Maaf baru bisa update sebab baru selesai ujian sekolah")
42. Siapa Sang Karma? Kedua mataku menyipit, dengan senyum manis yang kali ini kulayangkan. Melihat cowok jangkung di depanku membuat rasa bosanku perlahan hilang. Ditambah lagi dengan keributan yang dilakukan cowok itu dengan Rai, membuat suasana ruangan penginapanku begitu ramai. Padahal hanya ada kami bertiga di ruangan seluas ini. "Lo kalau datang ke sini cuma buat ngajak gue ribut mending lo pulang sekarang deh, Lang! Walau lo kakak kelas gue, gue ga takut. Mau lo punya gelar wakil ketua genk kek, apa kek gue ga peduli," cerocos Rai. Gelang yang mendengar cerocosan Rai mengerutkan dahi tidak suka. Dengan kesal dia langsung membawa kepala Rai ke dalam ketiaknya. Mengapitnya dengan erat membuat sepupuku itu seketika memekik keras. Mengadu bahwasanya ketiak cowok itu bau masam. Walau begitu tidak membuat Gelang marah. Cowok itu malah tertawa keras seraya semakin memperkuat kapitannya. Aku ikut dibuat terkekeh karena tingkah mereka. "Udah, Lang kasihan Rai nanti ga bisa napas."M
43. Jam Tangan KunoBaru saja membuka pintu kamar, aku sudah dihadiahi sosok Kelabu yang tampak merenung di atas ranjang. Kerutan di dahinya terlihat jelas, menandakan bahwa dia tengah berpikir keras. Tetapi, ketika aku berdehem pelan, dia langsung merubah ekspresinya menjadi sedia kala. Tersenyum lebar dengan netra yang berbinar. Seakan-akan akulah hadiah terindah yang pernah dia dapatkan. Padahal, akulah yang seharusnya begitu. Tetapi, entah mengapa sejak dekat dengan Kelam membuat perasaan bahagiaku terusik. Menjadikan sosok Kelabu perlahan lenyap. Dan kini, aku berada di ambang kebingungan. Siapa yang harus kupilih sebenarnya? Kelam atau Kelabu? Mengingat Kelam yang seakan-akan menarik-ulurkan perasaan ini, membuatku bingung. Ditambah lagi dengan perkataan Kelabu yang bisa saja pergi jauh dariku, itu membuatku semakin terusik. "Sejak kapan di sini?" Aku menutup pintu pelan setelahnya melangkah mendekatinya. "Sejak tadi, nungguin kamu selesai makan malam sama mama kamu," balas K
44. Bertengkar"Rai."Rai menoleh, menatapku seraya menaikkan satu alisnya. Tawa kecil yang sejak tadi menghiasi wajahnya seketika harus berhenti. Aku tahu, aku mengganggu waktunya dalam bertukar pesan dengan Iqbal. Tetapi, hanya sekaranglah kesempatan untuk aku bertanya langsung kepadanya. Sebab Tante Oliv baru saja beranjak untuk menuju ke dapur untuk mengambil cemilan dan membuatkan minuman lagi untuk kami bertiga. Film bergenre thriller itu berhenti sejenak. Memberi kesempatan untuk kami menyiapkan kembali hidangan untuk teman menonton. Sebenarnya aku hendak memanggil Bi Sum untuk kembali menghidangkan cemilan dan minuman yang telah raib, tetapi Tante Oliv menolaknya dan menawarkan diri untuk mengambilnya sendiri. Sempat melarangnya tetapi Tante Oliv tetap bersikukuh membuatku akhirnya mengalah. "Kenapa, Ra?" tanya Rai. "Umm itu aku ...."Aku ragu, sungguh. Aku sangat yakin bahwa Rai akan menolak keras permintaanku untuknya melepaskan jam tangannya dan menyuruhnya untuk menyimp
45. Pertemuan Pertama dengan Sang ImajiBrakk! "Kejora!"Kedua mataku mulai berkunang-kunang. Bahkan sosok yang saat ini tengah berjongkok di depanku terlihat begitu buram. Tangan kananku terulur, mencoba memastikan apakah sosok itu hanyalah halusinasiku saja atau memang kenyataan. Tetapi, belum sempat tanganku menyentuh rahang tegasnya, kesadaranku telah hilang sepenuhnya dan meninggalkan teriakkan panik dari mama. ***"Akhirnya kita bisa bertemu juga, Kejora."Suara itu? Suara siapa itu? Kubuka kedua mataku. Pemandangan aneh langsung kudapatkan. Pohon berwarna-warni, beberapa tusuk permen lolipop berukuran besar, sungai susu dan masih banyak lagi hal-hal aneh yang kudapatkan. Di tengah kebingungan, tiba-tiba sosok atau seekor hewan? Entahlah aku tidak bisa mendeskripsikannya secara jelas. Yang dapat kugambarkan adalah sosok dengan wajah cantik khas perempuan tetapi di atas kepalanya terdapat sebuah antena layaknya kupu-kupu. Tetapi, dia memiliki sayap seperti lebah, dengan ekor b
