Kedua orang tua Leo dan Mira diminta berkumpul di balai desa oleh Pak RT.
“Begini Pak, Bu, semalam kami memergoki Leo dan Mira sedang berciuman di depan rumah Mira. Demi kenyamanan bersama, akan lebih baik kalau keduanya segera dinikahkan,” ucap Pak RT.Leo dan Mira menanggapi pernyataan Pak RT dengan cara yang berbeda. Leo menganggukkan kepala sedangkan Mira menggelengkan kepala.Kedua orang tua mereka sama-sama menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka.“Saya harap dua keluarga ini, bisa saling berdiskusi untuk mencari penyelesaian masalah ini. Sekali lagi untuk kenyamanan bersama, tetap, pada akhirnya, mereka harus dinikahkan,” kata Pak RT berusaha menjadi penengah antara Leo dan Mira.Leo dan Mira saling memandang mendengar perkataan Pak RT. Kemudian, bibir Leo mulai melebar menunjukkan senyuman kecil penuh misteri kepada Mira. Tiba-tiba saat itu, timbul rasa curiga di pikiran Mira.“Oh ... ini semua pasti rencanamu ‘kan?!” Mira berdiri dari sikap duduknya sambil berkacak pinggang, matanya melotot mengamati Leo dari atas ke bawah.“Buat apa aku melakukannya? Kamu tahu sendiri, kita berdua yang berada di tempat kejadian perkara.” Leo menjawabnya dengan santai.“Tentu saja agar kita segera menikah ‘kan. Dasar licik!” “Kalau itu adalah hukuman yang pantas buat kita, kenapa tidak?”“Kamu benar-benar-"“Menggemaskan ... memang benar!” potong Leo.Warga yang menyaksikannya merasa gemas dengan kelakuan mereka. Ada yang malah mendoakan mereka kelak menjadi pasangan yang serasi. Mira yang mendengarnya semakin merasa geregetan.Dua keluarga ini belum juga mendapatkan jalan keluar. Akhirnya mereka memutuskan untuk memikirkan dulu penyelesaiannya di rumah masing-masing dan memberi kesempatan kepada Leo dan Mira untuk bisa saling iya menuju ke pernikahan.“Kenapa tadi di balai desa, tidak mengiyakan untuk segera menikah dengan Leo? Bukankah kalian memang sudah dijodohkan?” tanya Bapak kepada anak satu-satunya itu.“Aku masih kesal dengan kejadian semalam Pak. Kalau aku iyakan, nanti Leo memandangku gadis murahan.” Bibir Mira cemberut.“Baiklah, terserah kamu saja. Daripada kamu memikirkan Leo terus, lebih baik bantu Bapak jualan di toko, ya? Sekarang.”Setelah sedikit berpikir, Mira menjawab. “Benar juga ya Pak. Mira ikut Bapak kalau begitu.”Mira akhirnya memilih untuk ikut bersama Bapaknya di toko. Saat dia sudah mulai terbiasa melayani pelanggan, datanglah seorang ibu bertubuh gemuk marah- marah membawa satu dos minuman botol jeruk. “Kemarin, saya membeli minuman di sini, setelah saya perhatikan, sudah kadaluwarsa semua. Saya minta pertanggungjawaban, sekarang!”“Maaf bu, kami tidak pernah menjual barang kadaluwarsa, mungkin ibu salah toko,” ucap Mira.Ibu itu tetap tidak mau disalahkah. Saat suasana semakin riuh, Mira dikejutkan oleh keberadaan Leo di sebelahnya, yang mendengarkan permasalahan mereka. Ibu gemuk itu sampai tersentak kaget melihat wajah Leo.“Ya sudah, biar saya yang ganti rugi,” kata Leo membuat Mira melotot ke arahnya.
