Bibi Jum berjalan kaki, pagi-pagi sekali, bukan untuk memulai lebih awal rutinitas bekerjanya di rumah Leo, melainkan pergi ke rumah Mira, sesuai dengan rencana Leo. Kemudian, pintu ruang tamu Mira diketok, membangunkan dan mengagetkan seisi rumah itu.
“Permisi, Mira ada? Saya Bibi Jum pembantu yang bekerja di rumah Mas Leo” kata Bibi Jum kepada Bapak, yang membuka pintu.“Ada, sebentar saya panggilkan,” jawab Bapak.Beberapa menit kemudian, Mira keluar kamar dengan langkah cepat. Dia memang berharap mendapatkan kabar tentang Leo. Dia sangat khawatir.“Saya Mira, Bi. Bagaimana kabar Leo?” tanya Mira tidak sabar.Bibi Jum tersenyum kepada Mira. Dia menatapnya dengan saksama. “Sepertinya anak ini tulus ke Leo,” pikirnya dalam hati.“Leo semakin hari, semakin lemah kondisinya,” jawab Bibi Jum.“Kenapa seperti itu, Bi?” Mira belum puas atas jawaban Bibi Jum.Tangan Mira di pegang oleh Bibi Jum. “Coba kamu cari tahu sendiri?” Bibi Jum memberi senyum penuh misteri kepada Mira.Mira bingung. “Bagaimana caranya?” tanyanya.“Kamu harus mencari jawaban dari orangnya secara langsung, cobalah berpikir bagaimana caranya. Bibi harus bergegas sebelum ketahuan.” Bibi Jum segera berdiri dari duduknya, ditepuknya pundak Mira dua kali dengan sedikit membungkuk. Gadis manis itu hanya termenganga melihat Bibi Jum pergi meninggalkannya.Setelah Bibi Jum pulang, Mira terdiam di ujung tempat tidurnya. Kepalanya tidak henti-hentinya berputar memahami pembicaraan Bibi Jum dan berusaha mencari ide. Ide yang mulus yang tidak bisa dihalangi Mama Leo. “Baiklah Leo, aku akan berjuang untuk menemuimu!” Semangat Mira berapi-api.Kemudian, semangatnya kendor lagi ketika mengingat Mama Leo. Menurutnya, Mama Leo memang menyeramkan, bahkan berpikir kalau cerita yang pernah didengarnya tentang keluarga itu sepertinya benar. “Tidak ... tidak, aku tidak boleh menyerah. Apa yang harus kulakukan?” tanya Mira pada dirinya sendiri, sambil menggigit bibir bawahnya.Mira akhirnya menjentikkan jarinya. “Baiklah, mulai besok pagi, aku harus mengamati gerak gerik di rumah Leo, mencari celah untuk bisa masuk ke dalam. Semangat Mira!” Dia mencoba menyemangati dirinya sendiri.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Mira dengan memakai atasan kaos hitam, celana hitam, ditambah topi sebagai penutup identitas, mendekati rumah Leo. Dia bersembunyi di antara semak-semak, di lahan kosong sebelah rumah Leo. Walaupun badan penuh gatal karena digigit serangga, Mira tidak gentar mengamati rumah itu dari terbit sampai terbenamnya matahari.Keesokan harinya, Mira melakukan hal yang sama. Bedanya, hanya pada pakaian saja. Dia memakai atasan kaos putih, bawahan kain jarit dan topi capil sebagai penutup identitas, berperilaku seolah-olah petani di sawah. Berbagai gaya dia lakukan, mulai dari mencabuti rumput sambil mengamati, hingga masuk di sawah seolah-olah mencari belut di sana.“Oh ... ternyata setiap pagi selalu ada yang mengantarkan susu. Baiklah aku akan menyamar jadi tukang susu,” gumam Mira.Keesokan paginya, Mira sudah berdandan seperti seragam tukang susu, yang setiap pagi mengantarkan susu ke rumah Leo. Atasan, bawahan dan topi serba putih, tidak lupa sepeda mini yang dipinjamnya dari tetangga sebelah rumah, ditambah lipstik merah dan alis yang dibuat sedikit lebih tebal untuk menutup identitasnya.“Permisi pak, mau mengantarkan susu,” kata Mira kepada satpam di rumah Leo.Satpam melihat jam tangannya. “Wah ... setengah jam lebih pagi dari biasanya. Karyawan baru ya, Mbak?”“Iya, Pak.” Mira segera bergegas masuk ke dalam setelah satpam membukakan pagar.Mira akhirnya bisa masuk ke dalam rumah Leo. Dia meletakkan sepedanya di tempat parkir. Kemudian, berjalan sambil membawa dua botol susu segar masuk ke dalam rumah, naik ke lantai dua, untuk mencari kamar Leo. Namun belum sampai menginjak anak tangga terakhir, satpam sudah memergokinya.“Lo ... Mbak, bukan di sana meletakkan susunya. Di dapur Mbak, tidak perlu ke lantai atas. Untung ketahuan saya, kalau ketahuan Nyonya, saya bisa dimarahi. Ayo Mbak, turun!” perintah Pak Satpam.Mira menyeringai menjawab, “I-iya, Pak. Maaf saya tidak tahu? maklum masih baru.” Mira segera turun dari tangga, meletakkan dua botol susunya di dapur dan segera keluar dari rumah itu, dengan mengayunkan sepedanya cepat. Di tengah jalan, dia bertemu dengan pengirim susu sebenarnya. “Untung saja, belum sampai ketahuan fatal,” ucap Mira lega, sambil mengayunkan sepedanya lebih cepat.Pak Satpam menggaruk-garuk kepalanya, saat pengirim susu sebenarnya datang. Dia bingung, berpikir, siapa pengirim susu yang pertama tadi?Rencana Mira yang pertama telah gagal, namun dia tidak gentar, berusaha berpikir apa rencana selanjutnya? Dia ingat, selain tukang susu, pagar rumah Leo akan terbuka jika ada kendaraan yang masuk. Gadis manis itu menjentikkan jarinya sekali lagi, paham dengan rencana selanjutnya.Keesokan harinya, pada waktu sore hari, Mira sudah siap berdandan serba hitam. Dia bersembunyi di antara pepohonan yang tumbuh di depan rumah Leo. Hal yang dinantikan datang juga. Sebuah mobil hitam, membunyikan klaksonnya, meminta satpam untuk membukakan pagar. Pagar kemudian terbuka. Gadis manis itu merayap di tembok pagar, sampai di dekat mobil. Setelah itu, dia jongkok berusaha tidak terlihat oleh satpam maupun supir mobil. Namun, lagi-lagi bernasib sial, Mira ketahuan.“Hei ... sedang apa kamu?” tanya Pak Satpam sambil menunjuk Mira.Gadis manis itu akhirnya lari tunggang langgang, menjauh dari rumah itu, sampai di sebuah rumah kosong. Dia bersembunyi, menunggu sambil mengamati kalau ada yang mengikutinya, tapi ternyata aman. Dia akhirnya bisa duduk mengatur nafasnya yang tidak beraturan, sambil memejamkan mata karena kelelahan. “Leo, seandainya kamu tahu perjuanganku untuk bertemu denganmu,” gumamnya.Rencana kedua juga belum berhasil, Mira hampir putus asa. Tiba-tiba, dia teringat Bibi Jum. Gadis itu menjentikkan jarinya. “Kenapa tidak terpikir dari awal,” pikirnya.Keesokan hari, pagi sekali. Mira yang berdandan serba hitam, bersembunyi di belakang pohon dekat rumah Leo. Dia menunggu kedatangan Bibi Jum. Akhirnya yang ditunggu, menunjukkan batang hidungnya. Mira meloncat kegirangan.“Bi ... Bibi Jum,” bisik Mira di balik pohon.Bibi Jum terdiam sebentar, mencari asal suara yang memanggilnya.“Bi ... sini,” bisik Mira setelah Bibi Jum mengetahui keberadaannya.Bibi Jum mengetahui kalau itu Mira. Dia tersenyum dan datang menghampirinya. “Ada apa Mira?” tanyanya.“Tolong bantu Mira, untuk bisa masuk ke dalam rumah, bertemu Leo,” pinta Mira lirih. Gadis manis itu menceritakan kepada Bibi Jum, tentang kegagalan dua rencana yang telah dijalankannya.Bibi Jum tersenyum senang mendengarnya. “Baiklah. Bibi minta nomer telepon Mira. Pak Satpam hanya meninggalkan posnya ketika buang air saja. Nanti kalau sudah waktunya, akan Bibi telepon, selalu siaga, ya!” pinta Bibi.Mira senang sekali, akhirnya ada jalan untuk masuk ke rumah Leo. “Baiklah, Bi,” katanya dengan riang.Saat siang hari, Bibi Jum menyapu sambil melihat ke arah pos satpam, jikalau sudah waktunya Pak Satpam untuk buang air ke kamar mandi. Akhirnya, waktu yang di nanti tiba, segera Bibi Jum menelepon Mira. Gadis manis itu sudah siap akan panggilan Bi Jum, segera dia berada di depan pagar, dan pagar pun terbuka, Mira bisa masuk ke dalam rumah itu.Bibi Jum memberi kode Mira untuk segera bergerak ke lantai dua, karena Bi Jum harus melanjutkan pekerjaannya. Mira segera naik ke lantai dua. Setelah berada di sana, dia lupa menanyakan dimana kamar Leo kepada Bi Jum. Gadis manis itu ingin turun, namun dia berpikir ulang takut ketahuan, jadi dia memutuskan untuk mencari sendiri letak kamar Leo.Di lantai dua, terdapat tiga kamar. Mira tahu persis yang di dekat tangga adalah kamar tamu, jadi tinggal memilih salah satu dari dua kamar. Tiba-tiba, terdengar suara pintu mau dibuka pada salah satu kamar. Mira kaget seketika, keringatnya bercucuran. “Aku harus bersembunyi dimana?” pikirnya.Mira mengamati sekitar dengan cepat, ketika melihat kolong kursi panjang, otaknya segera memerintah untuk bersembunyi di sana. Gadis manis itu diam dalam persembunyiannya di bawah kursi, sampai terdengar langkah kaki orang melewatinya. Mira mengeluarkan nafas lega, karena tidak ketahuan.Kemudian gadis manis itu keluar dari tempat persembunyiannya. Tadi sekilas dia sudah melihat pintu mana yang terbuka, tentu saja itu bukan kamar Leo, karena Leo masih berbaring di tempat tidur. Jadi, dia sudah memastikan, pintu mana yang akan diketuknya di lantai dua itu.Di kamarnya di lantai tiga, Leo sedang berbaring, memikirkan Mira. “Aku menunggumu, sejak lima hari yang lalu, tapi sampai sekarang, kamu belum datang juga. Apa benar yang dikatakan mama?” gumam Leo berbicara dengan dirinya sendiri. Hatinya terasa pedih penuh keraguan karena penantian yang cukup lama. Tiba-tiba,Tok! Tok! Tok!Pintunya diketok oleh seseorang. “Masuk!” kata Leo sambil berbaring.Di waktu yang sama, Mira juga mengetok pintu kamar, yang dipikirnya adalah kamar Leo di lantai dua. Kemudian, seseorang membuka pintu itu.“Astaga.” Ucap Mira lirih, sambil menutup kedua mulutnya saat mengetahui orang yang berada di kamar itu.Papa Leo keluar dari pintu yang diketuk oleh Mira. “Mira ... sedang apa kamu di sini?” Papa Leo mengingat sesuatu, segera dia tarik tangan Mira untuk masuk ke dalam kamar itu.“Tunggu sebentar di sini! Mamanya Leo sedang berada di kamar Leo lantai tiga. Om akan mengamati keadaan di luar, kalau sudah aman, akan om beritahu,” perintah Papa Leo. Setelah itu dia langsung keluar kamar, Mira duduk di ujung tempat tidur untuk menunggu kabar darinya.Selama menunggu kabar dari Papa Leo, Mira berjalan mondar mandir di kamar itu, terkadang dia meletakkan daun telinganya ke pintu kamar berharap mendengar sesuatu, dan selalu terus bersikap waspada, jikalau tiba-tiba Mamanya Leo muncul dihadapannya. Otaknya dengan sigap sudah menemukan tempat sembunyi yang tepat, kalau memang itu terjadi.Akhirnya Papa Leo membuka pintu kamar itu, membuat Mira terperanjat. Dia memberi kabar kalau istrinya sudah turun ke lantai satu, jadi Mira bisa segera naik ke lantai tiga ke
“Kamu tahu Mira, aku menyukaimu sejak SMA. Dulu, diriku tidak percaya diri seperti sekarang, hanya bisa melihatmu dari jauh, memendam rasa.”“Kamu menghilang saat kuliah di kota. Setelah lulus dan kembali ke desa ini lagi, ternyata sudah memiliki kekasih. Hatiku patah rasanya. Akhirnya aku berusaha mencari cara agar bisa bersamamu”Leo mendekati Mira, memandang dan menggenggam tangannya, berusaha meyakinkan bahwa yang dikatakannya adalah benar. “Maafkan aku, caraku memang salah.” Leo mencium tangan Mira dengan penuh perasaan.“Namun, berhasilkan?!” seru Leo tiba-tiba, mengagetkan sekaligus membuat Mira akhirnya tertawa melayangkan tangannya ke lengan Leo dengan mesra.“Aduh ...” canda Leo sambil mengelus tangannya.Keduanya saling tertawa lepas, hingga tak sadar kalau Mama Leo telah berdiri mengamati mereka sambil menyilangkan tangannya.“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini, Mira?” tanya Mama Leo, mengagetkan mereka berdua.
Mira mengamati Nenek yang semakin jauh dari pandangannya, sambil terus memegangi perutnya. Ketika hampir mendekati apotek, Mira langsung berkata kepada Leo kalau perutnya tidak sakit lagi.Leo kemudian berkata kepada Mira. “Lebih baik kita pulang saja, kamu istirahatlah di rumah. Aku takut kalau nekat pergi ke kota, perutmu sakit lagi.”Mira mengganggukkan kepala pertanda setuju dengan yang dikatakan Leo.Mira terus memutar otak selama perjalanan menuju ke rumahnya, tentang bagaimana cara mengenalkan Leo kepada neneknya? Dia berpikir, tidak mungkin menyembunyikan Leo terus menerus. Gadis manis itu menarik nafas panjang berkali-kali.Leo melihat kegelisahan di wajah Mira. “Ada apa, Mir? Apa ada masalah?” tanya Leo sambil memegang salah satu tangan Mira.Mira memandang Leo penuh rasa iba. “Bagaimana mungkin aku tega menceritakan ini kepadamu Leo? Aku takut nanti kamu sakit hati,” batinnya.Leo melihat Mira semakin berta
“Operasi plastik. Apa kamu gila!” teriak Leo sambil mondar mandir di depan Mira. Nafasnya bergerak cepat, dadanya kembang kempis, naik turun, wajahnya memerah. Dia benar- benar tidak terima, merasa terhina, namun tidak bisa membalas.“Sabar, Leo. Nenekku memang seperti itu. Segala perkataannya, sangat sulit untuk dipatahkan.”“Kalau aku mau, dari dulu sudah aku lakukan.” Leo masih saja tersulut emosi.“Kalau boleh tahu. Kenapa dari dulu, tidak kamu lakukan?” tanya Mira dengan hati-hati, berharap kekasihnya itu tidak semakin emosi.Leo kemudian duduk di sebelah Mira. Kepalanya mulai dingin. “Mamaku adalah orang yang paling tidak menginginkan itu. Dia selalu berkata kepadaku kalau tompelku adalah jimat keberuntungannya. Sebenarnya aku sendiri tidak paham maksudnya,” kata Leo. Bibirnya bisa sedikit tersenyum jika mengingat perkataan mamanya saat itu.“Mama berkata tompel ini adalah anugerah dari sang pencipta untukku, agar a
