Arthur memicingkan matanya saat melirik kearah pintu tepat dimana Leonardo tengah berdiri saat ini. Arthur menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekati Leonardo.
"Bagaimana?" Tanya Arthur pelan.
"Sudah beres."
"Maksudmu?"
"Dia akan membebaskan Gia, dan mendekati Gia dengan cara wajar selama tiga bulan ini."
"Lalu kau akan melepaskan Gia begitu saja?"
"Aku sudah menganggapnya sebagai adikku Dad. Jadi aku akan tetap akan terus mengawasinya."
"Pilihan yang bijak."
"Ayo pulang Dad."
"Big no! Kita akan bicara di markas besar terlebih dahulu."
"Maksud Daddy?"
"Kita akan bicara setelah sampai."
Leonardo menganggukkan kepalanya membalas ucapan Arthur. Kedua pria itu berjalan keluar dari mansion Alfonzo diikuti dengan Brian di belakang mereka.
Brian membukakan pintu mobil untuk Arthur dan Leonardo memasuki mobil itu terlebih dahulu, Leonardo tanpa menunggu Arthur ataupun Brian segera memasuki mo
Florence tersenyum simpul menanggapi ucapan Gia, ia hanya mengangguk tanpa berniat membalas ucapan penuh pengharapan dari wanita yang tengah berada dihadapannya saat ini. Florence mengalihkan atensinya pada piring-piring bekas makannya."Gia aku harus memmbereskan semua ini.""Ah, mau ku bantu?""Tidak perlu, aku bisa sendiri."Florence menegakkan tubuhnya dan meraih piring bekas makannya. Ia lalu memutar haluan kearah pantry namun ia menghentikan sebentar langkah kakinya dan menengok kebelakang dimana Gia berada."Gia." Panggil Florence pelan.Gia menatap Florence dengan kedua alisnya yang saling manaut, bingung. "Iya?""Kapan kau akan pulang?" Tanya Florence berani."Em, memangnya kau terganggu dengan keberadaanku?""Tidak, tapi aku akan tidur setelah ini. Tubuhku sangat lelah.""Oh, begitu?""Iya, maaf bukan maksudku mengusir hanya saja_""Tak apa aku mengerti."
Florence melepaskan pelukan Leonardo, wanita itu merangkum wajah prianya dan menatap manik biru terang milik suaminya."Ayo kita kembali, nanti Gia curiga." Ucap Florence berbisik."Biarkan dia tamu tak diundang.""Jangan bicara seperti itu.""Tapi itu kenyataanya.""Leo, sudahlah.""Baiklah."Leonardo menganggukkan kepalanya dan ia pun memperjarak antara dirinya dan Florence lalu mencium singkat pipi kanan Florence.Leonardo menegakkan tubuhnya dan mencium puncak kepala Florence. "Kembalilah dulu, aku akan membuatkan sesuatu untukmu.""Apa?" Tanya Leonardo dengan mengangkat satu alisnya."Rahasia." Bisik Florence tepat di depan telinga Leonardo.Leonardo tertawa samar, hal itu semakin membuat Florence menatap gurat wajah suaminya, Leonardo pria itu sebenarnya tampan hanya saja ia menutupi semua itu dengan sikap dingin dan datarnya."Pergilah, temani Gia. Kasihan dia sendirian.""Baiklah."
Florence membalikkan tubuhnya dan mendapati Leonardo tengah memejamkan matanya tepat di belakangnya saat ini."Leo.""Hm?""Kau disini?" Tanya Florence dengan mengkerutkan alisnya bingung."Memang tidak boleh?""Bukankah kau sedang marah padaku?""Siapa?""Kau, dan bukan kah kau tak mau melihatku lagi?""Dari siapa kau mendapat ucapan itu?" Tanya Leonardo dengan membuka matanya.Florence tak menjawab, ia masih betah menatap wajah Leonardo yang mampu menenangkan hatinya yang tadi gelisah."Dengar, aku memanggilmu lewat Gia tadi. Sebenarnya aku ingin mengerjaimu tapi setelah lama menunggu kau tak datang-datang," Leonardo menjeda kalimatnya. "Dan kau malah tidur disini." Lanjut Leonardo cenderung merengek.Florence tersenyum samar, ia paham sekarang. Gia, wanita itu berusaha mengadu domba dirinya dan Leonardo. Astaga! Ia benar-benar akan membalas ini pada Gia."Maafkan aku." Cicit Florence di dalam deka
Florence menikmati ice cream ditangannya sementara Leonardo menyetir mobilnya, sesekali Florence memberikan ice creamnya berbagi dengan sang suami. Dan Leonardo pun tak menolak.Setelah ice creamnya habis, Florence bingung ia tak menemukan tisu untuk mengelap tangannya yang lengket. Leonardo yang mengerti dengan kondisi istrinya pun langsung menangkap tangan Florence dan membersihkan jari jemari Florence kedalam mulutnya, tak ada rasa jijik atau apapun dalam diri Florence, sebaliknya wanita itu tampak tersenyum bahagia.Setelah dirasa jari jemari Florence sudah bersih, Leonardo pun mengecup satu persatu jari istrinya dan menempatkan tangan wanita itu ke paha kirinya.Florence tersenyun simpul, ia lalu meraih anggur yang ada di hadapannya. Lalu memakan anggur itu, entahlah ia senang sekali mengemil akhir-akhir ini.Saat tangan Florence akan menyuapi mulutnya anggur, tangan itu melayang dan berhenti tepat di depan mulut Leonardo. Florence mengerti ia pun me
Gia menjalankan kakinya menjauhi mobil Loenardo yang juga perlahan mulai menghilang. Wanita itu sesekali mengusap air mata yang perlahan mulai menurun. Tangannya bergetar menyentuh dadanya yang sesak, sesekali ia menutup matanya berharap rasa sesak itu hilang dari dadanya.Tangannya yang tadi memegang buket bunga Leonardo perlahan naik dan ia menatap buket bunga mawar yang di rancang indah, buket bunga itu milik Florence bukan miliknya. Ia kembali mengalirkan air matanya."Mengapa nasibku sangat sedih seperti ini Tuhan." Ucap Gia dengan menaikkan kepalanya menatap langit hitam yang hanya bertabur beberapa bintang.Benar saja tak lama hujan turun, Gia tetap berada di tempatnya. Tak lama sebuah payung melindunginya. Gia menatap pada sebuah tangan besar yang tepat berada di sisi kanannya. Ia menengadahkan kepalanya menatap si pelaku. Gia menatap wajah itu, ia langsung menubrukkan tubuhnya memeluk erat dada bidang pria yang ada dihadapannya."Sst, menangislah
Leonardo membeku ditempatnya saat mendengar bahwa Michell telah tewas. Ia mejalankan kakinya mendekati Maxime dan menatap pria itu penuh keseriusan."Jangan bercanda Max!" Ucap Leonardo dengan tegas."Aku tak bercanda, Leo. Temanku yang satu unit dengan Michell menemukan Michell sudah tewas di dalam kamarnya.""Tapi bagaimana bisa! Ini pasti ada sangkut pautnya dengan sindikat itu.""Bisa jadi.""Kita lihat."Leonardo lalu menjalankan kakinya keluar dari ruangan Maxime, diikuti oleh Maxime dari belakang. Leonardo dengan cepat menaiki motornya sementara Maxime berlari memasuki mobilnya. Leonardo mengemudikan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata ia tak perduli orang akan mencacinya, yang terpenting adalah ia bisa mengetahui penyebab dari kematian Michell.Leonardo memberhentikan motornya tepat didepan apartemen milik Michell. Diikuti oleh Maxime yang juga sudah keluar dari mobilnya. Kedua orang itu sama-sama berdiri tepat didepan
Leonardo menatap pada Alfonzo, ia menegakkan duduknya dan semakin menatap penuh intimidasi pada lawan bicaranya."Apa maksud dari ucapanmu?" Tanya Leonardo dengan mengangkat satu alisnya."Ya, seperti yang kau ketahui aku mencoba untuk mendekati Gia lagi. Dan ternyata wanita itu mau menerimaku kembali.""Bagus kalau begitu, jadi kau bisa menikahinya nanti." Jawab Leonardo acuh."Apa kau sama sekali tak memperdulikan Gia lagi?""Aku perduli, namun kau harus ingat. Aku dan dia hanya sebatas kakak adik tak lebih." Sanggah Leonardo tajam."Well, aku tau.""Lalu untuk apa kau kemari?""Aku kemari hanya ingin berterimakasih padamu Leonardo." Ucap Alfonzo menjeda dan menaikkan penglihatannya menatap wajah tegas Leonardo."Atas?""Karena kau yang mendatangi mansionku waktu itu. Sebab itulah aku mulai berpikir dengan saran yang kau aj
Leonardo dan Alfonzo sama sama menatap kedua wanitanya didepan mereka yang tengah sibuk berpelukan. Leonardo berdehem menyadarkan kedua wanita di depannya hingga membuat Florence melepas pelukannya pada Gia."Jadi kalian sudah berdamai?" Tanya Alfonzo dengan mengangkat satu alisnya."Tidak ada pertengkaran diantara kami." Sanggah Florence dengan senyum manisnya."Ya, Florence benar. Kami tak bertengkar." Tambah Gia dengan mengapit tangan kanan Florence."Baguslah." Komentar Leonardo pendek.Florence mendengus menghadapi Leonardo yang tampak sangat acuh, padahal jika dipikirkan masalahnya dengan Gia berhubungan dengan Leonardo. Namun lihatlah pria itu tampak sangat tenang ditempatnya berdiri."Adakah respon lain selain 'baguslah'?" Tanya Florence dengan menekan kata 'baguslah'.Leonardo dengan gerakan cepat namun tetap hati-hati menarik pergelangan tangan Florence hingga tubuh istrinya menabrak dada bidangnya yang keras."Jangan