Setelah kejadian itu, Mira semakin geram dengan Leo. Pukul lima sore, waktu bagi Mira untuk mengunci dan menutup toko. Bapak sudah pulang lebih dahulu, sehingga hanya tinggal dia sendirian, berjalan kaki untuk bisa sampai ke rumahnya yang hanya memakan waktu lima menit dari toko. Sepanjang jalan, Mira bertemu dengan banyak pemuda. Ada teman SMA-nya dulu, ada yang baru kenal dijalan tapi berani menyapa Mira karena paras manisnya, ada tetangga yang naksir dengannya. Semua dibalas sapa oleh Mira dengan ramah dan penuh senyuman, bahkan ada yang berani menggodanya, tapi Mira hanya menundukkan kepala.Keesokan harinya di waktu yang sama, saat Mira mulai melangkahkan kaki pulang dari toko menuju ke rumah. Seperti biasa, dia akan bertemu dengan banyak pemuda. Namun, pemuda-pemuda itu berubah. Mereka lebih banyak menundukkan kepala, bahkan yang menggodanya kemarin, juga hanya menundukkan kepala sambil memegang pipinya yang lebam.“Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan mereka semua?” pikir Mira dalam hati. Saat Mira berusaha berpikir di jalan sambil memandang ke bawah, dia tersentak kaget oleh sepatu yang berdiri tepat dihadapannya. Pelan-pelan dia mengangkat wajahnya. “Oh ternyata kamu.”“Jangan-jangan mereka telah kamu ... apa yang telah kamu lakukan kepada mereka?!” teriak Mira dengan nafas naik turun karena emosi.“Tenang! Mereka hanya kuberi sedikit batasan kalau tidak boleh macam-macam denganmu, karena kamu akan menikah denganku.” Wajah Leo berubah cerah saat mengatakannya.Mira tidak mau menanggapi Leo, dia terus saja berjalan melewatinya, sampai ke depan rumahnya dengan wajah merah menahan marah.Tiba-tiba teleponnya berdering. Saat melihat nama yang menelepon, wajah marah Mira langsung menghilang seketika. “Iya ... hallo Mas Noval,” sapa Mira sambil terus berjalan.
“Hallo Mir, bisakah kita bertemu sebentar? Ada hal penting yang mau kubicarakan,” kata Noval di ujung sana.Mata Mira memutar, mengingat-ingat waktu yang tepat dengan berbagai pertimbangan. “Sepertinya tidak bisa untuk sekarang, Mas.”“Tolong beritahu kalau sudah punya waktu yang tepat, ya!” pinta Noval.“Baiklah, Mas,” jawab Mira menutup pembicaraan.Saat Mira tiba di rumah, Bapak baru ingat, kalau dia harus membeli beberapa barang di kota, karena barang di toko sudah habis. Mira dengan sukarela menawarkan diri untuk pergi ke kota, naik sepeda motor karena kasihan dengan Bapaknya yang dianggapnya sudah tua. Perjalanan ke kota hanya memakan waktu satu jam pikirnya. “Aku pasti bisa.”Kemudian Mira teringat dengan pesan Noval. Segera dia masuk ke kamar untuk meneleponnya. “Hallo, Mas ... kalau nanti sekitar satu jam lagi, apakah bisa bertemu?” tanya Mira lirih.
“Tentu saja,” jawab Noval senang.“Baiklah, sampai ketemu nanti,” kata Mira dengan bahagia, sambil menutup teleponnya.Saat di agen penjualan, Mira akhirnya berhasil mendapatkan barang yang diinginkan. Dia meletakkan semuanya dibelakang motor sedemikian rupa dan ditutup dengan plastik agar tidak rusak.Kondisi di tempat parkir agen penjualan memang cukup ramai, membuat dia harus berteriak ketika menjawab telepon dari Noval. “Hallo Mas Noval ... sepertinya kita tidak bisa bertemu. Aku takut kemalaman!”
