32. Alur Mulai Berubah "Di mana Kelam, Ra?" Pertanyaan Rai hanya kubalas dengan gedikan bahu saja. Tanpa berniat membalas, aku memilih mengeluarkan beberapa buah dari dalam kantong plastik dan menatanya di meja kecil samping brangkar Rai. Di sebuah sofa di pojok ruangan terdapat Iqbal yang sejak tadi menatapku dengan tajam. Sepertinya cowok itu begitu was-was denganku. Memangnya, apa yang dia takuti dariku? "Kok ga dateng sih Ra? Kan gue kangen dia." Celetukan Rai berhasil membuat pergerakanku terhenti. Seakan menyadari sesuatu, Rai kembali berucap, "Sebagai temen doang. Sayang jangan lihatin aku kaya gitu deh."Diam-diam aku mengembuskan napas lega. Kulirik sejenak ke arah Iqbal, rupanya cowok itu sudah memasang wajah masam ke arah Rai. Pantas saja sepupuku itu langsung keringat dingin. Memang siapa suruh punya sifat blak-blakan seperti itu. "Udahlah mending kamu makan nih apel. Udah aku kupas," ucapku mencoba mengalihkan topik. Untungnya Rai langsung tergiur. Dengan lahap dia l
33. Semakin KacauAku berdecak sekali lagi. Kutolehkan kepala ke kanan-ke kiri mencoba mencari sosok yang kutunggu-tunggu sejak setengah jam yang lalu. Tetapi sampai saat ini pun sosok yang kutunggu-tunggu tidak kunjung terlihat. Kulirik sekali lagi jam tanganku, sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Yang menandakan bahwa lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Dengan perasaan kesal kurogoh handphone-ku dari saku seragam. Memencet nomor Kelam dan mencoba menghubunginya. Tetapi sambungan telepon tidak kunjung dijawab. Membuatku kembali berdecak. Dengan perasaan kesal bercampur was-was, aku memilih menghubungi Rai. Tetapi, ibu jariku berhenti bergerak. Pasti Rai juga diantar Iqbal. Mengingat dia baru saja keluar dari rumah sakit kemarin. Jika aku menelepon Rai, sudah pasti aku akan bertemu dengan Iqbal. Sialnya, saat ini aku sedang tidak mau bertemu dengan kakak kelas satu itu. Aku sudah bisa membayangkan tatapan tajam yang akan cowok itu layangkan kepadaku. Seakan-a
34. Semuanya Hanya Drama"Kita putus."Kutatap kedua matanya yang masih setia menatap tajam ke arahku. Ditatap seperti itu membuatku menunduk. Putus? Kata itu terngiang-ngiang di kepalaku. Rasanya seperti terhempas begitu cepat. Kembali mencoba menatap Kelam, mencoba mencari kebohongan di sana. Tetapi, manik hitam legam itu terlihat begitu serius. Membuat bibirku kelu, entah harus berucap apa. Sedangkan Rai yang sejak tadi berdiri tidak jauh dariku mulai berjalan tergesa-gesa ke arah Kelan. Lalu, meraih kerah baju cowok itu sebelum sebuah tamparan keras Rai layangkan kepada Kelam. Tetapi, rupanya tamparan itu tidak memiliki arti apa-apa baginya. Cowok itu masih bersikap santai. Ia bahkan menatap tajam Rai yang telah berani menamparnya. "Udah puas?" Pertanyaan dengan nada dingin itu membuat Rai terdiam. Sepertinya cewek itu juga menyadari satu hal. Kelam bukan lagi sosok yang kami kenal. Cowok itu berubah entah karena apa. Atau memang sejak awal cowok itu memang seperti? "Lam maksud
35. Belum Bisa MelupaBahkan ketika harsa mulai kucecapKetika kupu-kupu menggelitik jiwaDan asmaraloka mulai kupintalSemuanya kau hancurkan dalam sekejapTidak peduli ketika aku mencoba ntuk bangkitKau terus menekan begitu kuatOh, Tuan hanya sampai di sini saja kah semuanya?Sebatas drama apik yang kau gelarAku mengembuskan napas panjang. Dengan lemas kuletakkan kepalaku di atas meja. Menenggelamkan wajah di lipatan tangan. Bolpoint yang sejak tadi menari cantik di atas kertas putih itu kuletakkan begitu saja. Memilih memejamkan mata, mencoba terhanyut ke dalam mimpi yang lebih indah. Saat ini kelasku terasa begitu ramai. Pemberitahuan akan rapat dadakan yang dilakukan para guru, langsung disambut meriah oleh murid lainnya. Bahkan sekarang ini kelasku begitu ricuh. Banyak orang-orang berseru, bergosip, bermain game, atau tidur. Saat ini aku sedang mencoba melakukan opsi yang terakhir, tetapi tiba-tiba saja mejaku terasa bergetar kuat. Membuatku terlonjak pelan. "Kerjain tugas
36. Permintaan IqbalAku meringis ketika tangan kananku masih saja dicengkeram erat oleh cowok di depanku. Sudah sejak tadi cowok itu menarikku setelah bel pulang berbunyi, tetapi sampai saat ini aku tidak tahu mau ke mana cowok itu membawaku. Hingga akhirnya aku tahu ke mana tujuan cowok di depanku. Rooftop. Pintu dibuka dengan keras, membuat suara bedebum. Angin sore berhembus kencang, membuat suraiku berterbangan. Masih setia mengekor, akhirnya cowok di depanku melepaskan cengkeramannya. Aku diam, tidak tahu alasan Iqbal membawaku ke sini. Karena itu aku memilih menunggu apa yang akan cowok itu katakan hingga dia harus membiarkan Rai untuk pulang sendiri dan memilih mengobrol empat mata denganku. Setelah beberapa menit tidak ada ucapan dari cowok itu, membuat kedua kakiku mulai pegal. Bahkan sejak tadi aku sudah menggerakkan kedua kakiku, mencoba menghilangkan rasa pegal itu. "Kalau ga ada yang mau diomongin, aku mau pula–""Jauhin Rai!" Aku terdiam. Menatap tidak mengerti Iqba
37. Menghindar dan PernyataanBenar kata mereka, menghindari seseorang yang telah berpengaruh di kehidupan kita itu susah. Aku menghela napas lega ketika berhasil menghindar lagi dari Rai. Sejak pagi, aku memutuskan untuk datang di jam-jam akhir bel masuk berbunyi. Bahkan, tempat duduk pun kuputuskan untuk berpisah. Memilih duduk di salah satu bangku kosong yang memang sisa di barisan paling belakang. Membuat Rai menatapku penuh tanda tanya. Aku mencoba tidak peduli. Setiap jam pelajaran berlangsung, aku mencoba fokus mengikuti pelajaran. Tidak peduli dengan gumpalan kertas yang kudapatkan dari Rai atau pesan chat darinya. Membuatku dengan segera mematikan data teleponku. Rai tampak memberenggut kesal. Aku juga harus berpura-pura izin menuju ke toilet saat jam istirahat akan datang. Hal itu kulakukan untuk terbebas dari Rai nanti saat jam istirahat. Dan untungnya hal itu berhasil, langkahku bukan menuju ke toilet sekolah melainkan ke tempat yang tidak akan Rai pikirkan. Kulepas sepa
38. Bingung "Pagi, Kelam."Sapaan itu aku layangkan kepada cowok yang tengah duduk seorang diri di bawah pohon mangga yang rindang. Di kedua telinganya tersumpal sebuah earphones dan di tangan kanannya sudah terdapat sebuah buku. Cowok itu terlihat begitu cool dalam posisi itu. Begitu pula dengan wajahnya. Aku meneguk saliva tanpa disadari, ketika tatapan cowok itu begitu menusuk ke arahku. Ada apa? Bukankah kemarin sepulang sekolah dia kembali menatapku dengan teduh dan lembut. Tetapi sekarang mengapa tatapan tajam dan dingin itu kembali kudapatkan? Apakah aku melakukan kesalahan? "Pergi."Suara datar itu membuatku terkesiap. Bahkan, dia terlihat begitu santai. Terlihat ketika dia hanya menatapku sesaat lalu kembali fokus kepada bukunya. Belum sempat aku mengeluarkan kalimatku, tubuhku terpental hingga mundur beberapa langkah. Sosok cewek dengan wajah marahnya menatapku tajam. Aku tahu siapa dia. Adik kelas bernama Gladia. Cewek cantik itu berkacak pinggang, sebelum akhirnya deng
39. Kembali dirundung"Makannya jangan sok dekat-dekat Kelam!""Kegatelan banget jadi cewek!""Udah tau juga lo itu gila! Udah pasti Kelam ga mau lah sama lo!"Bulir bening sudah meluncur bebas dari kedua mataku. Aku menunduk dalam, sesekali meringis pelan. Tubuhku terasa sakit semua. Luka lembam di wajah dan juga tubuhku terlihat jelas. Rambut panjangku pun sudah tidak lagi tertata rapi. Bahkan beberapa suraiku terlihat tergeletak mengenaskan di lantai toilet. Membuatku semakin terisak. Nasibku memang benar-benar menyedihkan. Apakah Tuhan juga membenciku sehingga memberikan cerita takdir yang begitu menyiksa? Plak!"Denger ga lo!" Tamparan itu kembali kudapatkan. Membuat sudut bibirku sobek, terasa dari rasa asin yang kini kucecap dan juga rasa perih yang kurasa. Kutatap sayu empat siswi yang berdiri angkuh di depanku. Kali ini, yang paling depan sebagai pemimpin adalah Gladia. Sedangkan di belakangnya terdapat Diana dan dua antek-anteknya. "Aku ga pernah deketin Kelam." Aku beruc
94. Ending "Maaf, ini calon tunangan ceweknya mana ya?" Tante Oliv yang tengah disibukkan dengan sambungan teleponnya seraya mengatur para maid di mansionnya dibantu oleh Kejora yang sudah datang pagi-pagi buta pun terdiam. Begitu pula dengan Kejora yang berdiri tidak jauh dari wanita paruh baya itu. Terkejut dengan pertanyaan tim perias, pasalnya jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dua jam lagi acara pertunangan putrinya dengan sang kekasihnya-Iqbal akan segera digelar. "Lho emang dia belum nemuin mbaknya?" Tante Oliv melempar pertanyaan yang langsung mendapat gelengan polos dari tim perias. Wanita paruh baya itu tampak menggerutu, samar-samar nama Rai disebut-sebutkan. Wanita itu kesal sekaligus gemas dengan putrinya. Apakah Rai belum kunjung bangun? Padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja membangunkan putrinya dan Rai menjawab akan segera turun. Karena itulah dia pikir putrinya itu sudah bangun sejak tadi. "Ra, tante minta tolong bangunkan Rai ya?" Kejora lan
93. Menuju EndingSuara tawa dan drum yang ditabuh begitu kencang meramaikan sebuah lapangan sekolah yang begitu luas di SMA Bakti Sakti. Semua murid bersorak, menyambut kelulusan mereka. Banyak murid berlalu-lalang saling mencoret seragam putih biru mereka. Satu-dua menyalakan bom asap yang penuh warna. Ada juga yang mengabadikan acara tersebut dengan berfoto bersama, seperti yang tengah dilakukan Kelam dan sahabatnya, plus Iqbal yang sudah mereka anggap sebagai anggota ke-enam mereka."Harus kaya gini gayanya?" tanya Kelam menatap sinis Risky, Gelang dan Dion yang menjadi akal untuk berfoto bersama.Sebenarnya tidak masalah untuk fotonya tetapi pose yang dirancang tiga cecunguk itu membuat Kelam jengah. Pasalnya mereka berenam akan melakukan pose membentuk sebuah bintang segi enam dengan tangan mereka yang saling menyentuh sama lain. Menurut Kelam pose mereka terlalu berlebihan, tetapi tiga cecunguk sahabatnya itu menyanggah dengan jawaban yang membuat Kelam semakin muak."Gue mau k
92. Bahagia yang SederhanaDua minggu telah berlalu. Dua minggu yang berhasil membuat semua murid SMA Bakti Sakti menjerit karena ujian serta ulangan yang mereka hadapi. Karenanya minggu ini langsung disambut pekikan senang dan hembusan lega dari mereka semua termasuk segerombolan anak yang kini duduk meligkar di atas rooftop sekolah. Sembilan remaja itu terlihat saling melempar sendau gurau satu sama lain. Di tengah lingkaran yang mereka buat sudah tertata banyak beberapa jenis makanan ringan."Ga kerasa ya cuma tinggal hitungan jari kita bakal lulus," celetuk Risky membuat tawa yang semula menemani mereka seketika lenyap tergantikan dengan keheningan. Mereka semua mulai terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing, memikirkan jalan mana nantinya yang akan mereka tempuh setelah resmi keluar dari status anak SMA."Kalian mau lanjut ke mana?" Riyan yang bertanya.Ternyata cowok itu tidak sekaku dan segalak yang terlihat dari tampangnya. Cowok itu cukup ramah dengan caranya sendiri wala
91. Kilas Kisah GelangKelam mengerutkan dahi menatap frustasi soal-soal yang tertera di depannya. Begitu panjang dan rumit. Bahkan Kelam bisa membayangkan adanya wajah meledek pada kertas berisikan soal yang kini dia genggam dengan erat. Berdecak pelan, sekilas melirik ke arah teman-temannya berada yang tampaknya juga mengalami gejala stress akut. Terlihat sekali dengan adanya asap yang mengepul keluar dari kepala mereka. Oke, kalimat terakhir tadi hanyalah bayangan imaji yang Kelam ciptakan."Psstt lihatin jawaban Vino di kelas sebelah dong, Tan.""Kelam Putra Arjuna!"Teriakkan menggema itu membuat Kelam seketika mendatarkan kembali wajahnya. Mengangkat wajah menatap lempeng guru pengawas yang rupanya berhasil menangkap basah dirinya tengah berceloteh. Mempertahankan wajah sok coolnya, walau tengah menjadi pusat perhatian murid lainnya, Kelam mencoba tenang."Berbicara dengan siapa kamu?" tanya sang guru pengawas tajam."Tidak ada."Di dalam hati remaja cowok itu merutuki sang guru
90. Belajar Bersama"Ini soalnya pendek tapi kenapa caranya panjang bener dah."Basecamp kali ini telah diramaikan dengan gerutuan dan protessan dari bibir Dion, Risky, Gelang, dan Rai. Sedangkan Vino, Iqbal dan Kejora sudah beralih profesi menjadi mentor belajar mereka. Sebab nilai dan peringkat mereka jauh lebih unggul daripada yang lainnya. Sedangkan Kelam? Cowok itu tampak diam seraya menatap buku LKS yang jarang dia buka. Oh ayolah bahkan dia sentuh saja jarang. Sebenarnya dia ingin mengeluarkan sumpah serapah dengan materi mapel matematika yang tengah dia pelototi itu. Tetapi hanya untuk menjaga image di depan Kejora, cowok itu memilih diam dan seakan-akan mampu menguasai materi tersebut.Walau begitu ada sepasang mata yang tidak bisa dia bohongi. Vino menggeleng pelan melihat tingkah ketuanya itu. Dapat dia tangkap jelas dahi cowok itu yang tampak menegang sesekali mengerut karena menahan kekesalan. Walau begitu dia tidak mau membuat sang sahabatnya itu merasa malu karena kepur
89. BerdamaiDi sinilah Kelam sekarang. Berada di lapangan sekolahnya yang amat luas. Berlari mengelilingi lapangan tersebut ditemani dengan seorang guru laki-laki dengan peluit di bibirnya yang terus bersuara, menyuruh Kelam untuk terus berlari. Kelam berdecak, dia mengusap dahinya dengan kasar. Mentari yang entah bagaimana bisa tiba-tiba bersinar dengan teriknya, padahal tadi pagi jelas-jelas langit kelabu menghiasi. "Sialan, kenapa tiba-tiba jadi panas gini sih," gerutunya seraya mengusap peluhnya yang telah membasahi kaos hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Dia memang sengaja menanggalkan baju seragamnya agar tidak ikut bau keringat nantinya. "Ayo dua putaran lagi!" Kelam semakin kesal ketika seruan dan suara peluit yang terus mengganggu indera pendengarannya. Karena tertangkap basah melamun di jam pelajaran Bu Tuti, dia berakhir dihukum seperti ini. Dan sialnya, ada Pak Joko yang terus mengawasinya sehingga membuatnya tidak bisa kabur dari hukuman. "Bagus. Besok lagi diu
88. Dimabuk Cinta"Ra."Kejora menoleh, menunggu ucapan Kelam yang ingin cowok itu ucapkan. Cowok itu mendekat, tanpa aba-aba mendekap tubuh mungil gadis itu. Berhasil membuat sang gadis mati kutu karena gugup. Ditambah lagi debaran keduanya yang semakin keras membuat keduanya sama-sama terhanyut dalam kehangatan. Rona merah menjalar pada kedua pipi Kejora, membuat gadis itu semakin manis di bawah sinar rembulan. "Makasih untuk malam ini," bisik Kelam. Kejora hanya mengangguk kecil, terlalu takut jika dia membuka suara, suaranya tergagap karena gugup. "Besok pagi aku jemput kaya biasa." Lagi-lagi Kejora hanya bisa mengangguk menurut. Kedua mata gadis itu terpejam ketika Kelam memberikan kecupan hangat di dahinya. Sekali lagi getaran itu membuat keduanya semakin terhanyut. Sebelum suara deheman dari seseorang membuat adegan romantis itu seketika hancur. "Bagus ya main nyosor-nyosor anak mama. Sudah siap kamu nikahin putri mama, Kelam?" Kelam menyengir lebar. Kepergok calon mertua
87. DinnerMelihat keadaan kamarnya yang tampak lenggang membuat Kejora termangu di depan pintu kamar. Ingatannya menerawang, kembali mengingat kenangannya dengan Kelabu selama ini. Sosok khayalan yang selama ini menemaninya di saat sepi menyapa. Sosok yang berhasil membuatnya terhanyut ke dalam pesonanya. Sosok yang selama ini nyata dengan kesempurnaan yang dia miliki, bahkan sosok yang selama ini berhasil masuk ke dalam relung hatinya sebelum kedatangan Kelam.Menghela napas panjang. Lekas dihapusnya ingatan itu. Bukan karena dia marah atau bahkan menyesal mengenal sosok Kelabu. Tetapi karena dia teringat akan janjinya kepada sang mama untuk melupakan semuanya. Melupakan semua tindakan bodohnya yang bermain-main dengan imaji. Menggelengkan kepalanya, gegas Kejora menutup pintu kamarnya dan segera turun ke lantai dasar. Dicengkeramnya erat tas selempang yang dia kenakan. Bagaimana pun sekarang dia harus mulai bisa melupakan semua kenangan tersebut. Dia harus ingat akan dunianya sendi
86. Balikan? Kejora dibuat terkejut ketika langkahnya baru saja menginjak keluar kelas tetapi harus mendapati sosok Kelam yang menyandar pada dinding kelasnya. Ditambah lagi dengan tatapan yang mengarah kepadanya membuat Kejora ingin sekali pergi jauh dari sana. Sedangkan sang pelaku malah tersenyum kecil, dengan santainya digenggamnya tangan kiri Kejora dan membawanya menuju ke kantin. Meninggalkan Rai yang melongo, hanya bisa menatap kepergian mereka. Padahal, niat hati dia ingin pergi ke kantin bersama sepupunya tersebut. Jika tahu begini, dia juga meminta dijemput sang kekasih. "Ah resek emang," dengusnya membuat tawa Diana yang memang masih di dalam kelas terdengar. Menertawakan nasib gadis itu. "Diem lo cabe," ketus Rai. Dengan menghentakkan kakinya menahan kesal, dia berlalu menuju ke kantin seorang diri. Kembali kepada Kejora dan Kelam. Kedatangan mereka di kantin langsung menjadi pusat perhatian. Ditambah lagi dengan genggaman tangan Kelam pada tangan Kejora, berhasil men