46. Bola-Bola IngatanHatiku terasa bergetar. Entah mengapa melihat para penduduk Kota Ingatan yang didominasi dengan penduduk berwarna biru dan ungu membuat dadaku sesak. Apakah memang hidupku semenyedihkan itu? Hingga penduduk berwarna kuning dan oranye bisa dihitung dengan jari? Kuembuskan napas kasar. Mencoba mengalihkan arah pandanganku ke lain arah. Mendapatkan fakta itu entah mengapa membuat dadaku berdenyut nyeri. Hingga sebuah jurang di tengah-tengah kota itu membuatku bingung. Ditambah, bisa kulihat ribuan bola hitam memenuhi jurang tersebut. "Apa itu jurang?" gumamku yang rupanya dapat didengar oleh Sang Imaji yang setia terbang di sampingku. "Itu adalah jurang penghapusan. Memori yang tidak penting menurutmu akan dibuang ke sana. Bola-bola yang semula berwarna-warni sesuai emosimu dengan gambaran ingatanmu akan berganti menjadi abu-abu dan perlahan menghilang di jurang penghapusan."Ada sesuatu yang membuatku tidak terima ketika mendengarnya. Fakta apa lagi ini? Apakah
47. Masa Kecil yang Hampir Terhapus"Ayah! Ayah! Tiupkan lebih banyak gelembung sabunnya!"Aku termangu melihat gambaran masa kecilku yang masih berusia lima tahun itu. Wajah tampan ayah terpampang jelas di sana. Gurat wajahnya yang tegas dan lembut menandakan bagaimana sosok ayah yang lemah-lembut. Kuusap lembut bola kenangan yang kini berada di dekapanku. Tidak terasa air mataku meluncur bebas. Ayah tersenyum mendengar seruanku. Dengan semangat ia kembali meniupkan gelembung sabun dengan semangat. Membuatku tertawa riang seraya berlari kecil untuk memecahkannya. Di samping ayah, mama terlihat tengah menggelar karpet piknik. Beberapa makanan kesukaanku terhidang manis di sana. Setelahnya, suara mama terdengar menyuruhku dan ayah untuk segera ke arahnya. "Ayo kita nikmati pagi ini bersama-sama!"Setelah suara mama terdengar. Bola ingatan itu kembali padam. Olio kembali menyerahkan satu bola ingatan kepadaku. Sekali lagi kudapati gambaran masa laluku. Kali ini, terlihat ayah tengah m
48. Fakta Mengejutkan KelamSamar-samar kudengar keributan di sekitarku. Tetapi, kedua mataku yang terasa berat membuatku tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Berulang kali kucoba, akhirnya samar-samar, dapat kulihat beberapa siluet seseorang di depanku. Hingga akhirnya, kesadaran sepenuhnya bisa kudapatkan. Aku terdiam ketika mendapati sosok Kelam yang berdiri di hadapanku dengan raut cemas, tetapi kecemasan itu berangsur hilang dan tergantikan raut kelegaan. "Butuh sesuatu?" tanyanya serak. "Haus," balasku lirih. Tenggorokanku terasa begitu kering dan membuatku kesulitan untuk mengeluarkan suara. Tidak lama kemudian, pintu kamarku terdengar terbuka kasar. Kudapati sosok mama dan juga Tante Oliv. Mama langsung berjalan cepat ke arahku, mengecup wajahku dengan raut lega. "Akhirnya kamu sadar juga, Nak. Mama udah cemas kamu ga bangun selama dua hari ini."Ucapan mama berhasil mengejutkanku. Sontak saja raut bingung tergambar di wajahku. Padahal, aku hanya beberapa menit
49. Makam AyahSore ini, setelah sekian lama tidak pernah kuinjakkan kaki di lahan luas dengan berhiaskan bunga kamboja. Kutatap gundukan-gundukkan tanah yang ada di sana. Usapan lembut di bahu kananku membuatku menoleh lalu tersenyum tipis. Mama menuntunku menuju ke gundukan yang bernisankan nama ayahku. Melihat mama yang telah berjongkok seraya mencabuti beberapa rumput ilalang yang tumbuh di sana, maka kusadari bahwa gundukan yang sangat bersih di hadapanku sekarang adalah makam ayahku. Tempat peristirahatan terakhir ayahku. "Ini malam ayahmu. Mama sering ke sini tiap dua minggu sekali tanpa sepengetahuanmu. Mama hanya takut kamu kembali histeris seperti dahulu," ujar mama lirih. Aku ikut berjongkok, turut membantu membersihkan makam ayah yang cukup bersih. Hanya ada beberapa rumput ilalang saja. Bahkan, masih terlihat bekas bunga-bunga mawar yang bertaburan di sana. Aku masih setia bungkam. Tidak tahu harus berucap apa untuk membalas cerita mama mengenai mendiang ayah. "Dulu ay
50. Tunangan? "Eh, Kejora udah datang?!" seru Tante Oliv.Wanita itu langsung berlari tergopoh-gopoh menghampiriku. Aku tertawa kecil lalu ikut berlari kecil ke arahnya. Dekapan hangat dari wanita itu membuatku tersenyum lebar. Ditambah lagi ketika melihat raut wajah Rai yang tertekuk karena tingkahku dan Tante Oliv, membuatku semakin senang. Apalagi ketika sepupuku itu mulai merengek kepada mommy-nya. "Mommy udah dong acara peluk-peluknya! Anak sendiri aja ga pernah tuh dipeluk!" sungut Rai seraya menghentakkan kedua kakinya ke lantai. Membuatku dan Tante Oliv tertawa bersamaan. Untungnya Om Mario segera menenangkan perasaan cemburu putrinya itu dengan mengecup singkat pipi Rai. Sebelum akhirnya mengacak gemas surai putrinya lalu berkata, "Kamu tetap putri kesayangan daddy kok. Udah ga usah cemberut begitu."Dan hal itu berhasil mengembalikan senyum cerah dari Rai. Aku ikut tersenyum. Melihat Om Mario mengingatkanku dengan ayah. Coba saja ayah masih ada sampai sekarang, pasti aku
51. Kapan Nyusul?"Uhuk!"Tanpa bisa kucegah, aku langsung tersedak makanan yang tengah kukunyah. Mama dengan sigap memberikan segelas minuman yang telah disediakan. Dengan segera kuteguk minuman tersebut dengan kasar. Mendengar penuturan Tante Oliv mengenai Iqbal berhasil membuatku terkejut. Tunangan katanya? Sejak kapan mereka merencanakan pertunangan tersebut? Bahkan jika kuingat-ingat Tante Oliv dan Om Mario baru pulang beberapa hari ini. Tidak mungkin kan mereka langsung setuju untuk menggelar pertunangan putri mereka dengan Iqbal? "Aduh, Kejora pelan-pelan makannya, Nak." Itu suara mama. Raut cemas tampak begitu kentara di wajahnya. Mama bahkan ikut mengusap lembut punggungku. "Kok Kejora baru tahu, Om, Tan?" Protesku setelah dirasa cukup lebih baik. Tante Oliv dan Om Mario tersenyum kecil. "Masih lama kok, Ra. Rencananya setelah Rai kenaikan kelas dua belas," balas Om Mario santai.Tetapi tidak denganku. Kedua mataku langsung melotot, tidak percaya bahwa mereka akan menjalin
52. Waktu Bersama KelabuAku tersenyum kecil ketika melihat wajah Kelabu yang terlihat begitu serius sekarang. Kerutan di dahinya tidak membuat kadar ketampanan cowok itu pudar. Seakan tahu tengah kuamati, ia menoleh membalas tatapanku dengan senyum manisnya. Seketika tubuhku yang sejak tadi bertopang dagu untuk nyaman dalam melihat sosoknya menegang. Waktu seakan berhenti, suasana seakan hening. Hanya terdengar detak jantungku yang semakin menjadi-jadi. Kedua pipiku pun sudah terasa begitu panas. Terlebih ketika Kelabu malah mendekatkan wajahnya ke arahku. Dengan santai dia menempelkan hidung mancungnya dengan hidungku. Menggeseknya pelan membuatku semakin memanas. Ingin rasanya menjerit, tetapi mengingat kini tengah jam pelajaran membuatku menggigit kuat bibir bawahku. "Jangan dilihatin terus, aku ga bakal hilang, Ra." Bisikan lembut Kelabu berhasil membuatku menahan napas. Kelabu terkekeh kecil. Dia lantas kembali menarik wajahnya, menjauh dari wajahku. Masih dengan tawa kecilny
53. Dejavu"Pulang sama gue."Sontak aku melotot terkejut. Tidak mengerti dengan apa yang kini berada di dalam pikiran cowok itu. Bisa-bisanya dia menyuruhku bahkan memaksaku untuk pulang dengannya yang memiliki status calon tunangan dari sepupuku sendiri? Kewarasanku untung saja masih ada, jika tidak mungkin cowok di depanku yang kini telah berdiri di depanku dengan melipat kedua tangannya di depan dada itu sudah tersungkur karena aksi bogeman kesal dariku sendiri. Bahkan, kedua tanganku rasanya sudah sangat gatal untuk tidak memberikannya pelajaran. Iqbal gila! Dia gila dengan santainya menawarkan hal itu bahkan ketika dia masih berada di depan rumah kekasihnya sendiri. "Sinting," gumamku pelan. "Lebih sintingan lo kalau lo masih kekeuh ga mau pulang bareng sama gue." Aku terhenyak mendengar nada rendah penuh penekanan cowok itu. Bisa-bisanya dia mengataiku sinting tanpa alasan yang jelas?! "Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih," jawabku cepat enggan berlama-lama berhadapan deng