Share

Dihina Norak

last update Last Updated: 2022-04-28 00:43:10

***

Sesampainya di depan gedung tinggi nan menjulang, aku segera memarkirkan motor dan membawa langkah kaki dengan gesit menuju tempat berlangsungnya interview. Benar saja, ada Putri yang sudah duduk dengan anggun di salah satu kursi tunggu bagi kami, para pejuang amplok coklat.

Debar demi debar di dada kurasakan dengan nikmat. Satu per satu dari kami masuk ke dalam ruangan. Hingga tibalah giliranku, setelah Putri yang lebih dulu masuk barusan.

"Dih, norak banget! Nggak bakalan deh keterima, gayanya aja kampungan!" cibir Putri lirih, namun indra pendengarku menangkap jelas ucapannya.

Aku mengedikkan bahu, malas saja jika harus berdebat di tempat umum begini. Jangan sampai aku memberikan kesan yang buruk padahal diterima kerja juga belum.

Melihatku berlalu tanpa menanggapi ucapannya, kulirik Putri mengehentak-hentakkan kakinya.

Kami kembali ke ruang tunggu setelah melalui proses interview yang cukup menengangkan. Tidak banyak memang yang ditanyakan, hanya seputar pernah bekerja dimana, punya pengalaman apa dan lulusan tahun berapa. Itu saja, tapi tetap saja bagiku sangat mendebarkan. Seorang wanita cantik mengatakan pada kami untuk pulang, karena pengumuman diterima atau tidaknya di perusahaan ini, akan segera dikabarkan melalu sambungan telepon. Kecewa. Tentu saja. Aku pikir setelah interview berlangsung, pengumuman siapa yang lolos seleksi bisa kudengar hari ini. Tapi sayang, tiap perusahaan tentu beda kebijakan.

"Pulang ah, aku yakin besok pasti ditelepon!" ujar Putri di depanku dengan mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai indah dan legam. "Eh, Nin ... jangan sampai ngiri ya kalau aku nanti keterima. Secara aku modis begini, tapi kamu ...." Dia tidak melanjutkan ucapannya tapi justru tertawa begitu lebar.

"Iri sama kamu? Yakin situ punya kelebihan yang pantas aku iriin?" sahutku dengan menarik ujung bibir.

Putri mencebik dan berlalu dari hadapanku. Nggak anak, nggak Ibu kelakuan sama aja. Minus! Satu per satu dari kami melenggang meninggalkan ruang tunggu di kantor ini. Termasuk aku. 

***

Terhitung sudah dua hari sejak aku mengajukan permohonan kerja di perusahaan baru itu, tapi tak kunjung juga mendapatkan telepon. Sedangkan besok jatah cutiku sudah habis. Mau tidak mau, aku harus kembali lagi ke kota jika memang tidak mendapat panggilan bekerja di perusahaan yang tempo hari kudatangi.

"Bu, besok aku harus kembali ke kota. Jatah cuti lima hari sudah selesai," ujarku pada Ibu yang terlihat sibuk menumis bumbu.

Aku sedang membantu ibu memasak di dapur. Meskipun yang kulakukan hanyalah mengupas bawang, karena ibu merupakan tipe orang yang tidak suka diganggu ketika sedang masak. Katanya takut merusak cita rasa kalau makanan jika diolah oleh banyak tangan. "Camplang" kalau kata orang Jawa.

"Cepet banget ya, Nin? Kayanya baru kemarin deh kamu pulang," sahut Ibu dengan suara yang terdengar sendu. "Kalau memang sampai nanti siang belum mendapat telepon dari perusahaan baru itu, artinya memang rejeki kamu nggak disana, Nak."

Aku mengangguk pasrah, "Aku tau, Bu. Meskipun ingin sekali aku bisa bekerja di dekat sini dan bisa membantu Ibu setiap hari di rumah." 

"Berhenti kerja aja gimana?" 

Aku menggelengkan kepala cepat, Ibu memang suka sekali menggodaku dengan mengatakan hal demikian. Tapi aku tetap pada pendirianku, aku ingin bekerja hingga membuahkan kesuksesan yang akan mengantarkan Ayah dan Ibu pada rasa bangga. Masih teringat jelas di ingatan, setelah kelulusan sekolah, aku merengek semalaman agar diberi ijin untuk bekerja di kota. Lalu saat aku sudah menggapai keinginanku, mana mungkin kusia-siakan begitu saja. Ada masa depan Dana dan Sari yang harus kuperjuangkan. Meskipun Ayah sejujurnya tidak pernah melepas tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, namun aku cukup tahu diri sebagai anak tertua.

Tok ... Tok ... Tok

"Spada! Ada orang di dalam?"

Aku yang tengah duduk di kursi dapur dan menyaksikan Ibu yang sedang memasak, mendadak menghentikan obrolan mendengar suara yang berasal dari depan.

"Tuh, suara soulmate ibu udah manggil," kelakarku ketika menyadari jika itu adalah suara Bu Nurma.

"Heh, nggak boleh gitu! Bagaimanapun hubungan dengan tetangga itu lebih dekat, Nin. Kalau ada apa-apa pasti yang sigap duluan ya tetangga." Ibu mendelik ketika aku mengatakan hal yang dia anggap tidak pantas untuk kukatakan.

"Kalau ada makanan lebih misalnya," jawabku cekikikan. Sontak Ibu memukul lenganku lembut.

Teringat waktu itu, ketika ibu mengadakan syukuran pada hari kelulusanku. Bukan syukuran mewah, hanya sekedar membuat beberapa kotak nasi kuning untuk dibagikan pada para tetangga. Sengaja memang jika Ibu tidak meminta bantuan pada tetangga yang lain karena takut merepotkan, lagi pun, seperti yang aku bilang, itu hanya syukuran kecil-kecilan.

Entah bagaimana awalnya, Bu Nurma yang kebetulan letak rumahnya berhadapan dengan rumahku, mengetahui jika ibu sedang masak banyak. Pura-puralah dia datang, sekedar basa-basi lalu tanpa diperintah oleh Sang Empunya rumah, dia mengambil dua kotak nasi beserta dua potong ayam panggang dengan alasan karena sudah membantu Ibu. Padahal sejak datang, kuperhatikan Bu Nurma hanya sibuk berbicara dan tentu saja tangannya juga sibuk keluar masuk ke dalam toples yang berisi kue kering. Tapi bukan Ibu namanya jika melarang Bu Nurma membawa makanan dari rumah, Ibu bahkan menambahkan beberapa buah ke dalam kantong kresek yang hendak Bu Nurma bawa.

Keluargaku memang bukan dari kalangan orang berada, tapi untuk urusan camilan, Ibu tidak pernah sampai kehabisan makanan ringan. Ada saja yang akan beliau olah untuk isian toples.

"Ini loh Bu Narti, Asistenku tadi aku suruh bikin bubur merah, ya ... hitung-hitung sebagai syukuran kecil-kecilan untuk Putri. Dia kan sudah dapat panggilan kerja di perusahaan baru itu. Eh, ngomong-ngomong, Nina pasti nggak lolos ya? Wajar sih, secara penampilan mereka beda banget. Nina itu hidup di kota udah lama kok masih udik aja." Bu Nurma berbicara panjang lebar menyanjung anaknya, sedangkan aku dia jatuhkan sejatuh-jatuhnya. Ibu hanya tersenyum tipis menanggapi nyinyiran Sang Ratu Nyinyir. Sejenak terlintas di benakku untuk mengajari Ibu agar sedikit mau membalas ucapan pedas dari orang lain.

"Alhamdulillah kalau begitu, Bu. Mungkin rejeki Nina bukan di perusahaan itu. Kalau bagi saya, dimanapun nanti anak saya bekerja, yang penting didapat dengan cara yang halal," sahut Ibu membuat bibir Bu Nurma mencebik dengan jelas.

"Oalah, Bu Narti. Ngomong aja terus terang kalau kamu itu kecewa sama Nina. Apalagi dengar Putri mau kerja di perusahaan baru, pasti ngiri kan?"

Aku melangkah mendekati Ibu, mulutku sudah siap untuk membalas pedasnya ucapan Bu Nurma. Tapi lagi-lagi Ibu melarang. Pergelangan tanganku dicekal lembut dengan menggelengkan kepalanya pelan. Kuhela nafas panjang, mau tidak mau, aku kembali mengalah.

Ini tidak bisa dibiarkan. Kalau ibu yang berhadapan dengan Bu Nurma jelas saja Ibu hanya tersenyum tipis. Padahal sejak tadi mulutku seolah hendak meledak. Siapa juga yang merasa iri karena Putri berhasil lolos interview, lagi pun, aku melamar kerja tersebab memang memiliki alasan tersendiri. Tapi kenapa bisa-bisanya Bu Nurma mengatakan hal demikian. Heran deh!

"Bu, yuk ... masaknya dilanjutin lagi," kataku pada Ibu. "Mari, Bu Nur ... makasih ya bubur seupritnya ini." Aku memiringkan sepiring bubur pemberian Bu Nurma tepat di depan wajahnya. Biar saja, lagipula memang bubur pemberiannya hanya seuprit.

Kugandeng tangan ibu untuk masuk ke dalam rumah. Gegas pintu kututup dengan cepat sebelum Bu Nurma membuka mulutnya untuk menghardikku.

"Anak nggak punya sopan santun! Bilang aja kamu ngiri karena Putri lebih unggul dari kamu!" teriak Bu Nurma dari luar. 

Ibu mengurut punggungku lembut dan berbisik, "Sabar saja."

"Sabar terus yang Ibu katakan! Bu Nur itu sudah keterlaluan sama keluarga kita, Bu," kataku geram. "Ada aja yang mau dia gunjingkan tentang aku. Yang hamil duluan lah, yang ngiri sama anaknya lah. Sebenarnya dia itu kenapa sih sama keluarga kita, heran aku, Bu!" Aku berbicara panjang lebar menyayangkan sikap Bu Nurma yang tidak pernah berhenti berbuat Julid pada keluarga kami.

"Kamu tau slogan orang akan mencari gara-gara karena mereka ingin diperhatikan?"

Aku mengangguk. "Itu yang terjadi pada Bu Nurma. Tujuan dia memang ingin Ibu perhatikan, dia ingin Ibu terpancing sama ucapannya selama ini, Nina. Dengan begitu Bu Nur akan merasa dirinya menang karena bisa membangkitkan kemarahan Ibu, dan dia ... dia akan semakin berkoar-koar di depan banyak orang karena Ibu sudah melawan. Kebayang kan gimana capeknya menghadapi orang seperti Bu Nur?" Lagi-lagi aku mengangguk. Yang Ibu katakan memang benar, tapi tetap saja aku tidak bisa sesabar Ibu, apalagi mulut tetangga depan rumah itu tidak pernah merasa bersalah dengan ucapannya selama ini.

"Cara menghadapi orang seperti itu hanyalah diam. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan karena dibalas pun percuma, hanya berbuntut panjang dan Ibu tidak mau bermasalah dengan para tetangga."

"Tapi Bu Nur memang selalu cari masalah, Bu," paparku. "Ibu tau kan dia suka sekali membanding-bandingkan aku sama anaknya? Gedek loh aku!"

Ibu tertawa. Dia merengkuh bahuku dan berkata, "Mungkin Bu Nur caper sama kamu, minta diperhatikan," godanya sambil berlalu meninggalkanku di ruang tamu.

"Ibu!" teriakku kesal. Ibu justru cekikikan dan kembali melanjutkan acara memasaknya di dapur.

Bersambung

Related chapters

  • TETANGGA DARI NERAKA   Rejeki tidak Tertukar

    ***Seharian kemarin aku menunggu kabar dari Perusahaan tempatku melamar kerja, tapi memang mungkin benar kata Ibu jika rejekiku bukan disana. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota mengingat cuti libur yang aku terima sudah usai.Ibu sudah berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk kembali merantau. Aku membantunya memasak cukup banyak hari ini, karena memang sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan kembali ke kota, banyak sekali makanan yang Ibu bawakan mengingat teman-teman di indekos memang terbilang cukup banyak. Agar bisa berbagi, kata Ibu. Dan aku mengiyakan."Kak, hape nya bunyi tuh." Sari keluar dari kamar dan menepuk pundakku lembut. "Daritadi juga, masa nggak dengar?" Aku menggeleng dan berlalu menuju kamar sementara Sari menggantikan posisiku di dapur membantu Ibu.Aku memang masih satu kamar dengan Sari. Meskipun sudah sama-sama dewasa, kami memang masih tidur seranjang m

    Last Updated : 2022-04-28
  • TETANGGA DARI NERAKA   PoV Nurma

    Namaku Nurma.Nurma Nur Madinah. Ibu rumah tangga dengan satu orang anak bernama Putri. Suamiku bekerja sebagai supir truk. Seringkali pergi ke luar kota untuk mengirim barang membuatnya pulang terkadang sebulan sekali. Tidak masalah, bagiku uang mengalir deras lebih penting daripada suami di rumah tapi tidak ada penghasilan.Tuh, persis tetangga depan rumah!Keluarga miskin tapi sok terlihat harmonis. Bikin gedek lihatnya. Mentang-mentang aku dan suami lagi berjauhan, tapi kami masih romantis kok. Serius! Yang bikin lebih gedek lagi, anaknya yang sepantaran sama Putri udah pulang dari kota. Lagaknya sok kaya padahal mah miskin ya miskin aja.Lagipula untuk apa anak perempuan bekerja jauh-jauh, bisa-bisa dia hamil di luar nikah kalau pergaulan terlalu bebas. Anakku dong, dia hanya di rumah dan kadang pergi sama teman-temannya yang katanya mau nongkrong. Biar, biar dia merasakan masa muda lebih dulu. Aku bu

    Last Updated : 2022-04-28
  • TETANGGA DARI NERAKA   PoV Nurma (2)

    Rasanya bosan sekali seharian nunggu Putri pulang dari melamar kerja. Jantungku susah berdebar-debar membayangkan jika dia tidak lolos. Tidak! Semoga anakku yang diterima kerja disana, bukan Nina.Tok ... Tok ... Tok ....Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suara dan ketukan pintu membuatku berjingkrak dan dengan gegas menarik handel pintu."Ma, buka pintunya!" teriak Putri.Kebiasaan!Selalu saja teriak-teriak! Mana nggak pernah mau ngucapin salam lagi. Kalau aku ke tetangga depan memang nggak pernah ucap salam kalau mau bertamu. Emangnya mereka siapa sampai patut disopanin?"Jangan teriak-teriak bisa nggak sih?" Aku langsung ngedumel saat pintu terbuka lebar. Kulihat Putri mencebik dan melepas sepatunya asal."Aku capek, Ma," keluhnya. "Ambilin makan dong, sekarang!"Jika bukan ingat kalau dia baru saja melamar kerja, sudah kujitak kepalanya sekarang juga. Kebiasaa

    Last Updated : 2022-04-28
  • TETANGGA DARI NERAKA   Office Girl?

    Sesampainya di depan gedung menjulang tinggi. Jantungku berdebar padahal ini bukan kali pertama aku melakukan interview lanjutan. Tapi tetap saja aku merasa takut, bahkan kedua tanganku sudah berkeringat sekarang."Bismillahirahmaniraahim," gumamku menguatkan diri. Bagaimanapun hasilnya, terima dengan ikhlas. Begitulah pesan ibu.Setelah bertanya pada satpam, aku melengang menuju tempat yang berbeda dari interview pertama kemarin. Rasa takut kembali menyerang, aku gugup. Tapi lagi-lagi petuah Ibu membuatku sedikit nyaman.Setelah menunggu giliran, terpanggil juga namaku untuk masuk ke ruang HRD. Kurang lebih tiga puluh menit seorang wanita mengajukan beberapa pertanyaan yang terkadang membuat kita merasa dibingungkan. Apalagi saat pertanyaan yang memaksa kita memilih jawaban antara kepentingan Perusahaan atau urusan pribadi. Beruntung aku sedikit banyak tau tentang pertanyaan-pertanyaan jebakan seperti ini. Semoga saja aku t

    Last Updated : 2022-04-28
  • TETANGGA DARI NERAKA   Masa Lalu

    ***Aku berbalik dan mendapati sosok Putri sedang berlari ke arahku. Mau apa lagi dia? Baru saja ingin kembali berbalik, Putri sudah mencekal pergelangan tanganku lebih dulu."Apa?" Aku terpaksa berhenti dan menatap wajahnya malas. "Kalau cuma mau nyari ribut mending lain kali aja deh, malu dilihat banyak orang," kataku.Putri mengedarkan pandangan. Dilepasnya begitu saja tanganku dari cengkeramannya. "Aku cuma mau mengingatkan, awas saja ya kalau kamu berkoar-koar di rumah pekerjaanku disini sebagai OG. Aku nggak akan tinggal diam, kamu pasti aku pecat kalau jabatanku sudah naik menjadi Assisten HRD nanti. Ingat itu," ancamnya dengan dada naik turun."Bodoh amat!" Aku berlalu meninggalkan Putri yang terlihat semakin kesal. Aku malas meladeni ucapannya saat ini, inginku segera pulang dan memeluk Ibu dengan erat."Brengsek! Awas aja ya kamu, Nina!" teriak Putri lantang. Terserah dia mau bilang apa, lagipula untuk apa aku mengadu pada Bu Nurma tentang anaknya. Salah-salah justru aku ya

    Last Updated : 2022-06-14
  • TETANGGA DARI NERAKA   Nyinyir

    ***"Serius, Yah?"Ayah mengangguk sambil tergelak. Begitupun Ibu, mereka tertawa menceritakan siapa sebenarnya Bu Nurma di masa lalu Ayah."Jadi ceritanya gagal move on?" tanyaku. Ayah mengedikkan bahu, "Tidak. Hanya saja sepertinya dia suka menggoda Ibu. Dia ingin tau sampai batas mana kesabaran istri Ayah," goda Ayah membuat pipi Ibu merona. Aku tertawa. Beruntung sekali Ibu tidak terlalu mempermasalahkan siapa Bu Nurma pada masa lalu Ayah. Lagipula aku yakin Ibu bukan tipe wanita yang mudah cemburu apalagi Ayah pun tidak pernah menyakiti hati Ibu. Meninggikan suara di depan kami saja tidak pernah. Bagiku Ayah adalah imam paling baik di keluarga kami.***Pagi ini rasanya sungguh berbeda. Hari pertama bekerja dari rumah membuatku begitu bersemangat. Untuk urusan pengunduran diri di Perusahaan lama sudah aku kirim lewat email. Jadi tidak perlu bersusah payah kembali ke kota lagi sementara untuk uang pesangon, pihak Perusahaan akan langsung mengirim ke rekening pekerja dengan batas

    Last Updated : 2022-06-14
  • TETANGGA DARI NERAKA   Biang Rusuh

    ***Kami terlibat obrolan ringan seputar motor baru yang baru saja datang. Kebetulan Ayah pun sudah pulang sehingga ketiganya bisa leluasa saling tanya."Bu Narti, spada ...."Aku mencebik saat mendengar suara tetangga depan rumah. Sudah kuduga dia akan datang kemari apalagi tadi sempat kulihat Bu Nurma mengintip dari balik jendela rumahnya.Gegas aku menemui Bu Nurma di depak pintu, "Iya, Bu? Ada perlu apa ya, maaf kami sedang ada tamu," ucapku sedikit lebih sopan. Hitung-hitung sebagai hadiah karena selama dua Minggu ini Bu Nurma hampir tidak pernah menggangguku lagi jika bertemu.Tanpa menjawab pertanyaan yang kulontarkan, Bu Nurma langsung saja nyelonong masuk ke dalam rumah. Dia menabrak pundakku dengan keras dan meninggalkanku teronggok di depan pintu. Sebenarnya siapa yang tamu disini?Sopan santun yang baru saja kuterapkan padanya seketika kurasa tidak berguna. Gegas aku menyusul wanita tambun itu masuk ke dalam rumah. Jangan sampai dia memancing keributan disaat ada tamu di d

    Last Updated : 2022-06-14
  • TETANGGA DARI NERAKA   Ngakak

    ***"Akhirnya motor baruku datang juga. Beli kontan dong, makasih ya, Mas sudah diantar ke rumah." Suara Bu Nurma terdengar hingga depan rumahku.Aku yang baru saja pulang dari kantor dibuat tercengang dengan pemandangan di depan rumahnya. Bagaimana tidak ... motor baru yang Bu Nurma beli sama persis dengan motor baru punyaku. Sengaja nih orang!Enggan dikira ingin tau, aku gegas masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi ke arahnya."Huuu, pasti ngiri deh!" teriaknya lantang.Di balik pintu aku mengelus dada perlahan-lahan. Jangan sampai emosi meledak saat ini juga. Iri dia bilang? Bukannya yang lebih dulu beli motor itu aku?Argh, entahlah! Bisa gila aku lama-lama kalau masih saja menggubris ucapan Bu Nurma. Benar kata Sari, kalau mau diam ... maka jangan peduli sedikitpun. Kalau mau lawan, jangan pernah ragu. Bertindak jangan setengah-setengah atau Bu Nur tidak akan jera."Ngapain sih di depan pintu sambil merem?"

    Last Updated : 2022-06-15

Latest chapter

  • TETANGGA DARI NERAKA   Ngerjain Bu Nurma

    ***"Haduh, Nina ... ada makanan nganggur nggak? Perutku rasanya perih, melilit. Duh ... duh ... mana nungguin Putri dari tadi belum juga pulang," keluhnya sembari memegang perutnya yang buncit.Aku mencebik. "Mana nomor Putri, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Bibir Bu Nurma mengerucut, dia merogoh saku daster dan menyerahkan ponselnya ke arahku. "Nih! cari saja sendiri, nama kontaknya Putri membanggakan!"Lagi-lagi aku dibuat menghela napas panjang. Ucapan Bu Nurma seperti memiliki artian khusus apalagi ketika matanya melirik tajam ke arahku.Apa maksudnya?Ingin membuktikan di depanku kalau Putri itu anak yang membanggakan begitu?Tidak ingin berlama-lama berada di dekat Bu Nurma, segera aku menekan nomor Putri agar wanita paruh baya yang sebenarnya sedang menyandang gelar musuh bebuyutan ini segera enyah dari depanku.Tut ... Tut ... Tut ....Lama ....Cukup lama sekali panggilanku tidak

  • TETANGGA DARI NERAKA   Ngakak

    ***"Akhirnya motor baruku datang juga. Beli kontan dong, makasih ya, Mas sudah diantar ke rumah." Suara Bu Nurma terdengar hingga depan rumahku.Aku yang baru saja pulang dari kantor dibuat tercengang dengan pemandangan di depan rumahnya. Bagaimana tidak ... motor baru yang Bu Nurma beli sama persis dengan motor baru punyaku. Sengaja nih orang!Enggan dikira ingin tau, aku gegas masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi ke arahnya."Huuu, pasti ngiri deh!" teriaknya lantang.Di balik pintu aku mengelus dada perlahan-lahan. Jangan sampai emosi meledak saat ini juga. Iri dia bilang? Bukannya yang lebih dulu beli motor itu aku?Argh, entahlah! Bisa gila aku lama-lama kalau masih saja menggubris ucapan Bu Nurma. Benar kata Sari, kalau mau diam ... maka jangan peduli sedikitpun. Kalau mau lawan, jangan pernah ragu. Bertindak jangan setengah-setengah atau Bu Nur tidak akan jera."Ngapain sih di depan pintu sambil merem?"

  • TETANGGA DARI NERAKA   Biang Rusuh

    ***Kami terlibat obrolan ringan seputar motor baru yang baru saja datang. Kebetulan Ayah pun sudah pulang sehingga ketiganya bisa leluasa saling tanya."Bu Narti, spada ...."Aku mencebik saat mendengar suara tetangga depan rumah. Sudah kuduga dia akan datang kemari apalagi tadi sempat kulihat Bu Nurma mengintip dari balik jendela rumahnya.Gegas aku menemui Bu Nurma di depak pintu, "Iya, Bu? Ada perlu apa ya, maaf kami sedang ada tamu," ucapku sedikit lebih sopan. Hitung-hitung sebagai hadiah karena selama dua Minggu ini Bu Nurma hampir tidak pernah menggangguku lagi jika bertemu.Tanpa menjawab pertanyaan yang kulontarkan, Bu Nurma langsung saja nyelonong masuk ke dalam rumah. Dia menabrak pundakku dengan keras dan meninggalkanku teronggok di depan pintu. Sebenarnya siapa yang tamu disini?Sopan santun yang baru saja kuterapkan padanya seketika kurasa tidak berguna. Gegas aku menyusul wanita tambun itu masuk ke dalam rumah. Jangan sampai dia memancing keributan disaat ada tamu di d

  • TETANGGA DARI NERAKA   Nyinyir

    ***"Serius, Yah?"Ayah mengangguk sambil tergelak. Begitupun Ibu, mereka tertawa menceritakan siapa sebenarnya Bu Nurma di masa lalu Ayah."Jadi ceritanya gagal move on?" tanyaku. Ayah mengedikkan bahu, "Tidak. Hanya saja sepertinya dia suka menggoda Ibu. Dia ingin tau sampai batas mana kesabaran istri Ayah," goda Ayah membuat pipi Ibu merona. Aku tertawa. Beruntung sekali Ibu tidak terlalu mempermasalahkan siapa Bu Nurma pada masa lalu Ayah. Lagipula aku yakin Ibu bukan tipe wanita yang mudah cemburu apalagi Ayah pun tidak pernah menyakiti hati Ibu. Meninggikan suara di depan kami saja tidak pernah. Bagiku Ayah adalah imam paling baik di keluarga kami.***Pagi ini rasanya sungguh berbeda. Hari pertama bekerja dari rumah membuatku begitu bersemangat. Untuk urusan pengunduran diri di Perusahaan lama sudah aku kirim lewat email. Jadi tidak perlu bersusah payah kembali ke kota lagi sementara untuk uang pesangon, pihak Perusahaan akan langsung mengirim ke rekening pekerja dengan batas

  • TETANGGA DARI NERAKA   Masa Lalu

    ***Aku berbalik dan mendapati sosok Putri sedang berlari ke arahku. Mau apa lagi dia? Baru saja ingin kembali berbalik, Putri sudah mencekal pergelangan tanganku lebih dulu."Apa?" Aku terpaksa berhenti dan menatap wajahnya malas. "Kalau cuma mau nyari ribut mending lain kali aja deh, malu dilihat banyak orang," kataku.Putri mengedarkan pandangan. Dilepasnya begitu saja tanganku dari cengkeramannya. "Aku cuma mau mengingatkan, awas saja ya kalau kamu berkoar-koar di rumah pekerjaanku disini sebagai OG. Aku nggak akan tinggal diam, kamu pasti aku pecat kalau jabatanku sudah naik menjadi Assisten HRD nanti. Ingat itu," ancamnya dengan dada naik turun."Bodoh amat!" Aku berlalu meninggalkan Putri yang terlihat semakin kesal. Aku malas meladeni ucapannya saat ini, inginku segera pulang dan memeluk Ibu dengan erat."Brengsek! Awas aja ya kamu, Nina!" teriak Putri lantang. Terserah dia mau bilang apa, lagipula untuk apa aku mengadu pada Bu Nurma tentang anaknya. Salah-salah justru aku ya

  • TETANGGA DARI NERAKA   Office Girl?

    Sesampainya di depan gedung menjulang tinggi. Jantungku berdebar padahal ini bukan kali pertama aku melakukan interview lanjutan. Tapi tetap saja aku merasa takut, bahkan kedua tanganku sudah berkeringat sekarang."Bismillahirahmaniraahim," gumamku menguatkan diri. Bagaimanapun hasilnya, terima dengan ikhlas. Begitulah pesan ibu.Setelah bertanya pada satpam, aku melengang menuju tempat yang berbeda dari interview pertama kemarin. Rasa takut kembali menyerang, aku gugup. Tapi lagi-lagi petuah Ibu membuatku sedikit nyaman.Setelah menunggu giliran, terpanggil juga namaku untuk masuk ke ruang HRD. Kurang lebih tiga puluh menit seorang wanita mengajukan beberapa pertanyaan yang terkadang membuat kita merasa dibingungkan. Apalagi saat pertanyaan yang memaksa kita memilih jawaban antara kepentingan Perusahaan atau urusan pribadi. Beruntung aku sedikit banyak tau tentang pertanyaan-pertanyaan jebakan seperti ini. Semoga saja aku t

  • TETANGGA DARI NERAKA   PoV Nurma (2)

    Rasanya bosan sekali seharian nunggu Putri pulang dari melamar kerja. Jantungku susah berdebar-debar membayangkan jika dia tidak lolos. Tidak! Semoga anakku yang diterima kerja disana, bukan Nina.Tok ... Tok ... Tok ....Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suara dan ketukan pintu membuatku berjingkrak dan dengan gegas menarik handel pintu."Ma, buka pintunya!" teriak Putri.Kebiasaan!Selalu saja teriak-teriak! Mana nggak pernah mau ngucapin salam lagi. Kalau aku ke tetangga depan memang nggak pernah ucap salam kalau mau bertamu. Emangnya mereka siapa sampai patut disopanin?"Jangan teriak-teriak bisa nggak sih?" Aku langsung ngedumel saat pintu terbuka lebar. Kulihat Putri mencebik dan melepas sepatunya asal."Aku capek, Ma," keluhnya. "Ambilin makan dong, sekarang!"Jika bukan ingat kalau dia baru saja melamar kerja, sudah kujitak kepalanya sekarang juga. Kebiasaa

  • TETANGGA DARI NERAKA   PoV Nurma

    Namaku Nurma.Nurma Nur Madinah. Ibu rumah tangga dengan satu orang anak bernama Putri. Suamiku bekerja sebagai supir truk. Seringkali pergi ke luar kota untuk mengirim barang membuatnya pulang terkadang sebulan sekali. Tidak masalah, bagiku uang mengalir deras lebih penting daripada suami di rumah tapi tidak ada penghasilan.Tuh, persis tetangga depan rumah!Keluarga miskin tapi sok terlihat harmonis. Bikin gedek lihatnya. Mentang-mentang aku dan suami lagi berjauhan, tapi kami masih romantis kok. Serius! Yang bikin lebih gedek lagi, anaknya yang sepantaran sama Putri udah pulang dari kota. Lagaknya sok kaya padahal mah miskin ya miskin aja.Lagipula untuk apa anak perempuan bekerja jauh-jauh, bisa-bisa dia hamil di luar nikah kalau pergaulan terlalu bebas. Anakku dong, dia hanya di rumah dan kadang pergi sama teman-temannya yang katanya mau nongkrong. Biar, biar dia merasakan masa muda lebih dulu. Aku bu

  • TETANGGA DARI NERAKA   Rejeki tidak Tertukar

    ***Seharian kemarin aku menunggu kabar dari Perusahaan tempatku melamar kerja, tapi memang mungkin benar kata Ibu jika rejekiku bukan disana. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota mengingat cuti libur yang aku terima sudah usai.Ibu sudah berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk kembali merantau. Aku membantunya memasak cukup banyak hari ini, karena memang sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan kembali ke kota, banyak sekali makanan yang Ibu bawakan mengingat teman-teman di indekos memang terbilang cukup banyak. Agar bisa berbagi, kata Ibu. Dan aku mengiyakan."Kak, hape nya bunyi tuh." Sari keluar dari kamar dan menepuk pundakku lembut. "Daritadi juga, masa nggak dengar?" Aku menggeleng dan berlalu menuju kamar sementara Sari menggantikan posisiku di dapur membantu Ibu.Aku memang masih satu kamar dengan Sari. Meskipun sudah sama-sama dewasa, kami memang masih tidur seranjang m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status