Loli mengusap mulutnya sambil bersendawa, "Ahh … Kenyang …," gadis itu berucap tanpa beban.
"Ish, dasar nggak punya rasa malu, lo!" Mila menyubit geram lengan kanan Loli, membuat gadis itu meringis menahan sakit.
"Bawel banget sih!" Loli cemberut seraya mengusap lengannya yang terasa sakit. Vey tertawa menanggapi tingkah lucu kedua temannya.
Setelah selesai menyantap makan siang, mereka bertiga berlalu pergi setelah membayarnya di kasir.
"Eh … sebelum pulang kita foto dulu, yuk!" Mila merogoh saku bajunya.
Cekrek!
Beberapa kali mereka bertiga berpose lucu dengan gaya yang berbeda. Setelah dirasa puas akan hasil foto yang diambil bersama, mereka menyudahi kegiatan. Setelah dirasa puas berjalan-jalan, mereka bertiga berpisah di dekat halte bus. Tak lupa Vey menghubungi Pak Jo untuk segera menjemputnya.
Tak perlu menunggu waktu lama. Sebuah mobil berwarna hitam sampai tepat di hadapan Vey. Seorang pria turun seraya tersenyum dan mempersilahkan Vey untuk duduk.
Mobil hitam elegan itu melenggang dengan kecepatan rata-rata. Jalanan di Ibukota terasa lenggang tanpa kemacetan yang biasa terjadi.
***
Vey sampai di rumahnya dengan selamat, senyum merekah terlukis indah di wajah cantiknya. Gadis itu merasa bahagia setelah sekian lama dia tak merasa sebebas ini dalam hidupnya.
Maklum saja, selama beberapa tahun terakhir ini dia sering bahkan dia sampai lupa sudah berapa kali dia berpindah sekolah mengikuti kemana orang tuanya pergi.
Dia tak pernah menetap terlalu lama. Biasanya setiap enam bulan sekali pasti dia akan berpindah sekolah maupun tempat tinggal. Itu sebabnya dia tak mudah bersosialisasi bahkan jarang memiliki teman dekat. Tak jarang dia bersikap acuh terhadap orang-orang yang ingin mengenalnya lebih jauh.
Tapi berbeda dengan kali ini, entah mengapa dia merasa begitu nyaman saat mengenal Mila dan Loli bahkan sampai pergi berbelanja bersama.
Bahkan Pak Jonathan merasa heran sebab sudah lama dia tak melihat putri dari majikannya itu tersenyum bahagia seperti sekarang ini. Dia juga ikut merasa senang sebab ia sering melihat Vey bersedih sebab merasa kesepian dengan kesibukan kedua orang tuanya.
Vey bergegas pergi menuju kamarnya dengan bersenandung ria. Sampai di dalam kamar seperti biasa harum bunga lavender seketika menyapa. Vey meletakan barang belanja miliknya di atas tempat tidur dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.
Dia tersenyum bahagia sambil mengingat masa saat mereka bertiga berbelanja bersama menghabiskan waktu secara bebas melepas lelah.
Kicau burung seakan menemani alunan senandung dari bibir Vey. Menambah binar bahagia terpancar dari wajahnya.
Tiba-tiba gadis itu teringat akan foto-foto mereka yang baru saja diambil tadi. Segera saja dia merogoh saku bajunya dan mengusap layar benda pipih itu.
Dia memandang hasil jepretan foto tadi dengan perasaan bahagia. 'Jadi begini rasanya punya teman.'
Ting!
Sebuah pesan masuk dari aplikasi berwarna hijau. Rupanya sebuah grup menambahkan Vey sebagai anggotanya, dan ternyata si pembuat grup itu adalah Mila.
'Hai … udah pada sampai rumah apa belum?'
Satu pesan masuk di grup itu, terlihat Mila masih mengetik.
'Liat nih foto kita bertiga udah gue edit jadi lebih bagus lagi,'
Terpampang foto Vey, Mila dan Loli yang digabungkan dengan beberapa foto mereka bertiga yang lain. Terlihat cukup bagus dan ikon grup kini berganti menjadi foto mereka bertiga.
'Bagus juga,' Vey menanggapi.
'Hehe! Besok kita main lagi, yuk!' Loli menanggapi.
'Males! Lo malu-maluin kalo diajak jalan. Haha!' - Mila.
'Dih … besok nggak gitu lagi, kok!' -Loli.
'Vey juga nggak keberatan tuh main sama gue, iya-kan, Vey?'
'Maybe.' -Vey
'Haha! Rasain lo nggak ditanggepin Vey, makanya jangan malu-maluin,' -Mila.
Deretan pesan terus masuk dan saling berbalas. Diam-diam Vey tersenyum geli kala membaca isi pesan di HP-nya. Tak terasa saling membalas pesan hingga waktu berlalu semakin sore.
Setelah menyudahi pesan yang terus masuk, Vey bergegas mandi sebab sudah terlalu sore dan sebentar lagi waktunya makan malam tiba. Dia tidak ingin membuat repot para maid untuk menyuruhnya mandi.
***
Hari sudah malam, waktu untuk makan malam pun sudah tiba. Seperti biasa seorang maid datang untuk memberitahukan bahwa makan malam sudah siap. Vey yang tengah berkutat dengan novel kesayangannya pun ikut turun menuju meja makan.
Berbagai masakan sudah tersedia begitu menggoda di atas meja makan. Meski begitu banyak makanan yang tersaji di atas meja tak menggugah selera bagi Vey. Sebab dia selalu merasa ada yang kurang di sana. Dia merindukan kehadiran kedua orang tuanya. Entah kapan terakhir kali mereka makan bersama.
Vey melirik ke arah Pak Jo yang berdiri di sampingnya. "Pak jo, mari makan bersama,"
Lelaki itu terlihat kikuk. Sebab dia begitu menghormati majikannya. Bahkan tak berani duduk berdampingan sekali pun apalagi untuk berfikir makan bersama di meja makan yang sama.
"Maaf nona, tapi …,"
Vey merengek dengan nada memohon sedikit memaksa agar Pak Jo mau menemaninya makan malam bersama. Akhirnya lelaki itu mengalah dan menyanggupi ajakan majikannya untuk makan bersama meskipun dia merasa sedikit tak enak.
Tak hanya Pak Jo, tapi para maid juga diajak untuk makan malam bersama. Tentu saja mereka semua merasa sungkan karena memang sejak dulu tak ada istilah pelayan makan bersama majikan. Namun berbeda dengan Vey, dia tak membedakan siapapun berdasarkan pekerjaan dan kedudukan. Dia menyamaratakan mereka, yang berbeda hanyalah sifat dan perilaku saja.
Vey terus memaksa para maid dan akhirnya dengan sungkan mereka duduk bersama berdampingan dan makan bersama dengannya.
***
POV MAID'S
Selesai makan bersama dengan sang nona, mereka bergegas membereskan bekas makanan yang ada di atas meja. Entah mengapa mereka merasakan perasaan aneh, sungkan dan senang tentu saja. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya mereka makan bersama majikan bahkan di atas meja yang sama sambil duduk berdampingan.
Jarang sekali ada majikan sebaik Nona Vey. Mereka begitu bersyukur mendapatkan seorang majikan layaknya Vey. Selain cantik parasnya dia juga gadis yang cantik hatinya.
"Ternyata nona baik juga," sahut salah seorang maid yang bernama Sisi.
"Memang nona sangat baik, buktinya dia juga tahu namaku, selain cantik dia juga baik," Lili-salah seorang maid juga menanggapi.
Para maid yang lain ikut menanggapi dengan anggukan dan senyuman seraya memuji sang majikan.
***
Selesai makan malam, Vey masuk ke dalam kamar. Dia enggan untuk sekedar jalan-jalan keluar rumah. Baginya sebuah kamar yang nyaman dan sunyi jauh lebih baik daripada dia harus keluar rumah untuk mencari hiburan.
Gadis itu kembali membuka novel yang tadinya dia baca sebelum makan malam. Dia duduk dengan nyaman di atas sofa, sesekali tertawa geli kala terbawa suasana.
Saat sedang serius membaca novel, tiba-tiba gawai miliknya berbunyi. Dia meraihnya dan ternyata sang Bunda yang melakukan video call. Hati Vey berbunga-bunga sebab sudah lama dia tak berbincang dengan sang Bunda.
'Bundaaaa!'
Terlihat di layar gawainya, terpampang wajah cantik sang Bunda yang tak tertelan usia. Bundanya bahkan lebih cocok menjadi kakaknya. Wajar saja Vey cantik sebab ia mewarisi wajah ayu dari bundanya.
'Sayang … anakku how are you?' Sahut sang Bunda dari seberang.
'Eh … kenapa kepalamu, Honey? What wrong?' Bunda menyipitkan matanya.
Vey terlihat kikuk mendengar pertanyaan dari Bunda. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan. Namun sayangnya Bunda tetap ingin mendengar penjelasan dari Vey. Akhirnya dengan terpaksa dia berkata jujur akan kejadian yang menimpanya kemarin.
Wajah Bunda seketika terlihat geram mendengar penjelasan dari Vey. Dia mengancam akan membalas perbuatan para pembully. Namun segera saja Vey memintanya agar tak membalasnya. Vey ingin menyelesaikan urusannya sendiri. Dia ingin bertanggung jawab akan apa yang telah dia perbuat.
Dengan berat hati Bunda menyanggupi permintaan Vey agar tak ikut berurusan dengan mereka. Dia juga merasa bangga karena putri satu-satunya mau bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuat. Berbeda dengan anak lainnya yang seringkali mengandalkan kedua orang tuanya.
'Ok honey, bunda nggak akan ikut campur. Tapi kamu harus inget. Jangan sungkan minta tolong sama jika mereka sudah kelewat batas, ok?'
Vey mengangguk tanda menyanggupi saran dari Bunda. Setelah puas melepas kerinduan meskipun hanya lewat video call, Bunda pamit untuk menyudahi, mungkin pekerjaannya masih cukup banyak. Meski berat hati sebab rasa rindu masih terasa.
Setelah menutup sambungan telefon, Vey beranjak duduk di atas tempat tidur. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Entah sejak kapan kumpulan air menggenang di pelupuk matanya. Pelan-pelan meluap membasahi pipi hingga tanpa sadar dia tertidur dalam kesepian yang pelan-pelan menyergap relung hati.
Rasa rindu memang berat, jika tak kuat maka sakit rasanya. Apalagi merindukan orang tua sendiri. Rasanya pedih tak terkira. Setiap orang berfikir jika kehidupan Vey menyenangkan sebab ia tak perlu khawatir tentang uang. Tapi tak semua kebahagiaan bisa diukur dengan uang. Kebahagiaan itu sederhana apabila bisa berkumpul dan membagi gendu-gendu rasa.
Jika bisa memilih, Vey ingin kehiduoan yang sederhana asalkan ia selalu bersma dengan kedua orang tuanya. Namun kenyataan memang seringkali tak sesuai dengan harapan yang diinginkan. Tapi, Vey selalu bersukur meskipun tak setiap hari ia bertemu dengan Ayah dan bunda. Setidaknya lewat video call rasa rindunya sedikit berkurang.
Vey mengusap air matanya yang membasahi pipi. Seraya memeluk bantal guling dalam dekapannya, dia mengingat masa-masa saat orang tuanya tak terlalu sibuk dan masih mempunyai waktu yang berharga bersama vey. Tak lama kantuk pun menyergap, ia tertidur dengan nyenyak.
Sinar mentari menyongsong pagi diiringi cahaya cerah matahari. Meskipun hari ini begitu cerah, berbeda dengan suasana hati dari Vey. Sejak semalam dia masih merasakan kehampaan dalam hati.Candaan dari Mila dan Loli tak membuat bibir Vey tergerak sedikitpun untuk tersenyum. Dia lebih banyak diam. Hal ini membuat kedua gadis itu heran. Sebab tak biasanya Vey sediam ini. Saat pelajaran di mulai pun Vey masih diam bahkan seringkali melamun tak fokus mempethatikan pelajaran dari guru.Jam pelajaran berganti. Mila dan Loli segera menghampiri Vey di bangkunya."Vey, sekarang kita ganti baju, yuk!" Mila Berujar seraya mengajak Vey.
"Veyana!" Sebuah tepukan cukup keras mendarat di pundakku.Aku menoleh dan mendapati Ray tengah menatapku dengan mata elangnya, "Bareng, yuk!"Aku terperangah mendengar ucapannya itu. Lagipula kenapa cowok mesum ini berangkat lebih pagi dari biasanya. Padahal aku lebih sering melihatnya terlambat.Aku tak menggubris ajakannya dan berlalu pergi melangkah lebih dahulu. Rasanya risih harus berdekatan dengannya apalagi menjadi pusat perhatian oleh murid yang lain.Bukannya berlalu pergi, dia malah mengekori langkahku dan berusaha mengimbanginya. "Tunggu dong!" uja
THE INCREDIBLE GIRL 1Seorang gadis tengah berjalan di sebuah lorong kelas yang sepi. Sesekali terdengar suara celotehan para murid yang menggema di setiap sudut-sudut ruang yang ia tapaki. Tepat di depannya saat ini, seorang lelaki berpunggung lebar menggunakan setelan baju khas para guru berwarna coklat itu tengah menunjukan jalan, lebih tepatnya dia adalah guru barunya yang bernama Bapak Arya. Dia kelihatan belum terlalu tua, malah terkesan masih muda. Bisa ditebak, mungkin umurnya sekitar 35 tahun.Langkah kaki mereka berhenti tepat di depan sebuah pintu berwarna coklat tua. Suara bising dari dalam ruangan tersebut juga terdengar sampai keluar.
Tiba-tiba ... .... Klanggg!Suara sebuah piring yang terjatuh ke lantai berhasil membuyarkan fokus para murid yang tengah makan di kantin. Lebih kaget lagi, saat mereka melihat seorang gadis asing, lebih tepatnya Vey yang tidak sengaja menumpahkan bekas makanannya ke seragam milik Rachel"Arrgh! Sh*t!" teriakan Rachel menggema di kantin, dia mengibaskan tangannya ke seragam yang tengah dia pakai, keempat sahabatnya pun sibuk membersihkan baju Rachel.Rachel menatap tajam Vey, "Heh, lo buta? jalan nggak pake mata!" teriak Rachel memaki Vey dengan kesal.
Mataku mengerjap pelan saat sebuah cahaya yang masuk dari sela-sela jendela mengusik lelapnya tidurku. Udara pagi ini terasa dingin tapi menyejukan, menghipnotisku agar tak beranjak dari busa empuk ini. Aku melirik jam di samping kasur, menunjukan angka enam.Sesekali aku menguap perlahan lalu merenggangkan otot tubuhku. Tak butuh waktu lama, aku bergegas bangkit dari tempat tidur dan beranjak pergi ke dalam kamar mandi. Guyuran air dingin dari shower berhasil menyadarkan tubuhku secara sempurna.Selesai mandi, aku berjalan keluar dengan handuk yang masih melilit di tubuh, kemudian duduk di depan meja rias berkaca lebar. Lalu dengan cekatan memakaikan rangkaian produk kecantikan untuk menjaga kulitku. Setelah dirasa cukup, aku segera berg
Tiba-tiba … .Di depanku kulihat sepasang kaki berdiri. Mataku mengerjap pelan mencoba memastikan. Pandanganku menangkap sepasang kaki menggunakan sepatu tepat di samping handphone ku yang jatuh, seseorang itu berjongkok lalu mengambil benda pipih itu. Aku serasa mengenalnya, dia ... anak lelaki yang duduk di sebelah kiriku, tepat di samping jendela.Aku berusaha meminta tolong dengan berteriak. Anak lelaki itu menatapku sebentar kemudian menguap. Sialan!"Lo lagi ngapain sih?" pertanyaan polos darinya berhasil membuatku tersulut emosi, apakah dia bodoh? Rasanya ingin aku memukulnya saat ini juga.
Masih bisa kurasakan sakit di tubuhku akibat perbuatan Rachel and the gengs. Namun hal itu tak mematahkan semangat untuk tetap berangkat ke sekolah. Apalagi tanganku sudah gatal ingin menghajar wajah sok cantik Rachel si Nenek Lampir yang memuakkan.Sebenarnya Pak Jonathan masih terus memaksaku untuk jujur mengatakan siapa yang berani melukaiku. Jelas sekali air mukanya menandakan sebuah kecurigaan. Namun aku terus mengelaknya. Aku ingin menyelesaikan masalah yang sudah kubuat ini tanpa campur tangan asisten pribadi bunda itu.Saat sampai di sekolah. Beberapa murid menatapku heran apalagi wajah dan tubuhku tertutup plester untuk menutupi luka. Sebagian dari mereka saling berbisik, entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak terlalu p
"Veyana!" Sebuah tepukan cukup keras mendarat di pundakku.Aku menoleh dan mendapati Ray tengah menatapku dengan mata elangnya, "Bareng, yuk!"Aku terperangah mendengar ucapannya itu. Lagipula kenapa cowok mesum ini berangkat lebih pagi dari biasanya. Padahal aku lebih sering melihatnya terlambat.Aku tak menggubris ajakannya dan berlalu pergi melangkah lebih dahulu. Rasanya risih harus berdekatan dengannya apalagi menjadi pusat perhatian oleh murid yang lain.Bukannya berlalu pergi, dia malah mengekori langkahku dan berusaha mengimbanginya. "Tunggu dong!" uja
Sinar mentari menyongsong pagi diiringi cahaya cerah matahari. Meskipun hari ini begitu cerah, berbeda dengan suasana hati dari Vey. Sejak semalam dia masih merasakan kehampaan dalam hati.Candaan dari Mila dan Loli tak membuat bibir Vey tergerak sedikitpun untuk tersenyum. Dia lebih banyak diam. Hal ini membuat kedua gadis itu heran. Sebab tak biasanya Vey sediam ini. Saat pelajaran di mulai pun Vey masih diam bahkan seringkali melamun tak fokus mempethatikan pelajaran dari guru.Jam pelajaran berganti. Mila dan Loli segera menghampiri Vey di bangkunya."Vey, sekarang kita ganti baju, yuk!" Mila Berujar seraya mengajak Vey.
Loli mengusap mulutnya sambil bersendawa, "Ahh … Kenyang …," gadis itu berucap tanpa beban."Ish, dasar nggak punya rasa malu, lo!" Mila menyubit geram lengan kanan Loli, membuat gadis itu meringis menahan sakit."Bawel banget sih!" Loli cemberut seraya mengusap lengannya yang terasa sakit. Vey tertawa menanggapi tingkah lucu kedua temannya.Setelah selesai menyantap makan siang, mereka bertiga berlalu pergi setelah membayarnya di kasir."Eh … sebelum pulang kita foto dulu, yuk!" Mila merogoh saku bajunya.
Masih bisa kurasakan sakit di tubuhku akibat perbuatan Rachel and the gengs. Namun hal itu tak mematahkan semangat untuk tetap berangkat ke sekolah. Apalagi tanganku sudah gatal ingin menghajar wajah sok cantik Rachel si Nenek Lampir yang memuakkan.Sebenarnya Pak Jonathan masih terus memaksaku untuk jujur mengatakan siapa yang berani melukaiku. Jelas sekali air mukanya menandakan sebuah kecurigaan. Namun aku terus mengelaknya. Aku ingin menyelesaikan masalah yang sudah kubuat ini tanpa campur tangan asisten pribadi bunda itu.Saat sampai di sekolah. Beberapa murid menatapku heran apalagi wajah dan tubuhku tertutup plester untuk menutupi luka. Sebagian dari mereka saling berbisik, entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak terlalu p
Tiba-tiba … .Di depanku kulihat sepasang kaki berdiri. Mataku mengerjap pelan mencoba memastikan. Pandanganku menangkap sepasang kaki menggunakan sepatu tepat di samping handphone ku yang jatuh, seseorang itu berjongkok lalu mengambil benda pipih itu. Aku serasa mengenalnya, dia ... anak lelaki yang duduk di sebelah kiriku, tepat di samping jendela.Aku berusaha meminta tolong dengan berteriak. Anak lelaki itu menatapku sebentar kemudian menguap. Sialan!"Lo lagi ngapain sih?" pertanyaan polos darinya berhasil membuatku tersulut emosi, apakah dia bodoh? Rasanya ingin aku memukulnya saat ini juga.
Mataku mengerjap pelan saat sebuah cahaya yang masuk dari sela-sela jendela mengusik lelapnya tidurku. Udara pagi ini terasa dingin tapi menyejukan, menghipnotisku agar tak beranjak dari busa empuk ini. Aku melirik jam di samping kasur, menunjukan angka enam.Sesekali aku menguap perlahan lalu merenggangkan otot tubuhku. Tak butuh waktu lama, aku bergegas bangkit dari tempat tidur dan beranjak pergi ke dalam kamar mandi. Guyuran air dingin dari shower berhasil menyadarkan tubuhku secara sempurna.Selesai mandi, aku berjalan keluar dengan handuk yang masih melilit di tubuh, kemudian duduk di depan meja rias berkaca lebar. Lalu dengan cekatan memakaikan rangkaian produk kecantikan untuk menjaga kulitku. Setelah dirasa cukup, aku segera berg
Tiba-tiba ... .... Klanggg!Suara sebuah piring yang terjatuh ke lantai berhasil membuyarkan fokus para murid yang tengah makan di kantin. Lebih kaget lagi, saat mereka melihat seorang gadis asing, lebih tepatnya Vey yang tidak sengaja menumpahkan bekas makanannya ke seragam milik Rachel"Arrgh! Sh*t!" teriakan Rachel menggema di kantin, dia mengibaskan tangannya ke seragam yang tengah dia pakai, keempat sahabatnya pun sibuk membersihkan baju Rachel.Rachel menatap tajam Vey, "Heh, lo buta? jalan nggak pake mata!" teriak Rachel memaki Vey dengan kesal.
THE INCREDIBLE GIRL 1Seorang gadis tengah berjalan di sebuah lorong kelas yang sepi. Sesekali terdengar suara celotehan para murid yang menggema di setiap sudut-sudut ruang yang ia tapaki. Tepat di depannya saat ini, seorang lelaki berpunggung lebar menggunakan setelan baju khas para guru berwarna coklat itu tengah menunjukan jalan, lebih tepatnya dia adalah guru barunya yang bernama Bapak Arya. Dia kelihatan belum terlalu tua, malah terkesan masih muda. Bisa ditebak, mungkin umurnya sekitar 35 tahun.Langkah kaki mereka berhenti tepat di depan sebuah pintu berwarna coklat tua. Suara bising dari dalam ruangan tersebut juga terdengar sampai keluar.