“Pesta dansa!” teriak Mira.
“Iya benar,” jawab Leo santai.“Ta-tapi aku belum pernah datang ke pesta dansa.”“Baguslah kalau begitu, jadikan ini pengalaman pertamamu denganku,” ucap Leo dengan wajah bahagia, karena merasa spesial menjadi yang pertama bagi Mira.Mira masih merasa canggung dengan istilah pesta, di kepalanya terngiang-ngiang atribut pesta, yaitu baju, sepatu, tas dan asesoris. “Seperti apa itu?” pikirnya.Mira masih dalam lamunannya, tiba-tiba, empat pembantu Leo berbaris di hadapannya, masing-masing membawa kotak, yang kemudian diletakkan di meja depannya.“Itu adalah baju, sepatu, kalung, gelang, anting dan terakhir adalah tas. Semua ini untuk keperluan pesta besok.” Leo menunjuk satu persatu kotak dan menjelaskan isinya.“Besok, aku jemput setengah jam sebelum pesta dimulai,” tegas Leo mengingatkan Mira.Setelah pulang dari rumah Leo, Mira membolak-balik undangan pesta itu, berusaha memahaminya. “Seperti apa acara pesta besok? Yang jelas, teman-teman Leo pasti akan berkumpul di sana. Apakah aku bisa berbaur di pesta itu? Bagaimana kalau tingkahku salah dan membuat malu?” Pertanyaan-pertanyaan itu selalu saja muncul di benak gadis manis itu, sampai akhirnya dia ‘pun tertidur.***Tin!Mobil Leo telah terparkir di depan rumah Mira, membuatnya ingin cepat-cepat selesai membenahi diri di depan kaca. “Oke, akhirnya siap berangkat,” katanya sambil melangkahkan kaki.Leo memandang Mira mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Hmm ... sepertinya masih ada yang kurang.”Leo kemudian mengajak Mira untuk segera naik ke mobil, dengan cepat dia melaju dan berhenti di depan rumahnya. “Ma, tolong Mira dirias ya!” pinta Leo sambil menarik tangan Mira untuk masuk ke kamar tamu yang terletak di lantai dua rumahnya.“Baiklah, Leo.” Mama tersenyum melihat dandanan Mira yang sangat sederhana, yang memang terlihat tidak sesuai dengan suasana pesta.Setelah satu jam lamanya, akhirnya Mama menggandeng tangan Mira keluar dari kamar. Gadis manis itu dengan perlahan menuruni anak tangga satu persatu, bak seorang bidadari turun dari langit. “Bagaimana menurutmu Leo?” tanya Mama.Leo mengamati Mira penuh takjub tanpa berkedip. “Cantik sekali. Aku hampir tidak mengenalinya,” ucap Leo dalam hati.Kemudian lelaki gagah itu tersadar dari takjubnya. “Baiklah, kita sudah terlambat setengah jam. Ayo segera berangkat!” ajak Leo sambil melihat jam tangannya.“Terima kasih, Ma. Kami pergi dulu, ya,” pamit Leo kepada mamanya.Akhirnya Leo dan Mira tiba di tempat pesta yang diadakan di sebuah restoran ternama di kota. Pesta itu adalah pesta ulang tahun teman Leo yang dibuat sangat mewah dan meriah. Pada bagian tengah ruangannya, terdapat ruangan dansa yang dibuat penuh nuansa romantis oleh yang berulang tahun.“Hai, Leo. Kau bersama siapa? Cantik sekali. Biasanya sendirian,” tanya salah seorang pemuda teman Leo.“Aku bersama kekasihku,” jawab Leo bangga sambil mengambil tangan Mira dan menggenggamnya. Mira membalas senyuman teman Leo, sambil berusaha menarik tangannya kembali. Namun, apa daya, kekuatan lelaki gagah itu, lebih kuat darinya. Gadis itu akhirnya pasrah membiarkan tangannya digenggam oleh tangan Leo kemana ‘pun mereka berada, dikenalkan ke teman-temannya atau sekedar menikmati hidangan yang telah disediakan.“Ayo kita berdansa,” ajak Leo di tengah ruang pesta. Pada akhirnya, di situlah dia melepaskan tangan Mira.“Dansa? Aku sama sekali belum pernah berdansa, kamu tahu itu. Sengaja membuatku malu, ya?” tanya Mira geram.Leo hanya tersenyum. “Ikuti gerakanku,” pinta Leo santai sambil menarik tubuh Mira mendekat ke tubuhnya. Gadis manis itu terkejut sekaligus terpana, sejenak dia lupa akan tompel yang menutupi wajah Leo. Kini, dia bisa mendengar degub jantung Leo dengan jelas.Deg!“Kenapa jantungku berdebar-debar.”“Bau tubuhnya, harum sekali, membuatku ingin terus memeluknya.”“Dadanya sangat lebar, sepertinya enak untuk bersandar.” Mira tersenyum malu. Kemudian dia mendongakkan kepalanya. “Bibirnya ternyata merah juga, bikin-"“Argh ... jangan injak kakiku! Sakit!” teriak Leo.“Siapa yang menginjak? Bukankah kamu yang menginjak kakiku dulu!” sergah Mira.“Aduh, kakiku. Kesana Mira jangan dekat-dekat!”“Kamu yang seharusnya menjauh. Auw ... kakiku.” Kata Mira menahan sakit.Leo dan Mira saling menginjak, menarik, mendorong dan akhirnya,Bruk!“Auw ... sakit sekali.” Mira terduduk di lantai sambil memegang salah satu kakinya.“Ini semua gara-gara kamu, Mira!” Leo kesal karena terjatuh, kemudian dia berdiri sambil berusaha merapikan bajunya yang berantakan. Dia membiarkan Mira merintih kesakitan.“Jangan berlebihan, ayo cepat berdiri!” Leo memberikan tangannya kepada Mira. Gadis itu tidak segera menerimanya, dahinya mengernyit, ditatapnya wajah lelaki gagah itu dalam-dalam.“Cepatlah!” pinta Leo sekali lagi memberikan tangannya kepada Mira.“Jangan hiraukan aku! Aku bisa berdiri sendiri,” kata Mira penuh nada kesal.Ketika Mira berusaha berdiri sendiri. “Aduh ... sakit.” Dia terduduk kembali ke lantai.“Jangan bercanda! Ini tidak lucu.”“Kamu pikir wajahku sekarang terlihat sedang bercanda!”Leo mengamati wajah Mira, akhirnya dia mulai kawatir. “Bagian mana yang sakit? Biarkan aku menggendongmu!” Leo segera menggendong Mira, membawanya masuk ke dalam mobil, dan melajukan mobil dengan cepat pulang ke rumahnya.Saat sampai di rumah, Leo menggendong Mira mendudukkannya di kursi ruang tamu. Kemudian, Dia duduk jongkok dilantai dengan satu kaki, kaki lainnya digunakan untuk meletakkan kaki Mira yang sakit. Perlahan-lahan dia sibakkan rok gadis manis itu.Plak!“Kenapa kamu menamparku?” Leo memegang pipinya yang kemerahan akibat bekas tamparan Mira.“Karena kamu akan melakukan hal tidak pantas terhadapku!” jawab Mira penuh emosi.“Bisakah kamu berpikir positif terhadapku? Aku hanya ingin melihat dengan jelas, bagian kakimu yang terluka!” bentak Leo ikut termakan emosi juga.“Benarkah? Dasar laki-laki, selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan.” Mira membuang mukanya sambil menyilangkan tangannya ke dada.“Iya, memang benar aku laki-laki, tapi laki-laki baik-baik, bukan seperti yang kamu pikirkan!” teriak Leo, dahinya mengernyit berusaha meyakinkan Mira dengan ucapannya.“Aku tidak mempercayaimu. Antarkan aku pulang, sekarang!”“Baiklah, kalau itu maumu.”“Gendong aku untuk terakhir kalinya!” pinta Mira sambil sedikit mengangkat kedua tangannya.“Apa! Dasar gadis aneh.” Leo dengan wajah cemberut menuruti kemauan Mira dengan menggendongnya masuk ke dalam mobil.Sepanjang perjalanan, Mira tertidur. Maklum, saat itu sudah tengah malam. Dia tidak pernah berada di luar rumah selarut itu.“Mir, sudah sampai.”“Mir.” Leo mengguncang tubuh gadis manis itu dengan perlahan, agar tidak terkejut saat terbangun.