48. Fakta Mengejutkan KelamSamar-samar kudengar keributan di sekitarku. Tetapi, kedua mataku yang terasa berat membuatku tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Berulang kali kucoba, akhirnya samar-samar, dapat kulihat beberapa siluet seseorang di depanku. Hingga akhirnya, kesadaran sepenuhnya bisa kudapatkan. Aku terdiam ketika mendapati sosok Kelam yang berdiri di hadapanku dengan raut cemas, tetapi kecemasan itu berangsur hilang dan tergantikan raut kelegaan. "Butuh sesuatu?" tanyanya serak. "Haus," balasku lirih. Tenggorokanku terasa begitu kering dan membuatku kesulitan untuk mengeluarkan suara. Tidak lama kemudian, pintu kamarku terdengar terbuka kasar. Kudapati sosok mama dan juga Tante Oliv. Mama langsung berjalan cepat ke arahku, mengecup wajahku dengan raut lega. "Akhirnya kamu sadar juga, Nak. Mama udah cemas kamu ga bangun selama dua hari ini."Ucapan mama berhasil mengejutkanku. Sontak saja raut bingung tergambar di wajahku. Padahal, aku hanya beberapa menit
49. Makam AyahSore ini, setelah sekian lama tidak pernah kuinjakkan kaki di lahan luas dengan berhiaskan bunga kamboja. Kutatap gundukan-gundukkan tanah yang ada di sana. Usapan lembut di bahu kananku membuatku menoleh lalu tersenyum tipis. Mama menuntunku menuju ke gundukan yang bernisankan nama ayahku. Melihat mama yang telah berjongkok seraya mencabuti beberapa rumput ilalang yang tumbuh di sana, maka kusadari bahwa gundukan yang sangat bersih di hadapanku sekarang adalah makam ayahku. Tempat peristirahatan terakhir ayahku. "Ini malam ayahmu. Mama sering ke sini tiap dua minggu sekali tanpa sepengetahuanmu. Mama hanya takut kamu kembali histeris seperti dahulu," ujar mama lirih. Aku ikut berjongkok, turut membantu membersihkan makam ayah yang cukup bersih. Hanya ada beberapa rumput ilalang saja. Bahkan, masih terlihat bekas bunga-bunga mawar yang bertaburan di sana. Aku masih setia bungkam. Tidak tahu harus berucap apa untuk membalas cerita mama mengenai mendiang ayah. "Dulu ay
50. Tunangan? "Eh, Kejora udah datang?!" seru Tante Oliv.Wanita itu langsung berlari tergopoh-gopoh menghampiriku. Aku tertawa kecil lalu ikut berlari kecil ke arahnya. Dekapan hangat dari wanita itu membuatku tersenyum lebar. Ditambah lagi ketika melihat raut wajah Rai yang tertekuk karena tingkahku dan Tante Oliv, membuatku semakin senang. Apalagi ketika sepupuku itu mulai merengek kepada mommy-nya. "Mommy udah dong acara peluk-peluknya! Anak sendiri aja ga pernah tuh dipeluk!" sungut Rai seraya menghentakkan kedua kakinya ke lantai. Membuatku dan Tante Oliv tertawa bersamaan. Untungnya Om Mario segera menenangkan perasaan cemburu putrinya itu dengan mengecup singkat pipi Rai. Sebelum akhirnya mengacak gemas surai putrinya lalu berkata, "Kamu tetap putri kesayangan daddy kok. Udah ga usah cemberut begitu."Dan hal itu berhasil mengembalikan senyum cerah dari Rai. Aku ikut tersenyum. Melihat Om Mario mengingatkanku dengan ayah. Coba saja ayah masih ada sampai sekarang, pasti aku
51. Kapan Nyusul?"Uhuk!"Tanpa bisa kucegah, aku langsung tersedak makanan yang tengah kukunyah. Mama dengan sigap memberikan segelas minuman yang telah disediakan. Dengan segera kuteguk minuman tersebut dengan kasar. Mendengar penuturan Tante Oliv mengenai Iqbal berhasil membuatku terkejut. Tunangan katanya? Sejak kapan mereka merencanakan pertunangan tersebut? Bahkan jika kuingat-ingat Tante Oliv dan Om Mario baru pulang beberapa hari ini. Tidak mungkin kan mereka langsung setuju untuk menggelar pertunangan putri mereka dengan Iqbal? "Aduh, Kejora pelan-pelan makannya, Nak." Itu suara mama. Raut cemas tampak begitu kentara di wajahnya. Mama bahkan ikut mengusap lembut punggungku. "Kok Kejora baru tahu, Om, Tan?" Protesku setelah dirasa cukup lebih baik. Tante Oliv dan Om Mario tersenyum kecil. "Masih lama kok, Ra. Rencananya setelah Rai kenaikan kelas dua belas," balas Om Mario santai.Tetapi tidak denganku. Kedua mataku langsung melotot, tidak percaya bahwa mereka akan menjalin
52. Waktu Bersama KelabuAku tersenyum kecil ketika melihat wajah Kelabu yang terlihat begitu serius sekarang. Kerutan di dahinya tidak membuat kadar ketampanan cowok itu pudar. Seakan tahu tengah kuamati, ia menoleh membalas tatapanku dengan senyum manisnya. Seketika tubuhku yang sejak tadi bertopang dagu untuk nyaman dalam melihat sosoknya menegang. Waktu seakan berhenti, suasana seakan hening. Hanya terdengar detak jantungku yang semakin menjadi-jadi. Kedua pipiku pun sudah terasa begitu panas. Terlebih ketika Kelabu malah mendekatkan wajahnya ke arahku. Dengan santai dia menempelkan hidung mancungnya dengan hidungku. Menggeseknya pelan membuatku semakin memanas. Ingin rasanya menjerit, tetapi mengingat kini tengah jam pelajaran membuatku menggigit kuat bibir bawahku. "Jangan dilihatin terus, aku ga bakal hilang, Ra." Bisikan lembut Kelabu berhasil membuatku menahan napas. Kelabu terkekeh kecil. Dia lantas kembali menarik wajahnya, menjauh dari wajahku. Masih dengan tawa kecilny
53. Dejavu"Pulang sama gue."Sontak aku melotot terkejut. Tidak mengerti dengan apa yang kini berada di dalam pikiran cowok itu. Bisa-bisanya dia menyuruhku bahkan memaksaku untuk pulang dengannya yang memiliki status calon tunangan dari sepupuku sendiri? Kewarasanku untung saja masih ada, jika tidak mungkin cowok di depanku yang kini telah berdiri di depanku dengan melipat kedua tangannya di depan dada itu sudah tersungkur karena aksi bogeman kesal dariku sendiri. Bahkan, kedua tanganku rasanya sudah sangat gatal untuk tidak memberikannya pelajaran. Iqbal gila! Dia gila dengan santainya menawarkan hal itu bahkan ketika dia masih berada di depan rumah kekasihnya sendiri. "Sinting," gumamku pelan. "Lebih sintingan lo kalau lo masih kekeuh ga mau pulang bareng sama gue." Aku terhenyak mendengar nada rendah penuh penekanan cowok itu. Bisa-bisanya dia mengataiku sinting tanpa alasan yang jelas?! "Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih," jawabku cepat enggan berlama-lama berhadapan deng
54. Paket MisteriusSeusai sampai di rumah sakit yang kutuju. Langsung saja aku berlari cepat mencari nomor ruangan yang juga telah diberitahu Rai sebelumnya. Kepalaku bergerak, melihat setiap nomor-nomor ruangan yang kulewati. Sesekali kuhentikan langkahku ketika di persimpangan, mencoba menimang-nimang jalan mana yang harus kupilih. Untungnya, tidak lama kemudian sosok Rai terlihat. Tidak hanya Rai, Tante Oliv pun juga terlihat. Melihat keduanya, aku kembali berjalan cepat, mendekat. "Gimana keadaan Iqbal, Mommy?" tanyaku kepada Tante Oliv. Tante Oliv menoleh, tersenyum tipis menyadari kehadiranku. Senyuman itu hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya tatapan sendu di wajah cantik wanita itu tercipta, menatap ke arah pintu ruangan di depan kami. "Kritis." Satu kata itu berhasil membuatku terdiam. Tangis Rai masih terdengar. Sesekali Tante Oliv memberikan kalimat penenang untuk menenangkan putrinya. Melihat Rai yang begitu kacau membuatku ikut sedih. Dengan pelan, kudekatkan diri
55. Foto PetunjukKucengkeram erat kertas tersebut. Sekali lagi, aku mendapatkan pesan yang tidak bisa kucerna. Otakku terasa penuh untuk berpikir keras mencoba memecahkan arti di setiap kalimat yang tertera. Hingga tatapanku teralih ke sebuah amplop berukuran cukup besar. Tidak ada tulisan di sana. Dengan segera kubuka amplop tersebut dan menunjukkan beberapa buah foto. Aku mengernyit ketika menyadari bahwa semua foto tersebut adalah tangkapan diriku yang diambil dari jarak cukup jauh. Setelah kucermati lebih teliti, semua adegan dan tempat yang tertangkap pada foto tersebut membuatku terdiam. Terlebih ketika sebuah foto terakhir yang menampilkan adegan diriku kemarin sore. Di sebuah taman belakang sekolah. Ingatan itu masih segar di pikiranku. Istirahat kedua, aku di sana bersama Kelabu. Menghabiskan waktu bersama dengan berbincang dan menikmati kue kering buatan mamaku. Tetapi, entah mengapa di dalam foto itu hanya ada diriku. Padahal, aku ingat betul saat adegan di dalam foto it