“Loh Pak Leo!” seru Bapak penuh rasa kaget.
“Kami salah apa?” tanya Ibu memelas.“Oh, ternyata mereka tidak berduaan, ada Bapak dan Ibu Mira di dalam rumah. Saya salah mendengar informasinya. Jadi, saya mohon, warga kembali ke rumah masing-masing,” tegas Leo kepada semua warga yang berkumpul. Warga desa ‘pun, satu persatu mulai meninggalkan pekarangan rumah Mira, sambil mengeluarkan suara keluh kesah.Sekarang, hanya tinggal Leo dan kedua temannya yang diam mematung memandang Ibu dan Bapak Mira dengan tajam, sambil menunggu hingga tidak ada satu ‘pun warga. “Lihatlah! Semua bisa aku lakukan untuk memperdaya banyak orang, berhati-hatilah!”“Aku sudah mengatakan ke Mira untuk tidak lagi bertemu dengan Noval, tapi tidak dihiraukan. Sekarang lihat akibatnya. Aku bisa melakukan lebih dari yang Ibu, Bapak, dan Mira pikirkan.” Leo bersama dua temannya segera meninggalkan Ibu dan Bapak yang masih terdiam, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Kemudian Ibu tersadar, menepuk pundak Bapak untuk segera masuk ke dalam rumah. Bapak mengikuti Ibu dengan langkah lunglai karena masih merasakan getaran di kedua kakinya.“Ada apa Bu?” tanya Mira.Ibu menarik nafas dalam, mengelus kedua paha dengan kedua tangannya berusaha menghilangkan ketakutan dalam dirinya. “Ternyata tadi Leo yang menghasut warga. Dia berkata kepada warga kalau kamu dan Noval berduaan saja di rumah ini.”“Astaga, dia juga bisa melakukan hal seperti itu!” seru Noval kaget merasa tidak percaya dengan yang Ibu katakan.“Maaf sekali lagi, sepertinya, Nak Noval harus segera pulang, agar tidak terjadi sesuatu yang mencengangkan seperti tadi,” jelas Bapak setelah ketakutannya berangsur menghilang.“Baiklah kalau begitu, saya permisi pulang dulu,” ucap Noval.“Saya berharap, Nak Noval tidak lagi bertemu dengan Mira,” tegas Bapak.Bapak, Ibu dan Mira mengantarkan Noval keluar rumah. “Aku akan berusaha mendapatkanmu kembali Mira, tunggu saja,” kata Noval di atas kendaraannya. Setelah itu, dia bergegas melajukan motornya dan pergi meninggalkan mereka.
Mira melihat kepergian Noval dengan kesedihan yang tidak terkira, air matanya tidak henti-hentinya mengalir. Ibu dan Bapak berusaha menguatkan Mira. “Sabar, Nak!” Hanya itu yang bisa mereka ucapkan.Tiba-tiba Leo berjalan santai mendekati mereka, tidak tahu dari mana arah datangnya. “Bagus sekali Mira, akhirnya sekarang, hanya tinggal kau dan aku,” ucap Leo sambil bertepuk tangan, bibirnya tersenyum sinis penuh kemenangan.Mira mendekati Leo dengan wajah yang masih basah dengan air mata, tangannya diangkat ingin menampar wajah lelaki itu. Namun dengan sigap, lelaki gagah itu menangkapnya. Kemudian, tanpa diduga, Leo mencium punggung tangannya. Mira terkejut, dengan cepat dia menarik tangannya kembali.Leo tertawa kecil melihat respon Mira. Kemudian, dia pergi tanpa berkata apapun. Mira mengernyitkan dahi, bingung dengan sikap Leo.***Dua minggu setelah berpisah dengan Noval, perasaan Mira berangsur-angsur membaik, sehingga Ibu memberanikan diri untuk memintanya keluar rumah, saat sore yang cerah. “Mira, tolong Ibu belikan gula satu kilo di warung Mak Yah, ya!” pinta Ibu.