"Bapak, langsung pulang?" tanya Carla pada Reza. Mereka seumuran. Tapi, dikarena jabatan dan juga status Reza adalah anak pemilik perusahaan, Carla masih mengedepankan etika dalam pekerjaan.
Reza mendongak menatap langit biru yang tertutup awan tipis, langit masih tampak terang. Reza melihat ke arah jam di tangan kirinya, sebentar lagi jam lima sore. Ia berniat untuk bertemu dengan temannya sehabis meeting yang ternyata memakan waktu yang lumayan lama."Mau ke rumah temen habis ini," jawab Reza singkat."Ooh gitu ...," Carla terlihat ingin mengatakan sesuatu. Tapi tampak ragu, ia menggigit ujung bibir bawahnya.Reza mengangkat kedua alisnya ketika melihat Carla yang berada di samping seakan ingin mengatakan sesuatu. Ia pun bertanya, "Ada apa?""Boleh ikut pulang gak, pak?" Carla tampak berharap Reza membolehkan.Menunjukkan puppy eyes agar terlihat manis.Reza mengusap pelan ujung hidung bangirnya yang tak gatal. Sedang berpikir."Ya, udah ikut aja. Rumahnya dimana?"Mendengar itu membuat Carla bersemangat menyebutkan alamat rumahnya yang ternyata masih satu arah dengan tujuan Reza.Sepanjang perjalanan hanya deru suara kendaraan beradu memecah keheningan di antara mereka. Tak ada yang memulai pembicara. Sesekali Carla melirik ke arah Reza yang sedang menyetir. Satu tangan berada disisi mobil dengan siku sebagai tumpuan. Jemarinya sesekali memijat pelan ujung alis. Matanya lurus ke depan, menatap dalam jalan di depannya. Semakin jauh jalan yang sudah dilewati, semakin dalam juga pikiran merasuki dirinya.Satu penyesalan lah yang membuatnya memutuskan kembali dari Luar Negeri. Harusnya, kesalahpaham itu tidak pernah terjadi. Hingga akhirnya setelah beberapa tahun ia baru mengetahui kebenarannya."Pak?" panggil Carla. Ia sudah memanggil Reza beberapa kali. Namun yang dipanggil sibuk dengan dunianya sendiri."Pak?!" panggil Carla lagi dengan menepuk pelan lengan Reza."Ah, iya. Kelewatan?" tanya Reza ketika menyadari sentuhan Carla di lengannya. Ia melirik Carla sekilas kemudian mengambil sisi kiri, memelankan mobil."Di depan sana belok kanan. Itu ... ada motor keluar itu ...," tunjuk Carla pada sebuah motor berwarna magenta yang baru saja keluar dari sebuah perumahan.Reza membelokan mobilnya masuk ke dalam perumahan yang di maksud Carla. Jalan yang tidak terlalu lebar. Namun, masih cukup untuk mobil berselisihan secara pelan bergantian."Mikiran apa, Pak? kerjaan?" tanya Carpa penasaran sejak tadi. Sebab sepanjang jalan hampir dua puluh menit mereka tidak saling bicara."Ini rumahnya yang mana, Car?" tanya Reza, enggan menjawab pertanyaan Carla."Ah iya ... itu paling ujung warna ungu muda," Carla mengalihkan pandangannya dari sosok Reza yang memang sangat menawan bagi perempuan yang melihatnya. Carla menyembunyikan wajah cemberutnya dengan mengalihkan wajah ke arah jendela mobil setelah memjawab pertanyaan Reza.Ia sedikit kesal karena Reza tidak menjawab pertanyaannya. Bahkan tidak mengajak bicara, seakan dia tidak berada di satu mobil dengan lelaki itu.****"Jadi, gimana kelanjutannya? udah ada jawaban?" tanya Elrumi pada Reza yang sedang menatap kosong kearah gelas yang ia mainkan dengan jari telunjukknya. Entah sudah berapa kali jari itu memainkan pinggiran bibir gelas berwarna putih bening, berisikan minum soda.Pikirannya kembali melayang ke beberapa bulan yang lalu. Ia bertemu Ibrahim ketika orang itu liburan ke Negeri dimana Reza tinggal. Ia memilih bekerja di sana setelah lulus S2 daripada kembali bersama orang tuanya ke Indonesia."I'm sorry, can you help me to take a picture?," tanya Ibrahim kepada Reza. Saat itu mereka sedang berada dipusat kota yang berarsitektur bangunan tua. Tempat yang menjadi inspirasi sebuah film Fantasi. "Sure," Reza menyambut ponsel yang diberikan Ibrahim. Matanya menyipit ketika memperhatikan Ibrahim yang bersiap-siap untuk di foto bersama beberapa temannya. Reza terus meperhatikan lelaki bertubuh tinggi yang dibalut dengan coat selutut berwarna khaki. Balutan syal warna hitam yang senada dengan pakaian serta celana warna senada membuat lelaki yang meminta tolong kepada Reza terlihat seperti seorang model profesional. Wajahnya tampak tidak asing.Reza mengambil beberapa foto dengan gaya mereka yang berbeda-beda di depan bangunan tua itu. Ibrahim mendekat ke arah Reza untuk melihat hasil gambar yang di ambil."Nice picture. Thank you, Bro," Puji Ibrahim dengan hasil foto yang di ambil oleh Reza. Tidak lupa seulas senyum tergambar di wajah tampannya."Indonesia?" tanya Reza sebelum Ibrahim pergi. Ia sepertinya sudah ingat siapa lelaki yang meminta bantuannya untuk mengambil foto. Untuk memastikan ia tidak salah."Bener. Indonesia juga?" tanya Ibrahim tampak bersemangat. Ia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan."Iya. Gue kaya pernah liat lo. Tapi gue gak yakin. Apa lo temennya Nura sama Aruna? Kayaknya pernah ketemu waktu itu.""Lo temen mereka juga? Gila, dunia sempit banget. Bisa-bisanya ketemu di sini. Tunggu-tunggu ... kita perneh ketemu?" Ibrahim tampak mengingat-ingat di mana pertemuan mereka. Matanya menyipit menatap penuh selidik ke arah Reza. Wajah Reza tampak familiar untuknya setelah diperhatikan. Ibrahim memperhatikan Reza penuh seksama. Reza yang saat ini mengenakan topi, sekaligus syal tebal warna cokelat tua yang bertengger dileher untuk menghangatkan tubuh dikarena suhu udara musim dingin hari ini memang lebih tinggi."Lo, Reza? gue inget sekarang. Kita pernah ketemu di ulang tahunnya Aruna waktu itu," tunjuk Ibrahim dengan telunjuk, mata sedikit terbuka penuh semangat. Perlu sekian detik untuk Ibrahim mengingat Reza. Ia tidak percaya bisa ketemu di sini. Reza mengangguk mengiyakan. Seulas senyum tipis terlukis dibibir indahnya. "Oh ya, gimana kabar lo ama Nura?" tanya Ibrahim sukses membuat Reza bingung, kedua alis tebalnya hampir bertaut."Bukannya lo, ya, yang lebih tau," sahut Reza dengan tawa kecil. Tangannya sudah masuk ke dalam saku coat yang ia kenakan. Udara dingin makin terasa."Gue udah lama gak ketemu, soalnya sekarang gue juga stay di sini. Tapi, beneran gue seneng ketemu lo di sini. Kenapa gak dari dulu kita ketemu," tambah Ibrahim yang mengetahui kepindahan Reza kala itu. Ia juga memang tinggal di sini untuk menyelesaikan kuliahnya yang tinggal satu tahun lagi.Reza menatap Ibrahim penuh selidik, "Bukannya kalian yang ada hubungan harusnya lebih tau kabar, ya ... udah putus? foto-foto kalian juga masih ada di akunnya Nura gue liat.""Hah?! kok bisa lo mikir gue jadian sama Nura. Lo, salah. Dia mah sukanya sama, lo kali. Yang ada gue kalah sebelum berperang," Ibrahim memukul bahu Reza. Mereka bicara sangat santai seakan teman lama."Maksudnya?" Reza makin bingung dengan ucapan Ibrahim. "Jadi Nura gak bilang apa-apa?" kali ini Ibrhaim tampak serius. Terlihat dari sorot matanya yang tidak seperti sebelumnya. Reza menggeleng mendengar pertanyaan Ibrahim."Him!" panggil teman Ibrahim yang berada beberapa meter dari mereka sekarang. Ibrahim memberi isyarat agar menunggu sebentar lagi."Singkatnya, Nura itu suka sama, lo. Intinya gitu yang gue tau. Selebihnya lo tanya langsung. Gue pergi dulu ... makasih banyak," Ibrahim menepuk lengan Reza, menunjukkan ponsel ditangan kirinya dengan menggoyangkan sedikit benda itu, tanda berterimakasih sudah mengambil foto untuknya, sebelum benar-benar pergi. Meninggalkan Reza yang masih tidak percaya dengan apa yang di dengar.Reza kembali menyesali kebodohannya jika mengingat pertemuannya dengan Ibrahim waktu itu."Za! malah bengong. Gak kesambetkan, lo?!" tegur Elrumi ketika tidak ada jawaban dari Reza."Harusnya waktu itu, gue tanya langsung pas denger omongan Nura sama Aruna. Gue pikir mereka lagi ngomongin Ibrahim. Mereka udah temenan lama dari kuliah. Jadi, gue pikir ya dia ...," Reza meneguk minuman soda. Menyederkan tubuh atletisnya ke sofa. Bukan hanya tuubuhnya yang lelah, dia pun juga kelelahan dengan bisingnya pikiran-pikiran yang terus berputar berulang seperti kaset rusak di kepalanya.Dulu, ia mendengar jika Nura menyukai seseorang yang sudah lama ia kenal saat bicara dan berniat mengutarakannya. Belum selesai mereka bicara, Reza memilih pergi. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. "Tadi, siang gue ketemuan sama Nura. Dia nanya alasan kenapa tiba-tiba ngelamar," lanjut Reza dengan posisi yang sama. "Terus lo jawab apa?" tanya Elrumi penasaran. Menyuapkan satu potong kue brownies cokelat yang ada di atas meja ke dalam mulutnya."Gue suruh tanya orang tuanya.""Lah, kenapa gak
Dari kejauhan Reza bisa melihat Nura yang sedang terduduk lesu bersama dengan Ibunya. Ruangan yang bertuliskan IGD masih tertutup rapat. Suasana hening membuat langkah kaki Reza terdengar ketika sepatu itu beradu dengan lantai rumah sakit. Membuat Ibu Nura menyadari kehadirannya. Sementara Nura masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Seakan keheningan itu menjadi teman ternyaman. "Nak, Reza," seru Ibu Nura pelan ketika melihat kehadirannya. Nura tersadar dari lamunannya. Kini ia beralih menatap Reza yang sudah berdiri di dekatnya. Wajah cantik dengan kulit putih itu terlihat pucat. Kedua mata indah yang selalu terlihat bersinar kini tampak sayu. Tak ada ekspresi apapun selain wajah datar yang Reza lihat."Gimana keadaan Om, Tante?" tanya Reza dengan nafas sedikit tersenggal-senggal akibat buru-buru menyusul."Masih belum sadar. Tapi, katanya udah stabil. Bentar lagi dibawa ke ruangan. Lagi disiapkan. Oh ya, kenapa bisa ada di sini?" tanya Ibu Nura karena melihat Reza tiba-tiba berada
"Aku mau," ucap Nura tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka selama diperjalanan. Suara musik pelan dari radio mobil yang di putar tak menyulitkan Reza mendengar ucapan Nura. "Mau apa? martabak?" tanya Reza bingung dengan maksud Nura, tiba-tiba bilang mau. Mereka baru saja melewati jalan yang ramai dengan penjual dipinggir jalan ketika malam hari. Salah satunya penjual martabak yang Reza sempat lihat mereka lewati. "Kok martabak," Nura mendecak kesal. Ia sudah menghilangkan rasa malunya hanya untuk bilang mau terima lamaran itu. Tapi, Reza malah bercanda pikirnya. Pipinya sudah terasa panas menahan malu. "Soal lamaran," lanjut Nura. Matanya masih lurus menatap jalan di depan yang dipenuhi lampu jalanan dan juga dari kendaraan yang lewat yang berlalu lalang. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Nura. Reza menahan senyum dengan menggigit bibir bawahnya ketika mendengar jawaban Nura. Rasanya ingin berteriak bahagia saat itu juga. Namun, ia berusaha agar terlihat
"Biar aku ambil aja," Reza masih menolak karena tidak mau Nura merasa repot karena dirinya. "Biar aku aja yang antar ke kantor. Aku juga mau ke daerah dekat kantor kamu. Hari ini ada kerjaan di luar," Jelas Nura ditelepon kepada Reza ketika ia sedang berjalan menuju kantor dari parkiran. Setelah mendapat jawaban dari Reza, Nura menutup telepon. Sebelumnya, Ibunya menghubunginya. Bilang jika dompet Reza ketinggalan di Rumah Sakit. Awalnya Reza berniat untuk mengambil sendiri. Namun, Nura tetap menolak. "Ya sudah, hati-hati nanti di jalan," ujar Reza akhirnya mengalah sebelum Nura menutup telepon. "Eemm yang lagi seneengg ... udah jadian sama ex crush," goda Aruna setelah Nura selesai. Menyilangkan tangan ke depan membentuk tanda silang sambil tertawa. "Bukan jadian tapi calon tunangan," koreksi Nura menurunkan tangan Aruna. "Gak romantis banget yah, gak ada acara lamaran kaya dinner ... kasih cincin gitu ...." "Ntar gue bilangin sama Rez-" Perkataan Aruna terhenti ketika
Sinar matahari menembus kaca kantor Reza sekarang. Matanya terpejam seakan menikmati hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah. Tidak berniat untuk menurunkan tirai untuk menghalangi tembusnya sinar matahari. Carla yang ingin menyerahkan berkas untuk ditanda tangani masuk begitu saja setelah mengetuk pintu. Sementara Reza tidak bergeming, masih di posisi yang sama. Carla berjalan perlahan, berusaha semaksimal mungkin agar suara dari sepatu berhak tingginya yang beradu dengan lantai tidak mengeluarkan suara yang dapat mengganggu ketenangan Reza. Ia memilih berdiri di samping Reza yang sedang menghadap dinding kaca luar dengan mata terpejam. Carla menatap lekat padanya. Garis wajah yang tegas, begitu sempurna di mata segelintir orang yang melihatnya. Terpaan sinar matahari membuatnya seakan semakin berkilau di mata Carla. Ia berinisiatif menurutkan roller blind agar sinar matahari tidak lagi menggangu Reza. Seulas senyum tipis terpatri di
Pagi-pagi buta Nura sudah ribut dengan kegiatannya di kamar. Ia bersiap dengan terburu-buru. Hari ini ia harus berangkat keluar kota karena urusan pekerjaan bersama dengan beberapa temannya di kantor. Sudah tahu harus berangkat pagi, ia malah pergi bersama Sella tadi malam dan pulang larut dan bangun terlambat. Alarm yang sudah diatur malah dimatikan. Setidaknya ia sudah mengemas barang jadi hanya perlu bersiap."Non, Mbak Aruna sudah datang," ucap salah satu pelayan di rumahnya di depan pintu kamar Nura yang masih tertutup rapat."Bilang bentar lagi, Bi," sahut Nura sedikit berteriak yang sedang mematut dirinya di depan cermin. Memasukan skincare dan make up yang tadi begitu saja ke dalam tas bahu berwarna cokelat muda. Sekali lagi Nura mematut dirinya di depan standing mirror, memastikan stelan yang ia pakai sudah pas. Celan kulot berwarna hitam ditambah kemeja warna putih oversize yang mebalut tubuh indahnya. "Beh masih sempet ya tu rambut di kriwil," sindir Aruna ketika melihat
"Ini baru sampai penginapan," Nura sedang berbicara dengan Reza melalui telepon. Satu tangannyA mengeluarkan satu persatu bawaan yang ada dikoper selain pakaian yang akan ia kenakan selama kegiatan di kota S. 'Ya, udah nanti kabarin aku lagi kalo udah gak sibuk. Aku tutup ya teleponnya," pamit Reza sebelum menutup telepon. Tepat setelah panggilan terputus, pintu kamar penginapan mereka di ketuk dari luar. Aruna yang berada lebih dekat pintu segera beranjak dari kasur tempat ia mengistirahatkan tubuh dari perjalanan yang lumayan memakan waktu. Nampak seorang pegawai penginapan yang biasanya datang pagi untuk bersih-bersih tersenyum sopan. Menyodorkan sebuah tas kecil."Permisi, maaf menganggu. Ini ada titipan untuk Mba Nura dari Reza katanya," ucap pegawai itu dengan sopan. "Oh, iya makasih," ucap Aruna menyambut benda yang diserahkan karyawan tersebut."Apa isinya, Run. Tadi dia gak bilang apa-apa telpon.""Cek sendiri nih," Aruna menyerahkannya kepada Nura.Ada minuman suplemen d
Nura menatap pantulan dirinya di kaca kamar mandi. Wajahnya masih tampak lelah. Tapi setidaknya kondisi tubuhnya sudah lebih baik dari kemari. Yah, walaupun belum sepenuhnya benar-benar baik. Ia berniat membersihkan diri. Kemarin ia langsung tertidur. Sekarang ia akhirnya bangun lebih awal. Sementara Aruna masih berlayar di alam mimpi. Mandi air hangat menjadi pilihan untuk menyegarkan dirinya kembali. Badannya terasa lengket karena keringan yang keluar demam tadi malam."Raa, lo di dalam?" suara Aruna terdengar dari luar dengan iringan ketukan pintu beberapa kali. Saat bangun Aruna tidak melihat Nura di sampingnya. Terdengar suara kecil gemiricik air dari kamar mandi. Karena itu ia ingin memastikan."Iyaa, Run. Ini gue ... aman kok. Gue udah baikan dikit," balas Nura dari dalam kamar mandi yang sedang bersandar di dalam bak mandi cantik berwarna putih bersih. Mendengar jawaban dari sahabatnya Aruna kembali ke tempat tidur. Mengecek beberapa pesan yang masuk di ponsel pintarnya.S
Dito yang berjalan dibelakang Nura segera menopang tubuh Nura yang hampir jatuh karena tergelincir akibat bebatuan yang ada di air terjun kecil. Lumut dibebatuan begitu tampak karena jernihnya air tersebut. Untung Dito sigap menolong Nura. Celana yang ia kenakan basah bagian bawah karena percikan air. Pahadal sudah dinaikan hampir selutut. Sementara Nura masih berbegangan di tangan Dito dengan salah satu tangan memegang ponsel."Hati-hati. Kami gak papa?" tanya Dito memastikan. Kini Nura sudah berdiri dengan benar. "Gak papa. Untung ada kamu. Kalau gak. Basah sudah," ucap Nura yang masih berpegangan kepada Dito. Mereka berjalan menuju tepian.Sayup-sayup terdengar suara Nura dan Dito dari telepon. Panggilan Reza yang terjawab membuatnya sedikit kesal sekaligus lega ketika mendengar suara Nura yang baik-baik saja.Ketika panggilan itu kembali, ia langsung bertanya, "Ada apa?" tanyanya."Kegilincir tadi. Untung ada Dito yang pegangin," sahut Nura yang berjalan dibelakang Dito. Mereka
"Jadi lo udah punya cowo? kasian banget tuh laki pasti kupingnya panas terus lo cerewetin, Ra" Nino menggelengkan kepala dengan raut wajah dibuat sedih. "Enak aja," Nura memberikan pukulan tepat di punggungnya yang berjalan mendahului mereka bersama dua orang lainnya."Udah cerita sama Dito?" tanya Aruna."Mana ada. Gue keceplosan aja tadi," jelas Nura yang berjalan beberapa langkah dari yang lainnya."Kemarin tuh sebenarnya Dito mau ngejelasin soal hubungan dia sama mantannya itu. Tapi, gue bilang nanti aja. Gue gak tahu aku bersikap atau bereaksi gimana kalo udah tahu.""Ya, udah lo bilang aja sekarang lo udah ada Reza," Saran Aruna."Harus, ya? gue tuh maunya diam-diam terus nanti tiba-tiba sebar undangan," Nura menyatukan kedua tangan berada di depan dada. Mentap langit biru berawan putih disertai senyum menghiasi wajah. Matanya berbinar membayangkan apa yang diinginkamnya itu."Jadi, mau private gitu ceritanya?" "Gue takut, Run. Kalo udah banyak yang tau tiba-tiba malah batal,"
Nura menatap pantulan dirinya di kaca kamar mandi. Wajahnya masih tampak lelah. Tapi setidaknya kondisi tubuhnya sudah lebih baik dari kemari. Yah, walaupun belum sepenuhnya benar-benar baik. Ia berniat membersihkan diri. Kemarin ia langsung tertidur. Sekarang ia akhirnya bangun lebih awal. Sementara Aruna masih berlayar di alam mimpi. Mandi air hangat menjadi pilihan untuk menyegarkan dirinya kembali. Badannya terasa lengket karena keringan yang keluar demam tadi malam."Raa, lo di dalam?" suara Aruna terdengar dari luar dengan iringan ketukan pintu beberapa kali. Saat bangun Aruna tidak melihat Nura di sampingnya. Terdengar suara kecil gemiricik air dari kamar mandi. Karena itu ia ingin memastikan."Iyaa, Run. Ini gue ... aman kok. Gue udah baikan dikit," balas Nura dari dalam kamar mandi yang sedang bersandar di dalam bak mandi cantik berwarna putih bersih. Mendengar jawaban dari sahabatnya Aruna kembali ke tempat tidur. Mengecek beberapa pesan yang masuk di ponsel pintarnya.S
"Ini baru sampai penginapan," Nura sedang berbicara dengan Reza melalui telepon. Satu tangannyA mengeluarkan satu persatu bawaan yang ada dikoper selain pakaian yang akan ia kenakan selama kegiatan di kota S. 'Ya, udah nanti kabarin aku lagi kalo udah gak sibuk. Aku tutup ya teleponnya," pamit Reza sebelum menutup telepon. Tepat setelah panggilan terputus, pintu kamar penginapan mereka di ketuk dari luar. Aruna yang berada lebih dekat pintu segera beranjak dari kasur tempat ia mengistirahatkan tubuh dari perjalanan yang lumayan memakan waktu. Nampak seorang pegawai penginapan yang biasanya datang pagi untuk bersih-bersih tersenyum sopan. Menyodorkan sebuah tas kecil."Permisi, maaf menganggu. Ini ada titipan untuk Mba Nura dari Reza katanya," ucap pegawai itu dengan sopan. "Oh, iya makasih," ucap Aruna menyambut benda yang diserahkan karyawan tersebut."Apa isinya, Run. Tadi dia gak bilang apa-apa telpon.""Cek sendiri nih," Aruna menyerahkannya kepada Nura.Ada minuman suplemen d
Pagi-pagi buta Nura sudah ribut dengan kegiatannya di kamar. Ia bersiap dengan terburu-buru. Hari ini ia harus berangkat keluar kota karena urusan pekerjaan bersama dengan beberapa temannya di kantor. Sudah tahu harus berangkat pagi, ia malah pergi bersama Sella tadi malam dan pulang larut dan bangun terlambat. Alarm yang sudah diatur malah dimatikan. Setidaknya ia sudah mengemas barang jadi hanya perlu bersiap."Non, Mbak Aruna sudah datang," ucap salah satu pelayan di rumahnya di depan pintu kamar Nura yang masih tertutup rapat."Bilang bentar lagi, Bi," sahut Nura sedikit berteriak yang sedang mematut dirinya di depan cermin. Memasukan skincare dan make up yang tadi begitu saja ke dalam tas bahu berwarna cokelat muda. Sekali lagi Nura mematut dirinya di depan standing mirror, memastikan stelan yang ia pakai sudah pas. Celan kulot berwarna hitam ditambah kemeja warna putih oversize yang mebalut tubuh indahnya. "Beh masih sempet ya tu rambut di kriwil," sindir Aruna ketika melihat
Sinar matahari menembus kaca kantor Reza sekarang. Matanya terpejam seakan menikmati hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah. Tidak berniat untuk menurunkan tirai untuk menghalangi tembusnya sinar matahari. Carla yang ingin menyerahkan berkas untuk ditanda tangani masuk begitu saja setelah mengetuk pintu. Sementara Reza tidak bergeming, masih di posisi yang sama. Carla berjalan perlahan, berusaha semaksimal mungkin agar suara dari sepatu berhak tingginya yang beradu dengan lantai tidak mengeluarkan suara yang dapat mengganggu ketenangan Reza. Ia memilih berdiri di samping Reza yang sedang menghadap dinding kaca luar dengan mata terpejam. Carla menatap lekat padanya. Garis wajah yang tegas, begitu sempurna di mata segelintir orang yang melihatnya. Terpaan sinar matahari membuatnya seakan semakin berkilau di mata Carla. Ia berinisiatif menurutkan roller blind agar sinar matahari tidak lagi menggangu Reza. Seulas senyum tipis terpatri di
"Biar aku ambil aja," Reza masih menolak karena tidak mau Nura merasa repot karena dirinya. "Biar aku aja yang antar ke kantor. Aku juga mau ke daerah dekat kantor kamu. Hari ini ada kerjaan di luar," Jelas Nura ditelepon kepada Reza ketika ia sedang berjalan menuju kantor dari parkiran. Setelah mendapat jawaban dari Reza, Nura menutup telepon. Sebelumnya, Ibunya menghubunginya. Bilang jika dompet Reza ketinggalan di Rumah Sakit. Awalnya Reza berniat untuk mengambil sendiri. Namun, Nura tetap menolak. "Ya sudah, hati-hati nanti di jalan," ujar Reza akhirnya mengalah sebelum Nura menutup telepon. "Eemm yang lagi seneengg ... udah jadian sama ex crush," goda Aruna setelah Nura selesai. Menyilangkan tangan ke depan membentuk tanda silang sambil tertawa. "Bukan jadian tapi calon tunangan," koreksi Nura menurunkan tangan Aruna. "Gak romantis banget yah, gak ada acara lamaran kaya dinner ... kasih cincin gitu ...." "Ntar gue bilangin sama Rez-" Perkataan Aruna terhenti ketika
"Aku mau," ucap Nura tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka selama diperjalanan. Suara musik pelan dari radio mobil yang di putar tak menyulitkan Reza mendengar ucapan Nura. "Mau apa? martabak?" tanya Reza bingung dengan maksud Nura, tiba-tiba bilang mau. Mereka baru saja melewati jalan yang ramai dengan penjual dipinggir jalan ketika malam hari. Salah satunya penjual martabak yang Reza sempat lihat mereka lewati. "Kok martabak," Nura mendecak kesal. Ia sudah menghilangkan rasa malunya hanya untuk bilang mau terima lamaran itu. Tapi, Reza malah bercanda pikirnya. Pipinya sudah terasa panas menahan malu. "Soal lamaran," lanjut Nura. Matanya masih lurus menatap jalan di depan yang dipenuhi lampu jalanan dan juga dari kendaraan yang lewat yang berlalu lalang. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Nura. Reza menahan senyum dengan menggigit bibir bawahnya ketika mendengar jawaban Nura. Rasanya ingin berteriak bahagia saat itu juga. Namun, ia berusaha agar terlihat
Dari kejauhan Reza bisa melihat Nura yang sedang terduduk lesu bersama dengan Ibunya. Ruangan yang bertuliskan IGD masih tertutup rapat. Suasana hening membuat langkah kaki Reza terdengar ketika sepatu itu beradu dengan lantai rumah sakit. Membuat Ibu Nura menyadari kehadirannya. Sementara Nura masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Seakan keheningan itu menjadi teman ternyaman. "Nak, Reza," seru Ibu Nura pelan ketika melihat kehadirannya. Nura tersadar dari lamunannya. Kini ia beralih menatap Reza yang sudah berdiri di dekatnya. Wajah cantik dengan kulit putih itu terlihat pucat. Kedua mata indah yang selalu terlihat bersinar kini tampak sayu. Tak ada ekspresi apapun selain wajah datar yang Reza lihat."Gimana keadaan Om, Tante?" tanya Reza dengan nafas sedikit tersenggal-senggal akibat buru-buru menyusul."Masih belum sadar. Tapi, katanya udah stabil. Bentar lagi dibawa ke ruangan. Lagi disiapkan. Oh ya, kenapa bisa ada di sini?" tanya Ibu Nura karena melihat Reza tiba-tiba berada