“Kalau begitu, aku akan bicara sekarang saja. Aku sudah mendapatkan uang seratus juta untuk membayar hutang bapakmu ke Leo,” kata Noval di ujung sana.“Apa, Mas? Aku tidak bisa mendengar sama sekali perkataanmu, berisik sekali di sini. Nanti akan aku hubungi kembali, ya. Sampai nanti!” teriak Mira menutup telepon, berusaha bersaing dengan suara di sekitarnya.Di ujung sana, Noval dengan wajah sendu penuh dengan rasa kecewa. “Aku sudah menggelapkan uang perusahaan untukmu Mira, agar kita dapat bersatu kembali, dan lepas dari Leo sialan itu.” Noval kemudian meninju tangannya sendiri karena geram dan dendam mengingat perilaku Leo.Di depan tempat agen penjualan, Mira melajukan motornya untuk segera pulang karena hari sudah semakin malam. Namun, di tengah jalan hujan mulai turun. “Astaga, aku lupa membawa jas hujan.” Mira kesal dengan dirinya, merasa bodoh telah melupakan hal yang sangat penting saat hujan turun. Tiba-tiba,
Tus!Suara ban bocor dari sepeda motor Mira. Dia akhirnya berhenti di tengah jalan, menepikan motornya, dan melihat bagian ban mana yang bocor.“Hai manis, ada apa dengan sepedamu? Oh ... bocor, ya?” tanya seorang laki-laki sambil menunduk, bersama dengan kedua temannya di tengah hujan yang deras.“Iya,” jawab Mira singkat tetap melihat ban sepedanya, bingung harus melakukan apa.Jalannya memang sangat sepi hanya ada sawah dan pohon besar di kanan kiri jalan.“Kamu sendirian, ya Nona?” tanya salah satu dari ketiga laki-kali tersebut sambil menengok ke kanan dan kiri jalan.Mira mulai curiga, segera dia berdiri, dadanya bergerak naik turun cepat karena ketakutan. “Apa yang akan kalian lakukan?” tanya Mira sambil berjalan mundur pelan. Gadis itu mulai menyadari kalau dirinya berada dalam bahaya. Baru saja dia mau melangkahkan kaki untuk berlari, ketiga laki-laki itu segera menangkapnya. “Mau pergi kemana manis?” tanyanya sambil menyeringai jahat.Kedua tangan Mira dipegang paksa oleh dua laki-laki di antaranya. Mira berusaha berontak dan meminta tolong, namun tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Jalan sangat sepi waktu itu, cahaya lampu jalan ‘pun tidak ada. Seorang laki-laki yang tidak mencengkeram tangan Mira, berjalan mendekat ke arahnya dan membuka bajunya dengan paksa. “Jangan ... hentikan,” teriak Mira beradu dengan suara tangisnya.Mira berusaha sekuat tenaga untuk melindungi diri, ditendangnya lelaki yang berada di depannya, diinjaknya kaki lelaki yang memegang salah satu tangannya, digigitnya tangan yang mencengkeram satu tangannya yg lain. Dia berusaha berlari dari situasi itu, sambil membenahi kancing bajunya yang lepas. Ketiga laki-laki itu mengejarnya sampai ke tepi sawah, hingga pada suatu lahan kosong, Mira kembali tertangkap. “Mau kemana Manis? Di sini saja, bersama kami,” kata salah satu laki-laki yang menangkap Mira, sambil tertawa jahat.Mira menangis histeris, ketakutan menutupi seluruh tubuhnya. Bayangan kejadian buruk terlintas di kepalanya, semakin membuat Mira tidak berdaya. Dia menjerit, menangis sejadi-jadinya, meminta tolong walaupun tidak ada satupun orang di sana. Kemudian,Buk!Datanglah seseorang, menghajar ketiga lelaki itu hingga ketiganya tersungkur di tanah tak berdaya. Akhirnya mereka lari tunggang langgang meninggalkan Mira. Mira tetap menangis dalam turunnya hujan yang sangat deras. Dia tidak bisa melihat, siapa yang telah datang menolongnya? Matanya terlalu sulit untuk dibuka lebar karena terkena derasnya air hujan. Tubuhnya terlalu kaget dan gemetaran untuk berlari, dia hanya berdiri, menangis sekencang-kencangnya sambil menutupi dada yang sedikit terbuka.Lambat laun, akhirnya Si Penolongnya datang mendekat ke arahnya. “Apa kamu tidak apa-apa?”Guntur dan kilat saling menyambar waktu itu, membantu Mira untuk mengenal wajah yang telah menolongnya. “Tompel itu ... Leo.” Dia meluapkan kembali tangis ketakutannya di dada Leo. Rasa jengkelnya berubah menjadi rasa syukur, yang tidak terkira. Dipeluknya Leo erat-erat seolah-olah telah melupakan kejadian yang membuatnya geram dengan lelaki bertompel itu.“Ayo kita pulang!” ajak Leo sambil membawa tubuh Mira yang gemetaran.Leo menurunkan Mira dalam derasnya hujan, setelah berada di pinggir jalan. Gadis itu sudah tidak menangis dan gemetar lagi. Dia mengamati motornya yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis manis itu jongkok mengamati bannya yang bocor. “Pulanglah Leo, tinggalkan aku sendiri!” pinta Mira.“Apa kamu gila? Tidak mungkin aku meninggalkanmu di sini,” ucap Leo.“Aku tidak ingin Bapakku merugi,” jawab Mira.