“Operasi plastik. Apa kamu gila!” teriak Leo sambil mondar mandir di depan Mira. Nafasnya bergerak cepat, dadanya kembang kempis, naik turun, wajahnya memerah. Dia benar- benar tidak terima, merasa terhina, namun tidak bisa membalas.
“Sabar, Leo. Nenekku memang seperti itu. Segala perkataannya, sangat sulit untuk dipatahkan.” “Kalau aku mau, dari dulu sudah aku lakukan.” Leo masih saja tersulut emosi.“Kalau boleh tahu. Kenapa dari dulu, tidak kamu lakukan?” tanya Mira dengan hati-hati, berharap kekasihnya itu tidak semakin emosi.Leo kemudian duduk di sebelah Mira. Kepalanya mulai dingin. “Mamaku adalah orang yang paling tidak menginginkan itu. Dia selalu berkata kepadaku kalau tompelku adalah jimat keberuntungannya. Sebenarnya aku sendiri tidak paham maksudnya,” kata Leo. Bibirnya bisa sedikit tersenyum jika mengingat perkataan mamanya saat itu.“Mama berkata tompel ini adalah anugerah dari sang pencipta untukku, agar aku selalu menjadi orang yang rendah hati. Sebenarnya, wajahku sangat tampan jika tidak ada tompel. Kamu percaya ‘kan, Mir?”“Benarkah? Eh ... Iya, benar itu,” jawab Mira takut salah bicara.“Mira ... “ Leo membelalakkan matanya menanggapi jawaban Mira.“Benar itu ... Pacar Mira ini, paling tampan sedunia, walaupun ada tompel di wajahnya,” ucap Mira berusaha memperbaiki suasana, sambil menyentuh wajah Leo dengan lembut menggunakan ujung jarinya.Leo menarik tangan Mira, dan mendekatkan wajahnya, hingga bibir mereka bertemu. Sepasang kekasih ini, berada dalam kenikmatan sambil menutup mata. Namun, Mira tersadar, didorongnya tubuh Leo. “Sudah Leo ... nanti ketahuan Mama dan Papa.” Pipi Mira memerah, dia tersenyum malu. Memang saat itu, mereka berada di rumah Leo. Mira naik motor menuju ke sana tanpa sepengetahuan Neneknya.Leo tersenyum memandangi wajah Mira, kemudian wajahnya berubah masam lagi ketika mengingat perkataan Nenek Mira. “Aku harus melakukan apa, sekarang?” Wajah Leo menunduk lesu.Mira memberanikan diri memegang tangan Leo. “Jangan tersinggung, ya! Coba kamu cari tahu dulu, apakah ada bedah plastik yang bisa pulih dalam waktu dua minggu?”Leo mengernyitkan dahinya, dia sudah tersinggung dengan perkataan Mira.“Aku ‘kan sudah berkata jangan tersinggung.” Mira mengulangi perkataannya lagi agar Leo tidak emosi, sambil sedikit mengangkat kedua tangannya.“Baiklah. Demi cinta, apapun yang kamu minta, akan aku lakukan,” jawab Leo berapi-api penuh perasaan. Mira menjadi tersipu malu, saat mendengarnya.Hari menjelang sore, Mira akhirnya pulang. Segera Leo pergi ke kota sendirian. Dia datang ke salah satu rumah sakit terbesar di sana, ingin bertemu dengan seorang ahli bedah plastik, untuk sekedar bertanya-tanya seputar operasi plastik tompelnya. Setelah merasa cukup mendapat informasi yang diinginkan, Leo kemudian menelepon Mira.“Hallo, Mir.”“Iya, Leo. Apakah kamu sudah mendapat informasi tentang operasi plastik? Cepatlah bercerita!” tanya Mira tidak sabar.“Iya, Mir. Kata ahli bedah plastiknya, tompel ini memang bisa hilang. Namun pemulihannya, membutuhkan waktu selama 3 bulan. Bukankah reuni saudara Nenek, dua minggu lagi, ya?” tanya Leo di ujung sana.“Wah ... kalau kamu jadi operasi plastik, wajahmu masih tertutup perban saat datang ke reuni itu. Nanti Nenek ketakutan, karena dipikir tamunya adalah mumi,” kata Mira sambil melepas tawanya.“Mira, ini serius. Kenapa tertawa? Apa kamu senang kalau itu terjadi?” tanya Leo menahan marah.“Iya- iya, maaf.” Mira masih saja tertawa namun tidak bersuara karena masih membayangkan Leo dengan wajah penuh perban.“Baiklah kalau begitu. Kita bicarakan ini nanti. Aku harus segera pulang, hari sudah menjelang malam.” Leo menutup telepon selulernya.Selama perjalan pulang, Leo memutar kepala. Mencari ide bagaimana cara menghadiri reuni itu dengan berwajah tampan tanpa tompel? Seperti permintaan Nenek Mira.Tiba-tiba dia teringat sesuatu, segera dia menepikan mobilnya dan menghubungi seseorang yang telah dikenalnya, berharap temannya itu bisa membantunya.***Dua minggu kemudian di rumah Mira. Semuanya sibuk menata dan menyulap ruang tamu dan teras menjadi tempat reuni yang mewah. Katering ternama dan juga dekor ruangan tidak lupa dipesan oleh Nenek, menjadikan suasana reuni, seperti acara pernikahan saja.Nenek benar-benar berdandan maksimal malam itu, riasannya hasil dari salon terkenal di kota. Dia sendiri yang menyewa mobil dan meluncur ke sana. Pakaian Nenek sudah disiapkan oleh penjahit, jauh hari sebelum acara reuni ini diadakan. Begitu juga dengan sepatu yang dikenakannya.Mira, cucu kesayangannya tidak luput dari perhatiannya. Gadis manis itu sudah dibelikan gaun, sepatu dan asesoris lengkap. Riasannya ‘pun berasal dari salon ternama tempat Nenek dirias. Mira tampak sangat cantik dan anggun, bahkan kedua orang tuanya sendiri, hampir tidak mengenalinya. Gadis manis itu bagaikan seorang putri, sedangkan Nenek adalah ratunya. Tidak ada yang bisa menandingi pesona mereka berdua di acara reuni itu.Saudara Nenek datang silih berganti. Nenek selalu memperkenalkan Mira dengan bangga. “Perkenalkan, ini cucu kesayanganku yang paling cantik. Mira namanya,” kata Nenek kepada setiap tamunya.Mira memberikan senyuman manisnya, sesuai perintah Nenek. Itu membuat setiap lelaki yang diperkenalkan kepadanya, selalu semakin terpesona melihatnya. Bahkan, ada beberapa saudara yang berkumpul membicarakan kecantikan Mira malam itu. Bapak dan Ibu cemas menyaksikannya, karena tahu betul kalau Mira telah dijodohkan oleh Leo. Namun, apa daya, perintah Nenek sulit untuk ditumbangkan, bahkan oleh anaknya sendiri.Tiba-tiba, datanglah seorang laki-laki bertubuh tinggi, berjalan dengan sangat gagah, berpenampilan sangat memikat dan berwajah rupawan, menghampiri Mira dan Neneknya. Sejak pandangan pertama, Nenek sudah merasa takjub dengan ketampanan lelaki itu, bahkan membuat mulutnya termenganga.Nenek kemudian tersadar. Dia akhirnya memperkenalkan Mira kepada lelaki misterius menawan itu. “Oh ... Perkenalkan. Ini cucu kesayanganku yang paling cantik, namanya-““Mira ... “ kata lelaki itu memutus perkataan Nenek.Nenek terperanjat mengetahui kalau lelaki itu mengenal Mira lebih dahulu. Namun, hatinya senang karena lelaki yang ditunggu-tunggu untuk cucunya telah datang. Dia juga sudah menilai penampilan lelaki itu. “Sepertinya dia orang kaya,” batin Nenek.Mira yang berada di sebelah Nenek ikut terperanjat mendengar namanya disebut, perasaan dan telinganya mengatakan kalau dia sangat mengenal orang tersebut, tapi siapa dan dimana? Mira belum tahu jawabannya.Lelaki itu akhirnya berdiri tepat di hadapan Mira. Gadis manis itu mengamati lelaki itu dari ujung kaki hingga kepalanya, berharap mengenalnya. Kemudian lelaki misterius menawan itu mengedipkan salah satu matanya kepada Mira. “Sebentar ... aku sepertinya mengenal mata itu, tapi siapa ya? Mengapa tiba-tiba otakku tidak bisa diajak bekerjasama dengan cepat sekarang?” gumam Mira dalam hati, merasa geregetan dengan dirinya sendiri.Mira akhirnya menyerah. Dia kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki itu. “Maaf ... anda siapa, ya?” tanya Mira penasaran.“Apa kamu benar-benar tidak mengenaliku,” kata lelaki itu.Mira menggelengkan kepala sebagai jawaban kepada lelaki misterius menawan itu.“Aku ... Leo,” jawab lelaki itu.Mira menutup mulutnya dengan kedua tangan, merasa tidak percaya dengan penglihatannya. Dia kembali melihat Leo dari bawah ke atas, kemudian berhenti pada wajahnya. “Tompel ... kemana tompelnya?” batin Mira.“Apakah dia baru saja dari penyihir atau pesulap, yang bisa merubah wajah dalam hitungan detik? Atau bertemu Ibu Peri seperti di dongeng yang pernah kudengar, kemudian saat pukul dua belas tepat, semua berubah seperti sedia kala.” Pikiran Mira tiba-tiba melayang, terbang kemana-mana.Leo menjentikkan tangannya di depan wajah Mira, membuat gadis manis itu tersadar dari lamunannya. Segera tangan Leo ditarik oleh Mira, dia mengajak kekasihnya itu berbicara di tempat yang tidak didengar oleh siapapun.“Bagaimana caranya kamu bisa melakukan semua ini? Wajahmu betul-betul tampan, tompelnya menghilang. Aku sampai sulit mengenalinya tadi,” tanya Mira penasaran.Gadis manis itu, ingin menyentuh wajah Leo yang telah berubah menjadi tampan, dengan ujung jarinya. Namun, Leo menghentikannya. “Jangan! Kamu tidak boleh menyentuh wajahku dulu. Nanti aku akan bercerita bagaimana semua ini bisa terjadi.”Mira kemudian menganggukkan kepalanya, memahami maksud perkataan Leo.Leo kemudian menyentuh wajah Mira dengan salah satu tangannya. “Sepertinya, kamu sangat bahagia karena menjadi primadona di pesta reuni ini. Semua mata tertuju kepadamu,” kata Leo dengan wajah cemberut.“Aku hanya menuruti keinginan Nenek, kumohon janganlah cemburu! Hatiku hanya untukmu Leo,” ucap Mira berusaha menenangkan hati kekasihnya itu.“Lihat saja. Setelah kita bertemu Nenek, aku akan memperkenalkan diri sebagai kekasihmu. Mereka yang menggilaimu akan gigit jari.” Leo masih saja tersulut api cemburu.“Sekarang, perkenalkan aku kepada Nenekmu!” pinta Leo kepada Mira.“Baiklah,” jawab Mira. Mereka berdua kemudian berjalan bersama menuju Nenek berada. Akhirnya Leo dan Mira berada tepat di sebelah Nenek. Gadis manis itu kemudian berkata, “Nenek, perkenalkan.“Nenek menjulurkan tangan kanannya kepada Leo, tangan itu kemudian diterima oleh Leo dengan sopan.“Saya ... Leo.”“Apa?” kata Nenek tidak percaya, matanya membulat saat melihat Leo dari atas ke bawah.Nenek menutup mulutnya dengan kedua tangan, merasa tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar. “Apakah aku bermimpi? Leo ini berbeda sekali dengan yang pertama kulihat. Apakah dia benar-benar operasi plastik?” batin Nenek, sambil menelan salivanya.Leo berjalan satu langkah ke depan dari tempat dia berdiri. “Perkenalkan, saya adalah Leo, kekasih Mira,” ucap Leo sambil melihat ke kanan dan ke kiri memastikan setiap orang mengamatinya. Dia berbicara dengan gagahnya penuh percaya diri.Perkataan Leo disambut riuh oleh saudara Nenek Mira. Ada yang merasa sial karena terlambat mendekati Mira, wajahnya penuh penyesalan, ada yang ikut bangga dengan Mira karena memiliki kekasih sangat tampan, ada pula yang iri dengannya.Mira mendekati Leo, menggenggam tangannya dengan mesra dan memandang kedua matanya penuh takjub sambil memberikan senyuman terindah. Menjadikan mereka berdua seperti sejoli yang baru jatuh cinta.Setelah itu, suasana menjadi
“Hallo Leo, bisakah kamu ke sini siang nanti, pukul dua. Nenek yang meminta,” ucap Mira melalui teleponnya.“Oh ... oke, aku akan ke sana nanti siang,” jawab Leo sambil menutup teleponnya. Sesaat kemudian, dia berpikir sebentar, di kepalanya terselip pertanyaan, tentang apa yang akan diinginkan Nenek Mira kali ini?Di rumah Mira, Nenek menelepon seseorang untuk diminta datang pukul satu siang nanti, satu jam lebih awal dari kedatangan Leo.Tepat pukul satu siang, dua orang laki-laki telah datang menemui Nenek di ruang tamu. Mira mengintip dari kamarnya karena sangat penasaran dengan gerak gerik neneknya, namun sayang, dia tidak mendengar apapun dari sana.Tiba-tiba Nenek berdiri dari sikap duduknya dan berjalan ke arah kamar Mira, dengan segera gadis manis itu berjalan menjauhi pintu dan duduk di tepi kasur, seolah-olah bersikap tidak terjadi apa-apa barusan.“Mira, apakah Leo nanti bisa datang?” tanya Nenek Mira sambil membuka
Ternyata Kakek mengerjai Leo. Setelah itu mereka berdua saling bersua. Leo sangat bahagia karena kakeknya sangat merindukannya. Kemudian Leo bercerita tentang kisah cintanya dengan Mira dan sikap Nenek Mira sebagai rintangan cinta mereka berdua. Kakek sangat memahaminya, karena pernah merasakan yang dirasakan oleh Leo ketika masih muda dulu.“Baiklah Leo, Kakek akan datang ke rumahmu. Kakek ingin melihat Mira secara langsung, dan menilainya, untuk tahu, apakah kamu pantas memperjuangkan cintamu atau tidak dengannya?” kata Kakek Leo yang sudah lima belas tahun belum bertemu dengan Leo.“Iya, Kek. Semoga Mira bisa datang untuk bertemu Kakek. Kalaupun tidak bisa, maka Leo akan mencari cara agar Kakek bisa bertemu dengannya,” ucap Leo.“Bagus, kamu benar-benar cucu Kakek, punya banyak akal. Siapkan rencanamu Leo,” kata Kakek dengan tegas.“Siap, Kek. Laksanakan.” Leo menutup teleponnya sa
Setelah bersih-bersih, Mira segera mandi dan bersiap pergi ke rumah Leo. Hatinya saat itu sangat berbahagia karena akan menghadiri acara reuni teman-teman kuliahnya, dan yang paling membuatnya lebih bahagia adalah dia bisa ke acara itu bersama Leo, kekasihnya.Tiba di rumah Leo, seperti biasa, dia akan disambut hangat oleh kekasihnya itu. Saat berada di ruang keluarga, Mira mulai menceritakan tujuannya bertemu dengan Leo.“Leo, besok sabtu, akan ada acara reuni teman-teman kuliahku. Aku bahagia sekali ... dan yang paling membuatku senang, kamu boleh ikut. Kamu ada waktu ‘kan?” tanya Mira dengan wajah berseri-seri.Leo berpikir sebentar, kemudian dia menjawab pertanyaan Mira. “Hmm ... sabtu ya. Sepertinya aku bisa ikut,” jawabnya datar.“Kenapa responmu biasa saja? Apa kamu tidak bahagia pergi bersamaku?” tanya Mira sambil memajukan bibirnya.“Bukan begitu Mir. Entahlah, sesuatu yang baru buatku ... tapi semuanya pasti akan menyenangk
Di Kota, saat Leo berada si sebuah kafe, sedang sendiri. Dia disapa oleh Om Rudi, yang merupakan kakak dari papanya. Om Rudi menepuk pundak Leo hingga hampir saja membuatnya menyemburkan kopi yang baru saja di seruputnya.Om Rudi kemudian meminta Leo untuk datang ke rumahnya, sabtu depan, karena anaknya yang bernama Rani, yang merupakan sepupu Leo, akan berulang tahun. Tentu saja, akan banyak anggota keluarga yang datang dan berkumpul di sana. Om Rudi juga meminta Leo untuk membawa kekasih. Lelaki gagah itu sampai membulatkan matanya saat mendengar Om Rudi mengatakan itu, karena dia dan Mira saat ini, sedang berjauhan, bukan jarak rumahnya, tapi hati dan perasaan mereka.Leo berpikir lama di kafe itu, setelah Om Rudi berpamitan. Tapi kalau dipertimbangkan, ini adalah saat yang baik baginya untuk berbaikan dengan Mira. Undangan ulang tahun ini bisa dijadikan alasan yang masuk akal untuk membuat dia dan kekasihnya itu pergi berduaan dan melupakan kejadian kemarin.
Mira berjalan lunglai menuju ke rumahnya, setelah membantu saudaranya yang sedang hajatan pernikahan. Masih terngiang-ngiang di kepalanya, pembicaraan tantenya tentang Leo saat dia mengejarnya ketika marah. “Sudah ... biarkan saja dia pergi, laki-laki temperamen kayak gitu koq, masih dideketin. Wajahnya sudah buruk, ternyata sifatnya juga sama buruknya ... kalau aku, sudah kutendang jauh laki-laki seperti itu!”“Apa Leo seburuk itu di mata orang-orang? Mengapa selama ini aku merasa baik-baik saja dengan sikap temperamennya? Apa karena cinta, jadi semua terlihat indah? Tapi ... mengapa aku merasa malu, kalau bersama dengan dia di hadapan banyak orang? Apa perasaan cintaku, tidak sebesar yang aku kira? Bagaimana kalau setelah menikah, aku merasa malu memiliki suami bertompel? Terus, bisa bertahan sampai kapan pernikahan seperti itu? Masak ... kemana-mana aku sendirian, tidak mau ditemani suami. Rumah tangga seperti apa itu?” batin Mira berkecambuk. Dia kemudian memukul jida
Kemudian, Mira memberanikan diri untuk mengeluarkan suara. “Sebaiknya ... kita ...” kata Mira.“bersatu kembali. Itukan yang mau kamu ucapkan, Mir?” batin Leo senang.“Kita ...” ulang Mira lagi, tetap belum melanjutkan bicaranya.“Iya?” tanya Leo tidak sabar. Namun, Mira kemudian terdiam merasa gugup.Baru saja, Leo ingin menanyakan kembali lanjutan ucapan mantan kekasihnya itu, tapi Mira sudah nyerocos terlebih dahulu. “Kita belajar untuk menerima keadaan kalau kita sudah putus. Kita pelan-pelan menghilangkan ingatan saat kita sedang berdua. Itu memang sulit. Mungkin, dengan berjalannya waktu, semuanya akan terlupakan, dan luka di hati ini, akan sembuh dengan sendirinya ... yah, begitulah, kurasa.”Leo menunduk kembali setelah mendengar kata-kata dari Mira. Mereka sebenarnya sama-sama merasa kehilangan, namun tidak ada yang mau mengalah, untuk mengatakan, ayo
“Enakkan solusiku? ... gak usah susah-susah bayar, tinggal nikah saja, sama saya. Gimana Mira?” tanya Rentenir itu sambil berkacak pinggang, dan salah satu kakinya di hentak-hentakkan ke lantai.“Pernah ngaca gak rentenir? Situ sudah tua, koq minta sama Mira. Saya sebagai orang tuanya, tidak setuju,” jawab Bapak Mira membela anaknya.“Rentenir itu cocoknya jadi Kakeknya Mira, tidak cocok kalau jadi suaminya ... sadar diri to Rentenir,” kata ibu Mira pelan. Dia yang selama ini selalu bersikap sabar, akhirnya tidak kuat menahan emosinya, dia juga ikut membela anak satu-satunya itu.“Loh ... kalau saya tidak dijodohkan dengan Mira, maka hutang Bapak, harus dibayar, sekarang juga!” teriak Rentenir geram. Beberapa detik kemudian, datanglah kurang lebih lima orang laki-laki, dari mobil van warna hitam, dan masuk ke dalam rumah Mira dengan tergopoh-gopoh. Setelah itu, mereka berdiri di samping Rentenir dengan membawa pemukul bisbol.“Kalau tida
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa