"Ada tamu?" tanya Dito pada Nura ketika melihat ada mobil sedan hitam di depan rumah.
"Mungkin," sahut Nura yang melepas seatbelt Matanya memperhatikan mobil tersebut. Ia tidak mengenali mobil siapa yang sedang terparkir di depan rumahnya kini."Mau mampir dulu?" tanya Nura pada Dito."Lain kali aja. Gak enak, kayaknya lagi ada tamu di rumah kamu," jawab Dito lembut. Tidak lupa dengan senyum manis membuat siapa pun yang melihat akan setuju dengan pernyataan tersebut."Ya, udah kalo gitu. Makasih udah nganterin. Sampai jumpa besok di kantor," Nura keluar dari mobil.Nura berdiri di depan rumah sebelum Dito benar-benar pergi. Menatap mobil putih di hadapannya yang perlahan kaca mobil terbuka."Aku pulang dulu," pamit Dito. Tidak lupa melambaikan tangan dengan kembali tersenyum.Senyum yang membuat Nura betah memandangnya berlama-lama. Mampu membuat hari-hari Nura terasa indah dan bersemangat pergi ke kantor. Ia akui, hatinya mulai luluh akan lelaki yang sudah mengantarnya pulang ini.Dito, yang sudah ia kenal sejak satu tahun lalu ketika masuk perusahaan sekarang ia bekerja. Ditambah lagi, segala sikapnya beberapa bulan terakhir melebihi status teman biasa. Tidak hanya disaat butuh, Dito pun selalu memberi perhatian lebih untuknya.Nura membalas lambaian tangan Dito. Senyum terkembang di wajah cantiknya. Mobil itu mulai bergerak menjauh dari kediamannya. Ia terus menatap mobil Dito yang mulai menghilang di ujung jalan.Dari dalam rumah, terdengar perbincangan hangat ketika Nura baru saja sampai di pintu. Ia terus berjalan menuju ruang utama. Terlihat beberapa orang berkumpul di sana."Nah itu, Nura udah pulang," ucap Aini -Ibu Nura- ditengah-tengah pembicaraan mereka."Assalamu'alaikum," sapa Nura. Tidak lupa menyalami tamu yang ada di sana satu persatu. Kini semua mata tertuju padanya.Wajah Nura berubah kaku ketika melihat siapa tamu yang duduk bersama keluarganya. Seperkian detik nafasnya tercekat. Sudah lama ia tidak melihat sosok tersebut. Sekarang, tiba-tiba ia berada di hadapannya.Nura mengerjapkan mata bulatnya beberapa kali, mencoba mengembalikan kesadarannya yang sempat terahlikan akan sosok itu.Nura Berusaha tersenyum. Namun, yang tampak malah senyum kaku yang terukir diwajahnya. Kedua matanya semakin jelas melihat sosok di depannya."Sini duduk, sayang," Ibu Nura menepuk pelan tempat kosong di sampingnya. "Masih ingatkan sama tamu kita ini?" tanya Ibunya.Nura menggangguk menginyakan. Suasana hatinya tiba-tiba berubah menjadi sedikit memburuk. Ketika duduk berhadapan dengan lelaki yang lebih tua dua tahun darinya itu.Ahmad Reza Abrar adalah lelaki tersebut. Sosok yang pernah mengisi ruang dihatinya. Mungkin hingga sekarang?"Masih, Ma," sahut Nura. Kini ia sudah bisa mengendalikan dirinya menjadi lebih santai sedikit."Kirain udah lupa. Dulu sebelum kami pindah ke luar Negeri 'kan sering ketemu juga. Kalian juga sering pergi bareng," kali ini Ibu Reza buka suara dengan menujuk Nura dan Reza. Membuat yang tertawa pelan mendengar celetukannya.Ucapan Ibu Reza mengingatkan Nura pada memori lama. Ketika keluarga mereka sering berpergian bersama. Bukan hanya sebagai rekan bisnis dulunya. Ayah mereka berasal dari kampung halaman yang sama. Hingga terjalinlah kedekatan hubungan antara keluarga mereka.Sejak mereka pindah ke luar negeri karena kerjaan Ayahnya, Reza juga mengambil kuliah S2 di sana. Awalnya Nura berniat untuk mengutarakan isi hatinya sebelum Reza berangkat. Namun, ia urungkan. Karena saat terakhir bertemu, Reza memperkenalkan kekasihnya. Setelah itu, Reza tinggal di luar negeri, mereka makin jarang berkomunikasi. Atau hampir tidak pernah berkomunikasi lagi."Hampir lupa sih tadi waktu baru masuk, Tante. Kan, udah lama gak ketemu. Liatnya juga gak dari jauh," sahut Nura dengan ramah.Nura melirik ke arah Reza. Kedua Mata mereka saling bertemu. Seperkian detik mereka saling tatap. Buru-buru Nura mengalihkan pandangannya dari Reza."Aku mau ganti baju dulu. Gak enak udah dipakai seharian. Gak enak, ntar ada aroma-aroma aneh lagi," ucap Nura sambil bercanda, mencium bajunya sendiri. "Maaf Om, Tante ... Nura ke atas dulu," pamit Nura. Tanpa menunggu persetujuan ia bergegas pergi dari tempat tersebut. Menaiki tangga dengan berlari kecil menuju kamarnya yang berada di lantai dua.Sesampainya di kamar, Nura bersandar dibalik pintu kamarnya yang sudah tertutup._Gila. Bisa-bisanya jantung gue berdebar gini. Jangan bilang lo masih ada perasaan, Ra._ ucap Nura dalam hati. Kedua telapak tangannya kini berada di atas dada. Merasakan debaran jantung yang berdetak tidak beraturan. Lebih cepat dari biasanya. Ia mencoba menutup mata. Berusaha mengatur nafas agar irama jantungnya kembali normal.Malah wajah Reza yang semakin terpatri jelas diingatannya saat ia menutup mata. Wajah tampan, bola mata kecokelatan dengan bulu mata lentik seperti milik orang timur tengah. Tidak hanya itu, hidung mancung dan rahang tegas milik Reza semakin mempertegas ketampanan lelaki tersebut. Tidak berubah, masih sama seperti dulu.Nura menghela nafas kasar, " beg* malah makin ingat," maki Nura pada dirinya sendiri.Angin yang berhembus sesekali menerbangkan helaian rambut hitam kecokelatan yang ia buat bergelombang bagian bawah tadi pagi. Sinar matahari tidak membuat dirinya takut jika kulit putihnya akan menggelap. Nura Anindya, menatap kosong ke arah gedung-gedung yang menjulang tinggi di sekitar kantornya. Perusahaan Internasional ia bekerja kini berada di pusat perkantoran, ia bisa melihat orang-orang yang berada di jalan dari atas atap kantor. Atap yang sering ia kunjungi jika sedang terlalu banyak beban pikiran di kepalanya. Bukan hanya dirinya, beberapa temannya pun terkadang datang kemari. Dari sini, ia bisa melihat berbagai aktifitas. Ada yang bercanda dengan teman dengan menenteng sekantong makanan. Ada yang sibuk dengan ponsel serta aktifitas lainnya. Gelas kopi dingin yang mengeluarkan partikel buliran air pada bagian sisi, bisa dirasakan oleh telapak tangannya. Ia menghirup minuman kopi favoritenya itu perlahan. Merasakan rasa pahit bercampur sedikit manis yang mampu membuat tubu
"Makasih ya, Mba," ucap Nura setelah pelayan kafe meletakkan semua pesanan mereka. Nura sengaja memilih kafe yang tidak terlalu banyak pengunjung di siang hari untuk bertemu Reza. Sesuai saran Aruna untuk menanyakan alasan lamaran. Ia menatap Reza lekat. Orang yang ditatap menikmati makanan ia pesan dengan santai seakan tidak terjadi apa-apa. Nura memutar bola matanya malas. Satu sisi iya kesal karena tiba-tiba tidak ada angin, tidak ada hujan datang melamar. Padahal mereka sudah lama saling berhubungan. Kembali ia menatap lekat lelaki di hadapannya ini. Wajahnya tidak berubah sama sekali. Malahan terlihat makin dewasa, dibalut dengan kemeja putih bergaris horizontal tipis yang pas dengan tubuh proporionalnya, lengan kemeja digelung hampir ke siku, kancing kemeja yang terbuka bagian atas, menabah daya tarik dan menawan dari dirinya.Nura mengerjapkan matanya, sedetik kemudian menggelengkan kepala menyadari apa yang ia lakukan. Ia mengambil air di atas meja dan meminumnya. Mengalihk
"Bapak, langsung pulang?" tanya Carla pada Reza. Mereka seumuran. Tapi, dikarena jabatan dan juga status Reza adalah anak pemilik perusahaan, Carla masih mengedepankan etika dalam pekerjaan.Reza mendongak menatap langit biru yang tertutup awan tipis, langit masih tampak terang. Reza melihat ke arah jam di tangan kirinya, sebentar lagi jam lima sore. Ia berniat untuk bertemu dengan temannya sehabis meeting yang ternyata memakan waktu yang lumayan lama."Mau ke rumah temen habis ini," jawab Reza singkat. "Ooh gitu ...," Carla terlihat ingin mengatakan sesuatu. Tapi tampak ragu, ia menggigit ujung bibir bawahnya. Reza mengangkat kedua alisnya ketika melihat Carla yang berada di samping seakan ingin mengatakan sesuatu. Ia pun bertanya, "Ada apa?" "Boleh ikut pulang gak, pak?" Carla tampak berharap Reza membolehkan.Menunjukkan puppy eyes agar terlihat manis. Reza mengusap pelan ujung hidung bangirnya yang tak gatal. Sedang berpikir."Ya, udah ikut aja. Rumahnya dimana?"Mendengar itu
"Za! malah bengong. Gak kesambetkan, lo?!" tegur Elrumi ketika tidak ada jawaban dari Reza."Harusnya waktu itu, gue tanya langsung pas denger omongan Nura sama Aruna. Gue pikir mereka lagi ngomongin Ibrahim. Mereka udah temenan lama dari kuliah. Jadi, gue pikir ya dia ...," Reza meneguk minuman soda. Menyederkan tubuh atletisnya ke sofa. Bukan hanya tuubuhnya yang lelah, dia pun juga kelelahan dengan bisingnya pikiran-pikiran yang terus berputar berulang seperti kaset rusak di kepalanya.Dulu, ia mendengar jika Nura menyukai seseorang yang sudah lama ia kenal saat bicara dan berniat mengutarakannya. Belum selesai mereka bicara, Reza memilih pergi. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. "Tadi, siang gue ketemuan sama Nura. Dia nanya alasan kenapa tiba-tiba ngelamar," lanjut Reza dengan posisi yang sama. "Terus lo jawab apa?" tanya Elrumi penasaran. Menyuapkan satu potong kue brownies cokelat yang ada di atas meja ke dalam mulutnya."Gue suruh tanya orang tuanya.""Lah, kenapa gak
Dari kejauhan Reza bisa melihat Nura yang sedang terduduk lesu bersama dengan Ibunya. Ruangan yang bertuliskan IGD masih tertutup rapat. Suasana hening membuat langkah kaki Reza terdengar ketika sepatu itu beradu dengan lantai rumah sakit. Membuat Ibu Nura menyadari kehadirannya. Sementara Nura masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Seakan keheningan itu menjadi teman ternyaman. "Nak, Reza," seru Ibu Nura pelan ketika melihat kehadirannya. Nura tersadar dari lamunannya. Kini ia beralih menatap Reza yang sudah berdiri di dekatnya. Wajah cantik dengan kulit putih itu terlihat pucat. Kedua mata indah yang selalu terlihat bersinar kini tampak sayu. Tak ada ekspresi apapun selain wajah datar yang Reza lihat."Gimana keadaan Om, Tante?" tanya Reza dengan nafas sedikit tersenggal-senggal akibat buru-buru menyusul."Masih belum sadar. Tapi, katanya udah stabil. Bentar lagi dibawa ke ruangan. Lagi disiapkan. Oh ya, kenapa bisa ada di sini?" tanya Ibu Nura karena melihat Reza tiba-tiba berada
"Aku mau," ucap Nura tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka selama diperjalanan. Suara musik pelan dari radio mobil yang di putar tak menyulitkan Reza mendengar ucapan Nura. "Mau apa? martabak?" tanya Reza bingung dengan maksud Nura, tiba-tiba bilang mau. Mereka baru saja melewati jalan yang ramai dengan penjual dipinggir jalan ketika malam hari. Salah satunya penjual martabak yang Reza sempat lihat mereka lewati. "Kok martabak," Nura mendecak kesal. Ia sudah menghilangkan rasa malunya hanya untuk bilang mau terima lamaran itu. Tapi, Reza malah bercanda pikirnya. Pipinya sudah terasa panas menahan malu. "Soal lamaran," lanjut Nura. Matanya masih lurus menatap jalan di depan yang dipenuhi lampu jalanan dan juga dari kendaraan yang lewat yang berlalu lalang. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Nura. Reza menahan senyum dengan menggigit bibir bawahnya ketika mendengar jawaban Nura. Rasanya ingin berteriak bahagia saat itu juga. Namun, ia berusaha agar terlihat
"Biar aku ambil aja," Reza masih menolak karena tidak mau Nura merasa repot karena dirinya. "Biar aku aja yang antar ke kantor. Aku juga mau ke daerah dekat kantor kamu. Hari ini ada kerjaan di luar," Jelas Nura ditelepon kepada Reza ketika ia sedang berjalan menuju kantor dari parkiran. Setelah mendapat jawaban dari Reza, Nura menutup telepon. Sebelumnya, Ibunya menghubunginya. Bilang jika dompet Reza ketinggalan di Rumah Sakit. Awalnya Reza berniat untuk mengambil sendiri. Namun, Nura tetap menolak. "Ya sudah, hati-hati nanti di jalan," ujar Reza akhirnya mengalah sebelum Nura menutup telepon. "Eemm yang lagi seneengg ... udah jadian sama ex crush," goda Aruna setelah Nura selesai. Menyilangkan tangan ke depan membentuk tanda silang sambil tertawa. "Bukan jadian tapi calon tunangan," koreksi Nura menurunkan tangan Aruna. "Gak romantis banget yah, gak ada acara lamaran kaya dinner ... kasih cincin gitu ...." "Ntar gue bilangin sama Rez-" Perkataan Aruna terhenti ketika
Sinar matahari menembus kaca kantor Reza sekarang. Matanya terpejam seakan menikmati hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah. Tidak berniat untuk menurunkan tirai untuk menghalangi tembusnya sinar matahari. Carla yang ingin menyerahkan berkas untuk ditanda tangani masuk begitu saja setelah mengetuk pintu. Sementara Reza tidak bergeming, masih di posisi yang sama. Carla berjalan perlahan, berusaha semaksimal mungkin agar suara dari sepatu berhak tingginya yang beradu dengan lantai tidak mengeluarkan suara yang dapat mengganggu ketenangan Reza. Ia memilih berdiri di samping Reza yang sedang menghadap dinding kaca luar dengan mata terpejam. Carla menatap lekat padanya. Garis wajah yang tegas, begitu sempurna di mata segelintir orang yang melihatnya. Terpaan sinar matahari membuatnya seakan semakin berkilau di mata Carla. Ia berinisiatif menurutkan roller blind agar sinar matahari tidak lagi menggangu Reza. Seulas senyum tipis terpatri di
Dito yang berjalan dibelakang Nura segera menopang tubuh Nura yang hampir jatuh karena tergelincir akibat bebatuan yang ada di air terjun kecil. Lumut dibebatuan begitu tampak karena jernihnya air tersebut. Untung Dito sigap menolong Nura. Celana yang ia kenakan basah bagian bawah karena percikan air. Pahadal sudah dinaikan hampir selutut. Sementara Nura masih berbegangan di tangan Dito dengan salah satu tangan memegang ponsel."Hati-hati. Kami gak papa?" tanya Dito memastikan. Kini Nura sudah berdiri dengan benar. "Gak papa. Untung ada kamu. Kalau gak. Basah sudah," ucap Nura yang masih berpegangan kepada Dito. Mereka berjalan menuju tepian.Sayup-sayup terdengar suara Nura dan Dito dari telepon. Panggilan Reza yang terjawab membuatnya sedikit kesal sekaligus lega ketika mendengar suara Nura yang baik-baik saja.Ketika panggilan itu kembali, ia langsung bertanya, "Ada apa?" tanyanya."Kegilincir tadi. Untung ada Dito yang pegangin," sahut Nura yang berjalan dibelakang Dito. Mereka
"Jadi lo udah punya cowo? kasian banget tuh laki pasti kupingnya panas terus lo cerewetin, Ra" Nino menggelengkan kepala dengan raut wajah dibuat sedih. "Enak aja," Nura memberikan pukulan tepat di punggungnya yang berjalan mendahului mereka bersama dua orang lainnya."Udah cerita sama Dito?" tanya Aruna."Mana ada. Gue keceplosan aja tadi," jelas Nura yang berjalan beberapa langkah dari yang lainnya."Kemarin tuh sebenarnya Dito mau ngejelasin soal hubungan dia sama mantannya itu. Tapi, gue bilang nanti aja. Gue gak tahu aku bersikap atau bereaksi gimana kalo udah tahu.""Ya, udah lo bilang aja sekarang lo udah ada Reza," Saran Aruna."Harus, ya? gue tuh maunya diam-diam terus nanti tiba-tiba sebar undangan," Nura menyatukan kedua tangan berada di depan dada. Mentap langit biru berawan putih disertai senyum menghiasi wajah. Matanya berbinar membayangkan apa yang diinginkamnya itu."Jadi, mau private gitu ceritanya?" "Gue takut, Run. Kalo udah banyak yang tau tiba-tiba malah batal,"
Nura menatap pantulan dirinya di kaca kamar mandi. Wajahnya masih tampak lelah. Tapi setidaknya kondisi tubuhnya sudah lebih baik dari kemari. Yah, walaupun belum sepenuhnya benar-benar baik. Ia berniat membersihkan diri. Kemarin ia langsung tertidur. Sekarang ia akhirnya bangun lebih awal. Sementara Aruna masih berlayar di alam mimpi. Mandi air hangat menjadi pilihan untuk menyegarkan dirinya kembali. Badannya terasa lengket karena keringan yang keluar demam tadi malam."Raa, lo di dalam?" suara Aruna terdengar dari luar dengan iringan ketukan pintu beberapa kali. Saat bangun Aruna tidak melihat Nura di sampingnya. Terdengar suara kecil gemiricik air dari kamar mandi. Karena itu ia ingin memastikan."Iyaa, Run. Ini gue ... aman kok. Gue udah baikan dikit," balas Nura dari dalam kamar mandi yang sedang bersandar di dalam bak mandi cantik berwarna putih bersih. Mendengar jawaban dari sahabatnya Aruna kembali ke tempat tidur. Mengecek beberapa pesan yang masuk di ponsel pintarnya.S
"Ini baru sampai penginapan," Nura sedang berbicara dengan Reza melalui telepon. Satu tangannyA mengeluarkan satu persatu bawaan yang ada dikoper selain pakaian yang akan ia kenakan selama kegiatan di kota S. 'Ya, udah nanti kabarin aku lagi kalo udah gak sibuk. Aku tutup ya teleponnya," pamit Reza sebelum menutup telepon. Tepat setelah panggilan terputus, pintu kamar penginapan mereka di ketuk dari luar. Aruna yang berada lebih dekat pintu segera beranjak dari kasur tempat ia mengistirahatkan tubuh dari perjalanan yang lumayan memakan waktu. Nampak seorang pegawai penginapan yang biasanya datang pagi untuk bersih-bersih tersenyum sopan. Menyodorkan sebuah tas kecil."Permisi, maaf menganggu. Ini ada titipan untuk Mba Nura dari Reza katanya," ucap pegawai itu dengan sopan. "Oh, iya makasih," ucap Aruna menyambut benda yang diserahkan karyawan tersebut."Apa isinya, Run. Tadi dia gak bilang apa-apa telpon.""Cek sendiri nih," Aruna menyerahkannya kepada Nura.Ada minuman suplemen d
Pagi-pagi buta Nura sudah ribut dengan kegiatannya di kamar. Ia bersiap dengan terburu-buru. Hari ini ia harus berangkat keluar kota karena urusan pekerjaan bersama dengan beberapa temannya di kantor. Sudah tahu harus berangkat pagi, ia malah pergi bersama Sella tadi malam dan pulang larut dan bangun terlambat. Alarm yang sudah diatur malah dimatikan. Setidaknya ia sudah mengemas barang jadi hanya perlu bersiap."Non, Mbak Aruna sudah datang," ucap salah satu pelayan di rumahnya di depan pintu kamar Nura yang masih tertutup rapat."Bilang bentar lagi, Bi," sahut Nura sedikit berteriak yang sedang mematut dirinya di depan cermin. Memasukan skincare dan make up yang tadi begitu saja ke dalam tas bahu berwarna cokelat muda. Sekali lagi Nura mematut dirinya di depan standing mirror, memastikan stelan yang ia pakai sudah pas. Celan kulot berwarna hitam ditambah kemeja warna putih oversize yang mebalut tubuh indahnya. "Beh masih sempet ya tu rambut di kriwil," sindir Aruna ketika melihat
Sinar matahari menembus kaca kantor Reza sekarang. Matanya terpejam seakan menikmati hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah. Tidak berniat untuk menurunkan tirai untuk menghalangi tembusnya sinar matahari. Carla yang ingin menyerahkan berkas untuk ditanda tangani masuk begitu saja setelah mengetuk pintu. Sementara Reza tidak bergeming, masih di posisi yang sama. Carla berjalan perlahan, berusaha semaksimal mungkin agar suara dari sepatu berhak tingginya yang beradu dengan lantai tidak mengeluarkan suara yang dapat mengganggu ketenangan Reza. Ia memilih berdiri di samping Reza yang sedang menghadap dinding kaca luar dengan mata terpejam. Carla menatap lekat padanya. Garis wajah yang tegas, begitu sempurna di mata segelintir orang yang melihatnya. Terpaan sinar matahari membuatnya seakan semakin berkilau di mata Carla. Ia berinisiatif menurutkan roller blind agar sinar matahari tidak lagi menggangu Reza. Seulas senyum tipis terpatri di
"Biar aku ambil aja," Reza masih menolak karena tidak mau Nura merasa repot karena dirinya. "Biar aku aja yang antar ke kantor. Aku juga mau ke daerah dekat kantor kamu. Hari ini ada kerjaan di luar," Jelas Nura ditelepon kepada Reza ketika ia sedang berjalan menuju kantor dari parkiran. Setelah mendapat jawaban dari Reza, Nura menutup telepon. Sebelumnya, Ibunya menghubunginya. Bilang jika dompet Reza ketinggalan di Rumah Sakit. Awalnya Reza berniat untuk mengambil sendiri. Namun, Nura tetap menolak. "Ya sudah, hati-hati nanti di jalan," ujar Reza akhirnya mengalah sebelum Nura menutup telepon. "Eemm yang lagi seneengg ... udah jadian sama ex crush," goda Aruna setelah Nura selesai. Menyilangkan tangan ke depan membentuk tanda silang sambil tertawa. "Bukan jadian tapi calon tunangan," koreksi Nura menurunkan tangan Aruna. "Gak romantis banget yah, gak ada acara lamaran kaya dinner ... kasih cincin gitu ...." "Ntar gue bilangin sama Rez-" Perkataan Aruna terhenti ketika
"Aku mau," ucap Nura tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka selama diperjalanan. Suara musik pelan dari radio mobil yang di putar tak menyulitkan Reza mendengar ucapan Nura. "Mau apa? martabak?" tanya Reza bingung dengan maksud Nura, tiba-tiba bilang mau. Mereka baru saja melewati jalan yang ramai dengan penjual dipinggir jalan ketika malam hari. Salah satunya penjual martabak yang Reza sempat lihat mereka lewati. "Kok martabak," Nura mendecak kesal. Ia sudah menghilangkan rasa malunya hanya untuk bilang mau terima lamaran itu. Tapi, Reza malah bercanda pikirnya. Pipinya sudah terasa panas menahan malu. "Soal lamaran," lanjut Nura. Matanya masih lurus menatap jalan di depan yang dipenuhi lampu jalanan dan juga dari kendaraan yang lewat yang berlalu lalang. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Nura. Reza menahan senyum dengan menggigit bibir bawahnya ketika mendengar jawaban Nura. Rasanya ingin berteriak bahagia saat itu juga. Namun, ia berusaha agar terlihat
Dari kejauhan Reza bisa melihat Nura yang sedang terduduk lesu bersama dengan Ibunya. Ruangan yang bertuliskan IGD masih tertutup rapat. Suasana hening membuat langkah kaki Reza terdengar ketika sepatu itu beradu dengan lantai rumah sakit. Membuat Ibu Nura menyadari kehadirannya. Sementara Nura masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Seakan keheningan itu menjadi teman ternyaman. "Nak, Reza," seru Ibu Nura pelan ketika melihat kehadirannya. Nura tersadar dari lamunannya. Kini ia beralih menatap Reza yang sudah berdiri di dekatnya. Wajah cantik dengan kulit putih itu terlihat pucat. Kedua mata indah yang selalu terlihat bersinar kini tampak sayu. Tak ada ekspresi apapun selain wajah datar yang Reza lihat."Gimana keadaan Om, Tante?" tanya Reza dengan nafas sedikit tersenggal-senggal akibat buru-buru menyusul."Masih belum sadar. Tapi, katanya udah stabil. Bentar lagi dibawa ke ruangan. Lagi disiapkan. Oh ya, kenapa bisa ada di sini?" tanya Ibu Nura karena melihat Reza tiba-tiba berada