33. Semakin KacauAku berdecak sekali lagi. Kutolehkan kepala ke kanan-ke kiri mencoba mencari sosok yang kutunggu-tunggu sejak setengah jam yang lalu. Tetapi sampai saat ini pun sosok yang kutunggu-tunggu tidak kunjung terlihat. Kulirik sekali lagi jam tanganku, sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Yang menandakan bahwa lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Dengan perasaan kesal kurogoh handphone-ku dari saku seragam. Memencet nomor Kelam dan mencoba menghubunginya. Tetapi sambungan telepon tidak kunjung dijawab. Membuatku kembali berdecak. Dengan perasaan kesal bercampur was-was, aku memilih menghubungi Rai. Tetapi, ibu jariku berhenti bergerak. Pasti Rai juga diantar Iqbal. Mengingat dia baru saja keluar dari rumah sakit kemarin. Jika aku menelepon Rai, sudah pasti aku akan bertemu dengan Iqbal. Sialnya, saat ini aku sedang tidak mau bertemu dengan kakak kelas satu itu. Aku sudah bisa membayangkan tatapan tajam yang akan cowok itu layangkan kepadaku. Seakan-a
34. Semuanya Hanya Drama"Kita putus."Kutatap kedua matanya yang masih setia menatap tajam ke arahku. Ditatap seperti itu membuatku menunduk. Putus? Kata itu terngiang-ngiang di kepalaku. Rasanya seperti terhempas begitu cepat. Kembali mencoba menatap Kelam, mencoba mencari kebohongan di sana. Tetapi, manik hitam legam itu terlihat begitu serius. Membuat bibirku kelu, entah harus berucap apa. Sedangkan Rai yang sejak tadi berdiri tidak jauh dariku mulai berjalan tergesa-gesa ke arah Kelan. Lalu, meraih kerah baju cowok itu sebelum sebuah tamparan keras Rai layangkan kepada Kelam. Tetapi, rupanya tamparan itu tidak memiliki arti apa-apa baginya. Cowok itu masih bersikap santai. Ia bahkan menatap tajam Rai yang telah berani menamparnya. "Udah puas?" Pertanyaan dengan nada dingin itu membuat Rai terdiam. Sepertinya cewek itu juga menyadari satu hal. Kelam bukan lagi sosok yang kami kenal. Cowok itu berubah entah karena apa. Atau memang sejak awal cowok itu memang seperti? "Lam maksud
35. Belum Bisa MelupaBahkan ketika harsa mulai kucecapKetika kupu-kupu menggelitik jiwaDan asmaraloka mulai kupintalSemuanya kau hancurkan dalam sekejapTidak peduli ketika aku mencoba ntuk bangkitKau terus menekan begitu kuatOh, Tuan hanya sampai di sini saja kah semuanya?Sebatas drama apik yang kau gelarAku mengembuskan napas panjang. Dengan lemas kuletakkan kepalaku di atas meja. Menenggelamkan wajah di lipatan tangan. Bolpoint yang sejak tadi menari cantik di atas kertas putih itu kuletakkan begitu saja. Memilih memejamkan mata, mencoba terhanyut ke dalam mimpi yang lebih indah. Saat ini kelasku terasa begitu ramai. Pemberitahuan akan rapat dadakan yang dilakukan para guru, langsung disambut meriah oleh murid lainnya. Bahkan sekarang ini kelasku begitu ricuh. Banyak orang-orang berseru, bergosip, bermain game, atau tidur. Saat ini aku sedang mencoba melakukan opsi yang terakhir, tetapi tiba-tiba saja mejaku terasa bergetar kuat. Membuatku terlonjak pelan. "Kerjain tugas
36. Permintaan IqbalAku meringis ketika tangan kananku masih saja dicengkeram erat oleh cowok di depanku. Sudah sejak tadi cowok itu menarikku setelah bel pulang berbunyi, tetapi sampai saat ini aku tidak tahu mau ke mana cowok itu membawaku. Hingga akhirnya aku tahu ke mana tujuan cowok di depanku. Rooftop. Pintu dibuka dengan keras, membuat suara bedebum. Angin sore berhembus kencang, membuat suraiku berterbangan. Masih setia mengekor, akhirnya cowok di depanku melepaskan cengkeramannya. Aku diam, tidak tahu alasan Iqbal membawaku ke sini. Karena itu aku memilih menunggu apa yang akan cowok itu katakan hingga dia harus membiarkan Rai untuk pulang sendiri dan memilih mengobrol empat mata denganku. Setelah beberapa menit tidak ada ucapan dari cowok itu, membuat kedua kakiku mulai pegal. Bahkan sejak tadi aku sudah menggerakkan kedua kakiku, mencoba menghilangkan rasa pegal itu. "Kalau ga ada yang mau diomongin, aku mau pula–""Jauhin Rai!" Aku terdiam. Menatap tidak mengerti Iqba
37. Menghindar dan PernyataanBenar kata mereka, menghindari seseorang yang telah berpengaruh di kehidupan kita itu susah. Aku menghela napas lega ketika berhasil menghindar lagi dari Rai. Sejak pagi, aku memutuskan untuk datang di jam-jam akhir bel masuk berbunyi. Bahkan, tempat duduk pun kuputuskan untuk berpisah. Memilih duduk di salah satu bangku kosong yang memang sisa di barisan paling belakang. Membuat Rai menatapku penuh tanda tanya. Aku mencoba tidak peduli. Setiap jam pelajaran berlangsung, aku mencoba fokus mengikuti pelajaran. Tidak peduli dengan gumpalan kertas yang kudapatkan dari Rai atau pesan chat darinya. Membuatku dengan segera mematikan data teleponku. Rai tampak memberenggut kesal. Aku juga harus berpura-pura izin menuju ke toilet saat jam istirahat akan datang. Hal itu kulakukan untuk terbebas dari Rai nanti saat jam istirahat. Dan untungnya hal itu berhasil, langkahku bukan menuju ke toilet sekolah melainkan ke tempat yang tidak akan Rai pikirkan. Kulepas sepa
38. Bingung "Pagi, Kelam."Sapaan itu aku layangkan kepada cowok yang tengah duduk seorang diri di bawah pohon mangga yang rindang. Di kedua telinganya tersumpal sebuah earphones dan di tangan kanannya sudah terdapat sebuah buku. Cowok itu terlihat begitu cool dalam posisi itu. Begitu pula dengan wajahnya. Aku meneguk saliva tanpa disadari, ketika tatapan cowok itu begitu menusuk ke arahku. Ada apa? Bukankah kemarin sepulang sekolah dia kembali menatapku dengan teduh dan lembut. Tetapi sekarang mengapa tatapan tajam dan dingin itu kembali kudapatkan? Apakah aku melakukan kesalahan? "Pergi."Suara datar itu membuatku terkesiap. Bahkan, dia terlihat begitu santai. Terlihat ketika dia hanya menatapku sesaat lalu kembali fokus kepada bukunya. Belum sempat aku mengeluarkan kalimatku, tubuhku terpental hingga mundur beberapa langkah. Sosok cewek dengan wajah marahnya menatapku tajam. Aku tahu siapa dia. Adik kelas bernama Gladia. Cewek cantik itu berkacak pinggang, sebelum akhirnya deng
39. Kembali dirundung"Makannya jangan sok dekat-dekat Kelam!""Kegatelan banget jadi cewek!""Udah tau juga lo itu gila! Udah pasti Kelam ga mau lah sama lo!"Bulir bening sudah meluncur bebas dari kedua mataku. Aku menunduk dalam, sesekali meringis pelan. Tubuhku terasa sakit semua. Luka lembam di wajah dan juga tubuhku terlihat jelas. Rambut panjangku pun sudah tidak lagi tertata rapi. Bahkan beberapa suraiku terlihat tergeletak mengenaskan di lantai toilet. Membuatku semakin terisak. Nasibku memang benar-benar menyedihkan. Apakah Tuhan juga membenciku sehingga memberikan cerita takdir yang begitu menyiksa? Plak!"Denger ga lo!" Tamparan itu kembali kudapatkan. Membuat sudut bibirku sobek, terasa dari rasa asin yang kini kucecap dan juga rasa perih yang kurasa. Kutatap sayu empat siswi yang berdiri angkuh di depanku. Kali ini, yang paling depan sebagai pemimpin adalah Gladia. Sedangkan di belakangnya terdapat Diana dan dua antek-anteknya. "Aku ga pernah deketin Kelam." Aku beruc
40. Tentang Peringatan, Pertanyaan dan Luka"Sudah aku bilang jangan terlalu jauh bermain, Kejora. Atau kamu akan melupakan jalan pulangmu.""Kembalilah ke duniamu, cukup sampai di sini. Aku tidak mau kamu tersesat.""Kamu bisa, Kejora. Aku percaya padamu."Suara itu? Aku tahu betul itu suara Sang Mimpi. Lalu, di mana ia sekarang? Kenapa dia tidak menampilkan wujudnya? Lalu, mengapa suasana begitu sunyi di sini? Sudah sepuluh menit aku berdiam diri di tengah rimbunnya hutan. Mendengarkan suara Sang Mimpi yang perlahan menghilang di telan bisikan angin. Aku tidak mengerti mengapa mimpiku kali ini begitu aneh dan berbeda. Tidak biasanya Sang Mimpi membiarkanku sendirian. Wanita cantik itu pasti akan selalu mendampingiku ketika memasuki alamnya. Lalu, mengapa sekarang ia seakan enggan bertemu denganku langsung? Bahkan, kunang-kunang yang biasanya ramai memenuhi hutan rimbun ini akan langsung menyapaku. Kali ini, alam Sang Mimpi terasa berbeda dan hambar. Tidak ada keindahan dan kebahag