Bab 6

Dari kejauhan Reza bisa melihat Nura yang sedang terduduk lesu bersama dengan Ibunya. Ruangan yang bertuliskan IGD masih tertutup rapat. Suasana hening membuat langkah kaki Reza terdengar ketika sepatu itu beradu dengan lantai rumah sakit. Membuat Ibu Nura menyadari kehadirannya. Sementara Nura masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Seakan keheningan itu menjadi teman ternyaman.

"Nak, Reza," seru Ibu Nura pelan ketika melihat kehadirannya.

Nura tersadar dari lamunannya. Kini ia beralih menatap Reza yang sudah berdiri di dekatnya. Wajah cantik dengan kulit putih itu terlihat pucat. Kedua mata indah yang selalu terlihat bersinar kini tampak sayu. Tak ada ekspresi apapun selain wajah datar yang Reza lihat.

"Gimana keadaan Om, Tante?" tanya Reza dengan nafas sedikit tersenggal-senggal akibat buru-buru menyusul.

"Masih belum sadar. Tapi, katanya udah stabil. Bentar lagi dibawa ke ruangan. Lagi disiapkan. Oh ya, kenapa bisa ada di sini?" tanya Ibu Nura karena melihat Reza tiba-tiba berada di depan mereka.

"Kebetulan tadi lagi di rumah Rumi. Sela tadi telepon katanya, gak jadi ke rumah Rumi karena Om tiba-tiba jatuh pingsan," jelas Reza. Kini ia mengambil posisi duduk di kursi besi panjang di depan Nura, yang sedang meremas tangannya. Kedua jemarinya saling bertaut. Tidak bicara sedikit pun, hanya diam. Seakan tidak ada tenaga untuk hanya sekedar menyapa Reza.

Tidak lama setelahnya Sela dan Elrumi datang, dengan membawa sekantong belanjaan kecil.

Sela memberikan sebotol air mineral yang ada di dalam kantong itu kepada Nura dan Ibunya. Baru saja Nura hendak membukan minunam itu, Reza dengan sigap mengambil air mineral botol tersebut untuk membantu membuka tutup botol minumannya. Ia menyerahkan botol tersebut setelah terbuka kepada Nura.

Nura membasahi tenggorakannya yang terasa kering. Sekilas, ia melirik ke arah Reza yang duduk di depannya bersama kedua orang teman lainnya.

Reza yang selalu ada untuknya sejak lama. Selalu menjadi orang pertama jika ia membutuhkan sesuatu. Kepergiannya beberapa saat lalu, sempat membuat hari-harinya terasa kosong. Kekosongan itu ia habiskan dengan bekerja, liburan dan aktifitas lainnya. Hingga akhirnya ia terbiasa dengan ketidakhadiran Reza disisinya kala itu. Namun, tiba-tiba muncul dengan membawa sebuah lamaran bersama kedua orangtuanya.

Pintu IGD terbuka. Satu orang dokter dan beberapa perawat keluar dengan mendorong Ayah Nura yang berada terbaring di atas ranjang rumah sakit. Mereka semua yang sedang menunggu seketika berdiri melihat kehadiran mereka.

"Bapak sekarang akan dibawa ke ruangan. Karena kondisinya sudah membaik. Untuk luka di kepala akibat benturan benda keras, Alhamdulillah, tidak ada masalah sejauh ini. Tapi, jika ada keluhan seperti pusing, mual atau lainnya bisa panggil saya. Saat ini bapak sedang tidur, karena efek obat," jelas dokter yang sudah lama menangani kesehatan keluarga Nura.

Akhirnya mereka yang di sana bisa bernafas lega.

🍀🍀🍀

"Bu, keluarga kita punya utang ya sama keluarga Reza?" tanya Nura kepada Ibunya ketika mereka hanya berdua di ruangan.

Reza sedang membelikan makan malam untuk mereka. Sedangkan kedua temannya sudah pulang lebih dulu. Untunglah ada Reza, jika mereka hanya berdua mungkin akan kerepotan. Karena Kakak laki-laki Nura sedang berada di luar kota ada acara keluaraga di rumah Istrinya.

Mereka sedang duduk disofa yang ada di ruangan. Menatap lekat ke arah lelaki berumur lima puluhan lebih yang sedang terbaring. Tadi beliau sempat sadar. Namun kembali istiahat setelah minum segelas air dan sedikit roti.

"Ngomong apa sih kamu. Perusahan Papa kamu itu masih stabil. Walaupun gak sekuat dulu. Masih bisa dibilang aman dan masih mampu untuk bersaing dengan perusahaan besar lainnya. Tapi, setidaknya masih bisa bertahan tanpa perlu PHK karyawan."

"Terus kenapa Papa tiba-tiba pingsan?" Nura menatap Ibunya dengan wajah sedih. Ia terus saja memikirkan hal yang tidak-tidak.

Ibu Nura mengusap lembut kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. "Kecapean sayang ... dalam bulan ini aja udah berapa kali keluar kota, kan? udahlah kamu jangan terlalu banyak mikir. Mendingan kamu pikiran soal lamaran Reza. Gimana?

Nura menyenderkan kepalanya ke bahu sang Ibu. Menatap langit-langit kamar Rumah Sakit. Kemudian, menatap ke arah sang Ayah yang sedang berbaring di atas ranjang.

"Belum tau, Mah," sahut Nura pelan.

"Kamu mau nunggu apa lagi? jangan bilang karena Dito? Gini loh, Sayang ... Bukannya Mama gak suka Dito. Dia baik, anaknya sopan, karirnya juga jelas. Tapi, Reza juga gak kalah sama Dito. Sama-sama ganteng, punya karir yang bagus, anaknya baik, terus keluarga kita juga udah kenal lama," jelas Ibu Nura dengan jari-jarinya menghitung setiap ucapannya tentang Reza.

"Mama Papa sih sebenarnya udah bilang setuju ...," lirik Ibu Nura yang kini terkesiap mendengar apa yang dikatakan Ibunya.

Tatapan Nura tajam seolah-olah kesal kepada Ibunya. "Loh kok gitu ... nanya Nura belakangan, malah bilang setuju-setuju duluan," ucap Nura yang merajuk seperti anak kecil.

Pintu ruangan terbuka. Seketika keduanya menatap pintu tersebut. Reza, pria yang sedang dibicarakan oleh dua orang perempuan di ruangan itu muncul, masuk dengan beberapa bungkus kantong plastik di tangan.

Nura menatap intens pria yang melamarnya ini. Semakin dekat, aroma wangi maskulin menyeruak memasuki indra penciumannya. Tidak berubah sama sekali. Aroma wangi itu masih sama sejak dulu. Aroma wood musk beradu begitu segar. Nura sangat menyukainya. Padahal tadi siang ia sudah bertemu. Namun ia tidak terlalu menyadari hal ini.

Reza meletakkan beberapa makanan yang ia bawa di atas meja kayu berwarna cream yang selaras dengan warna sofa. Ia buka makanan itu satu persatu. Ada makanan kesukaan Nura juga. Rupanya, ia tidak pernah melupakan hal kecil tentang Nura. Walaupun sempat terpisah jarak ribuan kilometer.

"Ada apa?" tanya Reza heran ketika mereka berdua menatapnya dengan tatapan tidak biasa.

Ibu Nura menatapnya, kemudian mengerling nakal ke arah Nura. Mengetahui Reza membelikan makanan kesukaan anaknya.

Sementara Nura menatapnya kesal. Padahal Reza tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya atau apa yang mereka bicarakan sehingga Nura menatapnya seperti itu.

"Ini Nura katanya habis ini mau pulang," bohong Ibu Nura.

"Nanti bareng aku aja, sekalian aku pulang. Terus Tante gak papa sendiri," tanya Reza.

"Nanti ada, Mbak dateng ke sini nemenin. Palingan bentar lagi juga dateng."

Nura terus memperhatikan Reza. Tatapnya sudah berubah menjadi lebih bersahabat. Sepertinya, ia sudah menemukan jawaban untuk Reza.