Nenek menutup mulutnya dengan kedua tangan, merasa tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar. “Apakah aku bermimpi? Leo ini berbeda sekali dengan yang pertama kulihat. Apakah dia benar-benar operasi plastik?” batin Nenek, sambil menelan salivanya.Leo berjalan satu langkah ke depan dari tempat dia berdiri. “Perkenalkan, saya adalah Leo, kekasih Mira,” ucap Leo sambil melihat ke kanan dan ke kiri memastikan setiap orang mengamatinya. Dia berbicara dengan gagahnya penuh percaya diri.Perkataan Leo disambut riuh oleh saudara Nenek Mira. Ada yang merasa sial karena terlambat mendekati Mira, wajahnya penuh penyesalan, ada yang ikut bangga dengan Mira karena memiliki kekasih sangat tampan, ada pula yang iri dengannya.Mira mendekati Leo, menggenggam tangannya dengan mesra dan memandang kedua matanya penuh takjub sambil memberikan senyuman terindah. Menjadikan mereka berdua seperti sejoli yang baru jatuh cinta.Setelah itu, suasana menjadi
“Hallo Leo, bisakah kamu ke sini siang nanti, pukul dua. Nenek yang meminta,” ucap Mira melalui teleponnya.“Oh ... oke, aku akan ke sana nanti siang,” jawab Leo sambil menutup teleponnya. Sesaat kemudian, dia berpikir sebentar, di kepalanya terselip pertanyaan, tentang apa yang akan diinginkan Nenek Mira kali ini?Di rumah Mira, Nenek menelepon seseorang untuk diminta datang pukul satu siang nanti, satu jam lebih awal dari kedatangan Leo.Tepat pukul satu siang, dua orang laki-laki telah datang menemui Nenek di ruang tamu. Mira mengintip dari kamarnya karena sangat penasaran dengan gerak gerik neneknya, namun sayang, dia tidak mendengar apapun dari sana.Tiba-tiba Nenek berdiri dari sikap duduknya dan berjalan ke arah kamar Mira, dengan segera gadis manis itu berjalan menjauhi pintu dan duduk di tepi kasur, seolah-olah bersikap tidak terjadi apa-apa barusan.“Mira, apakah Leo nanti bisa datang?” tanya Nenek Mira sambil membuka
Ternyata Kakek mengerjai Leo. Setelah itu mereka berdua saling bersua. Leo sangat bahagia karena kakeknya sangat merindukannya. Kemudian Leo bercerita tentang kisah cintanya dengan Mira dan sikap Nenek Mira sebagai rintangan cinta mereka berdua. Kakek sangat memahaminya, karena pernah merasakan yang dirasakan oleh Leo ketika masih muda dulu.“Baiklah Leo, Kakek akan datang ke rumahmu. Kakek ingin melihat Mira secara langsung, dan menilainya, untuk tahu, apakah kamu pantas memperjuangkan cintamu atau tidak dengannya?” kata Kakek Leo yang sudah lima belas tahun belum bertemu dengan Leo.“Iya, Kek. Semoga Mira bisa datang untuk bertemu Kakek. Kalaupun tidak bisa, maka Leo akan mencari cara agar Kakek bisa bertemu dengannya,” ucap Leo.“Bagus, kamu benar-benar cucu Kakek, punya banyak akal. Siapkan rencanamu Leo,” kata Kakek dengan tegas.“Siap, Kek. Laksanakan.” Leo menutup teleponnya sa
Setelah bersih-bersih, Mira segera mandi dan bersiap pergi ke rumah Leo. Hatinya saat itu sangat berbahagia karena akan menghadiri acara reuni teman-teman kuliahnya, dan yang paling membuatnya lebih bahagia adalah dia bisa ke acara itu bersama Leo, kekasihnya.Tiba di rumah Leo, seperti biasa, dia akan disambut hangat oleh kekasihnya itu. Saat berada di ruang keluarga, Mira mulai menceritakan tujuannya bertemu dengan Leo.“Leo, besok sabtu, akan ada acara reuni teman-teman kuliahku. Aku bahagia sekali ... dan yang paling membuatku senang, kamu boleh ikut. Kamu ada waktu ‘kan?” tanya Mira dengan wajah berseri-seri.Leo berpikir sebentar, kemudian dia menjawab pertanyaan Mira. “Hmm ... sabtu ya. Sepertinya aku bisa ikut,” jawabnya datar.“Kenapa responmu biasa saja? Apa kamu tidak bahagia pergi bersamaku?” tanya Mira sambil memajukan bibirnya.“Bukan begitu Mir. Entahlah, sesuatu yang baru buatku ... tapi semuanya pasti akan menyenangk
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa