"Za! malah bengong. Gak kesambetkan, lo?!" tegur Elrumi ketika tidak ada jawaban dari Reza.
"Harusnya waktu itu, gue tanya langsung pas denger omongan Nura sama Aruna. Gue pikir mereka lagi ngomongin Ibrahim. Mereka udah temenan lama dari kuliah. Jadi, gue pikir ya dia ...," Reza meneguk minuman soda. Menyederkan tubuh atletisnya ke sofa. Bukan hanya tuubuhnya yang lelah, dia pun juga kelelahan dengan bisingnya pikiran-pikiran yang terus berputar berulang seperti kaset rusak di kepalanya.Dulu, ia mendengar jika Nura menyukai seseorang yang sudah lama ia kenal saat bicara dan berniat mengutarakannya. Belum selesai mereka bicara, Reza memilih pergi. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu."Tadi, siang gue ketemuan sama Nura. Dia nanya alasan kenapa tiba-tiba ngelamar," lanjut Reza dengan posisi yang sama."Terus lo jawab apa?" tanya Elrumi penasaran. Menyuapkan satu potong kue brownies cokelat yang ada di atas meja ke dalam mulutnya."Gue suruh tanya orang tuanya.""Lah, kenapa gak bilang yang sebenarnya sih Lo suka sama dia udah lama. Lo ceritakan lah semuanya yang terjadi dulu," Elrumi kesal pada sahabatnya satu ini."Lo juga kenapa gak peka. Kalian berdua udah deket dari lama. Kemana-mana sering berdua, liburan bareng ke luar kota juga sering barengan. Nura juga kalo ada apa-apa selalu bilang dan minta bantuan sama lo, kan?!" omel Elrumi."Kok lo marahin gue sih," Reza melampar pelan sendok kue di atas meja ke arah Elrumi. "Tapi, Nura sama Ibrahim tu juga udah kenal dari lama, awal kuliah. Sering satu proyek karena jadi BA yang sama juga. Wajar dong gue salah paham.""Kesel gue sama lo. Udah satu bulan lebih gak ada kemajuan. Niat lo balik ke sini kan, ya, karena Nura.""Gak bisa langsung gitu aja dong. Gue juga harus cari tahu Nura ada doi atau gak. Udah yakin gak ada, baru gue lamar."Awalnya Reza memang menetap di luar Negeri. Sementara keluargana kembali, ia memilih mencoba berkarir di sana. Setelah beberapa bulan bekerja di sana, ia bertemu Ibrahim. Saat itulah ia memutuskn kembali. Mengejar cinta yang belum usai. Ingin memperjuangkannya walaupun sedikit terlambat. Setidaknya dia harus mencoba. Agar tidak ada penyesalan kedua kali dalam hidupnya. Apapun hasilnya nanti, yang penting ia sudah mencoba. Jika, Nura tidak menerima dirinya, ia siap. Asalkan Nura bahagia. Bukan kah cinta tak harus memiliki?Ponsel milik Elrumi yang berada di atas meja berdering. Ia segera mengambil benda persegi panjang tersebut."Assalamu'alaikum ... ada apa, Sel?" tanya Elrumi kepada Sela yang berada di saluran telepon."Gue gak jadi ke rumah, ya. Papa Nura masuk Rumah Sakit. Ini gue sama Nura menuju ke sana," jelas Sela yang ternyata sedang bersama Nura."Ada apa sama Om? Kirimin alamat Rumah Sakitnya. Gue nanti nyusul," setelahnya Elrumi menutup telepon.Reza yang berada di sana menatap Elrumi serius saat mendengar Rumah Sakit. Posisi duduknya berubah menjadi tegak."Papa Nura masuk RS kata Sela. Lo mau ikut nyusul, gak? gue mau siap-siap dulu," Elrumi sudah beranjak dari duduknya menuju kamar untuk bergantian pakaian. Pasalnya sekarang ia hanya mengenakan kaos hitam dan celana hitam selutut."Gue ikut. Gue tunggu di bawah," ucap Reza yang sudah bergegas turun ke lantai bawah segera ke luar menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah.Mereka berempat memang bersahabat sejak beberapa tahun silam. Tepatnya ketika liburan bersama. Saat itu, Reza mengajak Nura dan Elrumi untuk pergi berlibur ke sebuah pulau yang terkenal akan keindahan alamnya, pantai dan laut yang indah bersih. Sementara, satu teman mereka lagi -Faisal yang sedang berada di luar kota- mengajak Sela. Dari sanalah mereka jadi lebih sering liburan bersama dan menjadi teman dekat. Sela, Aruna dan Reza pun berteman dekat karena sesekali Aruna juga pernah ikut liburan bersama mereka.Di tempat yang berbeda, Sela bersiap menyalakan mobil. Awalnya, Nura yang akan menyetir. Namun, Sela lebih memilih dirinya yang melakukan itu. Takut jika terjadi apa-apa di jalan karena Nura sedang panik.Sebenarnya mereka akan ke rumah Elrumi karena sudah lama tidak kumpul bersama. Baru saja mereka akan jalan, Nura ditelepon oleh Ibunya memberi tahu kondisi Ayahnya yang jatuh tidak sadarkan diri ketika masih di kantor hendak pulang. Ibunya tidak menjelaskan secara rinci apa yang terjadi, yang Nura tahu Ayahnya memang punya riwayat sakit jantung.Sepanjang perjalanan Nura hanya diam. Ia terus menggigit Ibu jarinya. Menatap kosong ke arah jalan. Pikirannya berkelana ke sana kemari. Ia terus memikirkan hal buruk. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Ayah? pikirnya. Ia sangat takut jika harus ditinggalkan oleh orang tersayang. Di umur yang sekarang pernikahan disaksian kedua orangtuanya adalah salah satu keinginannya. Dulu, ia jua berharap Kakek dan Neneknya menyaksikan pernikahannya. Selain kedua orangtuanya, juga Kakaknya, Kakek dan Neneknya juga adalah orang terpenting dalam hidupnya. Sebelum kepergian Kakeknya selalu menyakan kapan ia akan menikah. Nura hanya menjawab secepatnya dan doakan saja. Hingga Akhirnya beliau meninggal, hal itu belum terlaksana. Ia tidak mau hal itu terjadi lagi."Ra, lo yang tenang. Bentar lagi kita sampai," ucap Sela. Mengusap pelan bahu Nura untuk menenangkannya.Bangunan bertingkat warna putih mulai terlihat. Sela segera mengarahkan mobil masuk ke dalam area luar rumah sakit. Ia mencari lahan kosong di antara mobil yang terparkir.Belum lagi Sela mematikan mobil. Nura melepas seatbelt dan bergegas keluar dari mobil. Mengabaikan Sela yang sedang bersamanya. Ia mengambil langkah cepat untuk segera ke ruangan yang telah di beritahukan oleh ibunya melalui pesan singkat.Setela beberapa saat Sela segera menyusul. Ia melihat Reza dan Elrumi saat hendak masuk ke dalam gedung Rumah Sakit."Mana Nura?" tanya Reza, ia berlari kecil menghampiri Sela."Udah masuk ke dalam," belum selesai Sela bicara Reza udah pergi. "IGD," tambah Sela lagi ketika Reza sudah berlari kecil."Padahal yang sakit bukan Nura, loh. Tapi, yang di khawatirin malah Nura aja," gerutu Sela saat mereka menyusul Reza.Dari kejauhan Reza bisa melihat Nura yang sedang terduduk lesu bersama dengan Ibunya. Ruangan yang bertuliskan IGD masih tertutup rapat. Suasana hening membuat langkah kaki Reza terdengar ketika sepatu itu beradu dengan lantai rumah sakit. Membuat Ibu Nura menyadari kehadirannya. Sementara Nura masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Seakan keheningan itu menjadi teman ternyaman. "Nak, Reza," seru Ibu Nura pelan ketika melihat kehadirannya. Nura tersadar dari lamunannya. Kini ia beralih menatap Reza yang sudah berdiri di dekatnya. Wajah cantik dengan kulit putih itu terlihat pucat. Kedua mata indah yang selalu terlihat bersinar kini tampak sayu. Tak ada ekspresi apapun selain wajah datar yang Reza lihat."Gimana keadaan Om, Tante?" tanya Reza dengan nafas sedikit tersenggal-senggal akibat buru-buru menyusul."Masih belum sadar. Tapi, katanya udah stabil. Bentar lagi dibawa ke ruangan. Lagi disiapkan. Oh ya, kenapa bisa ada di sini?" tanya Ibu Nura karena melihat Reza tiba-tiba berada
"Aku mau," ucap Nura tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka selama diperjalanan. Suara musik pelan dari radio mobil yang di putar tak menyulitkan Reza mendengar ucapan Nura. "Mau apa? martabak?" tanya Reza bingung dengan maksud Nura, tiba-tiba bilang mau. Mereka baru saja melewati jalan yang ramai dengan penjual dipinggir jalan ketika malam hari. Salah satunya penjual martabak yang Reza sempat lihat mereka lewati. "Kok martabak," Nura mendecak kesal. Ia sudah menghilangkan rasa malunya hanya untuk bilang mau terima lamaran itu. Tapi, Reza malah bercanda pikirnya. Pipinya sudah terasa panas menahan malu. "Soal lamaran," lanjut Nura. Matanya masih lurus menatap jalan di depan yang dipenuhi lampu jalanan dan juga dari kendaraan yang lewat yang berlalu lalang. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Nura. Reza menahan senyum dengan menggigit bibir bawahnya ketika mendengar jawaban Nura. Rasanya ingin berteriak bahagia saat itu juga. Namun, ia berusaha agar terlihat
"Biar aku ambil aja," Reza masih menolak karena tidak mau Nura merasa repot karena dirinya. "Biar aku aja yang antar ke kantor. Aku juga mau ke daerah dekat kantor kamu. Hari ini ada kerjaan di luar," Jelas Nura ditelepon kepada Reza ketika ia sedang berjalan menuju kantor dari parkiran. Setelah mendapat jawaban dari Reza, Nura menutup telepon. Sebelumnya, Ibunya menghubunginya. Bilang jika dompet Reza ketinggalan di Rumah Sakit. Awalnya Reza berniat untuk mengambil sendiri. Namun, Nura tetap menolak. "Ya sudah, hati-hati nanti di jalan," ujar Reza akhirnya mengalah sebelum Nura menutup telepon. "Eemm yang lagi seneengg ... udah jadian sama ex crush," goda Aruna setelah Nura selesai. Menyilangkan tangan ke depan membentuk tanda silang sambil tertawa. "Bukan jadian tapi calon tunangan," koreksi Nura menurunkan tangan Aruna. "Gak romantis banget yah, gak ada acara lamaran kaya dinner ... kasih cincin gitu ...." "Ntar gue bilangin sama Rez-" Perkataan Aruna terhenti ketika
Sinar matahari menembus kaca kantor Reza sekarang. Matanya terpejam seakan menikmati hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah. Tidak berniat untuk menurunkan tirai untuk menghalangi tembusnya sinar matahari. Carla yang ingin menyerahkan berkas untuk ditanda tangani masuk begitu saja setelah mengetuk pintu. Sementara Reza tidak bergeming, masih di posisi yang sama. Carla berjalan perlahan, berusaha semaksimal mungkin agar suara dari sepatu berhak tingginya yang beradu dengan lantai tidak mengeluarkan suara yang dapat mengganggu ketenangan Reza. Ia memilih berdiri di samping Reza yang sedang menghadap dinding kaca luar dengan mata terpejam. Carla menatap lekat padanya. Garis wajah yang tegas, begitu sempurna di mata segelintir orang yang melihatnya. Terpaan sinar matahari membuatnya seakan semakin berkilau di mata Carla. Ia berinisiatif menurutkan roller blind agar sinar matahari tidak lagi menggangu Reza. Seulas senyum tipis terpatri di
Pagi-pagi buta Nura sudah ribut dengan kegiatannya di kamar. Ia bersiap dengan terburu-buru. Hari ini ia harus berangkat keluar kota karena urusan pekerjaan bersama dengan beberapa temannya di kantor. Sudah tahu harus berangkat pagi, ia malah pergi bersama Sella tadi malam dan pulang larut dan bangun terlambat. Alarm yang sudah diatur malah dimatikan. Setidaknya ia sudah mengemas barang jadi hanya perlu bersiap."Non, Mbak Aruna sudah datang," ucap salah satu pelayan di rumahnya di depan pintu kamar Nura yang masih tertutup rapat."Bilang bentar lagi, Bi," sahut Nura sedikit berteriak yang sedang mematut dirinya di depan cermin. Memasukan skincare dan make up yang tadi begitu saja ke dalam tas bahu berwarna cokelat muda. Sekali lagi Nura mematut dirinya di depan standing mirror, memastikan stelan yang ia pakai sudah pas. Celan kulot berwarna hitam ditambah kemeja warna putih oversize yang mebalut tubuh indahnya. "Beh masih sempet ya tu rambut di kriwil," sindir Aruna ketika melihat
"Ini baru sampai penginapan," Nura sedang berbicara dengan Reza melalui telepon. Satu tangannyA mengeluarkan satu persatu bawaan yang ada dikoper selain pakaian yang akan ia kenakan selama kegiatan di kota S. 'Ya, udah nanti kabarin aku lagi kalo udah gak sibuk. Aku tutup ya teleponnya," pamit Reza sebelum menutup telepon. Tepat setelah panggilan terputus, pintu kamar penginapan mereka di ketuk dari luar. Aruna yang berada lebih dekat pintu segera beranjak dari kasur tempat ia mengistirahatkan tubuh dari perjalanan yang lumayan memakan waktu. Nampak seorang pegawai penginapan yang biasanya datang pagi untuk bersih-bersih tersenyum sopan. Menyodorkan sebuah tas kecil."Permisi, maaf menganggu. Ini ada titipan untuk Mba Nura dari Reza katanya," ucap pegawai itu dengan sopan. "Oh, iya makasih," ucap Aruna menyambut benda yang diserahkan karyawan tersebut."Apa isinya, Run. Tadi dia gak bilang apa-apa telpon.""Cek sendiri nih," Aruna menyerahkannya kepada Nura.Ada minuman suplemen d
Nura menatap pantulan dirinya di kaca kamar mandi. Wajahnya masih tampak lelah. Tapi setidaknya kondisi tubuhnya sudah lebih baik dari kemari. Yah, walaupun belum sepenuhnya benar-benar baik. Ia berniat membersihkan diri. Kemarin ia langsung tertidur. Sekarang ia akhirnya bangun lebih awal. Sementara Aruna masih berlayar di alam mimpi. Mandi air hangat menjadi pilihan untuk menyegarkan dirinya kembali. Badannya terasa lengket karena keringan yang keluar demam tadi malam."Raa, lo di dalam?" suara Aruna terdengar dari luar dengan iringan ketukan pintu beberapa kali. Saat bangun Aruna tidak melihat Nura di sampingnya. Terdengar suara kecil gemiricik air dari kamar mandi. Karena itu ia ingin memastikan."Iyaa, Run. Ini gue ... aman kok. Gue udah baikan dikit," balas Nura dari dalam kamar mandi yang sedang bersandar di dalam bak mandi cantik berwarna putih bersih. Mendengar jawaban dari sahabatnya Aruna kembali ke tempat tidur. Mengecek beberapa pesan yang masuk di ponsel pintarnya.S
"Jadi lo udah punya cowo? kasian banget tuh laki pasti kupingnya panas terus lo cerewetin, Ra" Nino menggelengkan kepala dengan raut wajah dibuat sedih. "Enak aja," Nura memberikan pukulan tepat di punggungnya yang berjalan mendahului mereka bersama dua orang lainnya."Udah cerita sama Dito?" tanya Aruna."Mana ada. Gue keceplosan aja tadi," jelas Nura yang berjalan beberapa langkah dari yang lainnya."Kemarin tuh sebenarnya Dito mau ngejelasin soal hubungan dia sama mantannya itu. Tapi, gue bilang nanti aja. Gue gak tahu aku bersikap atau bereaksi gimana kalo udah tahu.""Ya, udah lo bilang aja sekarang lo udah ada Reza," Saran Aruna."Harus, ya? gue tuh maunya diam-diam terus nanti tiba-tiba sebar undangan," Nura menyatukan kedua tangan berada di depan dada. Mentap langit biru berawan putih disertai senyum menghiasi wajah. Matanya berbinar membayangkan apa yang diinginkamnya itu."Jadi, mau private gitu ceritanya?" "Gue takut, Run. Kalo udah banyak yang tau tiba-tiba malah batal,"
Dito yang berjalan dibelakang Nura segera menopang tubuh Nura yang hampir jatuh karena tergelincir akibat bebatuan yang ada di air terjun kecil. Lumut dibebatuan begitu tampak karena jernihnya air tersebut. Untung Dito sigap menolong Nura. Celana yang ia kenakan basah bagian bawah karena percikan air. Pahadal sudah dinaikan hampir selutut. Sementara Nura masih berbegangan di tangan Dito dengan salah satu tangan memegang ponsel."Hati-hati. Kami gak papa?" tanya Dito memastikan. Kini Nura sudah berdiri dengan benar. "Gak papa. Untung ada kamu. Kalau gak. Basah sudah," ucap Nura yang masih berpegangan kepada Dito. Mereka berjalan menuju tepian.Sayup-sayup terdengar suara Nura dan Dito dari telepon. Panggilan Reza yang terjawab membuatnya sedikit kesal sekaligus lega ketika mendengar suara Nura yang baik-baik saja.Ketika panggilan itu kembali, ia langsung bertanya, "Ada apa?" tanyanya."Kegilincir tadi. Untung ada Dito yang pegangin," sahut Nura yang berjalan dibelakang Dito. Mereka
"Jadi lo udah punya cowo? kasian banget tuh laki pasti kupingnya panas terus lo cerewetin, Ra" Nino menggelengkan kepala dengan raut wajah dibuat sedih. "Enak aja," Nura memberikan pukulan tepat di punggungnya yang berjalan mendahului mereka bersama dua orang lainnya."Udah cerita sama Dito?" tanya Aruna."Mana ada. Gue keceplosan aja tadi," jelas Nura yang berjalan beberapa langkah dari yang lainnya."Kemarin tuh sebenarnya Dito mau ngejelasin soal hubungan dia sama mantannya itu. Tapi, gue bilang nanti aja. Gue gak tahu aku bersikap atau bereaksi gimana kalo udah tahu.""Ya, udah lo bilang aja sekarang lo udah ada Reza," Saran Aruna."Harus, ya? gue tuh maunya diam-diam terus nanti tiba-tiba sebar undangan," Nura menyatukan kedua tangan berada di depan dada. Mentap langit biru berawan putih disertai senyum menghiasi wajah. Matanya berbinar membayangkan apa yang diinginkamnya itu."Jadi, mau private gitu ceritanya?" "Gue takut, Run. Kalo udah banyak yang tau tiba-tiba malah batal,"
Nura menatap pantulan dirinya di kaca kamar mandi. Wajahnya masih tampak lelah. Tapi setidaknya kondisi tubuhnya sudah lebih baik dari kemari. Yah, walaupun belum sepenuhnya benar-benar baik. Ia berniat membersihkan diri. Kemarin ia langsung tertidur. Sekarang ia akhirnya bangun lebih awal. Sementara Aruna masih berlayar di alam mimpi. Mandi air hangat menjadi pilihan untuk menyegarkan dirinya kembali. Badannya terasa lengket karena keringan yang keluar demam tadi malam."Raa, lo di dalam?" suara Aruna terdengar dari luar dengan iringan ketukan pintu beberapa kali. Saat bangun Aruna tidak melihat Nura di sampingnya. Terdengar suara kecil gemiricik air dari kamar mandi. Karena itu ia ingin memastikan."Iyaa, Run. Ini gue ... aman kok. Gue udah baikan dikit," balas Nura dari dalam kamar mandi yang sedang bersandar di dalam bak mandi cantik berwarna putih bersih. Mendengar jawaban dari sahabatnya Aruna kembali ke tempat tidur. Mengecek beberapa pesan yang masuk di ponsel pintarnya.S
"Ini baru sampai penginapan," Nura sedang berbicara dengan Reza melalui telepon. Satu tangannyA mengeluarkan satu persatu bawaan yang ada dikoper selain pakaian yang akan ia kenakan selama kegiatan di kota S. 'Ya, udah nanti kabarin aku lagi kalo udah gak sibuk. Aku tutup ya teleponnya," pamit Reza sebelum menutup telepon. Tepat setelah panggilan terputus, pintu kamar penginapan mereka di ketuk dari luar. Aruna yang berada lebih dekat pintu segera beranjak dari kasur tempat ia mengistirahatkan tubuh dari perjalanan yang lumayan memakan waktu. Nampak seorang pegawai penginapan yang biasanya datang pagi untuk bersih-bersih tersenyum sopan. Menyodorkan sebuah tas kecil."Permisi, maaf menganggu. Ini ada titipan untuk Mba Nura dari Reza katanya," ucap pegawai itu dengan sopan. "Oh, iya makasih," ucap Aruna menyambut benda yang diserahkan karyawan tersebut."Apa isinya, Run. Tadi dia gak bilang apa-apa telpon.""Cek sendiri nih," Aruna menyerahkannya kepada Nura.Ada minuman suplemen d
Pagi-pagi buta Nura sudah ribut dengan kegiatannya di kamar. Ia bersiap dengan terburu-buru. Hari ini ia harus berangkat keluar kota karena urusan pekerjaan bersama dengan beberapa temannya di kantor. Sudah tahu harus berangkat pagi, ia malah pergi bersama Sella tadi malam dan pulang larut dan bangun terlambat. Alarm yang sudah diatur malah dimatikan. Setidaknya ia sudah mengemas barang jadi hanya perlu bersiap."Non, Mbak Aruna sudah datang," ucap salah satu pelayan di rumahnya di depan pintu kamar Nura yang masih tertutup rapat."Bilang bentar lagi, Bi," sahut Nura sedikit berteriak yang sedang mematut dirinya di depan cermin. Memasukan skincare dan make up yang tadi begitu saja ke dalam tas bahu berwarna cokelat muda. Sekali lagi Nura mematut dirinya di depan standing mirror, memastikan stelan yang ia pakai sudah pas. Celan kulot berwarna hitam ditambah kemeja warna putih oversize yang mebalut tubuh indahnya. "Beh masih sempet ya tu rambut di kriwil," sindir Aruna ketika melihat
Sinar matahari menembus kaca kantor Reza sekarang. Matanya terpejam seakan menikmati hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah. Tidak berniat untuk menurunkan tirai untuk menghalangi tembusnya sinar matahari. Carla yang ingin menyerahkan berkas untuk ditanda tangani masuk begitu saja setelah mengetuk pintu. Sementara Reza tidak bergeming, masih di posisi yang sama. Carla berjalan perlahan, berusaha semaksimal mungkin agar suara dari sepatu berhak tingginya yang beradu dengan lantai tidak mengeluarkan suara yang dapat mengganggu ketenangan Reza. Ia memilih berdiri di samping Reza yang sedang menghadap dinding kaca luar dengan mata terpejam. Carla menatap lekat padanya. Garis wajah yang tegas, begitu sempurna di mata segelintir orang yang melihatnya. Terpaan sinar matahari membuatnya seakan semakin berkilau di mata Carla. Ia berinisiatif menurutkan roller blind agar sinar matahari tidak lagi menggangu Reza. Seulas senyum tipis terpatri di
"Biar aku ambil aja," Reza masih menolak karena tidak mau Nura merasa repot karena dirinya. "Biar aku aja yang antar ke kantor. Aku juga mau ke daerah dekat kantor kamu. Hari ini ada kerjaan di luar," Jelas Nura ditelepon kepada Reza ketika ia sedang berjalan menuju kantor dari parkiran. Setelah mendapat jawaban dari Reza, Nura menutup telepon. Sebelumnya, Ibunya menghubunginya. Bilang jika dompet Reza ketinggalan di Rumah Sakit. Awalnya Reza berniat untuk mengambil sendiri. Namun, Nura tetap menolak. "Ya sudah, hati-hati nanti di jalan," ujar Reza akhirnya mengalah sebelum Nura menutup telepon. "Eemm yang lagi seneengg ... udah jadian sama ex crush," goda Aruna setelah Nura selesai. Menyilangkan tangan ke depan membentuk tanda silang sambil tertawa. "Bukan jadian tapi calon tunangan," koreksi Nura menurunkan tangan Aruna. "Gak romantis banget yah, gak ada acara lamaran kaya dinner ... kasih cincin gitu ...." "Ntar gue bilangin sama Rez-" Perkataan Aruna terhenti ketika
"Aku mau," ucap Nura tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka selama diperjalanan. Suara musik pelan dari radio mobil yang di putar tak menyulitkan Reza mendengar ucapan Nura. "Mau apa? martabak?" tanya Reza bingung dengan maksud Nura, tiba-tiba bilang mau. Mereka baru saja melewati jalan yang ramai dengan penjual dipinggir jalan ketika malam hari. Salah satunya penjual martabak yang Reza sempat lihat mereka lewati. "Kok martabak," Nura mendecak kesal. Ia sudah menghilangkan rasa malunya hanya untuk bilang mau terima lamaran itu. Tapi, Reza malah bercanda pikirnya. Pipinya sudah terasa panas menahan malu. "Soal lamaran," lanjut Nura. Matanya masih lurus menatap jalan di depan yang dipenuhi lampu jalanan dan juga dari kendaraan yang lewat yang berlalu lalang. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Nura. Reza menahan senyum dengan menggigit bibir bawahnya ketika mendengar jawaban Nura. Rasanya ingin berteriak bahagia saat itu juga. Namun, ia berusaha agar terlihat
Dari kejauhan Reza bisa melihat Nura yang sedang terduduk lesu bersama dengan Ibunya. Ruangan yang bertuliskan IGD masih tertutup rapat. Suasana hening membuat langkah kaki Reza terdengar ketika sepatu itu beradu dengan lantai rumah sakit. Membuat Ibu Nura menyadari kehadirannya. Sementara Nura masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Seakan keheningan itu menjadi teman ternyaman. "Nak, Reza," seru Ibu Nura pelan ketika melihat kehadirannya. Nura tersadar dari lamunannya. Kini ia beralih menatap Reza yang sudah berdiri di dekatnya. Wajah cantik dengan kulit putih itu terlihat pucat. Kedua mata indah yang selalu terlihat bersinar kini tampak sayu. Tak ada ekspresi apapun selain wajah datar yang Reza lihat."Gimana keadaan Om, Tante?" tanya Reza dengan nafas sedikit tersenggal-senggal akibat buru-buru menyusul."Masih belum sadar. Tapi, katanya udah stabil. Bentar lagi dibawa ke ruangan. Lagi disiapkan. Oh ya, kenapa bisa ada di sini?" tanya Ibu Nura karena melihat Reza tiba-tiba berada