“Iya, Bu.”Mira segera pergi ke warung Mak Yah, membeli keperluan yang diminta oleh Ibunya. Di sana, begitu banyak pemuda-pemudi yang berkumpul, sekedar menyeruput kopi, bercanda gurau, atau ikut mengantri untuk membeli beberapa keperluan. Warungnya cukup luas dan ramai.“Mir, dengar-dengar kamu dijodohkan ya, dengan Leo, anak konglomerat di desa kita ini?” tanya salah satu pemuda yang sedang memegang cangkir kopi yang mau diseruputnya.Mira menjawabnya dengan senyuman kecil, sambil menundukkan kepala karena takut dan bingung harus menjawab apa.“Apa kamu belum pernah dengar, cerita yang beredar tentang keluarga konglomerat itu?”“Ngeri lo Mir.”Seorang pemuda lain yang memegang puntung rokok ditangan kanannya, menghirup rokok dalam-dalam dan perlahan melepaskan asapnya melalui bibirnya yang hitam. Kemudian, membuang puntung rokok itu, menginjaknya hingga mati dan memulai ceritanya. “Dulu, waktu Leo masih SMA. Ada beberapa anak laki-laki yang menghina dan memukuli Leo sampai babak belur. Ketika dia pulang ke rumah, mamanya marah sekali melihat keadaan Leo dengan wajah yang lebam.”“Malam harinya Mama Leo segera mendatangi rumah anak laki-laki itu satu persatu, dan keesokan harinya, rumah-rumah itu sudah tidak berpenghuni.”“Yang membuat lebih mengerikan ... seminggu kemudian, ditemukan tubuh, salah satu anak yang memukul Leo, sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Hih merinding aku kalau ingat kejadian itu.” Pemuda itu mengelus kedua tangan karena bulu kuduknya berdiri.Seorang wanita paruh baya mendekati Mira sambil memakan gorengan ditangan kanannya, mendekatkan bibirnya ke telinga Mira, menceritakan peristiwa ketika dia memergoki Bapak Mira yang mau berhutang ke Leo . “Bapakmu sudah saya ingatkan, jangan berhutang pada keluarga kaya itu, bahaya. Mereka tidak segan-segan menerima imbalan bukan berupa uang, bahkan nyawa ‘pun bisa jadi taruhannya. Tapi Bapakmu tidak mau mendengarkan, nekat.” Wanita itu kembali melanjutkan memakan gorengannya.Mata Mira membulat, namun berusaha tetap terlihat tenang. Segera dia mengambil gula pemberian dari Mak Yah, yang ditukarkan dengan uang kertas yang dibawanya. Gadis manis itu berpamitan dengan orang di sekitarnya, kemudian mengambil langkah seribu.Glek!Mira menelan ludahnya sendiri. Duduk di salah satu kursi ruang tamu, tangan kanannya masih membawa gula, pesanan dari Ibu. Keringatnya bercucuran, pengap merasakan hawa nafasnya yang hangat akibat berlari cepat.“Ya Tuhan, cerita yang menyeramkan,” gumam Mira sambil menutup mulutnya, seakan tidak percaya dengan cerita yang baru dia dengar.Tin!Suara klakson mobil menghentikan pikiran Mira. Matanya memercing berusaha memperjelas pandangannya. “Oh ... Papanya Leo.” Hatinya tenang sekaligus penuh tanya, apa gerangan yang membawa Papa Leo datang ke sini?Papa Leo menghentikan langkahnya di depan pintu ruang tamu, mengucapkan salam kemudian memberikan senyuman kepada Mira. “Kebetulan sekali, kamu berada di rumah. Saya ingin kamu sekeluarga berkunjung ke rumah kami sekarang, untuk lebih mengenal keluarga kami.”Papa Leo melihat jam tangannya kemudian berkata kepada Mira, “Saya kira lima belas menit cukuplah untuk kamu, dan kedua orang tuamu berganti pakaian serta berdandan sedikit. Baiklah, akan saya tunggu.”Mulut Mira masih belum tertutup, saat Papa Leo memintanya berganti pakaian. Dia tersadar, setelah Papa Leo menjentikkan jarinya tepat di depan wajahnya. “I-iya Om, saya akan bergegas,” jawab Mira dengan gerakan berdiri cepat seperti gerakan baris berbaris di perlombaan gerak jalan.Bapak, Ibu dan Mira akhirnya tiba juga di kediaman Leo. Bangunan tiga lantai yang mewah dengan dominan cat putih membuat rumah itu terlihat begitu menawan.