“Susah juga membangunkannya, tidak bangun-bangun dari tadi,” gumam Leo.Leo akhirnya keluar mobil, berjalan menuju ke pintu tempat Mira berada, dibukanya pintu itu. Saat mau menggendongnya, dia terdiam, ditatapnya wajah itu lekat-lekat. “Malam ini, kamu memang sangat cantik Mira.” Lelaki gagah itu semakin mendekatkan wajahnya, hingga tak sadar bibirnya menempel pada bibir gadis manis itu, dan seketika itu juga, Mira terbangun. Matanya terbelalak menyadari apa yang baru saja terjadi. Kemudian,Plak!Pipi Leo ditamparnya sekali lagi. Tubuh Leo didorong sekuat tenaga. Dia berusaha keluar dari mobil. Kakinya yang sehat dihentakkan dan berusaha berdiri dengan satu kaki. Kemudian, dia berusaha berjalan cepat dengan kaki pincang.Leo iba melihat kondisi Mira, dengan segera dia melupakan sakit di pipinya, dan berniat membantu gadis manis itu untuk bisa berjalan, tapi gadis manis itu malah mendorong tubuhnya dengan keras. Dia hampir saja tersungkur.Mira berusaha lari dengan kaki pincang. Emosinya tidak bisa terbendung lagi. Dia berteriak sekuat tenaga. “To-.” Belum selesai dia meminta tolong, Leo sudah menutup mulutnya, mendorongnya ke arah tembok.Tangan Leo mendorong satu tangan Mira ke tembok, sedangkan tangannya yang lain menutup mulut gadis manis itu.Mira tetap bertahan dengan sikap berontaknya. Dia membuka jari Leo yang menutupi mulutnya dengan sekuat tenaga, jari itu pelan-pelan akhirnya bisa bergerak sedikit.Leo gugup mengetahui kekuatan Mira saat menggerakkan tangannya. Tanpa berpikir panjang, dia segera bertindak cepat. Didekapnya kedua tangan Mira ke atas dengan kedua tangannya, dan disumpalnya mulut gadis manis itu dengan bibir indah miliknya, dilumatnya bibir gadis manis itu hingga tidak lagi, dapat berteriak dan memberontak. Dia menciumnya cukup lama, hingga tubuh Mira terasa lemas di dekapannya. Akhirnya lelaki gagah itu melepaskannya perlahan. Mira merasakan tubuhnya lemas karena kenikmatan bibir Leo. Dia bisa merasakan kenikmatan itu tanpa memandang ada tompel di wajah Leo. Tubuhnya serasa kehabisan tenaga dan tidak dapat berdiri, hingga tersungkur di lantai bersandarkan tembok. Tiba-tiba,Teng! Teng! Teng!Bunyi kentongan poskamling yang dibunyikan oleh warga, yang berdiri tepat di belakang Leo dan Mira.“Kalian sudah terciduk telah melakukan hal yang tidak baik. Kalian harus segera dinikahkan!” seru Pak RT, disetujui oleh 10 warga yang mengikutinya.“Baiklah,” jawab Leo dengan lantang. Wajah bahagianya tidak dapat disembunyikan, matanya berbinar-binar.Mira memegang kepalanya dengan kedua tangan. Dia berteriak sekencang-kencangnya. “Tidak!.”Kedua orang tua Leo dan Mira diminta berkumpul di balai desa oleh Pak RT.“Begini Pak, Bu, semalam kami memergoki Leo dan Mira sedang berciuman di depan rumah Mira. Demi kenyamanan bersama, akan lebih baik kalau keduanya segera dinikahkan,” ucap Pak RT.Leo dan Mira menanggapi pernyataan Pak RT dengan cara yang berbeda. Leo menganggukkan kepala sedangkan Mira menggelengkan kepala.Kedua orang tua mereka sama-sama menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka.“Saya harap dua keluarga ini, bisa saling berdiskusi untuk mencari penyelesaian masalah ini. Sekali lagi untuk kenyamanan bersama, tetap, pada akhirnya, mereka harus dinikahkan,” kata Pak RT berusaha menjadi penengah antara Leo dan Mira.Leo dan Mira saling memandang mendengar perkataan Pak RT. Kemudian, bibir Leo mulai melebar menunjukkan senyuman kecil penuh misteri kepada Mira. Tiba-tiba saat itu, timbul rasa curiga di pikiran Mira.“Oh ... ini semua pasti rencanamu
“Apa kamu gila? Tidak mungkin aku meninggalkanmu di sini,” ucap Leo.“Aku tidak ingin Bapakku merugi,” jawab Mira.“Nyawamu lebih penting dari motor, barang-barang atau apapun yang ada di dunia ini!” teriak Leo.“Aku berharap orang tuaku tidak mengetahui kejadian ini, kalau mereka tahu, mereka akan khawatir padaku, seumur hidup.” Mata Mira berkaca-kaca.“Baiklah kalau itu maumu. Begini saja, kamu dan barang-barang ini masuk ke dalam mobil. Motormu akan kututup dengan terpal yang ada di bagasi mobilku. Nanti, aku minta salah satu pekerjaku untuk mengurusnya. Bagaimana?”“Baiklah, itu ide yang bagus.”Mira dan Leo memasukkan barang-barang keperluan toko Bapak, ke dalam mobil. Setelah itu, lelaki gagah itu melajukan mobilnya dengan cepat ke rumah Mira.Setelah sampai di depan rumah, Mira mengamati langit di atasnya dan tanah di depannya. “Tidak hujan sama sekali di sini.”Kemudian, Mira terdiam seben
Mira terjatuh tersungkur di lantai, ternyata dia kelelahan karena seharian tidak bisa tidur, mengkhawatirkan kesehatan Leo.Mira benar-benar merasa bersalah karena telah bersikap tidak baik terhadap lelaki gagah bertompel itu selama ini, yang ternyata telah menjadi penyelamatnya. Apalagi, ketika tiba di rumah Leo, mamanya menamparnya dan memberikan penjelasan tentang sakit Leo, membuatnya semakin jatuh dalam penyesalan yang dalam, dan akhirnya tumbang.“Bangun, Mira.” Leo menggerakkan badan Mira perlahan, namun tidak terbangun juga.Leo meminta tolong satpam dan supirnya untuk membawa Mira ke dalam kamar tamu di lantai dua rumahnya.Leo ingin merawat Mira, tapi mamanya melarangnya karena dia sendiri butuh perawatan dari dokter. Akhirnya dia menuruti permintaan mamanya, dengan syarat, setelah dari dokter, dirinya boleh merawat Mira. Mamanya menyetujui permintaan Leo, walaupun dengan berat hati.Dokter mendiagnosa Leo terkena penyakit
Bibi Jum berjalan kaki, pagi-pagi sekali, bukan untuk memulai lebih awal rutinitas bekerjanya di rumah Leo, melainkan pergi ke rumah Mira, sesuai dengan rencana Leo. Kemudian, pintu ruang tamu Mira diketok, membangunkan dan mengagetkan seisi rumah itu.“Permisi, Mira ada? Saya Bibi Jum pembantu yang bekerja di rumah Mas Leo” kata Bibi Jum kepada Bapak, yang membuka pintu.“Ada, sebentar saya panggilkan,” jawab Bapak.Beberapa menit kemudian, Mira keluar kamar dengan langkah cepat. Dia memang berharap mendapatkan kabar tentang Leo. Dia sangat khawatir.“Saya Mira, Bi. Bagaimana kabar Leo?” tanya Mira tidak sabar.Bibi Jum tersenyum kepada Mira. Dia menatapnya dengan saksama. “Sepertinya anak ini tulus ke Leo,” pikirnya dalam hati.“Leo semakin hari, semakin lemah kondisinya,” jawab Bibi Jum.“Kenapa seperti itu, Bi?” Mira belum puas atas jawaban Bibi Jum.Tangan Mira di pegang oleh Bibi Jum. “Coba kamu ca
Papa Leo keluar dari pintu yang diketuk oleh Mira. “Mira ... sedang apa kamu di sini?” Papa Leo mengingat sesuatu, segera dia tarik tangan Mira untuk masuk ke dalam kamar itu.“Tunggu sebentar di sini! Mamanya Leo sedang berada di kamar Leo lantai tiga. Om akan mengamati keadaan di luar, kalau sudah aman, akan om beritahu,” perintah Papa Leo. Setelah itu dia langsung keluar kamar, Mira duduk di ujung tempat tidur untuk menunggu kabar darinya.Selama menunggu kabar dari Papa Leo, Mira berjalan mondar mandir di kamar itu, terkadang dia meletakkan daun telinganya ke pintu kamar berharap mendengar sesuatu, dan selalu terus bersikap waspada, jikalau tiba-tiba Mamanya Leo muncul dihadapannya. Otaknya dengan sigap sudah menemukan tempat sembunyi yang tepat, kalau memang itu terjadi.Akhirnya Papa Leo membuka pintu kamar itu, membuat Mira terperanjat. Dia memberi kabar kalau istrinya sudah turun ke lantai satu, jadi Mira bisa segera naik ke lantai tiga ke
“Kamu tahu Mira, aku menyukaimu sejak SMA. Dulu, diriku tidak percaya diri seperti sekarang, hanya bisa melihatmu dari jauh, memendam rasa.”“Kamu menghilang saat kuliah di kota. Setelah lulus dan kembali ke desa ini lagi, ternyata sudah memiliki kekasih. Hatiku patah rasanya. Akhirnya aku berusaha mencari cara agar bisa bersamamu”Leo mendekati Mira, memandang dan menggenggam tangannya, berusaha meyakinkan bahwa yang dikatakannya adalah benar. “Maafkan aku, caraku memang salah.” Leo mencium tangan Mira dengan penuh perasaan.“Namun, berhasilkan?!” seru Leo tiba-tiba, mengagetkan sekaligus membuat Mira akhirnya tertawa melayangkan tangannya ke lengan Leo dengan mesra.“Aduh ...” canda Leo sambil mengelus tangannya.Keduanya saling tertawa lepas, hingga tak sadar kalau Mama Leo telah berdiri mengamati mereka sambil menyilangkan tangannya.“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini, Mira?” tanya Mama Leo, mengagetkan mereka berdua.
Mira mengamati Nenek yang semakin jauh dari pandangannya, sambil terus memegangi perutnya. Ketika hampir mendekati apotek, Mira langsung berkata kepada Leo kalau perutnya tidak sakit lagi.Leo kemudian berkata kepada Mira. “Lebih baik kita pulang saja, kamu istirahatlah di rumah. Aku takut kalau nekat pergi ke kota, perutmu sakit lagi.”Mira mengganggukkan kepala pertanda setuju dengan yang dikatakan Leo.Mira terus memutar otak selama perjalanan menuju ke rumahnya, tentang bagaimana cara mengenalkan Leo kepada neneknya? Dia berpikir, tidak mungkin menyembunyikan Leo terus menerus. Gadis manis itu menarik nafas panjang berkali-kali.Leo melihat kegelisahan di wajah Mira. “Ada apa, Mir? Apa ada masalah?” tanya Leo sambil memegang salah satu tangan Mira.Mira memandang Leo penuh rasa iba. “Bagaimana mungkin aku tega menceritakan ini kepadamu Leo? Aku takut nanti kamu sakit hati,” batinnya.Leo melihat Mira semakin berta
“Operasi plastik. Apa kamu gila!” teriak Leo sambil mondar mandir di depan Mira. Nafasnya bergerak cepat, dadanya kembang kempis, naik turun, wajahnya memerah. Dia benar- benar tidak terima, merasa terhina, namun tidak bisa membalas.“Sabar, Leo. Nenekku memang seperti itu. Segala perkataannya, sangat sulit untuk dipatahkan.”“Kalau aku mau, dari dulu sudah aku lakukan.” Leo masih saja tersulut emosi.“Kalau boleh tahu. Kenapa dari dulu, tidak kamu lakukan?” tanya Mira dengan hati-hati, berharap kekasihnya itu tidak semakin emosi.Leo kemudian duduk di sebelah Mira. Kepalanya mulai dingin. “Mamaku adalah orang yang paling tidak menginginkan itu. Dia selalu berkata kepadaku kalau tompelku adalah jimat keberuntungannya. Sebenarnya aku sendiri tidak paham maksudnya,” kata Leo. Bibirnya bisa sedikit tersenyum jika mengingat perkataan mamanya saat itu.“Mama berkata tompel ini adalah anugerah dari sang pencipta untukku, agar a
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa