39. Kembali dirundung"Makannya jangan sok dekat-dekat Kelam!""Kegatelan banget jadi cewek!""Udah tau juga lo itu gila! Udah pasti Kelam ga mau lah sama lo!"Bulir bening sudah meluncur bebas dari kedua mataku. Aku menunduk dalam, sesekali meringis pelan. Tubuhku terasa sakit semua. Luka lembam di wajah dan juga tubuhku terlihat jelas. Rambut panjangku pun sudah tidak lagi tertata rapi. Bahkan beberapa suraiku terlihat tergeletak mengenaskan di lantai toilet. Membuatku semakin terisak. Nasibku memang benar-benar menyedihkan. Apakah Tuhan juga membenciku sehingga memberikan cerita takdir yang begitu menyiksa? Plak!"Denger ga lo!" Tamparan itu kembali kudapatkan. Membuat sudut bibirku sobek, terasa dari rasa asin yang kini kucecap dan juga rasa perih yang kurasa. Kutatap sayu empat siswi yang berdiri angkuh di depanku. Kali ini, yang paling depan sebagai pemimpin adalah Gladia. Sedangkan di belakangnya terdapat Diana dan dua antek-anteknya. "Aku ga pernah deketin Kelam." Aku beruc
40. Tentang Peringatan, Pertanyaan dan Luka"Sudah aku bilang jangan terlalu jauh bermain, Kejora. Atau kamu akan melupakan jalan pulangmu.""Kembalilah ke duniamu, cukup sampai di sini. Aku tidak mau kamu tersesat.""Kamu bisa, Kejora. Aku percaya padamu."Suara itu? Aku tahu betul itu suara Sang Mimpi. Lalu, di mana ia sekarang? Kenapa dia tidak menampilkan wujudnya? Lalu, mengapa suasana begitu sunyi di sini? Sudah sepuluh menit aku berdiam diri di tengah rimbunnya hutan. Mendengarkan suara Sang Mimpi yang perlahan menghilang di telan bisikan angin. Aku tidak mengerti mengapa mimpiku kali ini begitu aneh dan berbeda. Tidak biasanya Sang Mimpi membiarkanku sendirian. Wanita cantik itu pasti akan selalu mendampingiku ketika memasuki alamnya. Lalu, mengapa sekarang ia seakan enggan bertemu denganku langsung? Bahkan, kunang-kunang yang biasanya ramai memenuhi hutan rimbun ini akan langsung menyapaku. Kali ini, alam Sang Mimpi terasa berbeda dan hambar. Tidak ada keindahan dan kebahag
41. Terjebak di Situasi Berdua Kuhembuskan napas panjang sekali lagi. Kuletakkan dengan pelan benda pipih yang sejak tadi sudah kumainkan hingga tersisa setengah baterainya. Kutatap nanar pintu ruangan. Belum ada tanda-tanda mama kembali atau seseorang datang untuk menjengukku lagi. Ah, apa yang kupikirkan? Mempunyai singel parent yang sibuk seperti mama dan orang-orang yang perlahan menjauh dariku, apa yang bisa kuharapkan? Berharap mereka akan datang dan menemaniku? Menghilangkan rasa bosan yang kini melandaku? Memikirkan harapan-harapan konyol itu malah akan membuat dadaku sesak. Memilih mencoba memejamkan mata, tetapi suara pintu yang dibuka oleh seseorang membuatku mengurungkan niat. Rai datang seorang diri. Senyum lebarnya langsung aku dapatkan ketika dia selesai menutup pintu ruangan kembali. "Nih gue bawa buah-buahan," ujarnya seraya meletakkan satu parsel berisikan buah-buahan segar untukku. Padahal, di atas meja samping brangkarku itu juga masih terlihat banyak beberap
42. Siapa Sang Karma? Kedua mataku menyipit, dengan senyum manis yang kali ini kulayangkan. Melihat cowok jangkung di depanku membuat rasa bosanku perlahan hilang. Ditambah lagi dengan keributan yang dilakukan cowok itu dengan Rai, membuat suasana ruangan penginapanku begitu ramai. Padahal hanya ada kami bertiga di ruangan seluas ini. "Lo kalau datang ke sini cuma buat ngajak gue ribut mending lo pulang sekarang deh, Lang! Walau lo kakak kelas gue, gue ga takut. Mau lo punya gelar wakil ketua genk kek, apa kek gue ga peduli," cerocos Rai. Gelang yang mendengar cerocosan Rai mengerutkan dahi tidak suka. Dengan kesal dia langsung membawa kepala Rai ke dalam ketiaknya. Mengapitnya dengan erat membuat sepupuku itu seketika memekik keras. Mengadu bahwasanya ketiak cowok itu bau masam. Walau begitu tidak membuat Gelang marah. Cowok itu malah tertawa keras seraya semakin memperkuat kapitannya. Aku ikut dibuat terkekeh karena tingkah mereka. "Udah, Lang kasihan Rai nanti ga bisa napas."M
43. Jam Tangan KunoBaru saja membuka pintu kamar, aku sudah dihadiahi sosok Kelabu yang tampak merenung di atas ranjang. Kerutan di dahinya terlihat jelas, menandakan bahwa dia tengah berpikir keras. Tetapi, ketika aku berdehem pelan, dia langsung merubah ekspresinya menjadi sedia kala. Tersenyum lebar dengan netra yang berbinar. Seakan-akan akulah hadiah terindah yang pernah dia dapatkan. Padahal, akulah yang seharusnya begitu. Tetapi, entah mengapa sejak dekat dengan Kelam membuat perasaan bahagiaku terusik. Menjadikan sosok Kelabu perlahan lenyap. Dan kini, aku berada di ambang kebingungan. Siapa yang harus kupilih sebenarnya? Kelam atau Kelabu? Mengingat Kelam yang seakan-akan menarik-ulurkan perasaan ini, membuatku bingung. Ditambah lagi dengan perkataan Kelabu yang bisa saja pergi jauh dariku, itu membuatku semakin terusik. "Sejak kapan di sini?" Aku menutup pintu pelan setelahnya melangkah mendekatinya. "Sejak tadi, nungguin kamu selesai makan malam sama mama kamu," balas K
44. Bertengkar"Rai."Rai menoleh, menatapku seraya menaikkan satu alisnya. Tawa kecil yang sejak tadi menghiasi wajahnya seketika harus berhenti. Aku tahu, aku mengganggu waktunya dalam bertukar pesan dengan Iqbal. Tetapi, hanya sekaranglah kesempatan untuk aku bertanya langsung kepadanya. Sebab Tante Oliv baru saja beranjak untuk menuju ke dapur untuk mengambil cemilan dan membuatkan minuman lagi untuk kami bertiga. Film bergenre thriller itu berhenti sejenak. Memberi kesempatan untuk kami menyiapkan kembali hidangan untuk teman menonton. Sebenarnya aku hendak memanggil Bi Sum untuk kembali menghidangkan cemilan dan minuman yang telah raib, tetapi Tante Oliv menolaknya dan menawarkan diri untuk mengambilnya sendiri. Sempat melarangnya tetapi Tante Oliv tetap bersikukuh membuatku akhirnya mengalah. "Kenapa, Ra?" tanya Rai. "Umm itu aku ...."Aku ragu, sungguh. Aku sangat yakin bahwa Rai akan menolak keras permintaanku untuknya melepaskan jam tangannya dan menyuruhnya untuk menyimp
45. Pertemuan Pertama dengan Sang ImajiBrakk! "Kejora!"Kedua mataku mulai berkunang-kunang. Bahkan sosok yang saat ini tengah berjongkok di depanku terlihat begitu buram. Tangan kananku terulur, mencoba memastikan apakah sosok itu hanyalah halusinasiku saja atau memang kenyataan. Tetapi, belum sempat tanganku menyentuh rahang tegasnya, kesadaranku telah hilang sepenuhnya dan meninggalkan teriakkan panik dari mama. ***"Akhirnya kita bisa bertemu juga, Kejora."Suara itu? Suara siapa itu? Kubuka kedua mataku. Pemandangan aneh langsung kudapatkan. Pohon berwarna-warni, beberapa tusuk permen lolipop berukuran besar, sungai susu dan masih banyak lagi hal-hal aneh yang kudapatkan. Di tengah kebingungan, tiba-tiba sosok atau seekor hewan? Entahlah aku tidak bisa mendeskripsikannya secara jelas. Yang dapat kugambarkan adalah sosok dengan wajah cantik khas perempuan tetapi di atas kepalanya terdapat sebuah antena layaknya kupu-kupu. Tetapi, dia memiliki sayap seperti lebah, dengan ekor b
46. Bola-Bola IngatanHatiku terasa bergetar. Entah mengapa melihat para penduduk Kota Ingatan yang didominasi dengan penduduk berwarna biru dan ungu membuat dadaku sesak. Apakah memang hidupku semenyedihkan itu? Hingga penduduk berwarna kuning dan oranye bisa dihitung dengan jari? Kuembuskan napas kasar. Mencoba mengalihkan arah pandanganku ke lain arah. Mendapatkan fakta itu entah mengapa membuat dadaku berdenyut nyeri. Hingga sebuah jurang di tengah-tengah kota itu membuatku bingung. Ditambah, bisa kulihat ribuan bola hitam memenuhi jurang tersebut. "Apa itu jurang?" gumamku yang rupanya dapat didengar oleh Sang Imaji yang setia terbang di sampingku. "Itu adalah jurang penghapusan. Memori yang tidak penting menurutmu akan dibuang ke sana. Bola-bola yang semula berwarna-warni sesuai emosimu dengan gambaran ingatanmu akan berganti menjadi abu-abu dan perlahan menghilang di jurang penghapusan."Ada sesuatu yang membuatku tidak terima ketika mendengarnya. Fakta apa lagi ini? Apakah