***
Aku tertawa mendengar penuturannya. Wanita yang kutaksir seumuran dengan Ayah itu mengerutkan keningnya melihat ke arahku. Mungkin dia pikir aku akan terpancing emosi dan marah-marah nggak jelas karena di tuduh hamil? Oh, tentu tidak! Itu hanya akan membuat orang lain membenarkan ucapan Bu Nurma.
Pelan-pelan aku menjelaskan pada ibu-ibu yang kebetulan sedang berbelanja kalau memang kemarin sedang masuk angin saja, buka hamil. Beberapa nampak percaya dengan ucapanku, dan benar saja, beberapa yang lain nampak meragukan kebenaran yang kuucap, terbukti dari bibir mereka yang mencebik.
"Jangan suka suudzon, Bu Nur! Hati-hati loh, Putri kan juga perempuan." Bu Tari mulai menimpali.
"Ya beda dong! Jangan samakan Putri dengan Nina, lagipula nih ya, Putri itu enggak merantau, kalau hangout juga masih saya pantau. Asal Bu Tari tau, teman-temannya aja berkelas.""Kelas berapa Bu?" Aku menanggapi ucapannya dengan bergurau."Kelas Nol Besar," jawab Bu Tari cepat. Akhirnya kami semua tertawa, tentu saja kecuali Bu Nurma. Hatinya mungkin sangat kesal karena gagal menyebarkan gosip kehamilanku."Halah, tunggu aja sampai lima bulan lagi. Paling juga perutmu nanti membesar," sahut Bu Nurma, senyuman sinis terpatri di wajahnya."Ya silahkan, kalau Ibu mau nunggu perut saya membesar juga boleh. Tapi jangan kecewa nanti kalau apa yang Bu Nur tuduhkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada."
"Kita lihat saja ya Ibu-ibu, empat atau lima bulan lagi pasti perut dia mmbesar. Secara hidup di kota itu pergaulan bebas. Mau apa-apa ngga ada orang tua yang mengingatkan," serunya lagi. "Kalau anak saya, udah saya larang pergi ke kota. Saya masih mampu menghidupi Putri, secara suami juga gajinya gede, beda sama Ayahmu. Ya kan, Nin?"
"Eh, Bu. Dari kemarin kenapa suka sekali membahas pekerjaan Ayah saya?" Tanganku berkacak pinggang. Lama-lama mulut Bu Nurma semakin tidak bisa dikondisikan. "Jangan-jangan Ibu memang iri karena punya anak yang hobynya cuma keluar-keluar nggak jelas. Udah nggak kerja, nggak bisa membantu orang tua yang ada malah menadahkan tangan doang. Kalau saya sih malu, Bu!" sahutku geram. Bibir Bu Nurma seketika mengatup. Wajahnya kulihat memerah setelah aku mengatakan kebenaran tentang anaknya.Bukan niatku ingin sombong karena bisa bekerja dan membantu orang tua. Tapi Bu Nurma memang harus dilawan, jika tidak mungkin aku akan semakin dia hina di depan Ibu-ibu yang lain.
"Segala ngatain saya hamil, Ibu juga awasin pergaulan Putri, jangan taunya dia main-main doang di luar, yakin nggak main-main yang lain?" sindirku sarkas.
Bu Nurma mendorong bahuku kasar. Kulihat dadanya naik turun menahan marah. "Jaga mulutmu, Nina!"
"Untuk apa saya menjaga mulut kalau anda sendiri tidak bisa menjaga ucapan di depan semua orang, hah? Bu Nur pikir saya takut, begitu?"
"Memang ya, kelamaan hidup di kota bikin dia ngga punya sopan santu ke yang lebih tua!"
Aku meraup udara rakus. Sebenarnya ada masalah apa wanita tambun ini dengan keluargaku, kenapa begitu nyinyir mulutnya seakan-akan kami adalah keluarga yang pantas dihina.
"Jangan bawa-bawa kota, Putri nggak hidup di kota aja sikapnya begitu buruk. Coba tanya Ibu-ibu yang lain," sahutku ketus.
Bu Nurma mencebik. Dia membuang muka dan berkata, "Nih, Kang. Hitung!" Sekantong kresek hitam di berikan pada Mamang Sayur dengan sedikit kasar. Ucapanku barusan seakan menjadi telak bagi Bu Nurma. Makanya, jangan suka mencubit hidup orang lain kalau nggak mau dicubit balik. Jadi malu kan?
"Totalnya enam puluh tujuh ribu, sama kemarin hutangnya dua puluh lima ribu, jadi total semuanya sembilan puluh dua ribu, Bu.""Halah, kebiasaan! Gak perlu pake dua ribu. Nih, uangku seratus ribu, harus kembali sepuluh ribu." Bu Nurma menyodorkan uang seratus ribu pada Mamang Sayur. Kami yang melihat hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala. Bayangkan saja jika banyak pembeli yang seperti Bu Nurma, betapa tercekiknya hidup para Tukang Sayur. Mereka berjualan dengan untung yang tidak seberapa, tapi pembeli masih saja tega memangkas jumlah uang yang harus dibayar, padahal bisa jadi, uang sekecil itulah yang menjadi laba mereka, para penjual di sekitar kita."Nih Bu, kembaliannya delapan ribu ya! Maaf, untung saya sedikit, Bu. Pedagang kecil kayak saya nggak pernah ngambil untung banyak."
"Alasan aja kamu! Yaudah, yang dua ribu aku mintain kangkung nih dua ikat." Seperti tak bersalah, Bu Nurma berlalu sambil mengambil kangkung sekenanya. Padahal dua ikat kangkung bisa terjual sebesar empat ribu rupiah.
"Astaghfirullah, ada ya orang kayak gitu?" lirih Mamang Sayur. Ibu-ibu kembali menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Bu Nurma.
Aku pulang dan menceritakan semua ucapan Bu Nurma pada ibu. Ibu hanya tersenyum dan mengatakan agar aku bisa sabar menghadapi Bu Nurma. Karena kelak, waktu yang akan menunjukkan kebenarannya. Mendengar petuah yang keluar dari mulut Ibu, aku pun hanya mampu mengangguk sambil tersenyum. Kalau lawannya ibu, mau dijulidin model gimana pun, jawabanya hanya sabar. Tapi aku tidak menyesal sudah melawannya di tempat Mamang tadi. Biar enggak tuman gituloh. Ah!"Apa Nia kerja disini aja ya Bu, kan ada perusahaan baru, kali aja keterima?" Aku mengutarakan niatku pada ibu. Bukan karena apa, jika ada lapangan kerja yang lebih dekat, kenapa mencari yang jauh? Gaji besar pun rasanya percuma jika kehidupan di kota serba mahal. Belum untuk makan sehari-hari, biaya kos, skincare, kiriman orang tua, terkadang aku harus rela mengencangkan ikat pinggang demi pendidikan Dana dan Sari.
Jika aku bekerja di kota ini, bisa pulang dan pergi dari rumah. Tidak jauh dari orang tua yang terpenting. Apalagi jika bisa memantau pendidikan Dana dan Sari."Dicoba saja dulu, Nak. Siapa tau rezeki kamu.""Siap, Bu Bos!" Aku mengangkat satu tangan tanda hormat. "Besok Nina akan coba kirim lamaran kesana. Mohon doanya, Ibu Suri." Ibu tertawa mendengar aku menyebutnya Ibu Suri. Percayalah, tidak ada yang mampu membuat hati tentram dan damai selain senyuman tulus di wajah kedua orang tua. "Iya pasti! Tanpa kamu minta pun, pasti ibu akan selalu mendoakan." Aku memeluk tubuh ibu, rasanya bahagia sekali memiliki ibu sepertinya. Disaat para tetangga sibuk membuat pesta besar-besaran untuk menikahkan anak mereka, ibu justru sibuk mengantar aku ke kota. "Nikmati masa mudamu, bekerja dengan baik, agar punya bekal keahlian suatu saat nanti." Itu pesan ibu waktu pertama kali aku menginjakkan kaki di kota sebelah.Rumahku memang masih masuk wilayah kabupaten, namun kabupaten yang sedikit pelosok sekali. Adat-adat disini masih sangat kental. Hanya beberapa ibu yang mempunyai pemikiran modern. Bu Tari adalah salah satunya.Keesokan harinya ...."Mau kemana, Nin? Udah kayak mau kerja kantoran aja bajumu!" cibir Bu Nurma, matanya menelisik ujung bawah hingga ujung atas bagian diriku.
"Mau melamar kerja Bu, kebetulan ada perusahaan baru disini. Memang kenapa kalau pakaian saya seperti orang kantoran? Daripada anak Ibu selalu pakai baju kekurangan bahan!" sindirku."Ngakunya dari kota, tapi nggak modis!" ketusnya. "Putri juga mau melamar disana kok Eh, palingan kamu enggak keterima deh, Nin. Masa iya melamar pekerjaan pakai celana kulot begitu. Anakku aja pakai rok span pendek. Cantik, nggak buluk kayak kamu."
Sabar Nina, sabar! Ingin sekali rasanya mulut Bu Nurma itu kusiram air cuka, biar dia tau bagaimana kecutnya ucapannya itu. Kalau tidak ingat pesan ibu, sudah aku lawan tuh orang. Dasar tua-tua nggak ada akhlak!
"Sudahlah, mending nggak udah berangkat, yang ada malah kamu malu nanti kalau nggak lolos interview. Balik aja ke kota, biar nggak ada yang tau kalo perut kamu nanti makin besar."Aku mengeluarkan motor dari dalam pagar. Kusenggol saja pundak Bu Nurma sekalian, biar tau rasa.
"Oo ... Dasar gemblung! Anak nggak tau sopan santun. Diomongin baik baik malah ngajak ribut."Aku tersenyum, Bu Nurma malah seperti ketakutan melihat senyumanku. Apa dia pikir aku mau mencakar wajahnya? Kalau terkena panas wajah Bu Nurma seperti terbakar, merah padam. Andaikan boleh, sudah tak sobek-sobek itu mulut. Astaghfirullah!
"Sudah ya Bu, Nina mau nutup pagar, pulang gih, ibu saya lagi istirahat. Jangan digangguin! Urusan saya diterima apa enggak, bukan urusan ibu. Doakan saja supaya anak ibu itu lolos interview. Jangan ngurusin saya!"Aku berlalu dari hadapan Bu Nurma. Kulihat dari kaca spion dia mencak-mencak marah. Telunjuknya menuding kepergianku. Entah apa saja sumpah serapah yang keluar dari mulutnya.
Bersambung
***Sesampainya di depan gedung tinggi nan menjulang, aku segera memarkirkan motor dan membawa langkah kaki dengan gesit menuju tempat berlangsungnya interview. Benar saja, ada Putri yang sudah duduk dengan anggun di salah satu kursi tunggu bagi kami, para pejuang amplok coklat.Debar demi debar di dada kurasakan dengan nikmat. Satu per satu dari kami masuk ke dalam ruangan. Hingga tibalah giliranku, setelah Putri yang lebih dulu masuk barusan."Dih, norak banget! Nggak bakalan deh keterima, gayanya aja kampungan!" cibir Putri lirih, namun indra pendengarku menangkap jelas ucapannya.Aku mengedikkan bahu, malas saja jika harus berdebat di tempat umum begini. Jangan sampai aku memberikan kesan yang buruk padahal diterima kerja juga belum.Melihatku berlalu tanpa menanggapi ucapannya, kulirik Putri mengehentak-hentakkan kakinya.
***Seharian kemarin aku menunggu kabar dari Perusahaan tempatku melamar kerja, tapi memang mungkin benar kata Ibu jika rejekiku bukan disana. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota mengingat cuti libur yang aku terima sudah usai.Ibu sudah berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk kembali merantau. Aku membantunya memasak cukup banyak hari ini, karena memang sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan kembali ke kota, banyak sekali makanan yang Ibu bawakan mengingat teman-teman di indekos memang terbilang cukup banyak. Agar bisa berbagi, kata Ibu. Dan aku mengiyakan."Kak, hape nya bunyi tuh." Sari keluar dari kamar dan menepuk pundakku lembut. "Daritadi juga, masa nggak dengar?" Aku menggeleng dan berlalu menuju kamar sementara Sari menggantikan posisiku di dapur membantu Ibu.Aku memang masih satu kamar dengan Sari. Meskipun sudah sama-sama dewasa, kami memang masih tidur seranjang m
Namaku Nurma.Nurma Nur Madinah. Ibu rumah tangga dengan satu orang anak bernama Putri. Suamiku bekerja sebagai supir truk. Seringkali pergi ke luar kota untuk mengirim barang membuatnya pulang terkadang sebulan sekali. Tidak masalah, bagiku uang mengalir deras lebih penting daripada suami di rumah tapi tidak ada penghasilan.Tuh, persis tetangga depan rumah!Keluarga miskin tapi sok terlihat harmonis. Bikin gedek lihatnya. Mentang-mentang aku dan suami lagi berjauhan, tapi kami masih romantis kok. Serius! Yang bikin lebih gedek lagi, anaknya yang sepantaran sama Putri udah pulang dari kota. Lagaknya sok kaya padahal mah miskin ya miskin aja.Lagipula untuk apa anak perempuan bekerja jauh-jauh, bisa-bisa dia hamil di luar nikah kalau pergaulan terlalu bebas. Anakku dong, dia hanya di rumah dan kadang pergi sama teman-temannya yang katanya mau nongkrong. Biar, biar dia merasakan masa muda lebih dulu. Aku bu
Rasanya bosan sekali seharian nunggu Putri pulang dari melamar kerja. Jantungku susah berdebar-debar membayangkan jika dia tidak lolos. Tidak! Semoga anakku yang diterima kerja disana, bukan Nina.Tok ... Tok ... Tok ....Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suara dan ketukan pintu membuatku berjingkrak dan dengan gegas menarik handel pintu."Ma, buka pintunya!" teriak Putri.Kebiasaan!Selalu saja teriak-teriak! Mana nggak pernah mau ngucapin salam lagi. Kalau aku ke tetangga depan memang nggak pernah ucap salam kalau mau bertamu. Emangnya mereka siapa sampai patut disopanin?"Jangan teriak-teriak bisa nggak sih?" Aku langsung ngedumel saat pintu terbuka lebar. Kulihat Putri mencebik dan melepas sepatunya asal."Aku capek, Ma," keluhnya. "Ambilin makan dong, sekarang!"Jika bukan ingat kalau dia baru saja melamar kerja, sudah kujitak kepalanya sekarang juga. Kebiasaa
Sesampainya di depan gedung menjulang tinggi. Jantungku berdebar padahal ini bukan kali pertama aku melakukan interview lanjutan. Tapi tetap saja aku merasa takut, bahkan kedua tanganku sudah berkeringat sekarang."Bismillahirahmaniraahim," gumamku menguatkan diri. Bagaimanapun hasilnya, terima dengan ikhlas. Begitulah pesan ibu.Setelah bertanya pada satpam, aku melengang menuju tempat yang berbeda dari interview pertama kemarin. Rasa takut kembali menyerang, aku gugup. Tapi lagi-lagi petuah Ibu membuatku sedikit nyaman.Setelah menunggu giliran, terpanggil juga namaku untuk masuk ke ruang HRD. Kurang lebih tiga puluh menit seorang wanita mengajukan beberapa pertanyaan yang terkadang membuat kita merasa dibingungkan. Apalagi saat pertanyaan yang memaksa kita memilih jawaban antara kepentingan Perusahaan atau urusan pribadi. Beruntung aku sedikit banyak tau tentang pertanyaan-pertanyaan jebakan seperti ini. Semoga saja aku t
***Aku berbalik dan mendapati sosok Putri sedang berlari ke arahku. Mau apa lagi dia? Baru saja ingin kembali berbalik, Putri sudah mencekal pergelangan tanganku lebih dulu."Apa?" Aku terpaksa berhenti dan menatap wajahnya malas. "Kalau cuma mau nyari ribut mending lain kali aja deh, malu dilihat banyak orang," kataku.Putri mengedarkan pandangan. Dilepasnya begitu saja tanganku dari cengkeramannya. "Aku cuma mau mengingatkan, awas saja ya kalau kamu berkoar-koar di rumah pekerjaanku disini sebagai OG. Aku nggak akan tinggal diam, kamu pasti aku pecat kalau jabatanku sudah naik menjadi Assisten HRD nanti. Ingat itu," ancamnya dengan dada naik turun."Bodoh amat!" Aku berlalu meninggalkan Putri yang terlihat semakin kesal. Aku malas meladeni ucapannya saat ini, inginku segera pulang dan memeluk Ibu dengan erat."Brengsek! Awas aja ya kamu, Nina!" teriak Putri lantang. Terserah dia mau bilang apa, lagipula untuk apa aku mengadu pada Bu Nurma tentang anaknya. Salah-salah justru aku ya
***"Serius, Yah?"Ayah mengangguk sambil tergelak. Begitupun Ibu, mereka tertawa menceritakan siapa sebenarnya Bu Nurma di masa lalu Ayah."Jadi ceritanya gagal move on?" tanyaku. Ayah mengedikkan bahu, "Tidak. Hanya saja sepertinya dia suka menggoda Ibu. Dia ingin tau sampai batas mana kesabaran istri Ayah," goda Ayah membuat pipi Ibu merona. Aku tertawa. Beruntung sekali Ibu tidak terlalu mempermasalahkan siapa Bu Nurma pada masa lalu Ayah. Lagipula aku yakin Ibu bukan tipe wanita yang mudah cemburu apalagi Ayah pun tidak pernah menyakiti hati Ibu. Meninggikan suara di depan kami saja tidak pernah. Bagiku Ayah adalah imam paling baik di keluarga kami.***Pagi ini rasanya sungguh berbeda. Hari pertama bekerja dari rumah membuatku begitu bersemangat. Untuk urusan pengunduran diri di Perusahaan lama sudah aku kirim lewat email. Jadi tidak perlu bersusah payah kembali ke kota lagi sementara untuk uang pesangon, pihak Perusahaan akan langsung mengirim ke rekening pekerja dengan batas
***Kami terlibat obrolan ringan seputar motor baru yang baru saja datang. Kebetulan Ayah pun sudah pulang sehingga ketiganya bisa leluasa saling tanya."Bu Narti, spada ...."Aku mencebik saat mendengar suara tetangga depan rumah. Sudah kuduga dia akan datang kemari apalagi tadi sempat kulihat Bu Nurma mengintip dari balik jendela rumahnya.Gegas aku menemui Bu Nurma di depak pintu, "Iya, Bu? Ada perlu apa ya, maaf kami sedang ada tamu," ucapku sedikit lebih sopan. Hitung-hitung sebagai hadiah karena selama dua Minggu ini Bu Nurma hampir tidak pernah menggangguku lagi jika bertemu.Tanpa menjawab pertanyaan yang kulontarkan, Bu Nurma langsung saja nyelonong masuk ke dalam rumah. Dia menabrak pundakku dengan keras dan meninggalkanku teronggok di depan pintu. Sebenarnya siapa yang tamu disini?Sopan santun yang baru saja kuterapkan padanya seketika kurasa tidak berguna. Gegas aku menyusul wanita tambun itu masuk ke dalam rumah. Jangan sampai dia memancing keributan disaat ada tamu di d
***"Haduh, Nina ... ada makanan nganggur nggak? Perutku rasanya perih, melilit. Duh ... duh ... mana nungguin Putri dari tadi belum juga pulang," keluhnya sembari memegang perutnya yang buncit.Aku mencebik. "Mana nomor Putri, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Bibir Bu Nurma mengerucut, dia merogoh saku daster dan menyerahkan ponselnya ke arahku. "Nih! cari saja sendiri, nama kontaknya Putri membanggakan!"Lagi-lagi aku dibuat menghela napas panjang. Ucapan Bu Nurma seperti memiliki artian khusus apalagi ketika matanya melirik tajam ke arahku.Apa maksudnya?Ingin membuktikan di depanku kalau Putri itu anak yang membanggakan begitu?Tidak ingin berlama-lama berada di dekat Bu Nurma, segera aku menekan nomor Putri agar wanita paruh baya yang sebenarnya sedang menyandang gelar musuh bebuyutan ini segera enyah dari depanku.Tut ... Tut ... Tut ....Lama ....Cukup lama sekali panggilanku tidak
***"Akhirnya motor baruku datang juga. Beli kontan dong, makasih ya, Mas sudah diantar ke rumah." Suara Bu Nurma terdengar hingga depan rumahku.Aku yang baru saja pulang dari kantor dibuat tercengang dengan pemandangan di depan rumahnya. Bagaimana tidak ... motor baru yang Bu Nurma beli sama persis dengan motor baru punyaku. Sengaja nih orang!Enggan dikira ingin tau, aku gegas masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi ke arahnya."Huuu, pasti ngiri deh!" teriaknya lantang.Di balik pintu aku mengelus dada perlahan-lahan. Jangan sampai emosi meledak saat ini juga. Iri dia bilang? Bukannya yang lebih dulu beli motor itu aku?Argh, entahlah! Bisa gila aku lama-lama kalau masih saja menggubris ucapan Bu Nurma. Benar kata Sari, kalau mau diam ... maka jangan peduli sedikitpun. Kalau mau lawan, jangan pernah ragu. Bertindak jangan setengah-setengah atau Bu Nur tidak akan jera."Ngapain sih di depan pintu sambil merem?"
***Kami terlibat obrolan ringan seputar motor baru yang baru saja datang. Kebetulan Ayah pun sudah pulang sehingga ketiganya bisa leluasa saling tanya."Bu Narti, spada ...."Aku mencebik saat mendengar suara tetangga depan rumah. Sudah kuduga dia akan datang kemari apalagi tadi sempat kulihat Bu Nurma mengintip dari balik jendela rumahnya.Gegas aku menemui Bu Nurma di depak pintu, "Iya, Bu? Ada perlu apa ya, maaf kami sedang ada tamu," ucapku sedikit lebih sopan. Hitung-hitung sebagai hadiah karena selama dua Minggu ini Bu Nurma hampir tidak pernah menggangguku lagi jika bertemu.Tanpa menjawab pertanyaan yang kulontarkan, Bu Nurma langsung saja nyelonong masuk ke dalam rumah. Dia menabrak pundakku dengan keras dan meninggalkanku teronggok di depan pintu. Sebenarnya siapa yang tamu disini?Sopan santun yang baru saja kuterapkan padanya seketika kurasa tidak berguna. Gegas aku menyusul wanita tambun itu masuk ke dalam rumah. Jangan sampai dia memancing keributan disaat ada tamu di d
***"Serius, Yah?"Ayah mengangguk sambil tergelak. Begitupun Ibu, mereka tertawa menceritakan siapa sebenarnya Bu Nurma di masa lalu Ayah."Jadi ceritanya gagal move on?" tanyaku. Ayah mengedikkan bahu, "Tidak. Hanya saja sepertinya dia suka menggoda Ibu. Dia ingin tau sampai batas mana kesabaran istri Ayah," goda Ayah membuat pipi Ibu merona. Aku tertawa. Beruntung sekali Ibu tidak terlalu mempermasalahkan siapa Bu Nurma pada masa lalu Ayah. Lagipula aku yakin Ibu bukan tipe wanita yang mudah cemburu apalagi Ayah pun tidak pernah menyakiti hati Ibu. Meninggikan suara di depan kami saja tidak pernah. Bagiku Ayah adalah imam paling baik di keluarga kami.***Pagi ini rasanya sungguh berbeda. Hari pertama bekerja dari rumah membuatku begitu bersemangat. Untuk urusan pengunduran diri di Perusahaan lama sudah aku kirim lewat email. Jadi tidak perlu bersusah payah kembali ke kota lagi sementara untuk uang pesangon, pihak Perusahaan akan langsung mengirim ke rekening pekerja dengan batas
***Aku berbalik dan mendapati sosok Putri sedang berlari ke arahku. Mau apa lagi dia? Baru saja ingin kembali berbalik, Putri sudah mencekal pergelangan tanganku lebih dulu."Apa?" Aku terpaksa berhenti dan menatap wajahnya malas. "Kalau cuma mau nyari ribut mending lain kali aja deh, malu dilihat banyak orang," kataku.Putri mengedarkan pandangan. Dilepasnya begitu saja tanganku dari cengkeramannya. "Aku cuma mau mengingatkan, awas saja ya kalau kamu berkoar-koar di rumah pekerjaanku disini sebagai OG. Aku nggak akan tinggal diam, kamu pasti aku pecat kalau jabatanku sudah naik menjadi Assisten HRD nanti. Ingat itu," ancamnya dengan dada naik turun."Bodoh amat!" Aku berlalu meninggalkan Putri yang terlihat semakin kesal. Aku malas meladeni ucapannya saat ini, inginku segera pulang dan memeluk Ibu dengan erat."Brengsek! Awas aja ya kamu, Nina!" teriak Putri lantang. Terserah dia mau bilang apa, lagipula untuk apa aku mengadu pada Bu Nurma tentang anaknya. Salah-salah justru aku ya
Sesampainya di depan gedung menjulang tinggi. Jantungku berdebar padahal ini bukan kali pertama aku melakukan interview lanjutan. Tapi tetap saja aku merasa takut, bahkan kedua tanganku sudah berkeringat sekarang."Bismillahirahmaniraahim," gumamku menguatkan diri. Bagaimanapun hasilnya, terima dengan ikhlas. Begitulah pesan ibu.Setelah bertanya pada satpam, aku melengang menuju tempat yang berbeda dari interview pertama kemarin. Rasa takut kembali menyerang, aku gugup. Tapi lagi-lagi petuah Ibu membuatku sedikit nyaman.Setelah menunggu giliran, terpanggil juga namaku untuk masuk ke ruang HRD. Kurang lebih tiga puluh menit seorang wanita mengajukan beberapa pertanyaan yang terkadang membuat kita merasa dibingungkan. Apalagi saat pertanyaan yang memaksa kita memilih jawaban antara kepentingan Perusahaan atau urusan pribadi. Beruntung aku sedikit banyak tau tentang pertanyaan-pertanyaan jebakan seperti ini. Semoga saja aku t
Rasanya bosan sekali seharian nunggu Putri pulang dari melamar kerja. Jantungku susah berdebar-debar membayangkan jika dia tidak lolos. Tidak! Semoga anakku yang diterima kerja disana, bukan Nina.Tok ... Tok ... Tok ....Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suara dan ketukan pintu membuatku berjingkrak dan dengan gegas menarik handel pintu."Ma, buka pintunya!" teriak Putri.Kebiasaan!Selalu saja teriak-teriak! Mana nggak pernah mau ngucapin salam lagi. Kalau aku ke tetangga depan memang nggak pernah ucap salam kalau mau bertamu. Emangnya mereka siapa sampai patut disopanin?"Jangan teriak-teriak bisa nggak sih?" Aku langsung ngedumel saat pintu terbuka lebar. Kulihat Putri mencebik dan melepas sepatunya asal."Aku capek, Ma," keluhnya. "Ambilin makan dong, sekarang!"Jika bukan ingat kalau dia baru saja melamar kerja, sudah kujitak kepalanya sekarang juga. Kebiasaa
Namaku Nurma.Nurma Nur Madinah. Ibu rumah tangga dengan satu orang anak bernama Putri. Suamiku bekerja sebagai supir truk. Seringkali pergi ke luar kota untuk mengirim barang membuatnya pulang terkadang sebulan sekali. Tidak masalah, bagiku uang mengalir deras lebih penting daripada suami di rumah tapi tidak ada penghasilan.Tuh, persis tetangga depan rumah!Keluarga miskin tapi sok terlihat harmonis. Bikin gedek lihatnya. Mentang-mentang aku dan suami lagi berjauhan, tapi kami masih romantis kok. Serius! Yang bikin lebih gedek lagi, anaknya yang sepantaran sama Putri udah pulang dari kota. Lagaknya sok kaya padahal mah miskin ya miskin aja.Lagipula untuk apa anak perempuan bekerja jauh-jauh, bisa-bisa dia hamil di luar nikah kalau pergaulan terlalu bebas. Anakku dong, dia hanya di rumah dan kadang pergi sama teman-temannya yang katanya mau nongkrong. Biar, biar dia merasakan masa muda lebih dulu. Aku bu
***Seharian kemarin aku menunggu kabar dari Perusahaan tempatku melamar kerja, tapi memang mungkin benar kata Ibu jika rejekiku bukan disana. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota mengingat cuti libur yang aku terima sudah usai.Ibu sudah berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk kembali merantau. Aku membantunya memasak cukup banyak hari ini, karena memang sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan kembali ke kota, banyak sekali makanan yang Ibu bawakan mengingat teman-teman di indekos memang terbilang cukup banyak. Agar bisa berbagi, kata Ibu. Dan aku mengiyakan."Kak, hape nya bunyi tuh." Sari keluar dari kamar dan menepuk pundakku lembut. "Daritadi juga, masa nggak dengar?" Aku menggeleng dan berlalu menuju kamar sementara Sari menggantikan posisiku di dapur membantu Ibu.Aku memang masih satu kamar dengan Sari. Meskipun sudah sama-sama dewasa, kami memang masih tidur seranjang m