Xuan Li bersandar pada dinding batu yang dingin, menggosok pelipisnya dengan gerakan lelah. Napasnya pelan, namun berat. "Sialan," gumamnya sambil melirik wanita yang terbaring di hadapannya. “Kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini? Kalau bukan karena nasihat Guru, aku tidak akan repot-repot menyelamatkan orang asing.”Matanya kembali mengamati ruangan sempit di sekelilingnya. Cahaya remang dari obor di sudut tembok menari pelan, memantulkan bayangan buram yang seolah mengejek kebuntuannya. Bau lembap bercampur tanah basah memenuhi udara, menyatu dengan aroma samar herbal yang ia gunakan untuk menyelamatkan wanita itu.“Dia pasti tahu sesuatu tentang tempat ini,” pikir Xuan Li. “Hanya saja, bagaimana caranya aku mendapatkan jawaban darinya? Bahkan aku tidak tahu kapan dia akan tersadar.”Namun, pikiran Xuan Li terpotong saat mendadak wanita itu bergerak. Tubuhnya yang sebelumnya diam mulai menggeliat pelan. Matanya terbuka, namun kosong, seperti kaca tanpa pantulan.Xuan
Xuan Li bolak-balik berjalan di dalam ruangan itu, seperti harimau di dalam sangkar. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tertahankan. Matanya sesekali melirik ke arah wanita asing yang terbaring tak sadarkan diri di tengah ruangan.“Berapa lama lagi dia akan tidur?” gumam Xuan Li, memutar matanya dengan kesal. Ia mendekati dinding, bersandar dengan malas sambil menghembuskan napas panjang.Waktu terasa melambat di ruangan itu, seakan udara pun terperangkap dan berhenti bergerak. Akhirnya, tubuhnya merosot, duduk di lantai dingin dengan punggung menyandar ke dinding. Kelopak matanya mulai berat, dan tanpa disadari, ia tertidur.Matanya terbuka hanya untuk menemukan dirinya dalam situasi yang tidak mengenakkan. Sebuah kaki menekan keras dadanya, membuat napasnya sesak. Wajahnya berkerut menahan sakit, sementara mata tajam milik wanita asing itu menatapnya dengan penuh curiga.“Siapa kamu?” bentak wanita itu, suara dinginnya menggema di dalam ruangan yang sempit. Sebilah pisau
"Tabib Wu Yu sudah kembali!" seru salah seorang pengawal yang melihat kedatangan Xuan Li.Mereka menyambutnya dengan wajah tegang, menyiratkan kecemasan yang tak terungkapkan."Tuan Penasihat, apakah ada yang bisa kubantu?" tanya Xuan Li setelah memberi salam penghormatan."Benar, Tabib Muda. Tuan Putri Jing Yue telah sadar, tetapi..."Ucapannya menggantung, dan ia memutar tubuhnya dengan cepat, matanya tertuju pada dua utusan yang mendekat dengan langkah tergesa.Xuan Li pun memutar tubuhnya mengikuti arah pandang penasihat istana. Kedua alisnya bertaut, menebak sesuatu yang tidak ia mengerti."Tabib Muda, Yang Mulia Raja Jing memerintahkan kami untuk memanggilmu ke kediaman Putri Jing Yue."Banyak pertanyaan muncul di kepala Xuan Li, tetapi situasi tidak memungkinkan untuk bertanya."Baiklah, bawa aku ke sana."Xuan Li memilih untuk melihat secara langsung tentang apa yang terjadi.Penasihat istana berjalan mengikutinya di belakang. Ia belum sempat menjelaskan kepada Xuan Li tentang
Xuan Li menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya masih belum pulih sepenuhnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Api spiritual di dantiannya mulai stabil, itulah satu-satunya senjata yang bisa ia andalkan untuk menyelamatkan Putri Jing Yue.“Yang Mulia, bantu aku menegakkan tubuh putri dan memeganginya dengan kuat,” pintanya kepada Raja Jing.Tanpa sepatah kata, Raja Jing mengangguk, meskipun wajahnya memancarkan kecemasan. Ia menopang tubuh putrinya yang lemah, sementara Xuan Li duduk bersila di belakang sang putri.Xuan Li menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Putri Jing Yue. Energi spiritual hangat mengalir dari tubuhnya, menembus kulit sang putri. Aura gelap yang mengunci meridian tubuhnya bergetar, seperti makhluk yang melawan sebelum musnah.Racun belenggu jiwa itu tidak mudah ditangani. Xuan Li menggertakkan giginya, memusatkan seluruh konsentrasinya. Energi gelap itu mulai terbakar oleh api spiritualnya, sebagian lenyap menjadi abu, sementara sebagian lainnya, yang lebi
Koridor istana tampak lengang. Matahari siang menyorot terang, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer. Tidak ada pelayan atau penjaga yang terlihat, membuat suasana terasa ganjil."Aneh... ke mana semua orang?" pikirnya. Matanya menyisir setiap sudut, tetapi koridor itu kosong.Tanpa arah pasti, ia berjalan menuju istana utama. Namun, sesampainya di sana, ia hanya menemukan dua penjaga berdiri tegak di depan pintu besar yang tertutup rapat.“Aku ingin bertemu Raja Jing,” katanya dengan nada tegas, berharap bisa mendapatkan penjelasan.Salah satu penjaga meliriknya dari kepala hingga kaki, lalu menjawab dingin, “Raja Jing sedang tidak di sini. Seluruh penghuni istana sedang berada di Aula Merak, merayakan kesembuhan Putri Jing Yue.”Xuan Li mengerutkan kening. "Aula Merak? Merayakan? Mereka bahkan tidak memberitahuku," gumamnya dengan nada tak percaya. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, ia berbalik dan berjalan menuju aula yang dimaksud.Begitu sampai di halaman Aula Mera
Jenderal Liu, seorang pria bertubuh tegap dengan baju perang yang berkilauan, melangkah maju dengan wajah merah padam, penuh amarah yang tak terkendali.“Yang Mulia!” serunya, suaranya menggema di aula besar istana. “Ginseng itu terlalu berharga untuk diberikan kepada anak muda seperti dia! Apa yang bisa dilakukan seorang pemula dengan sesuatu yang begitu berharga?”Raja Jing hanya meliriknya sekilas, senyum tipis terukir di wajahnya, menunjukkan sikap santai namun penuh wibawa.“Jenderal Liu,” jawabnya dengan nada datar yang penuh tekanan, “Aku adalah raja. Keputusanku adalah mutlak.”Xuan Li menerima ginseng merah itu dengan sikap tenang. Ia menundukkan kepala sebagai bentuk hormat dan ucapan terima kasih, kemudian menyimpan ginseng tersebut dengan hati-hati. Ia sepenuhnya menyadari beratnya tanggung jawab yang kini berada di tangannya.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Jenderal Liu melangkah maju, tatapannya seperti bara api yang menyala.“Serahkan ginseng itu!” teriaknya
Kedua tangan Jenderal Liu bergerak dengan cepat, membentuk pola-pola rumit yang tampak seperti tarian di udara. Setiap gerakan memunculkan cahaya merah yang kemudian membentuk simbol-simbol misterius, berpendar di kegelapan ruangan seperti bara api yang menyala-nyala. Dengan satu gerakan terakhir, ia mendorong simbol-simbol itu ke arah Xuan Li. Formasi lingkaran yang berkilauan mengurung tubuh pemuda itu, seolah-olah hendak menyegel nasibnya.Namun, sesuatu yang tidak ia duga terjadi."Mustahil..." gumam Jenderal Liu, suaranya tercekat di tenggorokan. Tatapan matanya membelalak, menatap lingkaran itu yang perlahan-lahan redup tanpa memberikan efek apapun pada lawannya.Seharusnya teknik pengendali racun belenggu jiwa ini langsung memantik reaksi dari energi jahat di tubuh Xuan Li. Namun, pemuda itu tetap berdiri dengan tenang, bahkan menunjukkan seringai tipis yang menyebalkan.“Si-siapa kamu sebenarnya?” tanya Jenderal Liu, suara baritonnya kini penuh kegelisahan.Xuan Li melangka
