“Siap-siap ya! Sepertinya bapak akan kehilangan toko besar ini." Penagih itu memukul-mukul tembok toko dengan tangannya. Wajahnya kaku tanpa senyuman.
“Bapak sudah tiga bulan belum membayar tagihan!” teriak penagih itu, matanya melotot. Semua orang di toko melihat ke arahnya.“Sa-saya akan bayar secepatnya pak,” ucap Bapak ketakutan, tangannya gemetaran.Penagih itu hanya memandang tajam mata Bapak tanpa menjawab, matanya dipercingkan seolah-olah mau menelan Bapak hidup-hidup, kemudian pergi begitu saja mengendarai motornya.Setelah penagih pergi, Bapak memukul kepalanya pelan merasakan penat dengan situasi yang dialaminya. “Siapa yang mau meminjamkan uang 100 juta kepadaku untuk menutup hutangku di bank?” Kemudian datang seorang lelaki, membawa dua botol minuman yang dibeli dan menyodorkan uang pembayaran sambil berkata, “Datanglah ke rumah! Saya bisa meminjamkan uang sejumlah itu.” “Oh ... Pak Leo. Baiklah, saya akan ke sana,” jawab Bapak senang sambil menghembuskan nafas lega.Di depan rumah Leo, Bapak merasa ragu untuk masuk. Dia berpikir keras tentang apa yang akan dilakukannya sebagai balasan kebaikan Leo. Namun, dia tetap memantapkan langkahnya hingga akhirnya bertatapan muka dengannya.“Ini uangnya,” ucap Leo dengan tegas. Mata Bapak mendelik melihat uang yang berjejer rapi dan banyak di hadapannya. “Bagaimana kabar Mira? Anak Bapak yang manis itu. Dulu saat SMA saya sering memperhatikannya,” kata Leo sambil berjalan mendekati jendela, matanya menerawang jauh sambil tersenyum.Bapak melihat perubahan wajah Leo dari tegas menjadi seperti orang yang sedang jatuh cinta ketika membicarakan Mira. Tanpa berpikir panjang Bapak langsung berkata, “Bagaimana kalau Mira saya jodohkan dengan Pak Leo? Apakah berkenan?” Bapak berpikir itulah solusi untuk membalas kebaikan sekaligus agar terbebas dari hutang.Pak Leo langsung menunjukkan deretan giginya yang rapi, menyodorkan tangan kanannya kepada Bapak, setuju dengan perjodohan itu.Bapak kemudian pulang ke rumah. Dia memanggil anak satu-satunya itu.“Mir-Mira, kesini! Ada yang ingin Bapak bicarakan!” Teriakan Bapak cukup keras sehingga Ibu pun keluar kamar merasa penasaran. Ibu duduk disebelah Bapak di ruang tamu, ikut menunggu kedatangan anak semata wayangnya itu.Mira berjalan perlahan, sambil mengusap air mata menguap merasakan kantuk. Maklum, waktu itu pukul satu siang.“Ada apa, Pak? Mira mengantuk,” tanya Mira sambil mengusap matanya.Bapak kemudian bercerita tentang hutangnya dan juga tentang tawarannya menjodohkan Mira dengan lelaki paling kaya di desanya yaitu Leo.Mira diam seribu bahasa. Kantuknya seketika itu hilang, berubah menjadi rasa bimbang, bingung tidak menentu. Dia berusaha tenang menapaki bumi, setelah merasakan seolah-olah tubuhnya baru jatuh dari ketinggian sekian ribu meter.“Te-terus bagaimana dengan Mas Noval? Kami sudah berpacaran selama 2 tahun. Itu bukan waktu yang singkat untuk memutuskan hubungan seketika.”Mira kemudian berdiri dari dudukannya. ”Lagipula, siapa itu Pak Leo? Aku tidak pernah melihatnya, walaupun dia pria terkaya di desa ini. Bagaimana sifatnya? Begitu mudahnya Bapak menjodohkanku dengan lelaki yang tidak pernah kutemui!” Wajah Mira seketika berubah menjadi merah menahan marah.“Maafkan Bapak Mira, kamu anak satu-satunya yang Bapak miliki. Bapak berharap banyak darimu, Nak. Bapak minta, kamu mengerti keadaan Bapak.” Suara Bapak terdengar memelas.Mira bergegas masuk ke dalam kamar tanpa berkata apapun. Perasaannya sedang berkecambuk.“Aku harus bilang apa kepada Mas Noval?” Mira duduk di tepi kasur sambil bergumam dalam hati.“Bagaimana caraku menjelaskan kepada Mas Noval tentang semua ini?” Mira mengambil bantal dan memasukkan wajahnya dalam-dalam.Kring!Suara telepon menghentikan lamunan Mira. Dia meletakkan bantalnya dan mulai mencari asal suara berisik itu datang.“Hallo!” sapa Mira di telepon sambil melemparkan tubuhnya ke tempat tidur.“Hallo sayang,” jawab Noval di ujung sana.“Biasanya masih tidur. Semangat sekali menjawab teleponnya, sedang bahagia, ya?” canda Noval.Mira langsung duduk dari sikap tidurnya. “Mas, tadi Bapak bercerita kalau ... ” ucap Mira ingin segera mengeluarkan unek-uneknya, namun kemudian terhenti. Dia takut kalau pacarnya itu terkejut.“Kalau apa?” tanya Noval penasaran. Keinginan Mira bercerita sangat kuat, namun ragu-ragu selalu menderanya. “Bapak ingin men ...”“Kenapa, Sayang? Seperti lagi bingung” Noval mulai menyadari ada yang aneh dari Mira.Mira menarik nafas panjang pelan, yang tidak terdengar oleh Noval. Setelah itu, dia berusaha menjawab pertanyaan Noval dengan tenang. ”Tidak ada apa-apa, tidak jadi.”“Ya sudah. Bercerita besok saja, saat kita bertemu. Pukul empat sore seperti biasanya. Aku sangat merindukanmu, Sayang.” Nada manja Noval menutup pembicaraannya dengan Mira.“Baiklah mas, sampai jumpa besok,” tutup Mira sambil menekan tombol off pada telepon selulernya.Mira membanting tubuhnya di kasur, memandangi langit kamar dengan gusar. Dia berpikir tentang apa yang akan diceritakan besok kepada Noval. Berkata sejujurnya, atau menutup rapat-rapat, yang telah dikatakan bapaknya siang ini. Semua ini membuat kepalanya serasa berputar.Akhirnya, dia memutuskan untuk menutup mata, memulai tidur siangnya yang sudah tertunda.Mira merasakan tidur siangnya lebih singkat dari biasa. Dia membuka mata sambil mengingat kembali apa yang baru saja terjadi. “Ya Tuhan, kuharap Cuma mimpi.” Batin Mira mulai gusar.Dia kemudian berjalan ke luar rumah untuk menjernihkan pikiran. Kakinya dilangkahkan pelan, sambil menghirup udara segar. Pikirannya menerawang, hingga dia tidak menyadari sosok Leo yang berjalan berlawanan arah dengannya.“Selamat sore, nona,” sapa Leo ramah.“Sore juga,” jawab Mira sekenanya tanpa melihat wajah yang menyapa, kakinya tetap melangkah mengikuti jalan beraspal.Mira kemudian tersadar, dia segera membalikkan badan, mencari asal suara yang tadi menyapanya. Namun, tidak ada orang di sana. Setelah itu, dia melanjutkan perjalanannya, menelusuri jalan memutar yang akan kembali ke rumahnya.Saat di rumah, Mira melihat ke arah jam dinding yang berada di depannya. “Pukul setengah empat sore, waktunya mandi. Mungkin setelah mandi, aku merasa lebih tenang,” gumam Mira.Mira memulai langkah kakinya dengan Lunglai menuju ke tempat jemuran, untuk mengambil handuk. Ketika dia berada tepat di depan kamar mandi, Bapak memanggilnya sambil berjalan dengan langkah cepat mendekatinya.“Mira, besok Pak Leo akan datang ke rumah kita. Bapak mengundangnya untuk makan malam bersama. Kamu berdandanlah yang cantik. Mungkin setelah bertemu dengannya, kamu akan lebih mengenal dan jatuh hati kepadanya.” Bapak menjelaskan dengan senyuman bahagia. Wajahnya berbinar-binar.Mira terkejut mendengar perkataan Bapak hingga handuk yang dibawanya terjatuh ke lantai. Matanya sampai terbelalak dan mulutnya termenganga.“Mira belum menerima perjodohan ini, Pak. Mengapa Bapak cepat sekali mengundangnya? Bagaimana kalau Mira marah-marah kepada Pak Leo, karena perjodohan yang tidak terduga ini?”Mira terdiam sebentar, menahan perasaannya. “Berikan kesempatan kepada Mira untuk menenangkan pikiran dan berbicara dulu dengan Mas Noval. Ini bukan perkara yang mudah, Pak. Ini semua masalah hati, perasaan, Pak.”Air mata Mira mulai pecah saat membicarakan tentang perasaan. Kedua tangannya ditempelkan ke dada, menunjukkan begitu tertusuk dan sakit hatinya saat itu.Bapak terdiam mengamati wajah Mira yang meneteskan air mata tanpa bersuara. Bapak mengelus kepala anak satu-satunya itu dengan penuh kasih sayang. “Maaf, kalau Bapak bersikap egois. Semua ini bapak lakukan, juga demi kamu, agar tidak hidup susah.”Bapak berjalan ke arah meja makan, menggeret kursi makan dengan pelan, dan duduk perlahan, mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokannya. Setelah itu, menarik nafas panjang meneruskan penjelasannya. ”Pak Leo orangnya baik dari keluarga kaya. Kita juga dipandang orang berada, karena toko bapak paling besar di desa ini. Bapak tidak ingin kita jatuh miskin dan hidup susah, apa kata orang nanti?”Glek, glek, glek!Bapak meneguk air lagi, merasakan sejuk membasahi tenggorakannya, menciptakan aura tenang di wajahnya. “Bapak ingin, anak bapak satu-satunya merasakan hidup kaya dan bahagia. Bapak harap, kamu mengerti keadaan ini, dan menerima perjodohanmu dengan Pak Leo.” Bapak mengakhiri perkataannya, dengan memberikan senyuman harapan kepada Mira.Namun pikiran dan perasaan Mira belum dapat sejalan. Pikirannya bisa memahami perkataan bapaknya, tapi hatinya tidak. Mira sesenggukan dalam tangisnya, tubuhnya terasa tidak bertenaga menahan tekanan di dada. Pelan-pelan dia terduduk dilantai sambil mengusap air mata yang tidak henti-hentinya mengalir.***“Ma, akhirnya dia kudapatkan juga,” ucap Leo.“Siapa?” tanya Mama Leo sambil meyodorkan secangkir kopi kepada anak satu-satunya itu.“Si Mira.”“Aku menyukainya dari SMA. Dia gadis yang sangat manis, tidak mudah didekati.”“Setiap hari, aku selalu mengawasinya.” Senyum Leo terurai ketika mengingat bertemu Mira di jalan, sore tadi.Leo menyeruput kopinya pelan. “Akhirnya, aku punya cara untuk dijodohkan dengannya. Selama tiga bulan, aku memberikan uang kepada pelanggan-pelanggan bapaknya, untuk membeli barang di toko lain.” Leo tertawa keras, senang dengan keberhasilan rencananya.
“Besok, akan kutunjukkan pesonaku kepadamu, Mira!” teriak Leo penuh kemenangan.“Kamu akan terkejut,” ucap Leo dengan tersenyum sinis.
Hari ini adalah yang paling ditunggu dan mendebarkan bagi Mira. Seakan-akan lupa akan perjodohannya dengan Leo. Dia memang sangat merindukan Noval, sudah sebulan ini mereka tidak bertemu karena kesibukan masing-masing.Wajah Mira bahagia sekali mulai dari mandi. Dia bersenandung beberapa lagu cinta, sambil sesekali tersenyum sipu. “Tapi ... nanti cerita tidak ya, ke Mas Noval tentang perjodohanku? Ah, dipikir nanti saja,” gumam Mira sambil memilah pakaian terbaik yang akan dipakainya.Mira memutuskan untuk memakai kaos polos berwarna putih berlengan panjang, dan bercelana jeans biru tua. Menaburkan sedikit bedak dan lipstik warna natural kesukaannya. Mira memang gadis yang sangat sederhana. Walaupun demikian, dia adalah gadis yang manis, bisa dikatakan gadis yang paling manis di desanya.Sebenarnya, banyak pemuda desa yang jatuh hati kepadanya. Namun, satu persatu mundur karena predikat S1 yang disandang Mira. Maklum, tidak semua orang di desanya
“Aku rasanya ingin menjatuhkan diri dari lantai lima, Mas.” Tangis Mira pecah sejadi-jadinya.“Untuk apa Mira?” Noval berusaha mempelajari situasi.“Aku ingin mengiris pergelangan tanganku.”“Kamu berbicara apa, Sayang?”“Tapi aku takut, itu sakit dan sangat berdosa.” Mira sesenggukan.“Mira jelaskan padaku, ada apa denganmu?”“Argh ... !“ Mira kembali berteriak mengeluarkan emosinya. Kemudian terdiam.“Aku akan menyusulmu sekarang, dimana kamu?” tanya Noval tidak sabar.“Tidak usah mas.”“Kalau begitu, tenangkan pikiranmu. Apa kamu mau membicarakan ini sekarang?”Mira terdiam, lidahnya terasa kaku tidak bisa mengeluarkan suara, pikirannya penuh kemelut sehingga susah untuk diajak berpikir.Noval akhirnya memahami situasi. “Oke, kita bicarakan besok ya! Kita akan bertemu lagi di sini, pagi, pukul sepuluh. Bisa ‘kan Sayang?”“Baiklah, Mas.”“Sekarang, coba
“Loh Pak Leo!” seru Bapak penuh rasa kaget.“Kami salah apa?” tanya Ibu memelas.“Oh, ternyata mereka tidak berduaan, ada Bapak dan Ibu Mira di dalam rumah. Saya salah mendengar informasinya. Jadi, saya mohon, warga kembali ke rumah masing-masing,” tegas Leo kepada semua warga yang berkumpul. Warga desa ‘pun, satu persatu mulai meninggalkan pekarangan rumah Mira, sambil mengeluarkan suara keluh kesah.Sekarang, hanya tinggal Leo dan kedua temannya yang diam mematung memandang Ibu dan Bapak Mira dengan tajam, sambil menunggu hingga tidak ada satu ‘pun warga. “Lihatlah! Semua bisa aku lakukan untuk memperdaya banyak orang, berhati-hatilah!”“Aku sudah mengatakan ke Mira untuk tidak lagi bertemu dengan Noval, tapi tidak dihiraukan. Sekarang lihat akibatnya. Aku bisa melakukan lebih dari yang Ibu, Bapak, dan Mira pikirkan.” Leo bersama dua temannya segera meninggalkan Ibu dan Bapak yang masih terdiam, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja
“Pesta dansa!” teriak Mira.“Iya benar,” jawab Leo santai.“Ta-tapi aku belum pernah datang ke pesta dansa.”“Baguslah kalau begitu, jadikan ini pengalaman pertamamu denganku,” ucap Leo dengan wajah bahagia, karena merasa spesial menjadi yang pertama bagi Mira.Mira masih merasa canggung dengan istilah pesta, di kepalanya terngiang-ngiang atribut pesta, yaitu baju, sepatu, tas dan asesoris. “Seperti apa itu?” pikirnya.Mira masih dalam lamunannya, tiba-tiba, empat pembantu Leo berbaris di hadapannya, masing-masing membawa kotak, yang kemudian diletakkan di meja depannya.“Itu adalah baju, sepatu, kalung, gelang, anting dan terakhir adalah tas. Semua ini untuk keperluan pesta besok.” Leo menunjuk satu persatu kotak dan menjelaskan isinya.“Besok, aku jemput setengah jam sebelum pesta dimulai,” tegas Leo mengingatkan Mira.Setelah pulang dari rumah Leo, Mira membolak-balik undangan pesta itu, berusaha mema
Kedua orang tua Leo dan Mira diminta berkumpul di balai desa oleh Pak RT.“Begini Pak, Bu, semalam kami memergoki Leo dan Mira sedang berciuman di depan rumah Mira. Demi kenyamanan bersama, akan lebih baik kalau keduanya segera dinikahkan,” ucap Pak RT.Leo dan Mira menanggapi pernyataan Pak RT dengan cara yang berbeda. Leo menganggukkan kepala sedangkan Mira menggelengkan kepala.Kedua orang tua mereka sama-sama menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka.“Saya harap dua keluarga ini, bisa saling berdiskusi untuk mencari penyelesaian masalah ini. Sekali lagi untuk kenyamanan bersama, tetap, pada akhirnya, mereka harus dinikahkan,” kata Pak RT berusaha menjadi penengah antara Leo dan Mira.Leo dan Mira saling memandang mendengar perkataan Pak RT. Kemudian, bibir Leo mulai melebar menunjukkan senyuman kecil penuh misteri kepada Mira. Tiba-tiba saat itu, timbul rasa curiga di pikiran Mira.“Oh ... ini semua pasti rencanamu
“Apa kamu gila? Tidak mungkin aku meninggalkanmu di sini,” ucap Leo.“Aku tidak ingin Bapakku merugi,” jawab Mira.“Nyawamu lebih penting dari motor, barang-barang atau apapun yang ada di dunia ini!” teriak Leo.“Aku berharap orang tuaku tidak mengetahui kejadian ini, kalau mereka tahu, mereka akan khawatir padaku, seumur hidup.” Mata Mira berkaca-kaca.“Baiklah kalau itu maumu. Begini saja, kamu dan barang-barang ini masuk ke dalam mobil. Motormu akan kututup dengan terpal yang ada di bagasi mobilku. Nanti, aku minta salah satu pekerjaku untuk mengurusnya. Bagaimana?”“Baiklah, itu ide yang bagus.”Mira dan Leo memasukkan barang-barang keperluan toko Bapak, ke dalam mobil. Setelah itu, lelaki gagah itu melajukan mobilnya dengan cepat ke rumah Mira.Setelah sampai di depan rumah, Mira mengamati langit di atasnya dan tanah di depannya. “Tidak hujan sama sekali di sini.”Kemudian, Mira terdiam seben
Mira terjatuh tersungkur di lantai, ternyata dia kelelahan karena seharian tidak bisa tidur, mengkhawatirkan kesehatan Leo.Mira benar-benar merasa bersalah karena telah bersikap tidak baik terhadap lelaki gagah bertompel itu selama ini, yang ternyata telah menjadi penyelamatnya. Apalagi, ketika tiba di rumah Leo, mamanya menamparnya dan memberikan penjelasan tentang sakit Leo, membuatnya semakin jatuh dalam penyesalan yang dalam, dan akhirnya tumbang.“Bangun, Mira.” Leo menggerakkan badan Mira perlahan, namun tidak terbangun juga.Leo meminta tolong satpam dan supirnya untuk membawa Mira ke dalam kamar tamu di lantai dua rumahnya.Leo ingin merawat Mira, tapi mamanya melarangnya karena dia sendiri butuh perawatan dari dokter. Akhirnya dia menuruti permintaan mamanya, dengan syarat, setelah dari dokter, dirinya boleh merawat Mira. Mamanya menyetujui permintaan Leo, walaupun dengan berat hati.Dokter mendiagnosa Leo terkena penyakit
Bibi Jum berjalan kaki, pagi-pagi sekali, bukan untuk memulai lebih awal rutinitas bekerjanya di rumah Leo, melainkan pergi ke rumah Mira, sesuai dengan rencana Leo. Kemudian, pintu ruang tamu Mira diketok, membangunkan dan mengagetkan seisi rumah itu.“Permisi, Mira ada? Saya Bibi Jum pembantu yang bekerja di rumah Mas Leo” kata Bibi Jum kepada Bapak, yang membuka pintu.“Ada, sebentar saya panggilkan,” jawab Bapak.Beberapa menit kemudian, Mira keluar kamar dengan langkah cepat. Dia memang berharap mendapatkan kabar tentang Leo. Dia sangat khawatir.“Saya Mira, Bi. Bagaimana kabar Leo?” tanya Mira tidak sabar.Bibi Jum tersenyum kepada Mira. Dia menatapnya dengan saksama. “Sepertinya anak ini tulus ke Leo,” pikirnya dalam hati.“Leo semakin hari, semakin lemah kondisinya,” jawab Bibi Jum.“Kenapa seperti itu, Bi?” Mira belum puas atas jawaban Bibi Jum.Tangan Mira di pegang oleh Bibi Jum. “Coba kamu ca
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa