya masih saja tertahan, mengarah untukku. Aku mendongak ketika sosoknya tepat berdiri di depanku. "Starts to make its way to me. The playful conversation starts. Counter all your quick remarks. Like passing notes in secrecy. And it was enchanting to meet you.All I can say is,
70. Teman BaruSatu hari setelah kejadian di mana aku menolak pernyataan cinta dari Kelam, membuat namaku kembali diberbincangkan di seluruh penjuru sekolah. Kembali tatapan-tatapan menusuk aku dapati. Kebanyakan dari mereka adalah fans berat dari Kelam. Kucengkeram erat kedua tali tas sekolahku. Menunduk dalam melewati sekumpulan murid yang terang-terangan mencibirku."Gila sih, ga bersyukur banget. Gue kalau jadi dia juga bakal nerima.""Cantik enggak tapi jual mahal. Harusnya sih sadar diri!""Tau gitu gue dukung Gladia jadi pacarnya Kelam."Kalimat terakhir itu berhasil membuat cengkramanku menguat. Ada rasa tidak terima jika Kelam harus bersanding dengan gadis lain. Tetapi, siapa aku? Aku hanya gadis bodoh yang menolak pernyataan cinta dari salah satu most wanted sekolah. Tidak tahan dengan gunjingan yang dilayangkan kepadaku, kupercepat langlahku. Brukkk!Aku meringis tertahan ketika merasakan hantaman keras di dahi dan lututku. Ketika aku mati-matian menahan sakit, semua murid
71. Kepergian dan Satu FaktaAku terdiam ketika melihat Kelabu terlihat berdiam diri di depan halaman rumahku seraya menatap ke arah kamarku. Dengan segera aku beranjak turun, menemui cowok itu. Tidak seperti biasanya Kelabu hanya berdiam diri di luar, padahal dia akan langsung menuju ke kamarku dan menampilkan sosoknya dengan tiba-tiba. Berhasil mengejukan diriku dengan kehadirannya. Melihatnya hanya menatap intens ke arah kamarku membuatku yakin ada yang tidak beres.Ditambah lagi dengan cuaca malam ini yang begitu buruk karena hujan turun dengan derasnya membuatku merasa cemas dengan keadaannya yang tampak basah kuyup. Sedikit merutuki tindakan Kelabu yang menurutku semena-mena dengan dirinya sendiri. Apakah dia tidak memikirkan keadaannya sendiri? Kuraih payung lipat berwarna hitam yang selalu tersedia di samping rak sepatu. Berjalan cepat ke arah Kelabu yang kini menatapku."Kelabu kenapa hujan-hujanan kaya gini sih?" ketusku.Dengan segera kupayungi tubuhnya walau aku tahu semua
72. KomaKabar tentang kecelakaan yang dialami Kejora berhasil mengemparkan satu sekolah. Walau tidak sedikit yang senang mendengar kabar itu termasuk Gladia yang saat ini tengah mengadakan pesta kecil bersama teman-temannya untuk merayakan kecelakaan tersebut. Bahkan mereka dengan tega berdoa agar Kejora segera merenggang nyawa saja. Sinting memang, tetapi jika manusia sudah diselimuti dendam dan iri, hilang sudah akal sehatnya.Kelam sendiri langsung berlari keluar dari area sekolah setelah mendengar kabar itu. Raut wajah cemas kentara sekali di wajah tampannya. Tanpa mendengarkan teriakkan sang satpam sekolah, dilajukannya kuda besinya menuju ke tempat gadisnya sekarang. Bayangan kenangan yang pernah dia ukir dengan gadis yang kini terbarng lemah antara hidup dan mati langsung terlintas di pikirannya. Membuat dada Kelam terasa sesak.Dia tidak mempermasalahkan penolakan Kejora beberapa hari yang lalu dan dia cukup mengerti apa alasan gadis itu menolaknya. Karenanya dia tidak pernah
73. Jam yang SamaTanpa menunggu bel pulang, keenam murid itu bergegas menuju ke rumah satu-satunya gadis di antara mereka. Setelah sampai di halaman rumah besar milik keluarganya, Rai bergegas memasuki rumahnya disusul oleh sang kekasih dan keempat teman cowoknya. Rumah besar itu tampak lenggang dan sunyi hanya ada beberapa pelayan yang berjalan kemari tampak sibuk."Non Rai, anda sudah pulang?"Beberapa pelayan langsung menghadap putri sulung majikan mereka. Pasalnya mereka dibuat terkejut dengan kepulangan nona muda mereka. Padahal baru beberapa jam yang lalu mereka juga dikejutkan dengan kepulangan sang nyonya dari luar negeri tampa memberitahukan mereka terlebih dahulu."Kenapa kalian tampak sibuk sekali?" tanya Rai melihat bingung ke arah mereka."Nyonya Oliv pulang tadi pagi, Non dan Tuan Besar Mario akan menyusul esok pagi, karena kami bersiap untuk menyambut kedatangannya."Rai mengerut dahinya tampak bingung. Dia baru tahu kabar kepulangan mereka sekarang, tentu saja membuat
74. Teka-Teki"Maksud lo?"Gelang bukannya menjawab malah bergegas keluar dari kamar seraya membawa jam tangan tersebut. Ketiga cowok yang sejak tadi setia menunggu di luar kamar seketika menegakkan tubuh mereka ketika melihat Gelang keluar seraya diikuti oleh sepasang kekasih yang saling tatap masing belum mengerti dengan apa yang dimaksudkan Gelang."Kita ke markas, ada yang harus gue jelasin di sini dan gue harap kalian memiliki beberapa puzzle petunjuk lainnya." Gelang menatap satu persatu teman-temannya.Vino yang mengerti tatapan Gelang mengangguk. Dia langsung memimpin yang lainnya untuk mengikuti Gelang. Tanpa mengganti seragam yang masih melekat di tubuh mereka, keenam remaja SMA itu kembali melajukan kendaraan mereka masing-masing. Bergerak menuju ke tempat yang dirasa paling aman untuk membahas masalah mereka.Gelang sendiri memimpin. Ekor matanya sesekali bergerak menatap jam tangan yang dia simpan di dash motornya. Pikirannya melayang pada saat Kelabu mendatanginya lewat