“Nyawamu lebih penting dari motor, barang-barang atau apapun yang ada di dunia ini!” teriak Leo.“Aku berharap orang tuaku tidak mengetahui kejadian ini, kalau mereka tahu, mereka akan khawatir padaku, seumur hidup.” Mata Mira berkaca-kaca.“Baiklah kalau itu maumu. Begini saja, kamu dan barang-barang ini masuk ke dalam mobil. Motormu akan kututup dengan terpal yang ada di bagasi mobilku. Nanti, aku minta salah satu pekerjaku untuk mengurusnya. Bagaimana?”“Baiklah, itu ide yang bagus.”Mira dan Leo memasukkan barang-barang keperluan toko Bapak, ke dalam mobil. Setelah itu, lelaki gagah itu melajukan mobilnya dengan cepat ke rumah Mira.Setelah sampai di depan rumah, Mira mengamati langit di atasnya dan tanah di depannya. “Tidak hujan sama sekali di sini.”Kemudian, Mira terdiam seben
Mira terjatuh tersungkur di lantai, ternyata dia kelelahan karena seharian tidak bisa tidur, mengkhawatirkan kesehatan Leo.Mira benar-benar merasa bersalah karena telah bersikap tidak baik terhadap lelaki gagah bertompel itu selama ini, yang ternyata telah menjadi penyelamatnya. Apalagi, ketika tiba di rumah Leo, mamanya menamparnya dan memberikan penjelasan tentang sakit Leo, membuatnya semakin jatuh dalam penyesalan yang dalam, dan akhirnya tumbang.“Bangun, Mira.” Leo menggerakkan badan Mira perlahan, namun tidak terbangun juga.Leo meminta tolong satpam dan supirnya untuk membawa Mira ke dalam kamar tamu di lantai dua rumahnya.Leo ingin merawat Mira, tapi mamanya melarangnya karena dia sendiri butuh perawatan dari dokter. Akhirnya dia menuruti permintaan mamanya, dengan syarat, setelah dari dokter, dirinya boleh merawat Mira. Mamanya menyetujui permintaan Leo, walaupun dengan berat hati.Dokter mendiagnosa Leo terkena penyakit
Bibi Jum berjalan kaki, pagi-pagi sekali, bukan untuk memulai lebih awal rutinitas bekerjanya di rumah Leo, melainkan pergi ke rumah Mira, sesuai dengan rencana Leo. Kemudian, pintu ruang tamu Mira diketok, membangunkan dan mengagetkan seisi rumah itu.“Permisi, Mira ada? Saya Bibi Jum pembantu yang bekerja di rumah Mas Leo” kata Bibi Jum kepada Bapak, yang membuka pintu.“Ada, sebentar saya panggilkan,” jawab Bapak.Beberapa menit kemudian, Mira keluar kamar dengan langkah cepat. Dia memang berharap mendapatkan kabar tentang Leo. Dia sangat khawatir.“Saya Mira, Bi. Bagaimana kabar Leo?” tanya Mira tidak sabar.Bibi Jum tersenyum kepada Mira. Dia menatapnya dengan saksama. “Sepertinya anak ini tulus ke Leo,” pikirnya dalam hati.“Leo semakin hari, semakin lemah kondisinya,” jawab Bibi Jum.“Kenapa seperti itu, Bi?” Mira belum puas atas jawaban Bibi Jum.Tangan Mira di pegang oleh Bibi Jum. “Coba kamu ca
Papa Leo keluar dari pintu yang diketuk oleh Mira. “Mira ... sedang apa kamu di sini?” Papa Leo mengingat sesuatu, segera dia tarik tangan Mira untuk masuk ke dalam kamar itu.“Tunggu sebentar di sini! Mamanya Leo sedang berada di kamar Leo lantai tiga. Om akan mengamati keadaan di luar, kalau sudah aman, akan om beritahu,” perintah Papa Leo. Setelah itu dia langsung keluar kamar, Mira duduk di ujung tempat tidur untuk menunggu kabar darinya.Selama menunggu kabar dari Papa Leo, Mira berjalan mondar mandir di kamar itu, terkadang dia meletakkan daun telinganya ke pintu kamar berharap mendengar sesuatu, dan selalu terus bersikap waspada, jikalau tiba-tiba Mamanya Leo muncul dihadapannya. Otaknya dengan sigap sudah menemukan tempat sembunyi yang tepat, kalau memang itu terjadi.Akhirnya Papa Leo membuka pintu kamar itu, membuat Mira terperanjat. Dia memberi kabar kalau istrinya sudah turun ke lantai satu, jadi Mira bisa segera naik ke lantai tiga ke
“Kamu tahu Mira, aku menyukaimu sejak SMA. Dulu, diriku tidak percaya diri seperti sekarang, hanya bisa melihatmu dari jauh, memendam rasa.”“Kamu menghilang saat kuliah di kota. Setelah lulus dan kembali ke desa ini lagi, ternyata sudah memiliki kekasih. Hatiku patah rasanya. Akhirnya aku berusaha mencari cara agar bisa bersamamu”Leo mendekati Mira, memandang dan menggenggam tangannya, berusaha meyakinkan bahwa yang dikatakannya adalah benar. “Maafkan aku, caraku memang salah.” Leo mencium tangan Mira dengan penuh perasaan.“Namun, berhasilkan?!” seru Leo tiba-tiba, mengagetkan sekaligus membuat Mira akhirnya tertawa melayangkan tangannya ke lengan Leo dengan mesra.“Aduh ...” canda Leo sambil mengelus tangannya.Keduanya saling tertawa lepas, hingga tak sadar kalau Mama Leo telah berdiri mengamati mereka sambil menyilangkan tangannya.“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini, Mira?” tanya Mama Leo, mengagetkan mereka berdua.
Mira mengamati Nenek yang semakin jauh dari pandangannya, sambil terus memegangi perutnya. Ketika hampir mendekati apotek, Mira langsung berkata kepada Leo kalau perutnya tidak sakit lagi.Leo kemudian berkata kepada Mira. “Lebih baik kita pulang saja, kamu istirahatlah di rumah. Aku takut kalau nekat pergi ke kota, perutmu sakit lagi.”Mira mengganggukkan kepala pertanda setuju dengan yang dikatakan Leo.Mira terus memutar otak selama perjalanan menuju ke rumahnya, tentang bagaimana cara mengenalkan Leo kepada neneknya? Dia berpikir, tidak mungkin menyembunyikan Leo terus menerus. Gadis manis itu menarik nafas panjang berkali-kali.Leo melihat kegelisahan di wajah Mira. “Ada apa, Mir? Apa ada masalah?” tanya Leo sambil memegang salah satu tangan Mira.Mira memandang Leo penuh rasa iba. “Bagaimana mungkin aku tega menceritakan ini kepadamu Leo? Aku takut nanti kamu sakit hati,” batinnya.Leo melihat Mira semakin berta
“Operasi plastik. Apa kamu gila!” teriak Leo sambil mondar mandir di depan Mira. Nafasnya bergerak cepat, dadanya kembang kempis, naik turun, wajahnya memerah. Dia benar- benar tidak terima, merasa terhina, namun tidak bisa membalas.“Sabar, Leo. Nenekku memang seperti itu. Segala perkataannya, sangat sulit untuk dipatahkan.”“Kalau aku mau, dari dulu sudah aku lakukan.” Leo masih saja tersulut emosi.“Kalau boleh tahu. Kenapa dari dulu, tidak kamu lakukan?” tanya Mira dengan hati-hati, berharap kekasihnya itu tidak semakin emosi.Leo kemudian duduk di sebelah Mira. Kepalanya mulai dingin. “Mamaku adalah orang yang paling tidak menginginkan itu. Dia selalu berkata kepadaku kalau tompelku adalah jimat keberuntungannya. Sebenarnya aku sendiri tidak paham maksudnya,” kata Leo. Bibirnya bisa sedikit tersenyum jika mengingat perkataan mamanya saat itu.“Mama berkata tompel ini adalah anugerah dari sang pencipta untukku, agar a
Nenek menutup mulutnya dengan kedua tangan, merasa tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar. “Apakah aku bermimpi? Leo ini berbeda sekali dengan yang pertama kulihat. Apakah dia benar-benar operasi plastik?” batin Nenek, sambil menelan salivanya.Leo berjalan satu langkah ke depan dari tempat dia berdiri. “Perkenalkan, saya adalah Leo, kekasih Mira,” ucap Leo sambil melihat ke kanan dan ke kiri memastikan setiap orang mengamatinya. Dia berbicara dengan gagahnya penuh percaya diri.Perkataan Leo disambut riuh oleh saudara Nenek Mira. Ada yang merasa sial karena terlambat mendekati Mira, wajahnya penuh penyesalan, ada yang ikut bangga dengan Mira karena memiliki kekasih sangat tampan, ada pula yang iri dengannya.Mira mendekati Leo, menggenggam tangannya dengan mesra dan memandang kedua matanya penuh takjub sambil memberikan senyuman terindah. Menjadikan mereka berdua seperti sejoli yang baru jatuh cinta.Setelah itu, suasana menjadi
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa