36. Permintaan IqbalAku meringis ketika tangan kananku masih saja dicengkeram erat oleh cowok di depanku. Sudah sejak tadi cowok itu menarikku setelah bel pulang berbunyi, tetapi sampai saat ini aku tidak tahu mau ke mana cowok itu membawaku. Hingga akhirnya aku tahu ke mana tujuan cowok di depanku. Rooftop. Pintu dibuka dengan keras, membuat suara bedebum. Angin sore berhembus kencang, membuat suraiku berterbangan. Masih setia mengekor, akhirnya cowok di depanku melepaskan cengkeramannya. Aku diam, tidak tahu alasan Iqbal membawaku ke sini. Karena itu aku memilih menunggu apa yang akan cowok itu katakan hingga dia harus membiarkan Rai untuk pulang sendiri dan memilih mengobrol empat mata denganku. Setelah beberapa menit tidak ada ucapan dari cowok itu, membuat kedua kakiku mulai pegal. Bahkan sejak tadi aku sudah menggerakkan kedua kakiku, mencoba menghilangkan rasa pegal itu. "Kalau ga ada yang mau diomongin, aku mau pula–""Jauhin Rai!" Aku terdiam. Menatap tidak mengerti Iqba
37. Menghindar dan PernyataanBenar kata mereka, menghindari seseorang yang telah berpengaruh di kehidupan kita itu susah. Aku menghela napas lega ketika berhasil menghindar lagi dari Rai. Sejak pagi, aku memutuskan untuk datang di jam-jam akhir bel masuk berbunyi. Bahkan, tempat duduk pun kuputuskan untuk berpisah. Memilih duduk di salah satu bangku kosong yang memang sisa di barisan paling belakang. Membuat Rai menatapku penuh tanda tanya. Aku mencoba tidak peduli. Setiap jam pelajaran berlangsung, aku mencoba fokus mengikuti pelajaran. Tidak peduli dengan gumpalan kertas yang kudapatkan dari Rai atau pesan chat darinya. Membuatku dengan segera mematikan data teleponku. Rai tampak memberenggut kesal. Aku juga harus berpura-pura izin menuju ke toilet saat jam istirahat akan datang. Hal itu kulakukan untuk terbebas dari Rai nanti saat jam istirahat. Dan untungnya hal itu berhasil, langkahku bukan menuju ke toilet sekolah melainkan ke tempat yang tidak akan Rai pikirkan. Kulepas sepa
38. Bingung "Pagi, Kelam."Sapaan itu aku layangkan kepada cowok yang tengah duduk seorang diri di bawah pohon mangga yang rindang. Di kedua telinganya tersumpal sebuah earphones dan di tangan kanannya sudah terdapat sebuah buku. Cowok itu terlihat begitu cool dalam posisi itu. Begitu pula dengan wajahnya. Aku meneguk saliva tanpa disadari, ketika tatapan cowok itu begitu menusuk ke arahku. Ada apa? Bukankah kemarin sepulang sekolah dia kembali menatapku dengan teduh dan lembut. Tetapi sekarang mengapa tatapan tajam dan dingin itu kembali kudapatkan? Apakah aku melakukan kesalahan? "Pergi."Suara datar itu membuatku terkesiap. Bahkan, dia terlihat begitu santai. Terlihat ketika dia hanya menatapku sesaat lalu kembali fokus kepada bukunya. Belum sempat aku mengeluarkan kalimatku, tubuhku terpental hingga mundur beberapa langkah. Sosok cewek dengan wajah marahnya menatapku tajam. Aku tahu siapa dia. Adik kelas bernama Gladia. Cewek cantik itu berkacak pinggang, sebelum akhirnya deng
39. Kembali dirundung"Makannya jangan sok dekat-dekat Kelam!""Kegatelan banget jadi cewek!""Udah tau juga lo itu gila! Udah pasti Kelam ga mau lah sama lo!"Bulir bening sudah meluncur bebas dari kedua mataku. Aku menunduk dalam, sesekali meringis pelan. Tubuhku terasa sakit semua. Luka lembam di wajah dan juga tubuhku terlihat jelas. Rambut panjangku pun sudah tidak lagi tertata rapi. Bahkan beberapa suraiku terlihat tergeletak mengenaskan di lantai toilet. Membuatku semakin terisak. Nasibku memang benar-benar menyedihkan. Apakah Tuhan juga membenciku sehingga memberikan cerita takdir yang begitu menyiksa? Plak!"Denger ga lo!" Tamparan itu kembali kudapatkan. Membuat sudut bibirku sobek, terasa dari rasa asin yang kini kucecap dan juga rasa perih yang kurasa. Kutatap sayu empat siswi yang berdiri angkuh di depanku. Kali ini, yang paling depan sebagai pemimpin adalah Gladia. Sedangkan di belakangnya terdapat Diana dan dua antek-anteknya. "Aku ga pernah deketin Kelam." Aku beruc
40. Tentang Peringatan, Pertanyaan dan Luka"Sudah aku bilang jangan terlalu jauh bermain, Kejora. Atau kamu akan melupakan jalan pulangmu.""Kembalilah ke duniamu, cukup sampai di sini. Aku tidak mau kamu tersesat.""Kamu bisa, Kejora. Aku percaya padamu."Suara itu? Aku tahu betul itu suara Sang Mimpi. Lalu, di mana ia sekarang? Kenapa dia tidak menampilkan wujudnya? Lalu, mengapa suasana begitu sunyi di sini? Sudah sepuluh menit aku berdiam diri di tengah rimbunnya hutan. Mendengarkan suara Sang Mimpi yang perlahan menghilang di telan bisikan angin. Aku tidak mengerti mengapa mimpiku kali ini begitu aneh dan berbeda. Tidak biasanya Sang Mimpi membiarkanku sendirian. Wanita cantik itu pasti akan selalu mendampingiku ketika memasuki alamnya. Lalu, mengapa sekarang ia seakan enggan bertemu denganku langsung? Bahkan, kunang-kunang yang biasanya ramai memenuhi hutan rimbun ini akan langsung menyapaku. Kali ini, alam Sang Mimpi terasa berbeda dan hambar. Tidak ada keindahan dan kebahag
41. Terjebak di Situasi Berdua Kuhembuskan napas panjang sekali lagi. Kuletakkan dengan pelan benda pipih yang sejak tadi sudah kumainkan hingga tersisa setengah baterainya. Kutatap nanar pintu ruangan. Belum ada tanda-tanda mama kembali atau seseorang datang untuk menjengukku lagi. Ah, apa yang kupikirkan? Mempunyai singel parent yang sibuk seperti mama dan orang-orang yang perlahan menjauh dariku, apa yang bisa kuharapkan? Berharap mereka akan datang dan menemaniku? Menghilangkan rasa bosan yang kini melandaku? Memikirkan harapan-harapan konyol itu malah akan membuat dadaku sesak. Memilih mencoba memejamkan mata, tetapi suara pintu yang dibuka oleh seseorang membuatku mengurungkan niat. Rai datang seorang diri. Senyum lebarnya langsung aku dapatkan ketika dia selesai menutup pintu ruangan kembali. "Nih gue bawa buah-buahan," ujarnya seraya meletakkan satu parsel berisikan buah-buahan segar untukku. Padahal, di atas meja samping brangkarku itu juga masih terlihat banyak beberap
42. Siapa Sang Karma? Kedua mataku menyipit, dengan senyum manis yang kali ini kulayangkan. Melihat cowok jangkung di depanku membuat rasa bosanku perlahan hilang. Ditambah lagi dengan keributan yang dilakukan cowok itu dengan Rai, membuat suasana ruangan penginapanku begitu ramai. Padahal hanya ada kami bertiga di ruangan seluas ini. "Lo kalau datang ke sini cuma buat ngajak gue ribut mending lo pulang sekarang deh, Lang! Walau lo kakak kelas gue, gue ga takut. Mau lo punya gelar wakil ketua genk kek, apa kek gue ga peduli," cerocos Rai. Gelang yang mendengar cerocosan Rai mengerutkan dahi tidak suka. Dengan kesal dia langsung membawa kepala Rai ke dalam ketiaknya. Mengapitnya dengan erat membuat sepupuku itu seketika memekik keras. Mengadu bahwasanya ketiak cowok itu bau masam. Walau begitu tidak membuat Gelang marah. Cowok itu malah tertawa keras seraya semakin memperkuat kapitannya. Aku ikut dibuat terkekeh karena tingkah mereka. "Udah, Lang kasihan Rai nanti ga bisa napas."M
43. Jam Tangan KunoBaru saja membuka pintu kamar, aku sudah dihadiahi sosok Kelabu yang tampak merenung di atas ranjang. Kerutan di dahinya terlihat jelas, menandakan bahwa dia tengah berpikir keras. Tetapi, ketika aku berdehem pelan, dia langsung merubah ekspresinya menjadi sedia kala. Tersenyum lebar dengan netra yang berbinar. Seakan-akan akulah hadiah terindah yang pernah dia dapatkan. Padahal, akulah yang seharusnya begitu. Tetapi, entah mengapa sejak dekat dengan Kelam membuat perasaan bahagiaku terusik. Menjadikan sosok Kelabu perlahan lenyap. Dan kini, aku berada di ambang kebingungan. Siapa yang harus kupilih sebenarnya? Kelam atau Kelabu? Mengingat Kelam yang seakan-akan menarik-ulurkan perasaan ini, membuatku bingung. Ditambah lagi dengan perkataan Kelabu yang bisa saja pergi jauh dariku, itu membuatku semakin terusik. "Sejak kapan di sini?" Aku menutup pintu pelan setelahnya melangkah mendekatinya. "Sejak tadi, nungguin kamu selesai makan malam sama mama kamu," balas K