44. Bertengkar"Rai."Rai menoleh, menatapku seraya menaikkan satu alisnya. Tawa kecil yang sejak tadi menghiasi wajahnya seketika harus berhenti. Aku tahu, aku mengganggu waktunya dalam bertukar pesan dengan Iqbal. Tetapi, hanya sekaranglah kesempatan untuk aku bertanya langsung kepadanya. Sebab Tante Oliv baru saja beranjak untuk menuju ke dapur untuk mengambil cemilan dan membuatkan minuman lagi untuk kami bertiga. Film bergenre thriller itu berhenti sejenak. Memberi kesempatan untuk kami menyiapkan kembali hidangan untuk teman menonton. Sebenarnya aku hendak memanggil Bi Sum untuk kembali menghidangkan cemilan dan minuman yang telah raib, tetapi Tante Oliv menolaknya dan menawarkan diri untuk mengambilnya sendiri. Sempat melarangnya tetapi Tante Oliv tetap bersikukuh membuatku akhirnya mengalah. "Kenapa, Ra?" tanya Rai. "Umm itu aku ...."Aku ragu, sungguh. Aku sangat yakin bahwa Rai akan menolak keras permintaanku untuknya melepaskan jam tangannya dan menyuruhnya untuk menyimp
45. Pertemuan Pertama dengan Sang ImajiBrakk! "Kejora!"Kedua mataku mulai berkunang-kunang. Bahkan sosok yang saat ini tengah berjongkok di depanku terlihat begitu buram. Tangan kananku terulur, mencoba memastikan apakah sosok itu hanyalah halusinasiku saja atau memang kenyataan. Tetapi, belum sempat tanganku menyentuh rahang tegasnya, kesadaranku telah hilang sepenuhnya dan meninggalkan teriakkan panik dari mama. ***"Akhirnya kita bisa bertemu juga, Kejora."Suara itu? Suara siapa itu? Kubuka kedua mataku. Pemandangan aneh langsung kudapatkan. Pohon berwarna-warni, beberapa tusuk permen lolipop berukuran besar, sungai susu dan masih banyak lagi hal-hal aneh yang kudapatkan. Di tengah kebingungan, tiba-tiba sosok atau seekor hewan? Entahlah aku tidak bisa mendeskripsikannya secara jelas. Yang dapat kugambarkan adalah sosok dengan wajah cantik khas perempuan tetapi di atas kepalanya terdapat sebuah antena layaknya kupu-kupu. Tetapi, dia memiliki sayap seperti lebah, dengan ekor b
46. Bola-Bola IngatanHatiku terasa bergetar. Entah mengapa melihat para penduduk Kota Ingatan yang didominasi dengan penduduk berwarna biru dan ungu membuat dadaku sesak. Apakah memang hidupku semenyedihkan itu? Hingga penduduk berwarna kuning dan oranye bisa dihitung dengan jari? Kuembuskan napas kasar. Mencoba mengalihkan arah pandanganku ke lain arah. Mendapatkan fakta itu entah mengapa membuat dadaku berdenyut nyeri. Hingga sebuah jurang di tengah-tengah kota itu membuatku bingung. Ditambah, bisa kulihat ribuan bola hitam memenuhi jurang tersebut. "Apa itu jurang?" gumamku yang rupanya dapat didengar oleh Sang Imaji yang setia terbang di sampingku. "Itu adalah jurang penghapusan. Memori yang tidak penting menurutmu akan dibuang ke sana. Bola-bola yang semula berwarna-warni sesuai emosimu dengan gambaran ingatanmu akan berganti menjadi abu-abu dan perlahan menghilang di jurang penghapusan."Ada sesuatu yang membuatku tidak terima ketika mendengarnya. Fakta apa lagi ini? Apakah
47. Masa Kecil yang Hampir Terhapus"Ayah! Ayah! Tiupkan lebih banyak gelembung sabunnya!"Aku termangu melihat gambaran masa kecilku yang masih berusia lima tahun itu. Wajah tampan ayah terpampang jelas di sana. Gurat wajahnya yang tegas dan lembut menandakan bagaimana sosok ayah yang lemah-lembut. Kuusap lembut bola kenangan yang kini berada di dekapanku. Tidak terasa air mataku meluncur bebas. Ayah tersenyum mendengar seruanku. Dengan semangat ia kembali meniupkan gelembung sabun dengan semangat. Membuatku tertawa riang seraya berlari kecil untuk memecahkannya. Di samping ayah, mama terlihat tengah menggelar karpet piknik. Beberapa makanan kesukaanku terhidang manis di sana. Setelahnya, suara mama terdengar menyuruhku dan ayah untuk segera ke arahnya. "Ayo kita nikmati pagi ini bersama-sama!"Setelah suara mama terdengar. Bola ingatan itu kembali padam. Olio kembali menyerahkan satu bola ingatan kepadaku. Sekali lagi kudapati gambaran masa laluku. Kali ini, terlihat ayah tengah m
48. Fakta Mengejutkan KelamSamar-samar kudengar keributan di sekitarku. Tetapi, kedua mataku yang terasa berat membuatku tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Berulang kali kucoba, akhirnya samar-samar, dapat kulihat beberapa siluet seseorang di depanku. Hingga akhirnya, kesadaran sepenuhnya bisa kudapatkan. Aku terdiam ketika mendapati sosok Kelam yang berdiri di hadapanku dengan raut cemas, tetapi kecemasan itu berangsur hilang dan tergantikan raut kelegaan. "Butuh sesuatu?" tanyanya serak. "Haus," balasku lirih. Tenggorokanku terasa begitu kering dan membuatku kesulitan untuk mengeluarkan suara. Tidak lama kemudian, pintu kamarku terdengar terbuka kasar. Kudapati sosok mama dan juga Tante Oliv. Mama langsung berjalan cepat ke arahku, mengecup wajahku dengan raut lega. "Akhirnya kamu sadar juga, Nak. Mama udah cemas kamu ga bangun selama dua hari ini."Ucapan mama berhasil mengejutkanku. Sontak saja raut bingung tergambar di wajahku. Padahal, aku hanya beberapa menit
49. Makam AyahSore ini, setelah sekian lama tidak pernah kuinjakkan kaki di lahan luas dengan berhiaskan bunga kamboja. Kutatap gundukan-gundukkan tanah yang ada di sana. Usapan lembut di bahu kananku membuatku menoleh lalu tersenyum tipis. Mama menuntunku menuju ke gundukan yang bernisankan nama ayahku. Melihat mama yang telah berjongkok seraya mencabuti beberapa rumput ilalang yang tumbuh di sana, maka kusadari bahwa gundukan yang sangat bersih di hadapanku sekarang adalah makam ayahku. Tempat peristirahatan terakhir ayahku. "Ini malam ayahmu. Mama sering ke sini tiap dua minggu sekali tanpa sepengetahuanmu. Mama hanya takut kamu kembali histeris seperti dahulu," ujar mama lirih. Aku ikut berjongkok, turut membantu membersihkan makam ayah yang cukup bersih. Hanya ada beberapa rumput ilalang saja. Bahkan, masih terlihat bekas bunga-bunga mawar yang bertaburan di sana. Aku masih setia bungkam. Tidak tahu harus berucap apa untuk membalas cerita mama mengenai mendiang ayah. "Dulu ay
50. Tunangan? "Eh, Kejora udah datang?!" seru Tante Oliv.Wanita itu langsung berlari tergopoh-gopoh menghampiriku. Aku tertawa kecil lalu ikut berlari kecil ke arahnya. Dekapan hangat dari wanita itu membuatku tersenyum lebar. Ditambah lagi ketika melihat raut wajah Rai yang tertekuk karena tingkahku dan Tante Oliv, membuatku semakin senang. Apalagi ketika sepupuku itu mulai merengek kepada mommy-nya. "Mommy udah dong acara peluk-peluknya! Anak sendiri aja ga pernah tuh dipeluk!" sungut Rai seraya menghentakkan kedua kakinya ke lantai. Membuatku dan Tante Oliv tertawa bersamaan. Untungnya Om Mario segera menenangkan perasaan cemburu putrinya itu dengan mengecup singkat pipi Rai. Sebelum akhirnya mengacak gemas surai putrinya lalu berkata, "Kamu tetap putri kesayangan daddy kok. Udah ga usah cemberut begitu."Dan hal itu berhasil mengembalikan senyum cerah dari Rai. Aku ikut tersenyum. Melihat Om Mario mengingatkanku dengan ayah. Coba saja ayah masih ada sampai sekarang, pasti aku
51. Kapan Nyusul?"Uhuk!"Tanpa bisa kucegah, aku langsung tersedak makanan yang tengah kukunyah. Mama dengan sigap memberikan segelas minuman yang telah disediakan. Dengan segera kuteguk minuman tersebut dengan kasar. Mendengar penuturan Tante Oliv mengenai Iqbal berhasil membuatku terkejut. Tunangan katanya? Sejak kapan mereka merencanakan pertunangan tersebut? Bahkan jika kuingat-ingat Tante Oliv dan Om Mario baru pulang beberapa hari ini. Tidak mungkin kan mereka langsung setuju untuk menggelar pertunangan putri mereka dengan Iqbal? "Aduh, Kejora pelan-pelan makannya, Nak." Itu suara mama. Raut cemas tampak begitu kentara di wajahnya. Mama bahkan ikut mengusap lembut punggungku. "Kok Kejora baru tahu, Om, Tan?" Protesku setelah dirasa cukup lebih baik. Tante Oliv dan Om Mario tersenyum kecil. "Masih lama kok, Ra. Rencananya setelah Rai kenaikan kelas dua belas," balas Om Mario santai.Tetapi tidak denganku. Kedua mataku langsung melotot, tidak percaya bahwa mereka akan menjalin
94. Ending "Maaf, ini calon tunangan ceweknya mana ya?" Tante Oliv yang tengah disibukkan dengan sambungan teleponnya seraya mengatur para maid di mansionnya dibantu oleh Kejora yang sudah datang pagi-pagi buta pun terdiam. Begitu pula dengan Kejora yang berdiri tidak jauh dari wanita paruh baya itu. Terkejut dengan pertanyaan tim perias, pasalnya jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dua jam lagi acara pertunangan putrinya dengan sang kekasihnya-Iqbal akan segera digelar. "Lho emang dia belum nemuin mbaknya?" Tante Oliv melempar pertanyaan yang langsung mendapat gelengan polos dari tim perias. Wanita paruh baya itu tampak menggerutu, samar-samar nama Rai disebut-sebutkan. Wanita itu kesal sekaligus gemas dengan putrinya. Apakah Rai belum kunjung bangun? Padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja membangunkan putrinya dan Rai menjawab akan segera turun. Karena itulah dia pikir putrinya itu sudah bangun sejak tadi. "Ra, tante minta tolong bangunkan Rai ya?" Kejora lan
93. Menuju EndingSuara tawa dan drum yang ditabuh begitu kencang meramaikan sebuah lapangan sekolah yang begitu luas di SMA Bakti Sakti. Semua murid bersorak, menyambut kelulusan mereka. Banyak murid berlalu-lalang saling mencoret seragam putih biru mereka. Satu-dua menyalakan bom asap yang penuh warna. Ada juga yang mengabadikan acara tersebut dengan berfoto bersama, seperti yang tengah dilakukan Kelam dan sahabatnya, plus Iqbal yang sudah mereka anggap sebagai anggota ke-enam mereka."Harus kaya gini gayanya?" tanya Kelam menatap sinis Risky, Gelang dan Dion yang menjadi akal untuk berfoto bersama.Sebenarnya tidak masalah untuk fotonya tetapi pose yang dirancang tiga cecunguk itu membuat Kelam jengah. Pasalnya mereka berenam akan melakukan pose membentuk sebuah bintang segi enam dengan tangan mereka yang saling menyentuh sama lain. Menurut Kelam pose mereka terlalu berlebihan, tetapi tiga cecunguk sahabatnya itu menyanggah dengan jawaban yang membuat Kelam semakin muak."Gue mau k
92. Bahagia yang SederhanaDua minggu telah berlalu. Dua minggu yang berhasil membuat semua murid SMA Bakti Sakti menjerit karena ujian serta ulangan yang mereka hadapi. Karenanya minggu ini langsung disambut pekikan senang dan hembusan lega dari mereka semua termasuk segerombolan anak yang kini duduk meligkar di atas rooftop sekolah. Sembilan remaja itu terlihat saling melempar sendau gurau satu sama lain. Di tengah lingkaran yang mereka buat sudah tertata banyak beberapa jenis makanan ringan."Ga kerasa ya cuma tinggal hitungan jari kita bakal lulus," celetuk Risky membuat tawa yang semula menemani mereka seketika lenyap tergantikan dengan keheningan. Mereka semua mulai terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing, memikirkan jalan mana nantinya yang akan mereka tempuh setelah resmi keluar dari status anak SMA."Kalian mau lanjut ke mana?" Riyan yang bertanya.Ternyata cowok itu tidak sekaku dan segalak yang terlihat dari tampangnya. Cowok itu cukup ramah dengan caranya sendiri wala
91. Kilas Kisah GelangKelam mengerutkan dahi menatap frustasi soal-soal yang tertera di depannya. Begitu panjang dan rumit. Bahkan Kelam bisa membayangkan adanya wajah meledek pada kertas berisikan soal yang kini dia genggam dengan erat. Berdecak pelan, sekilas melirik ke arah teman-temannya berada yang tampaknya juga mengalami gejala stress akut. Terlihat sekali dengan adanya asap yang mengepul keluar dari kepala mereka. Oke, kalimat terakhir tadi hanyalah bayangan imaji yang Kelam ciptakan."Psstt lihatin jawaban Vino di kelas sebelah dong, Tan.""Kelam Putra Arjuna!"Teriakkan menggema itu membuat Kelam seketika mendatarkan kembali wajahnya. Mengangkat wajah menatap lempeng guru pengawas yang rupanya berhasil menangkap basah dirinya tengah berceloteh. Mempertahankan wajah sok coolnya, walau tengah menjadi pusat perhatian murid lainnya, Kelam mencoba tenang."Berbicara dengan siapa kamu?" tanya sang guru pengawas tajam."Tidak ada."Di dalam hati remaja cowok itu merutuki sang guru
90. Belajar Bersama"Ini soalnya pendek tapi kenapa caranya panjang bener dah."Basecamp kali ini telah diramaikan dengan gerutuan dan protessan dari bibir Dion, Risky, Gelang, dan Rai. Sedangkan Vino, Iqbal dan Kejora sudah beralih profesi menjadi mentor belajar mereka. Sebab nilai dan peringkat mereka jauh lebih unggul daripada yang lainnya. Sedangkan Kelam? Cowok itu tampak diam seraya menatap buku LKS yang jarang dia buka. Oh ayolah bahkan dia sentuh saja jarang. Sebenarnya dia ingin mengeluarkan sumpah serapah dengan materi mapel matematika yang tengah dia pelototi itu. Tetapi hanya untuk menjaga image di depan Kejora, cowok itu memilih diam dan seakan-akan mampu menguasai materi tersebut.Walau begitu ada sepasang mata yang tidak bisa dia bohongi. Vino menggeleng pelan melihat tingkah ketuanya itu. Dapat dia tangkap jelas dahi cowok itu yang tampak menegang sesekali mengerut karena menahan kekesalan. Walau begitu dia tidak mau membuat sang sahabatnya itu merasa malu karena kepur
89. BerdamaiDi sinilah Kelam sekarang. Berada di lapangan sekolahnya yang amat luas. Berlari mengelilingi lapangan tersebut ditemani dengan seorang guru laki-laki dengan peluit di bibirnya yang terus bersuara, menyuruh Kelam untuk terus berlari. Kelam berdecak, dia mengusap dahinya dengan kasar. Mentari yang entah bagaimana bisa tiba-tiba bersinar dengan teriknya, padahal tadi pagi jelas-jelas langit kelabu menghiasi. "Sialan, kenapa tiba-tiba jadi panas gini sih," gerutunya seraya mengusap peluhnya yang telah membasahi kaos hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Dia memang sengaja menanggalkan baju seragamnya agar tidak ikut bau keringat nantinya. "Ayo dua putaran lagi!" Kelam semakin kesal ketika seruan dan suara peluit yang terus mengganggu indera pendengarannya. Karena tertangkap basah melamun di jam pelajaran Bu Tuti, dia berakhir dihukum seperti ini. Dan sialnya, ada Pak Joko yang terus mengawasinya sehingga membuatnya tidak bisa kabur dari hukuman. "Bagus. Besok lagi diu
88. Dimabuk Cinta"Ra."Kejora menoleh, menunggu ucapan Kelam yang ingin cowok itu ucapkan. Cowok itu mendekat, tanpa aba-aba mendekap tubuh mungil gadis itu. Berhasil membuat sang gadis mati kutu karena gugup. Ditambah lagi debaran keduanya yang semakin keras membuat keduanya sama-sama terhanyut dalam kehangatan. Rona merah menjalar pada kedua pipi Kejora, membuat gadis itu semakin manis di bawah sinar rembulan. "Makasih untuk malam ini," bisik Kelam. Kejora hanya mengangguk kecil, terlalu takut jika dia membuka suara, suaranya tergagap karena gugup. "Besok pagi aku jemput kaya biasa." Lagi-lagi Kejora hanya bisa mengangguk menurut. Kedua mata gadis itu terpejam ketika Kelam memberikan kecupan hangat di dahinya. Sekali lagi getaran itu membuat keduanya semakin terhanyut. Sebelum suara deheman dari seseorang membuat adegan romantis itu seketika hancur. "Bagus ya main nyosor-nyosor anak mama. Sudah siap kamu nikahin putri mama, Kelam?" Kelam menyengir lebar. Kepergok calon mertua
87. DinnerMelihat keadaan kamarnya yang tampak lenggang membuat Kejora termangu di depan pintu kamar. Ingatannya menerawang, kembali mengingat kenangannya dengan Kelabu selama ini. Sosok khayalan yang selama ini menemaninya di saat sepi menyapa. Sosok yang berhasil membuatnya terhanyut ke dalam pesonanya. Sosok yang selama ini nyata dengan kesempurnaan yang dia miliki, bahkan sosok yang selama ini berhasil masuk ke dalam relung hatinya sebelum kedatangan Kelam.Menghela napas panjang. Lekas dihapusnya ingatan itu. Bukan karena dia marah atau bahkan menyesal mengenal sosok Kelabu. Tetapi karena dia teringat akan janjinya kepada sang mama untuk melupakan semuanya. Melupakan semua tindakan bodohnya yang bermain-main dengan imaji. Menggelengkan kepalanya, gegas Kejora menutup pintu kamarnya dan segera turun ke lantai dasar. Dicengkeramnya erat tas selempang yang dia kenakan. Bagaimana pun sekarang dia harus mulai bisa melupakan semua kenangan tersebut. Dia harus ingat akan dunianya sendi
86. Balikan? Kejora dibuat terkejut ketika langkahnya baru saja menginjak keluar kelas tetapi harus mendapati sosok Kelam yang menyandar pada dinding kelasnya. Ditambah lagi dengan tatapan yang mengarah kepadanya membuat Kejora ingin sekali pergi jauh dari sana. Sedangkan sang pelaku malah tersenyum kecil, dengan santainya digenggamnya tangan kiri Kejora dan membawanya menuju ke kantin. Meninggalkan Rai yang melongo, hanya bisa menatap kepergian mereka. Padahal, niat hati dia ingin pergi ke kantin bersama sepupunya tersebut. Jika tahu begini, dia juga meminta dijemput sang kekasih. "Ah resek emang," dengusnya membuat tawa Diana yang memang masih di dalam kelas terdengar. Menertawakan nasib gadis itu. "Diem lo cabe," ketus Rai. Dengan menghentakkan kakinya menahan kesal, dia berlalu menuju ke kantin seorang diri. Kembali kepada Kejora dan Kelam. Kedatangan mereka di kantin langsung menjadi pusat perhatian. Ditambah lagi dengan genggaman tangan Kelam pada tangan Kejora, berhasil men