46. Bola-Bola IngatanHatiku terasa bergetar. Entah mengapa melihat para penduduk Kota Ingatan yang didominasi dengan penduduk berwarna biru dan ungu membuat dadaku sesak. Apakah memang hidupku semenyedihkan itu? Hingga penduduk berwarna kuning dan oranye bisa dihitung dengan jari? Kuembuskan napas kasar. Mencoba mengalihkan arah pandanganku ke lain arah. Mendapatkan fakta itu entah mengapa membuat dadaku berdenyut nyeri. Hingga sebuah jurang di tengah-tengah kota itu membuatku bingung. Ditambah, bisa kulihat ribuan bola hitam memenuhi jurang tersebut. "Apa itu jurang?" gumamku yang rupanya dapat didengar oleh Sang Imaji yang setia terbang di sampingku. "Itu adalah jurang penghapusan. Memori yang tidak penting menurutmu akan dibuang ke sana. Bola-bola yang semula berwarna-warni sesuai emosimu dengan gambaran ingatanmu akan berganti menjadi abu-abu dan perlahan menghilang di jurang penghapusan."Ada sesuatu yang membuatku tidak terima ketika mendengarnya. Fakta apa lagi ini? Apakah
47. Masa Kecil yang Hampir Terhapus"Ayah! Ayah! Tiupkan lebih banyak gelembung sabunnya!"Aku termangu melihat gambaran masa kecilku yang masih berusia lima tahun itu. Wajah tampan ayah terpampang jelas di sana. Gurat wajahnya yang tegas dan lembut menandakan bagaimana sosok ayah yang lemah-lembut. Kuusap lembut bola kenangan yang kini berada di dekapanku. Tidak terasa air mataku meluncur bebas. Ayah tersenyum mendengar seruanku. Dengan semangat ia kembali meniupkan gelembung sabun dengan semangat. Membuatku tertawa riang seraya berlari kecil untuk memecahkannya. Di samping ayah, mama terlihat tengah menggelar karpet piknik. Beberapa makanan kesukaanku terhidang manis di sana. Setelahnya, suara mama terdengar menyuruhku dan ayah untuk segera ke arahnya. "Ayo kita nikmati pagi ini bersama-sama!"Setelah suara mama terdengar. Bola ingatan itu kembali padam. Olio kembali menyerahkan satu bola ingatan kepadaku. Sekali lagi kudapati gambaran masa laluku. Kali ini, terlihat ayah tengah m
48. Fakta Mengejutkan KelamSamar-samar kudengar keributan di sekitarku. Tetapi, kedua mataku yang terasa berat membuatku tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Berulang kali kucoba, akhirnya samar-samar, dapat kulihat beberapa siluet seseorang di depanku. Hingga akhirnya, kesadaran sepenuhnya bisa kudapatkan. Aku terdiam ketika mendapati sosok Kelam yang berdiri di hadapanku dengan raut cemas, tetapi kecemasan itu berangsur hilang dan tergantikan raut kelegaan. "Butuh sesuatu?" tanyanya serak. "Haus," balasku lirih. Tenggorokanku terasa begitu kering dan membuatku kesulitan untuk mengeluarkan suara. Tidak lama kemudian, pintu kamarku terdengar terbuka kasar. Kudapati sosok mama dan juga Tante Oliv. Mama langsung berjalan cepat ke arahku, mengecup wajahku dengan raut lega. "Akhirnya kamu sadar juga, Nak. Mama udah cemas kamu ga bangun selama dua hari ini."Ucapan mama berhasil mengejutkanku. Sontak saja raut bingung tergambar di wajahku. Padahal, aku hanya beberapa menit
49. Makam AyahSore ini, setelah sekian lama tidak pernah kuinjakkan kaki di lahan luas dengan berhiaskan bunga kamboja. Kutatap gundukan-gundukkan tanah yang ada di sana. Usapan lembut di bahu kananku membuatku menoleh lalu tersenyum tipis. Mama menuntunku menuju ke gundukan yang bernisankan nama ayahku. Melihat mama yang telah berjongkok seraya mencabuti beberapa rumput ilalang yang tumbuh di sana, maka kusadari bahwa gundukan yang sangat bersih di hadapanku sekarang adalah makam ayahku. Tempat peristirahatan terakhir ayahku. "Ini malam ayahmu. Mama sering ke sini tiap dua minggu sekali tanpa sepengetahuanmu. Mama hanya takut kamu kembali histeris seperti dahulu," ujar mama lirih. Aku ikut berjongkok, turut membantu membersihkan makam ayah yang cukup bersih. Hanya ada beberapa rumput ilalang saja. Bahkan, masih terlihat bekas bunga-bunga mawar yang bertaburan di sana. Aku masih setia bungkam. Tidak tahu harus berucap apa untuk membalas cerita mama mengenai mendiang ayah. "Dulu ay