Aura kegelapan di ruangan sempit itu begitu pekat, seperti kabut hitam yang tidak hanya membatasi pandangan tetapi juga menekan napas. Xuan Li berdiri di tengahnya, tubuhnya tegak, meski napasnya sudah memburu. Udara di sekitar terasa berat, penuh dengan hawa panas yang mengancam, dan bau logam seperti darah segar menguar di setiap tarikan napasnya.Matanya yang tajam menyapu ruangan, mencari celah untuk keluar. “Sial! Mekanisme Jian Ling tidak bekerja di sini,” gumamnya pelan. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ruangan ini seperti penjara hidup, dan tidak tahu bagaimana keluar dari sana.Di sudut lain, Jenderal Liu berdiri dengan tubuh yang telah sepenuhnya berubah. Kulitnya menghitam dengan pola-pola merah menyala seperti magma, sementara tubuhnya membesar hingga tiga kali lipat dari ukuran manusia biasa. Wajahnya kehilangan ciri-ciri manusia, kini berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan, seperti perpaduan antara iblis dan binatang buas.Xuan Li bergidik. “J
Xuan Li terbang di ketinggian rendah, di sekelilingnya hanya tanah retak dan sunyi. Tak ada angin, tak ada suara makhluk hidup, seolah dunia di tempat ini sudah lama mati.Tapi ia tidak peduli. Ia fokus mengikuti sisa simpul energi terakhir dari Alam Bayangan.Setelah beberapa li, medan berubah. Tanah gersang berganti menjadi bukit-bukit batu. Tumbuhan mulai muncul, kering, namun hidup. Tempat ini tampak lebih normal dibanding lembah kematian atau sungai darah yang ia lewati sebelumnya. Tapi Xuan Li tidak lengah. Alam Bayangan dikenal suka menyembunyikan bahaya di balik ilusi ketenangan.Tiba-tiba, tubuhnya berhenti.Ia merasakan hawa manusia.Seseorang mendekat.Xuan Li menoleh dan matanya menyipit. “Mo Xiang?”Laki-laki itu berdiri kaku beberapa langkah di depannya, wajahnya seputih abu. Tubuh kurusnya diselimuti jubah hitam, dan mata yang pernah bersinar ramah itu kini penuh kecemasan.“Wu Yu...?” bisiknya, setengah tak percaya.Sebelum Xuan Li sempat menjawab, Mo Xiang bergerak c
Xuan Li menoleh pada Pemimpin Tanah Jiva yang berdiri tidak jauh darinya. Kini dengan tubuh muda dan vitalitas yang pulih, sang pemimpin tampak jauh berbeda dari sebelumnya.“Aku harus pergi,” kata Xuan Li singkat.Pemimpin mengangguk. “Kami berutang banyak padamu. Jika suatu saat kau kembali, tanah ini akan menyambutmu.”Pengawas Ji yang berdiri di sisi kanan sang pemimpin menunduk hormat. Tidak ada pertanyaan, tidak ada permintaan.Xuan Li berjalan melewati jajaran para tetua yang membungkuk di sisi jalan berbatu menuju gerbang. Tidak ada satu pun yang berani mengangkat kepala.Namun gerbang di depannya bukanlah gerbang tempat ia masuk sebelumnya.“Kami tidak membiarkan tamu istimewa keluar dari pintu kematian,” ujar Pengawas Ji seraya menunjuk jalur berlapis formasi ringan yang membelah hutan belantara. “Jalur ini akan membawamu langsung ke perbatasan luar.”Xuan Li tidak menanggapi. Ia hanya mengangguk tipis, lalu melangkah masuk ke lorong cahaya yang terbentuk dari energi spirit
Pemimpin Tanah Jiva masih menatap cahaya yang perlahan memudar dari tubuh Xuan Li. Matanya tak berkedip, tubuhnya tegak, namun napasnya tertahan. Sosok armor perempuan langit yang melingkupi Xuan Li belum sepenuhnya sirna, dan getaran auranya masih terasa di tanah, udara, bahkan formasi pelindung wilayah.“Dewi Kultus Suci…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.Salah satu tetua di belakangnya bergeser gelisah. “Itu… tidak mungkin. Dewi Kultus Suci adalah sosok mitos. Leluhur dari era sebelum era ini. Armor itu...”“Tidak salah,” potong Pemimpin Tanah Jiva pelan, namun tegas. “Aku pernah melihat lukisan armornya dalam gulungan sejarah. Tidak ada keraguan. Itu adalah warisan kekuatan yang diakui oleh langit…”Mata Pemimpin melembut. Tatapannya beralih kepada Xuan Li, kedua tangannya perlahan menarik diri dari wadah giok.Airnya telah tenang.Xuan Li membuka mata. Ekspresinya tak berubah. Datar, penuh kendali. Ia berdiri perlahan dan menatap langsung ke arah sang pemimpin.“Aku tidak
Pengawas Ji berjalan melewati gerbang pusaran angin spiritual yang melingkari pusat Tanah Jiva. Di belakangnya, dua wanita paruh baya membawa gulungan emas dan jimat penguat formasi. Wajahnya tenang, namun di dalam pikirannya, kegelisahan mulai tumbuh.Ia memeriksa formasi pelindung Tanah Jiva. Simbol-simbol kuno terpahat di udara, mengambang di atas batu-batu pelindung yang tertanam di tanah. Aliran spiritual yang keluar dari segel tidak menunjukkan tanda kerusakan.“Masih utuh,” gumamnya pelan.Ia memejamkan mata dan menyentuh tanah. Aura lembut naik dari permukaan dan menyatu dengan tubuhnya.“Tidak ada retakan, tidak ada celah. Tapi dia masuk,” katanya lagi. Suaranya mengeras. “Aku harus bicara dengan Yang Mulia.”Di sisi lain, Xuan Li duduk bersila di paviliun selatan. Empat prajurit wanita berdiri mengelilinginya. Mereka tidak menatapnya langsung, namun jelas sikap mereka lebih waspada dibanding sebelumnya.Bisik-bisik dari luar paviliun semakin keras. Bahkan anak-anak perempuan
Xuan Li melangkah meninggalkan tempat itu. Energi dari batu transmisi telah memberinya arah yang jelas. Kabut perlahan mulai menipis seiring langkahnya menurun ke lembah yang sunyi. Uap dari tanah masih sesekali muncul, tetapi kini tak lagi mampu menembus lautan kesadarannya.Setelah berjalan sekitar lima puluh li, sesuatu berubah.Langkah kakinya tiba-tiba terasa ringan. Udara menjadi hangat. Cahaya menyeruak dari sela-sela pepohonan, bukan cahaya spiritual, melainkan sinar matahari biasa.Kabut lenyap.Begitu ia melewati celah dua batu besar di depannya, dunia di baliknya berbeda. Seolah-olah melangkah keluar dari kelamnya neraka menuju dunia lain.Langit biru cerah. Rumput hijau membentang. Burung-burung berwarna terang terbang di udara. Di kejauhan, gunung-gunung menjulang dengan air terjun yang jatuh seperti benang perak. Bunga-bunga mekar tanpa musim.Ini terlalu indah.Xuan Li berhenti sejenak. Matanya menyipit. Dia menyentuh tanah, memeriksa aliran spiritual.“Ini bukan ilus
Kabut yang menyelimuti daerah ini jauh lebih tebal dibanding wilayah altar sebelumnya. Cahaya spiritual matahari pun tidak bisa menembusnya. Langit dan bumi seperti menyatu dalam kelabu yang membungkam segalanya.Tak ada angin.Tak ada suara.Tak ada kehidupan.Xuan Li terus berjalan.Aura kehidupannya menyala samar di tengah kesunyian itu.Namun setelah puluhan li melangkah, aliran spiritual di tubuhnya mulai terasa aneh. Peredaran energi spiritualnya melambat, pikirannya terasa mengambang.Satu langkah...Dua langkah...Tiba-tiba, suara samar muncul di telinganya.“Wu Yu... kenapa kau pergi begitu saja...?”Langkah Xuan Li terhenti.Suara itu... suara perempuan. Lembut. Penuh kesedihan. Terlalu akrab.Ia mengerutkan alis. "Ilusi."Namun langkah berikutnya membawa suara lain. Suara tawa kecil. Suara anak-anak.“Guru, lihat! Aku bisa terbang!”Gigi Xuan Li mengatup. Jemarinya mengepal.Dia tahu benar bahwa itu bukan kenyataan. Orang-orang yang suaranya dia dengar sudah lama tiada atau
Kabut belum reda saat altar itu runtuh. Batu-batu spiritual berserakan, pilar-pilar hancur menjadi debu, dan lubang pemrosesan jiwa itu kini tertutup puing-puing. Gelombang energi spiritual yang meledak menghantam para penjaga hitam, melemparkan mereka hingga puluhan langkah. Xuan Li berdiri di kejauhan. Jubahnya berkibar pelan oleh angin spiritual yang masih tersisa dari ledakan. Ia memandang sekeliling. Barisan manusia yang tadinya dikendalikan kini berhenti bergerak. Mereka berdiri kaku di tempat masing-masing, tatapan kosong, tubuh gemetar ringan. Simbol spiritual di belakang kepala mereka masih ada, tapi koneksinya terputus. Mereka seperti wayang tanpa dalang. “Masih belum sadar... tapi sudah tidak terikat,” gumamnya. Namun tak ada waktu untuk merenung. Angin spiritual bergetar. Dari reruntuhan altar, lima penjaga hitam bangkit. Wajah mereka dipenuhi retakan darah, mata kehijauan bersinar tajam. Aura spiritual mereka melonjak, membentuk pusaran energi pekat. “Peny
Kabut belum benar-benar hilang ketika Xuan Li berdiri di atas tebing, memandangi reruntuhan lembah yang baru saja ditinggalkannya. Sisa-sisa kabut spiritual masih menyusup di antara batu-batu, namun energi pusat kendali sudah benar-benar menghilang.Ia menutup matanya sejenak. Nafas diatur. Lalu, mata spiritualnya dibuka.Dalam sekejap, dunia berubah. Di balik pemandangan biasa, jaring-jaring tipis spiritual terbentang di udara. Seperti sarang laba-laba yang tak terlihat mata biasa, jalur-jalur itu memancar dari titik-titik tertentu, menjalar ke segala arah.“Ini bukan satu titik. Mereka membangun banyak simpul seperti ini,” pikir Xuan Li.Dia mengikuti aliran salah satu jalur yang tampak lebih kuat dibanding yang lain. Ujungnya mengarah ke utara, menyusuri perbukitan tandus yang dilapisi kabut kelabu.Tanpa berkata apa pun, Xuan Li melompat turun dan mulai bergerak mengikuti jalur itu. Jika satu simpul telah dihancurkan, maka simpul berikutnya harus segera ditemukan.Setengah jam ber
Ledakan energi tadi belum sepenuhnya mereda ketika Xuan Li kembali mengambil sikap. Kabut tebal di lembah bergolak, menyelimuti pandangan dan menyamarkan gerakan. Namun, dia tidak bisa membiarkan ketajaman indranya tumpul.Di hadapannya berdiri sosok besar bertopeng besi. Tubuh makhluk itu dilapisi lapisan spiritual hitam pekat, seolah merupakan perpanjangan dari kabut itu sendiri.Ini bukan mayat hidup biasa. Boneka ini memiliki kesadaran.Dan kekuatannya... setara dengan kultivator Formasi Kekosongan puncak.Xuan Li menarik napas pelan, menahan laju amarah dan naluri bertarungnya. Ini bukan pertarungan yang bisa dimenangkan dengan serangan membabi buta.“Makhluk ini... bukan sekadar boneka,” pikirnya. “Ia bisa berpikir. Bisa menyesuaikan taktik. Bahkan mungkin sedang mengukur kekuatanku.”Dari awal, gerakannya tidak sembarangan. Ia menunggu, memancing. Dan sekarang, ia mulai menyerang balik dengan teknik-teknik yang terstruktur.Sebuah pukulan berat meluncur dari arah kiri, menghant