Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.
Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me“Siap-siap ya! Sepertinya bapak akan kehilangan toko besar ini." Penagih itu memukul-mukul tembok toko dengan tangannya. Wajahnya kaku tanpa senyuman.“Bapak sudah tiga bulan belum membayar tagihan!” teriak penagih itu, matanya melotot. Semua orang di toko melihat ke arahnya.“Sa-saya akan bayar secepatnya pak,” ucap Bapak ketakutan, tangannya gemetaran.Penagih itu hanya memandang tajam mata Bapak tanpa menjawab, matanya dipercingkan seolah-olah mau menelan Bapak hidup-hidup, kemudian pergi begitu saja mengendarai motornya.Setelah penagih pergi, Bapak memukul kepalanya pelan merasakan penat dengan situasi yang dialaminya. “Siapa yang mau meminjamkan uang 100 juta kepadaku untuk menutup hutangku di bank?”Kemudian datang seorang lelaki, membawa dua botol minuman yang dibeli dan menyodorkan uang pembayaran sambil berkata, “Datanglah ke rumah! Saya bisa meminjamkan uang sejumlah itu.”“Oh ... Pak Leo. Baiklah, sa
Hari ini adalah yang paling ditunggu dan mendebarkan bagi Mira. Seakan-akan lupa akan perjodohannya dengan Leo. Dia memang sangat merindukan Noval, sudah sebulan ini mereka tidak bertemu karena kesibukan masing-masing.Wajah Mira bahagia sekali mulai dari mandi. Dia bersenandung beberapa lagu cinta, sambil sesekali tersenyum sipu. “Tapi ... nanti cerita tidak ya, ke Mas Noval tentang perjodohanku? Ah, dipikir nanti saja,” gumam Mira sambil memilah pakaian terbaik yang akan dipakainya.Mira memutuskan untuk memakai kaos polos berwarna putih berlengan panjang, dan bercelana jeans biru tua. Menaburkan sedikit bedak dan lipstik warna natural kesukaannya. Mira memang gadis yang sangat sederhana. Walaupun demikian, dia adalah gadis yang manis, bisa dikatakan gadis yang paling manis di desanya.Sebenarnya, banyak pemuda desa yang jatuh hati kepadanya. Namun, satu persatu mundur karena predikat S1 yang disandang Mira. Maklum, tidak semua orang di desanya
“Aku rasanya ingin menjatuhkan diri dari lantai lima, Mas.” Tangis Mira pecah sejadi-jadinya.“Untuk apa Mira?” Noval berusaha mempelajari situasi.“Aku ingin mengiris pergelangan tanganku.”“Kamu berbicara apa, Sayang?”“Tapi aku takut, itu sakit dan sangat berdosa.” Mira sesenggukan.“Mira jelaskan padaku, ada apa denganmu?”“Argh ... !“ Mira kembali berteriak mengeluarkan emosinya. Kemudian terdiam.“Aku akan menyusulmu sekarang, dimana kamu?” tanya Noval tidak sabar.“Tidak usah mas.”“Kalau begitu, tenangkan pikiranmu. Apa kamu mau membicarakan ini sekarang?”Mira terdiam, lidahnya terasa kaku tidak bisa mengeluarkan suara, pikirannya penuh kemelut sehingga susah untuk diajak berpikir.Noval akhirnya memahami situasi. “Oke, kita bicarakan besok ya! Kita akan bertemu lagi di sini, pagi, pukul sepuluh. Bisa ‘kan Sayang?”“Baiklah, Mas.”“Sekarang, coba
“Loh Pak Leo!” seru Bapak penuh rasa kaget.“Kami salah apa?” tanya Ibu memelas.“Oh, ternyata mereka tidak berduaan, ada Bapak dan Ibu Mira di dalam rumah. Saya salah mendengar informasinya. Jadi, saya mohon, warga kembali ke rumah masing-masing,” tegas Leo kepada semua warga yang berkumpul. Warga desa ‘pun, satu persatu mulai meninggalkan pekarangan rumah Mira, sambil mengeluarkan suara keluh kesah.Sekarang, hanya tinggal Leo dan kedua temannya yang diam mematung memandang Ibu dan Bapak Mira dengan tajam, sambil menunggu hingga tidak ada satu ‘pun warga. “Lihatlah! Semua bisa aku lakukan untuk memperdaya banyak orang, berhati-hatilah!”“Aku sudah mengatakan ke Mira untuk tidak lagi bertemu dengan Noval, tapi tidak dihiraukan. Sekarang lihat akibatnya. Aku bisa melakukan lebih dari yang Ibu, Bapak, dan Mira pikirkan.” Leo bersama dua temannya segera meninggalkan Ibu dan Bapak yang masih terdiam, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja
“Pesta dansa!” teriak Mira.“Iya benar,” jawab Leo santai.“Ta-tapi aku belum pernah datang ke pesta dansa.”“Baguslah kalau begitu, jadikan ini pengalaman pertamamu denganku,” ucap Leo dengan wajah bahagia, karena merasa spesial menjadi yang pertama bagi Mira.Mira masih merasa canggung dengan istilah pesta, di kepalanya terngiang-ngiang atribut pesta, yaitu baju, sepatu, tas dan asesoris. “Seperti apa itu?” pikirnya.Mira masih dalam lamunannya, tiba-tiba, empat pembantu Leo berbaris di hadapannya, masing-masing membawa kotak, yang kemudian diletakkan di meja depannya.“Itu adalah baju, sepatu, kalung, gelang, anting dan terakhir adalah tas. Semua ini untuk keperluan pesta besok.” Leo menunjuk satu persatu kotak dan menjelaskan isinya.“Besok, aku jemput setengah jam sebelum pesta dimulai,” tegas Leo mengingatkan Mira.Setelah pulang dari rumah Leo, Mira membolak-balik undangan pesta itu, berusaha mema
Kedua orang tua Leo dan Mira diminta berkumpul di balai desa oleh Pak RT.“Begini Pak, Bu, semalam kami memergoki Leo dan Mira sedang berciuman di depan rumah Mira. Demi kenyamanan bersama, akan lebih baik kalau keduanya segera dinikahkan,” ucap Pak RT.Leo dan Mira menanggapi pernyataan Pak RT dengan cara yang berbeda. Leo menganggukkan kepala sedangkan Mira menggelengkan kepala.Kedua orang tua mereka sama-sama menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka.“Saya harap dua keluarga ini, bisa saling berdiskusi untuk mencari penyelesaian masalah ini. Sekali lagi untuk kenyamanan bersama, tetap, pada akhirnya, mereka harus dinikahkan,” kata Pak RT berusaha menjadi penengah antara Leo dan Mira.Leo dan Mira saling memandang mendengar perkataan Pak RT. Kemudian, bibir Leo mulai melebar menunjukkan senyuman kecil penuh misteri kepada Mira. Tiba-tiba saat itu, timbul rasa curiga di pikiran Mira.“Oh ... ini semua pasti rencanamu
“Apa kamu gila? Tidak mungkin aku meninggalkanmu di sini,” ucap Leo.“Aku tidak ingin Bapakku merugi,” jawab Mira.“Nyawamu lebih penting dari motor, barang-barang atau apapun yang ada di dunia ini!” teriak Leo.“Aku berharap orang tuaku tidak mengetahui kejadian ini, kalau mereka tahu, mereka akan khawatir padaku, seumur hidup.” Mata Mira berkaca-kaca.“Baiklah kalau itu maumu. Begini saja, kamu dan barang-barang ini masuk ke dalam mobil. Motormu akan kututup dengan terpal yang ada di bagasi mobilku. Nanti, aku minta salah satu pekerjaku untuk mengurusnya. Bagaimana?”“Baiklah, itu ide yang bagus.”Mira dan Leo memasukkan barang-barang keperluan toko Bapak, ke dalam mobil. Setelah itu, lelaki gagah itu melajukan mobilnya dengan cepat ke rumah Mira.Setelah sampai di depan rumah, Mira mengamati langit di atasnya dan tanah di depannya. “Tidak hujan sama sekali di sini.”Kemudian, Mira terdiam seben
Mira terjatuh tersungkur di lantai, ternyata dia kelelahan karena seharian tidak bisa tidur, mengkhawatirkan kesehatan Leo.Mira benar-benar merasa bersalah karena telah bersikap tidak baik terhadap lelaki gagah bertompel itu selama ini, yang ternyata telah menjadi penyelamatnya. Apalagi, ketika tiba di rumah Leo, mamanya menamparnya dan memberikan penjelasan tentang sakit Leo, membuatnya semakin jatuh dalam penyesalan yang dalam, dan akhirnya tumbang.“Bangun, Mira.” Leo menggerakkan badan Mira perlahan, namun tidak terbangun juga.Leo meminta tolong satpam dan supirnya untuk membawa Mira ke dalam kamar tamu di lantai dua rumahnya.Leo ingin merawat Mira, tapi mamanya melarangnya karena dia sendiri butuh perawatan dari dokter. Akhirnya dia menuruti permintaan mamanya, dengan syarat, setelah dari dokter, dirinya boleh merawat Mira. Mamanya menyetujui permintaan Leo, walaupun dengan berat hati.Dokter mendiagnosa Leo terkena penyakit
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa