***
Sepulang dari berbelanja, aku memilih bungkam atas apa yang sudah aku dengar di tempat Mamang. Sekalipun ingin rasanya aku menceritakan pada Ibu apa yang sudah Bu Nurma katakan tentang keluarga kami. Tapi, melihat Ibu yang masih lemas dengan wajah yang semakin memucat, aku lebih memilih menelan semua ucapan pedas Bu Nurma. Ibu menungguku memasak di dapur. Terkadang aku merasa tidak berguna sebagai seorang anak, bahkan untuk mengolah masakan saja harus dipandu Ibu tentang bumbu-bumbu apa saja yang harus aku pakai. Tapi jujur, aku memang tidak pandai memasak. "Enak, Mbak?" tanya Sari, dia menarik satu kursi dan mendaratkan bokongnya disana."Tentu, siapa dulu dong yang masak?" Aku mengangkat kerah baju dan membusungkan dada.
"Halah, sama aja kayak Ibu yang masak. Nasib amat punya Mbak nggak bisa masak!" cibir Dana. Aku melayangkan tinju ke lengannya, membuat lelaki yang tingginya sudah hampir menyamaiku itu meringis kesakitan.Ibu hanya tersenyum melihat kami bertikai di pagi hari. Entah mengapa, aku juga merasa suasana semakin hidup saat kita sering bercanda dengan keluarga. Tidak lama setelah itu, Ayah datang, membuat kami seketika diam dan duduk dengan tenang di kursi makan.Sari membantuku membereskan piring kotor, sementara Ibu sudah kembali ke kamar. Semoga setelah kepulanganku ini, Ibu semakin membaik dan keadaannya semakin sehat. Setelah tidur siang, entah kenapa badanku tiba-tiba terasa kurang sehat. Mungkin efek dari cuaca yang kini mulai tidak menentu. Terkadang panas, namun sejam lagi bisa saja hujan. Imun tubuhku seperti mulai melemah. Perutku terasa mual seperti tengah diaduk. Saat Ibu sudah benar-benar sembuh, malah giliran aku yang jatuh sakit. "Permisi! Spadaaa!"Aku yang sengaja rebahan di depan Televisi mendengar suara orang dari depan. Sejak dulu, aku tidak terbiasa tidur berlama-lama di dalam kamar meskipun dalam kondisi sakit. Aku merasa tubuhku akan semakin melemah jika tidak dipaksa bangun. Kebetulan, Ibu sedang memasak bubur di dapur untukku. Dana dan Sari sudah berangkat ke sekolah sejak tadi, sementara Ayah juga sudah pergi mengais rejeki seperti biasa.Meskipun aku sudah bekerja, tidak menjadikan alasan Ayah untuk bermalas-malasan hanya menunggu uang kiriman dariku. Aku ingat, Ayah pernah bilang bahwa harga diri laki laki terletak pada dia bekerja atau tidak. Dan kini aku mengerti alasan Ayah tetap pergi mencari nafkah karena ingin memberikan contoh pada kami, jika lelaki seharusnya tidak lemah sekalipun keadaan tidak berpihak padanya. Sangat jelas terekam di otak, saat Ayah pergi pagi-pagi buta dan pulang hampir tengah malam, demi bisa membayar uang kelulusanku. Jika mengingat perjuangan Ayah, aku tidak pernah bisa menahan butiran bening hingga luruh dari kelopaknya."Halooo ... Spadaaa ...!"Teriakan dari depan membuatku tersadar dari lamunan. Kuseka sudut mata yang sedikit berair mengingat perjuangan Ayah demi anak-anaknya. Dengan langkah gontai dan kepala yang terasa berputar, aku berjalan menuju pintu hendak melihat siapa yang datang.Aku membuka pintu, "Waalaikumsalam," kataku, meskipun aku dengar dengan jelas jika wanita di depanku ini tidak mengucap salam. "Maaf, Bu. Ada perlu apa ya?" tanyaku basa-basi."Mbok yo disuruh masuk dulu, nggak sopan banget orang tua disuruh berdiri di depan pintu," gerutu Bu Nurma. Aku mengangguk dan mempersilahkan dia masuk ke dalam rumah.
"Iya, silahkan!"Kubuka pintu rumah lebar-lebar. Mata Bu Nurma seolah tengah memindai tiap perabotan di rumahku. Bibirnya bahkan kulihat sesekali mencebik saat netranya menangkap perabotan yang harganya lumayan menguras kantong.
"Mana ibumu?" Bu Nurma mendaratkan bokongnya di kursi kayu yang kubeli dari gaji pertamaku selama bekerja di kota.Kulihat Bu Nurma berdecak kagum dan mengelus-elus pegangan kursi dengan lembut. Aku rasa, Bu Nurma sedang menghayati duduk di kursi Keraton Jawa. Wanita bertubuh tambun itu menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata. Aku begidig ngeri, tiba-tiba merasa aneh dengan sikap Bu Nurma.
"Maaf, Bu. Ibu lagi masak di dapur. Tolong tunggu sebentar, saya panggilkan!" Ucapanku membuat Bu Nurma membuka matanya dan membuang muka ke arah lain. Dia mengangguk, tangannya dikibaskan ke udara seperti sedang mengusirku agar segara pergi. Sejenak aku merasa seperti dialah Sang Empunya Rumah. "Punya anak gadis kok kerjaannya leyeh-leyeh terus. Orang tua masih saja disibukkan urusan dapur. Kalau nggak mau repot, panggil Asisten Rumah Tangga dong! Lihat tuh si Putri, udah bisa nyewa ART buat aku!" Tak kuhiraukan ocehan Bu Nurma. Malas sekali rasanya harus mendengar dia merepet tentang anaknya yang sejak dulu tidak bersahabat denganku. Sekalipun kita satu tingkat kelulusan, bahkan satu sekolahan saat itu, tapi aku dan Putri hampir tidak pernah bertegur sapa. Putri terkenal dengan sosok yang pemilih dalam berteman."Dasar gak ada akhlak! Kelamaan hidup di kota jadi nggak punya unggah-ungguh!"Aku menarik nafas panjang, jika saja boleh, ingin kusiram wajah wanita di depanku ini menggunakan air sebaskom. Ingin sekali dihormati, tapi dia bahkan lupa bagaimana cara menghormati orang lain."Oalah, Bu Nurma toh. Maaf, saya lagi buatin Nina bubur. Kalau boleh tahu, ada apa ya, Bu?" tanya Ibu ramah. Aku turut duduk di sebelah Ibu dengan penasaran. Pasalnya, sepagi ini Bu Nurma sudah bertandang ke rumahku, padahal aku yakin, bahkan para Ibu-ibu yang lain sedang memasak menyiapkan sarapan untuk keluarga mereka.
"Ya iseng aja sih! Aku tuh di rumah nggak ada kerjaan, main-main sebentar di rumahmu yang kecil banget ini masa nggak boleh? Ada tetangga mampir kok pertanyaanmu gitu amat!"Aku menganga tidak percaya. Sosok seperti apa sebenarnya yang menjadi tetangga kami ini? Sejak kecil aku tinggal di kampung ini, kenapa baru sekarang aku tau jika Bu Nurma itu ternyata nyebelin banget!
Pagi-pagi mengetuk pintu rumah orang. Aku kira ada hal penting, nggak taunya malah iseng-iseng doang. Dia pikir rumah kami tempat pergosipan apa?"Ah, tapi maaf, Bu. Saya mau lanjutin masak bubur dulu. Biar Nina yang nemenin Bu Nurma ngobrol ya," tutur Ibu hendak berlalu dari hadapan kami."Itu kenapa nggak Nina aja yang disuruh masak? Pulang dari kota bisanya nyusahin orang tua, masa sekedar masak bubur aja nggak bisa?"Lagi, ucapan Bu Nurma terdengar sangat pedas di telingaku. Tapi kulihat Ibu hanya tersenyum tipis dan menepuk bahuku lembut, "Nina lagi nggak enak badan Bu, masuk angin," ujar Ibu mencoba menjelaskan keadaanku yang sebenarnya."Udah dibawa periksa?"Ibu melihat ke arahku dengan kening berkerut. Aku mengedikkan bahu, mungkin memang Bu Nurma terbiasa ke dokter saat masuk angin. Meskipun dalam keluargaku cara mengobatinya hanya cukup istirahat dan tidak telat makan. Aku mencoba berpikir positif pada saran yang Bu Nurma lontarkan."Nggak perlu Bu, ini cuma masuk angin biasa kok." Aku menimpali ucapan Bu Nurma. Bergegas ibu kembali ke dapur meneruskan acara memasaknya setelah berpamitan pada Bu Nurma selaku tamu agung di pagi hari."Kamu hamil kan? Makanya nggak mau diajakin periksa. Udah ngaku aja daripada entar ketahuan kalau udah gede tuh perut!" Ucapan sinis dari mulutnya keluar begitu saja tanpa disaring terlebih dahulu. Dadaku seperti sedang ditekan dengan kuat, sesak, sakit, saat tuduhan Bu Nurma meluncur begitu saja."Alhamdulillah tidak Bu, saya bisa menjaga diri meskipun hidup di kota, lagipula tidak semua kota mempunyai pengaruh buruk bagi masyarakatnya. Tergantung bagaimana kita bersikap dan menempatkan diri agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang dilarang Agama.""Ya, mana ada maling ngaku. Lagipula tanda-tanda hamil muda itu memang mirip seperti orang yang lagi masuk angin!" Mulutnya tak henti melukai hati, sementara tangannya sibuk merogoh toples berisi cemilan di atas meja."Maaf Bu, kalau memang tidak ada keperluan yang penting, lebih baik Bu Nurma pulang, saya ingin istirahat, kebetulan ibu juga sedang masak."Matanya melotot ke arahku, "Kamu ngusir saya?" Bu Nurma bangkit dari duduknya dengan kedua tangan berkacak pinggang."Saya benar-benar minta maaf, Bu. Tapi memang sepertinya kedatangan Bu Nurma hanya ingin membuat keributan di rumah saya. Sejak tadi mulut Ibu tidak berhenti mencibir bahkan sudah menuduh saya yang tidak-tidak. Silahkan Ibu pulang saja.""Baru bisa kerja di kota aja gaya kamu udah kayak yang paling kaya. Ingat, Nin. Ayah kamu cuma tukang becak, kulkas baru juga paling hasil kredit."Wah, ternyata matanya awas juga. Daritadi berbicara sambil mengamati isi rumah.
"Alhamdulillah, saya bisa beli cash Bu. Silahkan keluar, pintunya hendak saya tutup."Bu Nurma mencebik, "Ini jajan apasih, nggak enak banget." Dia merogoh lagi isi toples dan dengan langkah ogah-ogahan keluar dari rumahku.Gegas kututup pintu setelah Bu Nurma keluar. Kurang kerjaan banget pagi-pagi ngajakin gibah. Jadi kesel kan!***"Nin, gimana? Udah berapa bulan? Udah periksa belum? Positif kan?" Bu Nurma mencecarku dengan banyak pertanyaan. Di depan para ibu ibu yang sedang berbelanja, Bu Nurma seolah sedang menggiring opini bahwa aku sedang hamil."Positif apa Bu?" Aku pura pura tidak mengerti. Bagaimana bisa positif, melakukan aja belum pernah. Astaghfirullah!"Iya Bu Nur, positif apa ini?" Seseibu turut menimpali. Bu Nurma tersenyum penuh arti. Sepertinya bahagia sekali ucapannya ada yang menanggapi."Kemarin Nina itu sakit, masuk angin kata ibunya. Ya udah, aku suruh periksa, siapa tau hamil. Secara dia kan hidup di kota sendiri. Pergaulan bebas!"Bersambung
***Aku tertawa mendengar penuturannya. Wanita yang kutaksir seumuran dengan Ayah itu mengerutkan keningnya melihat ke arahku. Mungkin dia pikir aku akan terpancing emosi dan marah-marah nggak jelas karena di tuduh hamil? Oh, tentu tidak! Itu hanya akan membuat orang lain membenarkan ucapan Bu Nurma.Pelan-pelan aku menjelaskan pada ibu-ibu yang kebetulan sedang berbelanja kalau memang kemarin sedang masuk angin saja, buka hamil. Beberapa nampak percaya dengan ucapanku, dan benar saja, beberapa yang lain nampak meragukan kebenaran yang kuucap, terbukti dari bibir mereka yang mencebik."Jangan suka suudzon, Bu Nur! Hati-hati loh, Putri kan juga perempuan." Bu Tari mulai menimpali."Ya beda dong! Jangan samakan Putri dengan Nina, lagipula nih ya, Putri itu enggak merantau, kalau hangout juga masih saya pantau. Asal Bu Tari tau, teman-temannya aja berkelas."
***Sesampainya di depan gedung tinggi nan menjulang, aku segera memarkirkan motor dan membawa langkah kaki dengan gesit menuju tempat berlangsungnya interview. Benar saja, ada Putri yang sudah duduk dengan anggun di salah satu kursi tunggu bagi kami, para pejuang amplok coklat.Debar demi debar di dada kurasakan dengan nikmat. Satu per satu dari kami masuk ke dalam ruangan. Hingga tibalah giliranku, setelah Putri yang lebih dulu masuk barusan."Dih, norak banget! Nggak bakalan deh keterima, gayanya aja kampungan!" cibir Putri lirih, namun indra pendengarku menangkap jelas ucapannya.Aku mengedikkan bahu, malas saja jika harus berdebat di tempat umum begini. Jangan sampai aku memberikan kesan yang buruk padahal diterima kerja juga belum.Melihatku berlalu tanpa menanggapi ucapannya, kulirik Putri mengehentak-hentakkan kakinya.
***Seharian kemarin aku menunggu kabar dari Perusahaan tempatku melamar kerja, tapi memang mungkin benar kata Ibu jika rejekiku bukan disana. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota mengingat cuti libur yang aku terima sudah usai.Ibu sudah berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk kembali merantau. Aku membantunya memasak cukup banyak hari ini, karena memang sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan kembali ke kota, banyak sekali makanan yang Ibu bawakan mengingat teman-teman di indekos memang terbilang cukup banyak. Agar bisa berbagi, kata Ibu. Dan aku mengiyakan."Kak, hape nya bunyi tuh." Sari keluar dari kamar dan menepuk pundakku lembut. "Daritadi juga, masa nggak dengar?" Aku menggeleng dan berlalu menuju kamar sementara Sari menggantikan posisiku di dapur membantu Ibu.Aku memang masih satu kamar dengan Sari. Meskipun sudah sama-sama dewasa, kami memang masih tidur seranjang m
Namaku Nurma.Nurma Nur Madinah. Ibu rumah tangga dengan satu orang anak bernama Putri. Suamiku bekerja sebagai supir truk. Seringkali pergi ke luar kota untuk mengirim barang membuatnya pulang terkadang sebulan sekali. Tidak masalah, bagiku uang mengalir deras lebih penting daripada suami di rumah tapi tidak ada penghasilan.Tuh, persis tetangga depan rumah!Keluarga miskin tapi sok terlihat harmonis. Bikin gedek lihatnya. Mentang-mentang aku dan suami lagi berjauhan, tapi kami masih romantis kok. Serius! Yang bikin lebih gedek lagi, anaknya yang sepantaran sama Putri udah pulang dari kota. Lagaknya sok kaya padahal mah miskin ya miskin aja.Lagipula untuk apa anak perempuan bekerja jauh-jauh, bisa-bisa dia hamil di luar nikah kalau pergaulan terlalu bebas. Anakku dong, dia hanya di rumah dan kadang pergi sama teman-temannya yang katanya mau nongkrong. Biar, biar dia merasakan masa muda lebih dulu. Aku bu
Rasanya bosan sekali seharian nunggu Putri pulang dari melamar kerja. Jantungku susah berdebar-debar membayangkan jika dia tidak lolos. Tidak! Semoga anakku yang diterima kerja disana, bukan Nina.Tok ... Tok ... Tok ....Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suara dan ketukan pintu membuatku berjingkrak dan dengan gegas menarik handel pintu."Ma, buka pintunya!" teriak Putri.Kebiasaan!Selalu saja teriak-teriak! Mana nggak pernah mau ngucapin salam lagi. Kalau aku ke tetangga depan memang nggak pernah ucap salam kalau mau bertamu. Emangnya mereka siapa sampai patut disopanin?"Jangan teriak-teriak bisa nggak sih?" Aku langsung ngedumel saat pintu terbuka lebar. Kulihat Putri mencebik dan melepas sepatunya asal."Aku capek, Ma," keluhnya. "Ambilin makan dong, sekarang!"Jika bukan ingat kalau dia baru saja melamar kerja, sudah kujitak kepalanya sekarang juga. Kebiasaa
Sesampainya di depan gedung menjulang tinggi. Jantungku berdebar padahal ini bukan kali pertama aku melakukan interview lanjutan. Tapi tetap saja aku merasa takut, bahkan kedua tanganku sudah berkeringat sekarang."Bismillahirahmaniraahim," gumamku menguatkan diri. Bagaimanapun hasilnya, terima dengan ikhlas. Begitulah pesan ibu.Setelah bertanya pada satpam, aku melengang menuju tempat yang berbeda dari interview pertama kemarin. Rasa takut kembali menyerang, aku gugup. Tapi lagi-lagi petuah Ibu membuatku sedikit nyaman.Setelah menunggu giliran, terpanggil juga namaku untuk masuk ke ruang HRD. Kurang lebih tiga puluh menit seorang wanita mengajukan beberapa pertanyaan yang terkadang membuat kita merasa dibingungkan. Apalagi saat pertanyaan yang memaksa kita memilih jawaban antara kepentingan Perusahaan atau urusan pribadi. Beruntung aku sedikit banyak tau tentang pertanyaan-pertanyaan jebakan seperti ini. Semoga saja aku t
***Aku berbalik dan mendapati sosok Putri sedang berlari ke arahku. Mau apa lagi dia? Baru saja ingin kembali berbalik, Putri sudah mencekal pergelangan tanganku lebih dulu."Apa?" Aku terpaksa berhenti dan menatap wajahnya malas. "Kalau cuma mau nyari ribut mending lain kali aja deh, malu dilihat banyak orang," kataku.Putri mengedarkan pandangan. Dilepasnya begitu saja tanganku dari cengkeramannya. "Aku cuma mau mengingatkan, awas saja ya kalau kamu berkoar-koar di rumah pekerjaanku disini sebagai OG. Aku nggak akan tinggal diam, kamu pasti aku pecat kalau jabatanku sudah naik menjadi Assisten HRD nanti. Ingat itu," ancamnya dengan dada naik turun."Bodoh amat!" Aku berlalu meninggalkan Putri yang terlihat semakin kesal. Aku malas meladeni ucapannya saat ini, inginku segera pulang dan memeluk Ibu dengan erat."Brengsek! Awas aja ya kamu, Nina!" teriak Putri lantang. Terserah dia mau bilang apa, lagipula untuk apa aku mengadu pada Bu Nurma tentang anaknya. Salah-salah justru aku ya
***"Serius, Yah?"Ayah mengangguk sambil tergelak. Begitupun Ibu, mereka tertawa menceritakan siapa sebenarnya Bu Nurma di masa lalu Ayah."Jadi ceritanya gagal move on?" tanyaku. Ayah mengedikkan bahu, "Tidak. Hanya saja sepertinya dia suka menggoda Ibu. Dia ingin tau sampai batas mana kesabaran istri Ayah," goda Ayah membuat pipi Ibu merona. Aku tertawa. Beruntung sekali Ibu tidak terlalu mempermasalahkan siapa Bu Nurma pada masa lalu Ayah. Lagipula aku yakin Ibu bukan tipe wanita yang mudah cemburu apalagi Ayah pun tidak pernah menyakiti hati Ibu. Meninggikan suara di depan kami saja tidak pernah. Bagiku Ayah adalah imam paling baik di keluarga kami.***Pagi ini rasanya sungguh berbeda. Hari pertama bekerja dari rumah membuatku begitu bersemangat. Untuk urusan pengunduran diri di Perusahaan lama sudah aku kirim lewat email. Jadi tidak perlu bersusah payah kembali ke kota lagi sementara untuk uang pesangon, pihak Perusahaan akan langsung mengirim ke rekening pekerja dengan batas
***"Haduh, Nina ... ada makanan nganggur nggak? Perutku rasanya perih, melilit. Duh ... duh ... mana nungguin Putri dari tadi belum juga pulang," keluhnya sembari memegang perutnya yang buncit.Aku mencebik. "Mana nomor Putri, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Bibir Bu Nurma mengerucut, dia merogoh saku daster dan menyerahkan ponselnya ke arahku. "Nih! cari saja sendiri, nama kontaknya Putri membanggakan!"Lagi-lagi aku dibuat menghela napas panjang. Ucapan Bu Nurma seperti memiliki artian khusus apalagi ketika matanya melirik tajam ke arahku.Apa maksudnya?Ingin membuktikan di depanku kalau Putri itu anak yang membanggakan begitu?Tidak ingin berlama-lama berada di dekat Bu Nurma, segera aku menekan nomor Putri agar wanita paruh baya yang sebenarnya sedang menyandang gelar musuh bebuyutan ini segera enyah dari depanku.Tut ... Tut ... Tut ....Lama ....Cukup lama sekali panggilanku tidak
***"Akhirnya motor baruku datang juga. Beli kontan dong, makasih ya, Mas sudah diantar ke rumah." Suara Bu Nurma terdengar hingga depan rumahku.Aku yang baru saja pulang dari kantor dibuat tercengang dengan pemandangan di depan rumahnya. Bagaimana tidak ... motor baru yang Bu Nurma beli sama persis dengan motor baru punyaku. Sengaja nih orang!Enggan dikira ingin tau, aku gegas masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi ke arahnya."Huuu, pasti ngiri deh!" teriaknya lantang.Di balik pintu aku mengelus dada perlahan-lahan. Jangan sampai emosi meledak saat ini juga. Iri dia bilang? Bukannya yang lebih dulu beli motor itu aku?Argh, entahlah! Bisa gila aku lama-lama kalau masih saja menggubris ucapan Bu Nurma. Benar kata Sari, kalau mau diam ... maka jangan peduli sedikitpun. Kalau mau lawan, jangan pernah ragu. Bertindak jangan setengah-setengah atau Bu Nur tidak akan jera."Ngapain sih di depan pintu sambil merem?"
***Kami terlibat obrolan ringan seputar motor baru yang baru saja datang. Kebetulan Ayah pun sudah pulang sehingga ketiganya bisa leluasa saling tanya."Bu Narti, spada ...."Aku mencebik saat mendengar suara tetangga depan rumah. Sudah kuduga dia akan datang kemari apalagi tadi sempat kulihat Bu Nurma mengintip dari balik jendela rumahnya.Gegas aku menemui Bu Nurma di depak pintu, "Iya, Bu? Ada perlu apa ya, maaf kami sedang ada tamu," ucapku sedikit lebih sopan. Hitung-hitung sebagai hadiah karena selama dua Minggu ini Bu Nurma hampir tidak pernah menggangguku lagi jika bertemu.Tanpa menjawab pertanyaan yang kulontarkan, Bu Nurma langsung saja nyelonong masuk ke dalam rumah. Dia menabrak pundakku dengan keras dan meninggalkanku teronggok di depan pintu. Sebenarnya siapa yang tamu disini?Sopan santun yang baru saja kuterapkan padanya seketika kurasa tidak berguna. Gegas aku menyusul wanita tambun itu masuk ke dalam rumah. Jangan sampai dia memancing keributan disaat ada tamu di d
***"Serius, Yah?"Ayah mengangguk sambil tergelak. Begitupun Ibu, mereka tertawa menceritakan siapa sebenarnya Bu Nurma di masa lalu Ayah."Jadi ceritanya gagal move on?" tanyaku. Ayah mengedikkan bahu, "Tidak. Hanya saja sepertinya dia suka menggoda Ibu. Dia ingin tau sampai batas mana kesabaran istri Ayah," goda Ayah membuat pipi Ibu merona. Aku tertawa. Beruntung sekali Ibu tidak terlalu mempermasalahkan siapa Bu Nurma pada masa lalu Ayah. Lagipula aku yakin Ibu bukan tipe wanita yang mudah cemburu apalagi Ayah pun tidak pernah menyakiti hati Ibu. Meninggikan suara di depan kami saja tidak pernah. Bagiku Ayah adalah imam paling baik di keluarga kami.***Pagi ini rasanya sungguh berbeda. Hari pertama bekerja dari rumah membuatku begitu bersemangat. Untuk urusan pengunduran diri di Perusahaan lama sudah aku kirim lewat email. Jadi tidak perlu bersusah payah kembali ke kota lagi sementara untuk uang pesangon, pihak Perusahaan akan langsung mengirim ke rekening pekerja dengan batas
***Aku berbalik dan mendapati sosok Putri sedang berlari ke arahku. Mau apa lagi dia? Baru saja ingin kembali berbalik, Putri sudah mencekal pergelangan tanganku lebih dulu."Apa?" Aku terpaksa berhenti dan menatap wajahnya malas. "Kalau cuma mau nyari ribut mending lain kali aja deh, malu dilihat banyak orang," kataku.Putri mengedarkan pandangan. Dilepasnya begitu saja tanganku dari cengkeramannya. "Aku cuma mau mengingatkan, awas saja ya kalau kamu berkoar-koar di rumah pekerjaanku disini sebagai OG. Aku nggak akan tinggal diam, kamu pasti aku pecat kalau jabatanku sudah naik menjadi Assisten HRD nanti. Ingat itu," ancamnya dengan dada naik turun."Bodoh amat!" Aku berlalu meninggalkan Putri yang terlihat semakin kesal. Aku malas meladeni ucapannya saat ini, inginku segera pulang dan memeluk Ibu dengan erat."Brengsek! Awas aja ya kamu, Nina!" teriak Putri lantang. Terserah dia mau bilang apa, lagipula untuk apa aku mengadu pada Bu Nurma tentang anaknya. Salah-salah justru aku ya
Sesampainya di depan gedung menjulang tinggi. Jantungku berdebar padahal ini bukan kali pertama aku melakukan interview lanjutan. Tapi tetap saja aku merasa takut, bahkan kedua tanganku sudah berkeringat sekarang."Bismillahirahmaniraahim," gumamku menguatkan diri. Bagaimanapun hasilnya, terima dengan ikhlas. Begitulah pesan ibu.Setelah bertanya pada satpam, aku melengang menuju tempat yang berbeda dari interview pertama kemarin. Rasa takut kembali menyerang, aku gugup. Tapi lagi-lagi petuah Ibu membuatku sedikit nyaman.Setelah menunggu giliran, terpanggil juga namaku untuk masuk ke ruang HRD. Kurang lebih tiga puluh menit seorang wanita mengajukan beberapa pertanyaan yang terkadang membuat kita merasa dibingungkan. Apalagi saat pertanyaan yang memaksa kita memilih jawaban antara kepentingan Perusahaan atau urusan pribadi. Beruntung aku sedikit banyak tau tentang pertanyaan-pertanyaan jebakan seperti ini. Semoga saja aku t
Rasanya bosan sekali seharian nunggu Putri pulang dari melamar kerja. Jantungku susah berdebar-debar membayangkan jika dia tidak lolos. Tidak! Semoga anakku yang diterima kerja disana, bukan Nina.Tok ... Tok ... Tok ....Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suara dan ketukan pintu membuatku berjingkrak dan dengan gegas menarik handel pintu."Ma, buka pintunya!" teriak Putri.Kebiasaan!Selalu saja teriak-teriak! Mana nggak pernah mau ngucapin salam lagi. Kalau aku ke tetangga depan memang nggak pernah ucap salam kalau mau bertamu. Emangnya mereka siapa sampai patut disopanin?"Jangan teriak-teriak bisa nggak sih?" Aku langsung ngedumel saat pintu terbuka lebar. Kulihat Putri mencebik dan melepas sepatunya asal."Aku capek, Ma," keluhnya. "Ambilin makan dong, sekarang!"Jika bukan ingat kalau dia baru saja melamar kerja, sudah kujitak kepalanya sekarang juga. Kebiasaa
Namaku Nurma.Nurma Nur Madinah. Ibu rumah tangga dengan satu orang anak bernama Putri. Suamiku bekerja sebagai supir truk. Seringkali pergi ke luar kota untuk mengirim barang membuatnya pulang terkadang sebulan sekali. Tidak masalah, bagiku uang mengalir deras lebih penting daripada suami di rumah tapi tidak ada penghasilan.Tuh, persis tetangga depan rumah!Keluarga miskin tapi sok terlihat harmonis. Bikin gedek lihatnya. Mentang-mentang aku dan suami lagi berjauhan, tapi kami masih romantis kok. Serius! Yang bikin lebih gedek lagi, anaknya yang sepantaran sama Putri udah pulang dari kota. Lagaknya sok kaya padahal mah miskin ya miskin aja.Lagipula untuk apa anak perempuan bekerja jauh-jauh, bisa-bisa dia hamil di luar nikah kalau pergaulan terlalu bebas. Anakku dong, dia hanya di rumah dan kadang pergi sama teman-temannya yang katanya mau nongkrong. Biar, biar dia merasakan masa muda lebih dulu. Aku bu
***Seharian kemarin aku menunggu kabar dari Perusahaan tempatku melamar kerja, tapi memang mungkin benar kata Ibu jika rejekiku bukan disana. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota mengingat cuti libur yang aku terima sudah usai.Ibu sudah berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk kembali merantau. Aku membantunya memasak cukup banyak hari ini, karena memang sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan kembali ke kota, banyak sekali makanan yang Ibu bawakan mengingat teman-teman di indekos memang terbilang cukup banyak. Agar bisa berbagi, kata Ibu. Dan aku mengiyakan."Kak, hape nya bunyi tuh." Sari keluar dari kamar dan menepuk pundakku lembut. "Daritadi juga, masa nggak dengar?" Aku menggeleng dan berlalu menuju kamar sementara Sari menggantikan posisiku di dapur membantu Ibu.Aku memang masih satu kamar dengan Sari. Meskipun sudah sama-sama dewasa, kami memang masih tidur seranjang m