Setelah menikmati sarapan, Hezki, Edu, dan Ronald pun berdiri. Mereka menatap teman-temannya yang lain dengan wajah serius. Lalu kemudian Hezki mengumumkan bahwa mereka perlu melakukan rapat penting.“Guys, karena kita telah selesai sarapan. Maka saatnya kita akan rapat penting pagi ini,” ujar Hezki mengawali pembicaraan. Hezki, Edu, dan Ronald telah merencanakan hal ini. Para pria tahu bahwa mereka perlu membuat pemukiman bagi semua orang yang terdampar di Pulau Asu.“Wah, rapat apa nih? Kok aku jadi penasaran, ya?” tanya Sera kepada para pria. Namun sorot matanya menatap ke arah Ronald.Seolah-olah menyadari rasa ingin tahu dari Sera. Ronald pun berkata,“Bisa dikatakan rapat ini sangat penting untuk keberlanjutan hidup kita di pulau ini,” serunya menjelaskan.“Ternyata tentang sesuatu yang sangat penting, rupanya?” tanya Mira.“Ya begitulah, kira-kira.” Edu menyahut dengan tersenyum ke arah Lia.“Sepertinya rapat ini sangat penting, kami akan berpartisipasi dengan baik. Mari, kita
Edu, Hezki, dan Ronald berdiri tegak di tepi kapal, wajah mereka tegang, mata ketiganya penuh dengan tekad. Di depan mereka, segerombolan kera liar bergerak cepat dari dalam kegelapan hutan, niat mereka jelas menjarah sumber logistik. Ketiga pria itu menggenggam kayu panjang sebagai senjata pamungkas mereka, siap untuk melawan. "Kita harus tetap bertahan tahan, Guys. Mereka tidak boleh mengambil apapun dari kita!" teriak Hezki, sambil sibuk mengusir kera-kera tersebut dari atas kapal.Edu mengangguk, mencoba menenangkan dirinya sendiri, "Kita harus berjuang demi untuk melindungi sumber logistik kita. Kita harus menunjukkan kepada para kera tersebut jika kita tidak akan menyerah begitu saja!"Ronald, dengan tatapan tajamnya, menambahkan, "Kita adalah satu, kita adalah kekuatan yang tak akan terkalahkan!"Segerombolan kera liar semakin bergerak cepat, lengkingan mereka memecah keheningan pagi itu. Hewan-hewan liar itu berusaha untuk memasuki bagian dalam kapal. Untung saja, saat Edu
Setelah hampir lima menit dokter Mira memeriksa suhu tubuh Hezki. Ternyata suhu tubuh pria itu saat ini mencapai tiga puluh sembilan derajat celcius. Sang dokter pun berkata,“Bro Hezki, ternyata suhu tubuhmu sangat tinggi. Sepertinya kamu perlu perawatan khusus untuk meredakan demam mu,” ucap sang dokter.“Tapi saya tidak merasakan apapun,” bohongnya. Pria itu takut, jika saja sang dokter ingin menyuntiknya. Entah kenapa dari dulu Hezki sangat takut jika di suntik oleh dokter.Edu kembali memegang kening Hezki untuk memastikan kondisi sang sahabat.“Ya ampun, Bro. Lo emang demam, woi! Bagaimana, sih? Masa Lo nggak merasakan apa-apa?” heran Edu.“Serius, Bro. Gue tidak merasakan apapun!” ujar Hezki santai padahal raut wajahnya semakin memerah.Ronald yang mengetahui rahasia Hezki yang takut dengan jarum suntik. Mulai jahil dan ingin menakut-nakuti sang sahabat. Pria itu pun mulai mendekati sahabatnya dan ikut memeriksa panas tubuhnya. Setelah itu Ronald berkata,“Yaelah, Bro! Lo sedan
Pulau Asu, sebuah pulau kecil yang sangat indah. Yang menjadi tempat tinggal sementara bagi Edu, Ronald, Lia, Sera, Hezki, dan Mira. Meski indah, pulau ini masih sangat asri. Mereka yang terdampar di pulau ini. Berencana akan membuat sistem drainase dan saluran air. Sehingga limbah yang mereka hasilkan tidak akan mengotori lingkungan sekitarnya.Edu dan Ronald, dua pria yang penuh semangat dan tekad, memutuskan untuk mengatasi masalah ini. Mereka berdua memiliki latar belakang teknikal dan memahami bagaimana sistem drainase bekerja. Mereka membuat rencana dan mempersiapkan perlengkapan seadanya seperti sekop, dan cangkul, yang selalu ada di atas kapal mereka. Karena para pria itu berjiwa petualang. Mereka pasti tak lupa membawa alat-alat dan perlengkapan untuk bertahan hidup di alam bebas.“Bro! Ayo kita mulai sekarang, ya. Membuat drainasenya,” ujar Edu kepada Ronald.“Siap, Bro!” jawab Ronald. Sementara itu, Lia dan Sera, dua wanita yang penuh energi dan terlihat, bergabung dengan
Lalu tiba-tiba, timbul di benak Hezki untuk mengatakan sesuatu hal penting yang mengganjal di hatinya. Apalagi saat ini mereka hanya berdua saja di atas kapal.“Sepertinya ini waktu yang tepat bagiku untuk mengungkapkan isi hatiku kepada Mira,” gumam Hezki dari dalam hatinya.Dengan mengumpulkan keberaniannya, Hezki pun berkata,“Dokter Mira, sebenarnya aku sangat mengagumi dirimu,” ucap sang pria dengan penuh keberanian.“Oh, ya? Terima kasih, Bro Hezki. Merawat orang sakit memang sudah menjadi kewajibanku, sebagai salah seorang tenaga kesehatan,” jawab Mira yang tidak mengetahui maksud terselubung dari pria itu.“Eh … iya, ya. Aku lupa jika kamu adalah seorang dokter,” ujar sang pria yang menjadi kikuk sendiri karena sangat gugup untuk mengutarakan isi hatinya kepada gadis itu. Sang pemuda seketika merasa bingung karena jawaban Mira yang jauh dari ekspektasinya. Gadis itu mengira jika Hezki mengagumi profesinya sebagai dokter. Padahal yang sebenarnya terjadi, pria itu ingin mengung
Edu dan rombongan lainnya dengan penuh keyakinan, melangkah mantap. Sang pria memimpin teman-temannya memasuki hutan yang lebat di Pulau Asu. Di belakangnya, ada Lia, Mira, Sera, dan Ronald yang mengikuti dengan hati-hati, langkah mereka beriringan dalam keheningan alam. Kelimanya pun melangkah terus masuk ke dalam hutan yang menyelimuti Pulau Asu dengan penuh semangat dan yang berkobar. Edu, dengan pengetahuan yang tajam tentang alam, memimpin perjalanan mereka kali ini. Karena Hezki sedang bertugas untuk menjaga sumber logistik mereka. Dia berjalan di depan dengan langkah tegap dan percaya diri, mata yang tajam memantau setiap detail di sekitarnya.“Guys, kita akan mulai memasuki hutan semakin jauh. Kalian ikuti saya, ya? Hati-hati dengan langkah kalian,” seru Edu kepada teman-temannya.“Beres, Bro!” sahut mereka serentak.Langit biru yang cerah memancarkan kehangatan, menyinari setiap sudut hutan dengan cahaya emas yang lembut. Pepohonan yang menjulang tinggi, menyatukan dedaunan
Setelah selesai membersihkan lingkungan sekitar sungai, Edu dan teman-temannya merasa puas dan bangga. Mereka telah bekerja keras sepanjang hari, mengumpulkan sampah dedaunan yang tersebar di sepanjang tepi sungai dan membuangnya ke tempat yang tepat. Kini, sungai itu tampak lebih bersih dan indah, airnya jernih dan ikan-ikan kecil bisa terlihat berenang dengan bebas.“Edu! Akhirnya sungainya sangat bersih,” ujar Lia senang.“Iya, airnya juga tampak lebih jernih!” tukas Mira.“Lihat tuh, Guys! Ada sekelompok ikan-ikan kecil yang berenang ke sana kemari!” celutuk Sera senang.“Pulau ini benar-benar bagus untuk kita tinggali,” ujar Ronald.“Ya, tepat sekali. Untuk itu selama kita berada di pulau impian ini, marilah kita tetap menjaga kelestarian dan keberagamaan hayatinya,” tutur Edu bijak.Lalu pria itu berkata lagi,“Bagaimana teman-teman? Apakah kita bisa melanjutkan perjalanan kita? Hari sebentar lagi sore. Kita harus segera bergegas,” serunya kepada semuanya.“Ayo, mari kita lanjut
Setelah mengumpulkan buah pepaya yang banyak, Ronald dan Sera segera menghampiri Edu, Mira, dan Lia. “Bro, apakah kalian telah selesai mencabut singkongnya?” tanyanya kepada Edu.“Baru saja, nih.” ucap Edu yang masih sibuk menyeka keringatnya.“Wah, buah pepayanya sangat banyak dan sepertinya kelihatan segar!” tukas Mira yang dibalas anggukan oleh Lia.Lalu salah satu dari pemuda itu berkata lagi,“Ada kalimat bijak berkata, buah sangat enak dicicipi jika dinikmati sesaat setelah dipanen. Bagaimana kalau kita mencicipi buah pepaya ini sebentar?” ujar Ronald.Sang pria lalu menurunkan buah pepaya yang lumayan banyak dari atas pundaknya dan membagi-bagikannya kepada teman-temannya.“Jadi, sebelum kita keluar dari hutan, bagaimana jika kita makan dulu buah pepayanya. Apakah ada yang setuju denganku?” tanya Ronald sambil menatap wajah teman-temannya satu persatu.“Setuju!” ujar para wanita serentak.“Aku rasa itu ide yang bagus, Bro Ronald. Kalau begitu ayo kita makan buah pepayanya,” sa
Keesokan harinya, cuaca di Pulau Nias kembali cerah. Setelah sarapan di hotel, Ayah Edu, Ayah Ronald, dan Ayah Hezki terlihat mulai bersiap-siap bersama keluarga mereka untuk perjalanan terakhirnya di Pulau Nias. Hari ini, mereka akan mengunjungi Pantai Pasir Pink, Gawu Soyo, di daerah Afulu, Nias Utara. Semua orang tampak bersemangat untuk mengakhiri petualangan mereka dengan pemandangan yang menakjubkan."Semua siap? Jangan lupa bawa kamera, kita akan melihat sunset yang indah di sana," ucap Ayah Edu dengan semangat."Siap, Ayah!" seru Isaac dan Shakila bersamaan. Diikuti dengan anak-anak lainnya.Semua orang lalu naik ke bus pariwisata yang sudah menunggu di depan hotel. Agus, pemandu wisata mereka, tersenyum dan menyapa para keluarga besar dengan hangat. "Selamat pagi semuanya. Hari ini kita akan menuju Pantai Pasir Pink di Gawu Soyo. Perjalanan ini akan memakan waktu sekitar dua jam setengah, jadi kita bisa bersantai dan menikmati
Keesokan harinya, suasana pagi di hotel di Lagundri begitu tenang. Udara segar dan suara deburan ombak masih menemani ketiga keluarga besar yang tengah bersiap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Setelah menikmati sarapan bersama, Ayah Edu, Ayah Ronald, dan Ayah Hezki memeriksa persiapan sebelum berangkat. "Pastikan semua barang sudah tidak ada yang tertinggal," ujar Ayah Edu sambil memeriksa koper-koper di lobby hotel."Sudah beres, semua sudah di bus," jawab Ayah Ronald sambil mengangguk.Anak-anak terlihat bersemangat untuk melanjutkan petualangan mereka. "Kemana kita hari ini, Ayah?" tanya Sherina penuh rasa ingin tahu."Hari ini kita akan ke Kota Gunungsitoli. Kita akan mampir ke Air Terjun Humogo dan mengunjungi Museum Pusaka Nias," jawab Ayah Hezki sambil tersenyum.Setelah semua persiapan selesai, mereka kemudian naik ke bus pariwisata yang telah siap di depan hotel. Agus, pemandu wisata mereka, kembali mengambil peran sebagai penjelas perjalanan h
Keesokan harinya, cuaca di Pulau Nias masih cerah dengan langit biru tanpa awan. Pagi itu, setelah sarapan di hotel, Ayah Edu, Ayah Ronald, dan Ayah Hezki bersama keluarga masing-masing bersiap-siap untuk perjalanan menuju Desa Budaya Bawomataluo. Desa ini terkenal dengan tradisi lompat batunya yang telah mendunia.Pemandu wisata mereka, Agus, sudah menunggu di lobi hotel dengan senyuman ramah. "Selamat pagi semuanya. Hari ini kita akan mengunjungi Desa Bawomataluo, sebuah desa budaya yang sangat terkenal di Pulau Nias. Desa ini berada di atas puncak bukit, jadi kita akan sedikit mendaki."Anak-anak tampak bersemangat mendengar penjelasan Agus. "Yay! Mendaki bukit!" seru Isaac sambil melompat-lompat kegirangan.“Hore! Kita semua sungguh tak sabar!” sergah Hezra.“Ayo, Bang Agus! Tunggu apa lagi?” tukas Sebastian yang sangat antusias.“Come on, kita let's go, Bang Agus!” Jacob juga tak mau kalah.Sang pemandu wisata sangat se
"Ayah juga mendengar tentang acara itu," ucap Ayah Edu sambil tersenyum. "Sepertinya menarik. Apa kalian benar-benar ingin pergi ke sana?""Ya, Ayah!" jawab anak-anak serempak."Kita bisa melihat pertunjukan surfing dan menjelajahi pulau itu," tambah Hezra. "Ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan."Ayah Ronald mengangguk, "Baiklah, ini terdengar seperti ide yang bagus. Kita bisa mengatur perjalanan ke sana. Bagaimana menurutmu, Bro Hezki?"Ayah Hezki setuju, "Aku pikir ini kesempatan bagus untuk mengenalkan anak-anak pada budaya dan keindahan Pulau Nias. Selain itu, kita juga bisa menikmati waktu bersama sebagai keluarga."Anak-anak bersorak kegirangan."Hore-hore-hore! Terima kasih, Ayah!" seru mereka senang.Seminggu kemudian, hari yang dinanti-nanti tiba. Semua orang bersiap-siap untuk perjalanan mereka ke Pulau Nias. Pagi yang cerah menyambut ketiga keluarga besar yang baru saja
Di sisi lain, Bunda Lia, Bunda Mira, dan Bunda Sera duduk di teras rumah, menikmati pemandangan indah dan kebahagiaan anak-anak mereka. Ketiganya merasa lega dan bahagia melihat anak-anak mereka begitu menikmati suasana baru ini."Aku tidak percaya kita akhirnya tinggal di sini," tutur Bunda Lia sambil menyesap teh hangatnya. "Ini adalah keputusan terbaik yang pernah kita buat.""Bener banget," jawab Bunda Mira. "Lihatlah anak-anak kita, begitu bebas dan bahagia. Ini adalah lingkungan yang sempurna untuk mereka tumbuh."Bunda Sera menambahkan, "Dan kita juga akan memiliki kesempatan untuk membangun sesuatu yang besar di sini. Mengelola resort dan menjalankan perusahaan kita sambil hidup di surga kecil ini. Apa lagi yang kurang dari kehidupan yang indah ini?"Hari-hari berikutnya di Pulau Asu dipenuhi dengan petualangan dan keseruan. Setiap pagi, anak-anak bangun dengan semangat baru, siap untuk menjelajah dan bermain. Mereka be
Pada suatu hari yang cerah di Jakarta, tiga pria yang merupakan sahabat lama sedang berkumpul di rumah salah satu dari mereka. Pria-pria ini adalah para ayah dari tiga keluarga yang memiliki impian besar. Mereka adalah Ayah Edu, Ayah Ronald, dan Ayah Hezki. Ketiga pengusaha sukses ini sedang membahas sebuah proyek besar yang akan mengubah hidupnya dan keluarga mereka untuk selamanya.Di ruang tamu yang luas dengan jendela besar yang memberikan pemandangan indah kota Jakarta, ketiga ayah itu sedang duduk di sekitar meja, memperhatikan peta Pulau Asu yang terbentang di depan mereka. Pulau kecil yang indah ini memegang kenangan manis bagi mereka dan keluarganya yang pernah terdampar di pulau ini selama bertahun-tahun."Aku tahu istri dan anak-anak kita sudah sangat merindukan Pulau Asu," ucap Ayah Edu membuka percakapan. "Mereka selalu membicarakannya, tentang betapa damainya, dan indahnya pulau itu. Mereka ingin kembali ke sana.""Benar," tambah Ay
Setelah beberapa bulan kembali ke kehidupan perkotaan, para orang tua mulai merasakan kebosanan dan kehampaan. Rutinitas yang monoton dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah berhenti membuat mereka merindukan kesederhanaan dan ketenangan hidup di Pulau Asu. Meskipun sukses dalam karir dan kegiatan sosial, ada sesuatu yang hilang dalam hidup mereka.Di Rumah Keluarga Silverstone, pagi hari dimulai seperti biasanya. Bunda Lia sedang menyiapkan sarapan sambil sesekali melihat ke arah jendela, merasakan hampa dalam hatinya."Bunda, sarapannya enak, seperti biasa," ucap Isaac, Jacob dan Josie secara bergantian, sambil menikmati roti bakar yang dibuat ibunya."Terima kasih, anak-anak. Apakah kalian sudah siap untuk sekolah?" tanya Bunda Lia sambil tersenyum tipis."Sudah, Bunda. Kami sangat semangat hari ini," jawab Isaac mewakili kedua saudaranya yang lain.Namun, setelah Isaac, Jacob, dan Josie berangkat sekolah, kesunyian kembali menyelimuti ru
Kembalinya keluarga-keluarga dari Pulau Asu ke kehidupan perkotaan tidak hanya berdampak pada orang tua, akan tetapi juga pada anak-anak mereka yang kini harus beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru. Namun, berkat pendidikan dasar yang telah diberikan oleh orang tua mereka selama bertahun-tahun di pulau terpencil itu, anak-anak ini menunjukkan kecerdasan dan kemampuan adaptasi yang luar biasa.Pagi hari yang cerah di salah satu Sekolah Internasional, di Jakarta. Delapan anak terlihat sangat bersemangat memulai hari pertama mereka bersekolah di sana. Isaac, Hezra, Sebastian, dan Jacob bersiap untuk kelas mereka yang baru. Sementara Shakila, Josie, Rose, dan Sherina dengan antusias menantikan pertemuan dengan teman-teman barunya.Para orang tua telah menyediakan mini bus khusus untuk antar transportasi anak-anak mereka ke sekolah."Isaac, jangan lupa bawa buku matematikanya. Hari ini kita pasti akan banyak belajar," ucap Hezra sambil memeriksa tasnya.
Di tengah kerumunan, para ibu, Bunda Lia, Bunda Mira, dan Bunda Sera, juga bertemu kembali dengan keluarga besar mereka. Bunda Lia memeluk ibunya, Nyonya Shania, sambil menangis. "Mama, aku kembali.” “Lia, akhirnya kamu pulang." seru Papa Herman. Kedua orang tua bergantian mengusap rambut Bunda Lia. "Syukurlah kamu selamat. Kami sangat merindukanmu." Bunda Mira juga bertemu kembali dengan kedua orang tuanya, Mama Dwi dan Papa Bagas. "Mama, aku kembali.” Papa Bagas menatap putrinya dengan penuh kasih. "Kami sangat bersyukur, Mira. Kami tidak pernah berhenti berharap atas kepulanganmu." Bunda Sera juga memeluk kedua orang tuanya, Papa Theo dan Mama Nara. "Mama, aku akhirnya pulang. Aku sangat merindukan kalian." Mama Nara menangis bahagia. "Kami sangat merindukanmu setiap hari, Sera. Terima kasih Tuhan, kamu selamat.” S