“Silahkan duduk di sini, sebentar ya! Saya akan memberitahu Leo dan mamanya mengenai kedatangan kalian,” ucap Papa Leo.Bapak, Ibu dan Mira menunggu kedatangan Leo dan mamanya dengan memandangi keadaan dalam rumah. Furniture yang berderet rapi namun modern memberi kesan mewah dan elegan bagi siapapun yang melihat. Mereka berada di ruang keluarga yang bersebelahan dengan bar kecil, betul-betul suasana yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Di belakang bar kecil tersebut, ada ruang dapur. Mira mengamati dapur itu penuh takjub, terasa berbeda dengan dapur yang dimilikinya di rumah.“Selamat datang Keluarga Mira di kediaman Leo,” kata Mama Leo sambil menuruni tangga yang berada tepat di depan ruang keluarga. Tangganya memutar dengan karpet panjang mewah membentang di bagian tengah, memberi kesan ratu atau raja bagi siapapun yang menuruninya.Mama Leo mengatupkan kedua tangannya, memandang bergantian ke arah Bapak, Ibu dan yang terakhir Mira. “Apa sebaiknya yang harus kami hidangkan, sebentar, coba saya lihat dulu ke dapur.” Dengan anggunnya Mama Leo melewati mereka.Glek!Tiba-tiba Mira ingat dengan cerita yang didengarnya di warung Mak Yah tadi. Bulu kuduknya berdiri, kedua tangannya meremas rok di ujung pahanya karena getaran ketakutan yang hebat.Gadis manis itu mengamati gerak-gerik Mama Leo. “Astaga, serbuk apa itu, yang dimasukkan ke dalam minuman kami?” tanya Mira dalam hati, sambil menggigit bibir bawahnya karena kawatir.Kemudian datanglah salah satu pembantu. Dia berdiri tepat di sebelah Mama Leo. Saat Mira memperhatikan dengan seksama, tiba-tiba dia melihat wanita anggun itu, seperti menghunjamkan pisau besar di bagian perut pembantu itu.Bleb!Suara benda yang dipotong dengan keras oleh pisau. Mira tidak kuasa melihatnya, dia menutup kedua mata berusaha menahan suara agar tidak sampai keluar. Gadis manis itu akhirnya mengalihkan wajah ke arah kedua orang tuanya. Matanya masih tertutup, tangannya gemetaran.“Silahkah dicicipi hidangan kami ini!” ajak Mama Leo sambil membawa minuman.Mira memberanikan diri membuka kedua matanya, ditelan air salivanya sekali lagi. Diamatinya wajah Ibu dan Bapaknya penuh resah. “Minuman apa ini, apakah ini aman untuk kami?”“Bagaimana kalau itu beracun?”“Bagaimana caranya bisa keluar dari sini dengan selamat?” tanya Mira dalam hati. Bibirnya digigit, geram dengan kedangkalan pikirannya.“Hai, Mir.” Mira terperanjat dengan keberadaan Leo yang duduk tepat dihadapannya.“Sejak kapan dia berada di situ?” batin Mira.“Besok malam ikut aku, ya?” ajak Leo sambil menyodorkan undangan di depan Mira.Tiba-tiba ketakutan Mira menghilang berganti dengan rasa penasaran. “Undangan apa ini?” tanya Mira sambil menerimanya.
