***
"Wah, ada Neng Nina. Mau belanja apa nih, biar Mamang siapkan!" Mamang Sayur tersenyum ramah di depanku. Suasana gerobak Tukan Sayur yang kebetulan sedang sepi, membuatku leluasa memilih sayuran segar untuk memasak hari ini.Jika dihitung, ini adalah kali kedua aku kembali pulang ke kampung setelah 3 tahun aku mengabdikan diri di kota seberang. Bukan tanpa alasan, aku bekerja banting tulang untuk menyokong hidup Bapak dan Ibu, serta biaya sekolah kedua adikku, Sari dan Dana.Ayah yang notabenenya hanyalah seorang tukang becak, seringkali penghasilannya tidak menentu. Apalagi sekarang Dana sudah menginjak kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, dan Sari yang setahun lagi lulus Sekolah Menengah Atas.Setelah lulus Sekolah Menengah Atas, aku berangkat ke kota untuk mengadu nasib. Terbayang wajah Ayah dan Ibu jika aku harus berdiam diri di rumah hanya menunggu jodoh datang. Sudah menjadi hal lumrah disini, perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena kodratnya berada di dapur, sumur dan kasur.
Namun, aku bersyukur ketika Ayah dan Ibu tidak mengekang keinginanku untuk bekerja mengadu nasib di kota sebelah. Sempat mendapat penolakan. Tentu. Orang tua mana yang rela hidup jauh dari anak-anaknya, apalagi di jaman yang sudah mulai rawan melepas anak gadis sendirian di kota orang. Ayah sempat menentang keras permintaanku untuk bekerja dengan jarak yang lumayan jauh dari rumah. Tapi aku berhasil meyakinkan Ayah dan Ibu, hingga akhirnya mereka memberikan restunya padaku."Wah mau belanja ya, Nin?" seloroh Bu Nurma.
Melihat beberapa Ibu-ibu sudah datang dan memutari gerobak Mamang Sayur, aku mengulurkan tangan pada mereka satu per satu. Di kampungku, menjadi hal yang wajib ketika kita baru saja kembali bersua dengan tetangga setelah merantau cukup lama.
Para Ibu-ibu yang memang masih bertetangga dekat dari rumah menyambut uluran tanganku. Wajar saja jika mereka kaget tiba-tiba aku berada di tempat Mamang Sayur mengingat baru hari ini aku bisa keluar rumah dan bertemu beberapa tetangga dekat disini. Biasanya Ibu yang berbelanja, tapi karena hari ini Ibu sedikit masuk angin, maka aku yang menggantikannya.
Bukan karena aku tidak ingin keluar rumah. Bukan. Dua hari yang lalu aku datang hampir tengah malam. Beruntung suasana terminal masih sedikit ramai hingga tidak membuatku khawatir saat menunggu jemputan dari Ayah. Ketika pagi menjelang, Ibu malah jatuh sakit, membuatku harus ekstra merawatnya. Ayah bahkan melarangku memasak, dia rela membeli lauk jadi untuk makan kami sekeluarga."Iya, Bu. Kebetulan ibu sedang masuk angin, jadi saya yang menggantikan belanja," sahutku."Makanya, makanan itu harus yang sehat. Jangan taunya tahu sama tempe doang, Nin! Bilangin tuh Ibumu, masa anak kerja di kota belanjanya suka bayem sama tempe melulu. Malu dong sama Kang Sayur," seloroh Bu Nurma dengan melirik sinis ke arahku.
"Kalau untuk belanja bahan pokok, Ibu sudah beli di pasar gede, Bu. Disini tinggal beli yang belum ada aja. Lagian tempe dan tahu juga kaya protein kok. Kenapa harus malu, kan nggak ngutang sama Mamang. Ya nggak, Mang?" Mamang mengacungkan jempolnya lalu kembali berkutat menghitung belanjaan seseibu di sampingku."Halah, sok-sokan bilang protein. Dimana-mana itu ikan yang bikin sehat, bukan tahu sama tempe. Pantes saja ayah kamu terlihat lemas. La wong makannya nggak empat sehat lima sempurna!" Pedasnya ucapan Bu Nurma menelusup ke gendang telingaku sepagi ini. Jika saja tidak menjaga unggah-ungguh, sudah kulibas mulutnya dengan ulekan cabe sekilo.
Saat hendak membalas ucapan pedas Bu Nurma, kurasakan ada tangan yang mengusap punggungku. Kulirik Bu Tari tersenyum sambil berbisik, "Ngalah aja, bisa kemana-mana nanti yang dibahas. Sabar ya!" Aku mengangguk dan tersenyum.
"Wong susah aja gayanya bikin aku eneg! Ayahnya juga cuma tukang becak tapi kalo ngomong sok bilang tempe sama tahu itu protein. Bilang aja nggak bisa beli ayam atau ikan. Gitu kan beres! Sok pinter!""Ada yang salah kalau Ayah saya tukang becak, Bu? Saya mau beli tempe, tahu atau ayam sekalipun, kenapa Bu Nurma sewot?" Tidak kuperdulikan usapan tangan Bu Tari. Jika sudah menyangkut pekerjaan Ayah, hatiku mendadak panas. "Meskipun tukang becak, tapi pekerjaan Ayah saya halal. Ibu ngiri karena melihat saya kerja di kota, iya?"
"Eh, aku ini udah pengalaman kerja di kota. Siapa bilang kerja di kota itu enak, bayaran gede. Nyatanya nih, di depan mata, pulang dari kota malah beli tempe sama tahu. Nggak ibunya, nggak anaknya, sama aja!"Tanganku terkepal mendengar cibiran demi cibiran yang keluar dari mulut Bu Nurma. Kenapa dia yang kebakaran jenggot kalau keluargaku makan tempe atau tahu? Toh, selama ini kami memang terbiasa makan seadanya meskipun emang penghasilanku cukup untuk membeli makanan enak. Bagiku, tidak melulu pakai lauk ikan atau ayam, tempe dan tahu juga kaya akan protein.Berkali-kali kurasakan usapan lembut di punggung. Aku tau, Bu Tari mungkin tidak ingin aku meladeni Bu Nurma yang memang terkenal tidak mau kalah itu. Akhirnya, dengan sekuat tenaga menutup mulut, aku berhasil meredam emosiku agar tidak memuncak saat ini juga. Bu Tari ada benarnya juga, untuk apa aku melawan ucapan Bu Nurma, yang ada dia malah mencari topik lain untuk menyudutkanku."Sudah Mang! Cepat ini hitung, lama-lama mual aku kalau ngeliat tempe sama tahu." Bu Nurma menyerahkan sekantong kresek hitam pada Mamang."Tujuh puluh lima ribu, pas nggak pake koma," ujar Mamang Sayur dengan candanya yang khas."Ini lima puluh ribu dulu, kurangnya besok. Uangku seratus ribuan semua. Malas mau bolak balik kesini," ucapnya ketus dengan kembali menyelipkan dompet di sela-sela ketiaknya."Eh, biar nanti saya ambil ke rumah Bu Nurma aja. Saya ada kok kembaliannya," sahut Mamang dengan memainkan kedua alisnya.Bu Nurma membanting seikat kangkung di depan Mamang. Aku sedikit kaget dengan tingkahnya yang tiba-tiba anarkis begini.
"Aku bilang besok ya, besok, Mang!" bentak Bu Nurma. Dia kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya."Utang maneh," gumam Mamang Sayur sembari mengelap peluh menggunakan topi usang miliknya.Beberapa Ibu-ibu menertawakan Mamang yang sudah kecolongan. Mungkin bagi mereka, gumaman Mamang barusan hanyalah sebuah kelakar. Tapi tidak menurutku, ada sebuah kekecewaan yang tergambar jelas di wajahnya. Aku paham, berjualan seperti ini memang harus pandai-pandai memutar modal. Jika banyak pembeli yang berhutang, tidak menutup kemungkinan Mamang akan kehabisan modal dan akhirnya berhenti berjualan.Kasihan. Meskipun dipaksanya senyuman tipis terbit di bibir Mamang, aku mengerti, rasa tidak enak hati membuat dirinya harus kembali mengalah pada pembeli.Bersambung***Sepulang dari berbelanja, aku memilih bungkam atas apa yang sudah aku dengar di tempat Mamang. Sekalipun ingin rasanya aku menceritakan pada Ibu apa yang sudah Bu Nurma katakan tentang keluarga kami. Tapi, melihat Ibu yang masih lemas dengan wajah yang semakin memucat, aku lebih memilih menelan semua ucapan pedas Bu Nurma.Ibu menungguku memasak di dapur. Terkadang aku merasa tidak berguna sebagai seorang anak, bahkan untuk mengolah masakan saja harus dipandu Ibu tentang bumbu-bumbu apa saja yang harus aku pakai. Tapi jujur, aku memang tidak pandai memasak."Enak, Mbak?" tanya Sari, dia menarik satu kursi dan mendaratkan bokongnya disana."Tentu, siapa dulu dong yang masak?" Aku mengangkat kerah baju dan membusungkan dada."Halah, sama aja kayak Ibu yang masak. Nasib amat punya Mbak nggak bisa masak!" cibir Dana. Aku melayangkan tinju ke le
***Aku tertawa mendengar penuturannya. Wanita yang kutaksir seumuran dengan Ayah itu mengerutkan keningnya melihat ke arahku. Mungkin dia pikir aku akan terpancing emosi dan marah-marah nggak jelas karena di tuduh hamil? Oh, tentu tidak! Itu hanya akan membuat orang lain membenarkan ucapan Bu Nurma.Pelan-pelan aku menjelaskan pada ibu-ibu yang kebetulan sedang berbelanja kalau memang kemarin sedang masuk angin saja, buka hamil. Beberapa nampak percaya dengan ucapanku, dan benar saja, beberapa yang lain nampak meragukan kebenaran yang kuucap, terbukti dari bibir mereka yang mencebik."Jangan suka suudzon, Bu Nur! Hati-hati loh, Putri kan juga perempuan." Bu Tari mulai menimpali."Ya beda dong! Jangan samakan Putri dengan Nina, lagipula nih ya, Putri itu enggak merantau, kalau hangout juga masih saya pantau. Asal Bu Tari tau, teman-temannya aja berkelas."
***Sesampainya di depan gedung tinggi nan menjulang, aku segera memarkirkan motor dan membawa langkah kaki dengan gesit menuju tempat berlangsungnya interview. Benar saja, ada Putri yang sudah duduk dengan anggun di salah satu kursi tunggu bagi kami, para pejuang amplok coklat.Debar demi debar di dada kurasakan dengan nikmat. Satu per satu dari kami masuk ke dalam ruangan. Hingga tibalah giliranku, setelah Putri yang lebih dulu masuk barusan."Dih, norak banget! Nggak bakalan deh keterima, gayanya aja kampungan!" cibir Putri lirih, namun indra pendengarku menangkap jelas ucapannya.Aku mengedikkan bahu, malas saja jika harus berdebat di tempat umum begini. Jangan sampai aku memberikan kesan yang buruk padahal diterima kerja juga belum.Melihatku berlalu tanpa menanggapi ucapannya, kulirik Putri mengehentak-hentakkan kakinya.
***Seharian kemarin aku menunggu kabar dari Perusahaan tempatku melamar kerja, tapi memang mungkin benar kata Ibu jika rejekiku bukan disana. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota mengingat cuti libur yang aku terima sudah usai.Ibu sudah berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk kembali merantau. Aku membantunya memasak cukup banyak hari ini, karena memang sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan kembali ke kota, banyak sekali makanan yang Ibu bawakan mengingat teman-teman di indekos memang terbilang cukup banyak. Agar bisa berbagi, kata Ibu. Dan aku mengiyakan."Kak, hape nya bunyi tuh." Sari keluar dari kamar dan menepuk pundakku lembut. "Daritadi juga, masa nggak dengar?" Aku menggeleng dan berlalu menuju kamar sementara Sari menggantikan posisiku di dapur membantu Ibu.Aku memang masih satu kamar dengan Sari. Meskipun sudah sama-sama dewasa, kami memang masih tidur seranjang m
Namaku Nurma.Nurma Nur Madinah. Ibu rumah tangga dengan satu orang anak bernama Putri. Suamiku bekerja sebagai supir truk. Seringkali pergi ke luar kota untuk mengirim barang membuatnya pulang terkadang sebulan sekali. Tidak masalah, bagiku uang mengalir deras lebih penting daripada suami di rumah tapi tidak ada penghasilan.Tuh, persis tetangga depan rumah!Keluarga miskin tapi sok terlihat harmonis. Bikin gedek lihatnya. Mentang-mentang aku dan suami lagi berjauhan, tapi kami masih romantis kok. Serius! Yang bikin lebih gedek lagi, anaknya yang sepantaran sama Putri udah pulang dari kota. Lagaknya sok kaya padahal mah miskin ya miskin aja.Lagipula untuk apa anak perempuan bekerja jauh-jauh, bisa-bisa dia hamil di luar nikah kalau pergaulan terlalu bebas. Anakku dong, dia hanya di rumah dan kadang pergi sama teman-temannya yang katanya mau nongkrong. Biar, biar dia merasakan masa muda lebih dulu. Aku bu
Rasanya bosan sekali seharian nunggu Putri pulang dari melamar kerja. Jantungku susah berdebar-debar membayangkan jika dia tidak lolos. Tidak! Semoga anakku yang diterima kerja disana, bukan Nina.Tok ... Tok ... Tok ....Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suara dan ketukan pintu membuatku berjingkrak dan dengan gegas menarik handel pintu."Ma, buka pintunya!" teriak Putri.Kebiasaan!Selalu saja teriak-teriak! Mana nggak pernah mau ngucapin salam lagi. Kalau aku ke tetangga depan memang nggak pernah ucap salam kalau mau bertamu. Emangnya mereka siapa sampai patut disopanin?"Jangan teriak-teriak bisa nggak sih?" Aku langsung ngedumel saat pintu terbuka lebar. Kulihat Putri mencebik dan melepas sepatunya asal."Aku capek, Ma," keluhnya. "Ambilin makan dong, sekarang!"Jika bukan ingat kalau dia baru saja melamar kerja, sudah kujitak kepalanya sekarang juga. Kebiasaa
Sesampainya di depan gedung menjulang tinggi. Jantungku berdebar padahal ini bukan kali pertama aku melakukan interview lanjutan. Tapi tetap saja aku merasa takut, bahkan kedua tanganku sudah berkeringat sekarang."Bismillahirahmaniraahim," gumamku menguatkan diri. Bagaimanapun hasilnya, terima dengan ikhlas. Begitulah pesan ibu.Setelah bertanya pada satpam, aku melengang menuju tempat yang berbeda dari interview pertama kemarin. Rasa takut kembali menyerang, aku gugup. Tapi lagi-lagi petuah Ibu membuatku sedikit nyaman.Setelah menunggu giliran, terpanggil juga namaku untuk masuk ke ruang HRD. Kurang lebih tiga puluh menit seorang wanita mengajukan beberapa pertanyaan yang terkadang membuat kita merasa dibingungkan. Apalagi saat pertanyaan yang memaksa kita memilih jawaban antara kepentingan Perusahaan atau urusan pribadi. Beruntung aku sedikit banyak tau tentang pertanyaan-pertanyaan jebakan seperti ini. Semoga saja aku t
***Aku berbalik dan mendapati sosok Putri sedang berlari ke arahku. Mau apa lagi dia? Baru saja ingin kembali berbalik, Putri sudah mencekal pergelangan tanganku lebih dulu."Apa?" Aku terpaksa berhenti dan menatap wajahnya malas. "Kalau cuma mau nyari ribut mending lain kali aja deh, malu dilihat banyak orang," kataku.Putri mengedarkan pandangan. Dilepasnya begitu saja tanganku dari cengkeramannya. "Aku cuma mau mengingatkan, awas saja ya kalau kamu berkoar-koar di rumah pekerjaanku disini sebagai OG. Aku nggak akan tinggal diam, kamu pasti aku pecat kalau jabatanku sudah naik menjadi Assisten HRD nanti. Ingat itu," ancamnya dengan dada naik turun."Bodoh amat!" Aku berlalu meninggalkan Putri yang terlihat semakin kesal. Aku malas meladeni ucapannya saat ini, inginku segera pulang dan memeluk Ibu dengan erat."Brengsek! Awas aja ya kamu, Nina!" teriak Putri lantang. Terserah dia mau bilang apa, lagipula untuk apa aku mengadu pada Bu Nurma tentang anaknya. Salah-salah justru aku ya
***"Haduh, Nina ... ada makanan nganggur nggak? Perutku rasanya perih, melilit. Duh ... duh ... mana nungguin Putri dari tadi belum juga pulang," keluhnya sembari memegang perutnya yang buncit.Aku mencebik. "Mana nomor Putri, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Bibir Bu Nurma mengerucut, dia merogoh saku daster dan menyerahkan ponselnya ke arahku. "Nih! cari saja sendiri, nama kontaknya Putri membanggakan!"Lagi-lagi aku dibuat menghela napas panjang. Ucapan Bu Nurma seperti memiliki artian khusus apalagi ketika matanya melirik tajam ke arahku.Apa maksudnya?Ingin membuktikan di depanku kalau Putri itu anak yang membanggakan begitu?Tidak ingin berlama-lama berada di dekat Bu Nurma, segera aku menekan nomor Putri agar wanita paruh baya yang sebenarnya sedang menyandang gelar musuh bebuyutan ini segera enyah dari depanku.Tut ... Tut ... Tut ....Lama ....Cukup lama sekali panggilanku tidak
***"Akhirnya motor baruku datang juga. Beli kontan dong, makasih ya, Mas sudah diantar ke rumah." Suara Bu Nurma terdengar hingga depan rumahku.Aku yang baru saja pulang dari kantor dibuat tercengang dengan pemandangan di depan rumahnya. Bagaimana tidak ... motor baru yang Bu Nurma beli sama persis dengan motor baru punyaku. Sengaja nih orang!Enggan dikira ingin tau, aku gegas masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi ke arahnya."Huuu, pasti ngiri deh!" teriaknya lantang.Di balik pintu aku mengelus dada perlahan-lahan. Jangan sampai emosi meledak saat ini juga. Iri dia bilang? Bukannya yang lebih dulu beli motor itu aku?Argh, entahlah! Bisa gila aku lama-lama kalau masih saja menggubris ucapan Bu Nurma. Benar kata Sari, kalau mau diam ... maka jangan peduli sedikitpun. Kalau mau lawan, jangan pernah ragu. Bertindak jangan setengah-setengah atau Bu Nur tidak akan jera."Ngapain sih di depan pintu sambil merem?"
***Kami terlibat obrolan ringan seputar motor baru yang baru saja datang. Kebetulan Ayah pun sudah pulang sehingga ketiganya bisa leluasa saling tanya."Bu Narti, spada ...."Aku mencebik saat mendengar suara tetangga depan rumah. Sudah kuduga dia akan datang kemari apalagi tadi sempat kulihat Bu Nurma mengintip dari balik jendela rumahnya.Gegas aku menemui Bu Nurma di depak pintu, "Iya, Bu? Ada perlu apa ya, maaf kami sedang ada tamu," ucapku sedikit lebih sopan. Hitung-hitung sebagai hadiah karena selama dua Minggu ini Bu Nurma hampir tidak pernah menggangguku lagi jika bertemu.Tanpa menjawab pertanyaan yang kulontarkan, Bu Nurma langsung saja nyelonong masuk ke dalam rumah. Dia menabrak pundakku dengan keras dan meninggalkanku teronggok di depan pintu. Sebenarnya siapa yang tamu disini?Sopan santun yang baru saja kuterapkan padanya seketika kurasa tidak berguna. Gegas aku menyusul wanita tambun itu masuk ke dalam rumah. Jangan sampai dia memancing keributan disaat ada tamu di d
***"Serius, Yah?"Ayah mengangguk sambil tergelak. Begitupun Ibu, mereka tertawa menceritakan siapa sebenarnya Bu Nurma di masa lalu Ayah."Jadi ceritanya gagal move on?" tanyaku. Ayah mengedikkan bahu, "Tidak. Hanya saja sepertinya dia suka menggoda Ibu. Dia ingin tau sampai batas mana kesabaran istri Ayah," goda Ayah membuat pipi Ibu merona. Aku tertawa. Beruntung sekali Ibu tidak terlalu mempermasalahkan siapa Bu Nurma pada masa lalu Ayah. Lagipula aku yakin Ibu bukan tipe wanita yang mudah cemburu apalagi Ayah pun tidak pernah menyakiti hati Ibu. Meninggikan suara di depan kami saja tidak pernah. Bagiku Ayah adalah imam paling baik di keluarga kami.***Pagi ini rasanya sungguh berbeda. Hari pertama bekerja dari rumah membuatku begitu bersemangat. Untuk urusan pengunduran diri di Perusahaan lama sudah aku kirim lewat email. Jadi tidak perlu bersusah payah kembali ke kota lagi sementara untuk uang pesangon, pihak Perusahaan akan langsung mengirim ke rekening pekerja dengan batas
***Aku berbalik dan mendapati sosok Putri sedang berlari ke arahku. Mau apa lagi dia? Baru saja ingin kembali berbalik, Putri sudah mencekal pergelangan tanganku lebih dulu."Apa?" Aku terpaksa berhenti dan menatap wajahnya malas. "Kalau cuma mau nyari ribut mending lain kali aja deh, malu dilihat banyak orang," kataku.Putri mengedarkan pandangan. Dilepasnya begitu saja tanganku dari cengkeramannya. "Aku cuma mau mengingatkan, awas saja ya kalau kamu berkoar-koar di rumah pekerjaanku disini sebagai OG. Aku nggak akan tinggal diam, kamu pasti aku pecat kalau jabatanku sudah naik menjadi Assisten HRD nanti. Ingat itu," ancamnya dengan dada naik turun."Bodoh amat!" Aku berlalu meninggalkan Putri yang terlihat semakin kesal. Aku malas meladeni ucapannya saat ini, inginku segera pulang dan memeluk Ibu dengan erat."Brengsek! Awas aja ya kamu, Nina!" teriak Putri lantang. Terserah dia mau bilang apa, lagipula untuk apa aku mengadu pada Bu Nurma tentang anaknya. Salah-salah justru aku ya
Sesampainya di depan gedung menjulang tinggi. Jantungku berdebar padahal ini bukan kali pertama aku melakukan interview lanjutan. Tapi tetap saja aku merasa takut, bahkan kedua tanganku sudah berkeringat sekarang."Bismillahirahmaniraahim," gumamku menguatkan diri. Bagaimanapun hasilnya, terima dengan ikhlas. Begitulah pesan ibu.Setelah bertanya pada satpam, aku melengang menuju tempat yang berbeda dari interview pertama kemarin. Rasa takut kembali menyerang, aku gugup. Tapi lagi-lagi petuah Ibu membuatku sedikit nyaman.Setelah menunggu giliran, terpanggil juga namaku untuk masuk ke ruang HRD. Kurang lebih tiga puluh menit seorang wanita mengajukan beberapa pertanyaan yang terkadang membuat kita merasa dibingungkan. Apalagi saat pertanyaan yang memaksa kita memilih jawaban antara kepentingan Perusahaan atau urusan pribadi. Beruntung aku sedikit banyak tau tentang pertanyaan-pertanyaan jebakan seperti ini. Semoga saja aku t
Rasanya bosan sekali seharian nunggu Putri pulang dari melamar kerja. Jantungku susah berdebar-debar membayangkan jika dia tidak lolos. Tidak! Semoga anakku yang diterima kerja disana, bukan Nina.Tok ... Tok ... Tok ....Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suara dan ketukan pintu membuatku berjingkrak dan dengan gegas menarik handel pintu."Ma, buka pintunya!" teriak Putri.Kebiasaan!Selalu saja teriak-teriak! Mana nggak pernah mau ngucapin salam lagi. Kalau aku ke tetangga depan memang nggak pernah ucap salam kalau mau bertamu. Emangnya mereka siapa sampai patut disopanin?"Jangan teriak-teriak bisa nggak sih?" Aku langsung ngedumel saat pintu terbuka lebar. Kulihat Putri mencebik dan melepas sepatunya asal."Aku capek, Ma," keluhnya. "Ambilin makan dong, sekarang!"Jika bukan ingat kalau dia baru saja melamar kerja, sudah kujitak kepalanya sekarang juga. Kebiasaa
Namaku Nurma.Nurma Nur Madinah. Ibu rumah tangga dengan satu orang anak bernama Putri. Suamiku bekerja sebagai supir truk. Seringkali pergi ke luar kota untuk mengirim barang membuatnya pulang terkadang sebulan sekali. Tidak masalah, bagiku uang mengalir deras lebih penting daripada suami di rumah tapi tidak ada penghasilan.Tuh, persis tetangga depan rumah!Keluarga miskin tapi sok terlihat harmonis. Bikin gedek lihatnya. Mentang-mentang aku dan suami lagi berjauhan, tapi kami masih romantis kok. Serius! Yang bikin lebih gedek lagi, anaknya yang sepantaran sama Putri udah pulang dari kota. Lagaknya sok kaya padahal mah miskin ya miskin aja.Lagipula untuk apa anak perempuan bekerja jauh-jauh, bisa-bisa dia hamil di luar nikah kalau pergaulan terlalu bebas. Anakku dong, dia hanya di rumah dan kadang pergi sama teman-temannya yang katanya mau nongkrong. Biar, biar dia merasakan masa muda lebih dulu. Aku bu
***Seharian kemarin aku menunggu kabar dari Perusahaan tempatku melamar kerja, tapi memang mungkin benar kata Ibu jika rejekiku bukan disana. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota mengingat cuti libur yang aku terima sudah usai.Ibu sudah berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk kembali merantau. Aku membantunya memasak cukup banyak hari ini, karena memang sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan kembali ke kota, banyak sekali makanan yang Ibu bawakan mengingat teman-teman di indekos memang terbilang cukup banyak. Agar bisa berbagi, kata Ibu. Dan aku mengiyakan."Kak, hape nya bunyi tuh." Sari keluar dari kamar dan menepuk pundakku lembut. "Daritadi juga, masa nggak dengar?" Aku menggeleng dan berlalu menuju kamar sementara Sari menggantikan posisiku di dapur membantu Ibu.Aku memang masih satu kamar dengan Sari. Meskipun sudah sama-sama dewasa, kami memang masih tidur seranjang m