“Buka saja,” pinta Leo sambil meletakkan kakinya di atas kaki satunya dengan santai.Mira membuka undangan itu, kemudian membacanya. “Apa?!” teriaknya.“Pesta dansa!” teriak Mira.“Iya benar,” jawab Leo santai.“Ta-tapi aku belum pernah datang ke pesta dansa.”“Baguslah kalau begitu, jadikan ini pengalaman pertamamu denganku,” ucap Leo dengan wajah bahagia, karena merasa spesial menjadi yang pertama bagi Mira.Mira masih merasa canggung dengan istilah pesta, di kepalanya terngiang-ngiang atribut pesta, yaitu baju, sepatu, tas dan asesoris. “Seperti apa itu?” pikirnya.Mira masih dalam lamunannya, tiba-tiba, empat pembantu Leo berbaris di hadapannya, masing-masing membawa kotak, yang kemudian diletakkan di meja depannya.“Itu adalah baju, sepatu, kalung, gelang, anting dan terakhir adalah tas. Semua ini untuk keperluan pesta besok.” Leo menunjuk satu persatu kotak dan menjelaskan isinya.“Besok, aku jemput setengah jam sebelum pesta dimulai,” tegas Leo mengingatkan Mira.Setelah pulang dari rumah Leo, Mira membolak-balik undangan pesta itu, berusaha mema
Kedua orang tua Leo dan Mira diminta berkumpul di balai desa oleh Pak RT.“Begini Pak, Bu, semalam kami memergoki Leo dan Mira sedang berciuman di depan rumah Mira. Demi kenyamanan bersama, akan lebih baik kalau keduanya segera dinikahkan,” ucap Pak RT.Leo dan Mira menanggapi pernyataan Pak RT dengan cara yang berbeda. Leo menganggukkan kepala sedangkan Mira menggelengkan kepala.Kedua orang tua mereka sama-sama menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka.“Saya harap dua keluarga ini, bisa saling berdiskusi untuk mencari penyelesaian masalah ini. Sekali lagi untuk kenyamanan bersama, tetap, pada akhirnya, mereka harus dinikahkan,” kata Pak RT berusaha menjadi penengah antara Leo dan Mira.Leo dan Mira saling memandang mendengar perkataan Pak RT. Kemudian, bibir Leo mulai melebar menunjukkan senyuman kecil penuh misteri kepada Mira. Tiba-tiba saat itu, timbul rasa curiga di pikiran Mira.“Oh ... ini semua pasti rencanamu
“Apa kamu gila? Tidak mungkin aku meninggalkanmu di sini,” ucap Leo.“Aku tidak ingin Bapakku merugi,” jawab Mira.“Nyawamu lebih penting dari motor, barang-barang atau apapun yang ada di dunia ini!” teriak Leo.“Aku berharap orang tuaku tidak mengetahui kejadian ini, kalau mereka tahu, mereka akan khawatir padaku, seumur hidup.” Mata Mira berkaca-kaca.“Baiklah kalau itu maumu. Begini saja, kamu dan barang-barang ini masuk ke dalam mobil. Motormu akan kututup dengan terpal yang ada di bagasi mobilku. Nanti, aku minta salah satu pekerjaku untuk mengurusnya. Bagaimana?”“Baiklah, itu ide yang bagus.”Mira dan Leo memasukkan barang-barang keperluan toko Bapak, ke dalam mobil. Setelah itu, lelaki gagah itu melajukan mobilnya dengan cepat ke rumah Mira.Setelah sampai di depan rumah, Mira mengamati langit di atasnya dan tanah di depannya. “Tidak hujan sama sekali di sini.”Kemudian, Mira terdiam seben
Mira terjatuh tersungkur di lantai, ternyata dia kelelahan karena seharian tidak bisa tidur, mengkhawatirkan kesehatan Leo.Mira benar-benar merasa bersalah karena telah bersikap tidak baik terhadap lelaki gagah bertompel itu selama ini, yang ternyata telah menjadi penyelamatnya. Apalagi, ketika tiba di rumah Leo, mamanya menamparnya dan memberikan penjelasan tentang sakit Leo, membuatnya semakin jatuh dalam penyesalan yang dalam, dan akhirnya tumbang.“Bangun, Mira.” Leo menggerakkan badan Mira perlahan, namun tidak terbangun juga.Leo meminta tolong satpam dan supirnya untuk membawa Mira ke dalam kamar tamu di lantai dua rumahnya.Leo ingin merawat Mira, tapi mamanya melarangnya karena dia sendiri butuh perawatan dari dokter. Akhirnya dia menuruti permintaan mamanya, dengan syarat, setelah dari dokter, dirinya boleh merawat Mira. Mamanya menyetujui permintaan Leo, walaupun dengan berat hati.Dokter mendiagnosa Leo terkena penyakit
Bibi Jum berjalan kaki, pagi-pagi sekali, bukan untuk memulai lebih awal rutinitas bekerjanya di rumah Leo, melainkan pergi ke rumah Mira, sesuai dengan rencana Leo. Kemudian, pintu ruang tamu Mira diketok, membangunkan dan mengagetkan seisi rumah itu.“Permisi, Mira ada? Saya Bibi Jum pembantu yang bekerja di rumah Mas Leo” kata Bibi Jum kepada Bapak, yang membuka pintu.“Ada, sebentar saya panggilkan,” jawab Bapak.Beberapa menit kemudian, Mira keluar kamar dengan langkah cepat. Dia memang berharap mendapatkan kabar tentang Leo. Dia sangat khawatir.“Saya Mira, Bi. Bagaimana kabar Leo?” tanya Mira tidak sabar.Bibi Jum tersenyum kepada Mira. Dia menatapnya dengan saksama. “Sepertinya anak ini tulus ke Leo,” pikirnya dalam hati.“Leo semakin hari, semakin lemah kondisinya,” jawab Bibi Jum.“Kenapa seperti itu, Bi?” Mira belum puas atas jawaban Bibi Jum.Tangan Mira di pegang oleh Bibi Jum. “Coba kamu ca
Papa Leo keluar dari pintu yang diketuk oleh Mira. “Mira ... sedang apa kamu di sini?” Papa Leo mengingat sesuatu, segera dia tarik tangan Mira untuk masuk ke dalam kamar itu.“Tunggu sebentar di sini! Mamanya Leo sedang berada di kamar Leo lantai tiga. Om akan mengamati keadaan di luar, kalau sudah aman, akan om beritahu,” perintah Papa Leo. Setelah itu dia langsung keluar kamar, Mira duduk di ujung tempat tidur untuk menunggu kabar darinya.Selama menunggu kabar dari Papa Leo, Mira berjalan mondar mandir di kamar itu, terkadang dia meletakkan daun telinganya ke pintu kamar berharap mendengar sesuatu, dan selalu terus bersikap waspada, jikalau tiba-tiba Mamanya Leo muncul dihadapannya. Otaknya dengan sigap sudah menemukan tempat sembunyi yang tepat, kalau memang itu terjadi.Akhirnya Papa Leo membuka pintu kamar itu, membuat Mira terperanjat. Dia memberi kabar kalau istrinya sudah turun ke lantai satu, jadi Mira bisa segera naik ke lantai tiga ke
“Kamu tahu Mira, aku menyukaimu sejak SMA. Dulu, diriku tidak percaya diri seperti sekarang, hanya bisa melihatmu dari jauh, memendam rasa.”“Kamu menghilang saat kuliah di kota. Setelah lulus dan kembali ke desa ini lagi, ternyata sudah memiliki kekasih. Hatiku patah rasanya. Akhirnya aku berusaha mencari cara agar bisa bersamamu”Leo mendekati Mira, memandang dan menggenggam tangannya, berusaha meyakinkan bahwa yang dikatakannya adalah benar. “Maafkan aku, caraku memang salah.” Leo mencium tangan Mira dengan penuh perasaan.“Namun, berhasilkan?!” seru Leo tiba-tiba, mengagetkan sekaligus membuat Mira akhirnya tertawa melayangkan tangannya ke lengan Leo dengan mesra.“Aduh ...” canda Leo sambil mengelus tangannya.Keduanya saling tertawa lepas, hingga tak sadar kalau Mama Leo telah berdiri mengamati mereka sambil menyilangkan tangannya.“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini, Mira?” tanya Mama Leo, mengagetkan mereka berdua.
Mira mengamati Nenek yang semakin jauh dari pandangannya, sambil terus memegangi perutnya. Ketika hampir mendekati apotek, Mira langsung berkata kepada Leo kalau perutnya tidak sakit lagi.Leo kemudian berkata kepada Mira. “Lebih baik kita pulang saja, kamu istirahatlah di rumah. Aku takut kalau nekat pergi ke kota, perutmu sakit lagi.”Mira mengganggukkan kepala pertanda setuju dengan yang dikatakan Leo.Mira terus memutar otak selama perjalanan menuju ke rumahnya, tentang bagaimana cara mengenalkan Leo kepada neneknya? Dia berpikir, tidak mungkin menyembunyikan Leo terus menerus. Gadis manis itu menarik nafas panjang berkali-kali.Leo melihat kegelisahan di wajah Mira. “Ada apa, Mir? Apa ada masalah?” tanya Leo sambil memegang salah satu tangan Mira.Mira memandang Leo penuh rasa iba. “Bagaimana mungkin aku tega menceritakan ini kepadamu Leo? Aku takut nanti kamu sakit hati,” batinnya.Leo melihat Mira semakin berta
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa