"Kamu gila ya, Dar?!"
Alana memekik kesal ketika sahabat karibnya melantunkan sebuah permintaan tak masuk akal baginya. Pen tablet yang sejak tadi menyita fokusnya kini mendadak terbengkalai karena kekagetannya akan kegilaan sahabat karibnya.
"Apanya yang gila sih, Al? Kamu sudah dua puluh delapan tahun, pekerjaan pun aman. Lagipula kakakku hanya selisih dua tahun dari kita. Aku berani jamin dia lelaki baik, mapan, dan cocok banget buat kamu, " ujar si wanita dengan rambut sebahu.
Alana bangkit dari kursi kebesarannya sembari menatap tak percaya pada sahabatnya, Adara. Tak pernah sekalipun mereka membahas tentang ini sebelumnya. Tapi bagaimana bisa tiba- tiba Adara memaksanya untuk menikah dengan kakak Adara yang bahkan sama sekali tak pernah ia temui sebelumnya?
"Dar, nikah bukan cuma perihal umur! Aku sekarang ini sama sekali belum siap menikah!" balas Alana lagi. Kali ini intonasinya kian tinggi.
Helaan nafas kasar jelas terdengar, Adara paham sahabatnya yang keras kepala ini pasti sulit dibujuk. Tapi dirinya juga bukan pribadi yang mudah menyerah. Semua tahu Adara Alicia Pradipta selalu punya 1001 rencana untuk mewujudkan apapun kemauannya. "Sampai kapanpun kamu gak akan pernah siap, Al! Semua harus dijalani dan adaptasi, itu wajar kok!" tukas Adara lagi.
Dua wanita dewasa itu sudah ribut di dalam kantor Alana sejak pagi. Beberapa karyawan Alana mungkin merasa bingung karena disuguhi pemandangan adu melotot dari bos dan sahabat bosnya itu. Semuanya terlihat dari pintu kaca yang transparan, tapi syukurnya suara di dalam tak sampai terdengar keluar.
Menyadari hal itu, Alana berjalan kearah pintu kaca sembari perlahan menarik turun tirai pembatas disana agar para karyawan tak lagi menyaksikan perdebatannya. Setelah itu tubuhnya kembali berbalik menghadap Adara. "Kenapa sih kamu jadi sejauh ini untuk terus memaksaku menikah? Kamu tau sendiri, aku masih nyaman sendirian. Aku masih sibuk dengan bisnisku, bahkan pulang ke rumah saja aku jarang. Gimana mau ngurusin suami?"
Adara Alicia Pradipta bersidekap di depan dada. Dari caranya memaksa, jelas ia tak mau mendengar ataupun tak peduli pada penolakan. Mungkin sejak awal sudah menyadari bahwa tak akan mudah membujuk Alana Diandra Yasmin untuk menyetujui permintaannya ini. Sebab itulah dia menggunakan kekuatan keluarga untuk membujuk Alana. Dering telepon dari ibunda Alana lima menit yang lalu sepertinya turut meledakkan emosi di tubuh sahabatnya. Pun Adara sudah bersiap menulikan pendengarannya karena sudah menduga bahwa Alana akan semeledak ini padanya.
"Sebagai sahabat, aku cuma mau yang terbaik buat kamu. Begitu juga yang terbaik untuk kakakku," ujar Adara akhirnya.
Nampak Alana menghela nafasnya perlahan, berusaha mengendalikan emosi agar tak mengambil alih seluruh kesadarannya. Kaki semampainya berjalan kembali menuju kursi lalu meneguk cairan bening di dalam gelas. Ia berusaha mencerna situasi kali ini. Mengapa tiba- tiba Adara bertindak jauh tanpa sepengetahuannya? Mulai dari mempengaruhi bundanya lalu merencanakan perjodohan mendadak untuk dirinya dan kakak Adara? Semuanya terkesan terburu- buru dan tentunya mengundang curiga Alana. Pemikiran kritisnya akhirnya membawa Alana pada satu titik, mengingat percakapan klise lama miliknya dengan Adara.
Wanita yang berstatus sebagai CEO perusahaan itu kini menaikkan satu alisnya. Menatap penuh penghakiman pada Adara yang juga masih diam. "Jangan bilang kamu mau menjadikanku tumbal agar bisa segera menikah dengan Bayu?" tebaknya cepat.
Adara yang tadinya mengerutkan kedua alis kini justru perlahan mengembangkan senyum konyol. Persis bocah yang ketahuan mengambil permen dari saku orang tuanya. Sembari memainkan kedua ujung jarinya, Adara sesekali membuang pandangannya kearah lain. "Ayolah, Al! Kata menumbalkan terdengar terlalu jahat," balasnya dengan suara yang jauh lebih kecil dari sebelumnya.
Alana menghela nafasnya lagi, jadi tebakannya benar? Sahabat satu dekade kesayangannya itu benar- benar memanfaatkannya untuk kepentingannya sendiri? Dia ingat betul, bagaimana Adara menggalau karena tak bisa melangkah ke jenjang pernikahan dengan kekasihnya akibat terhalang status lajang kakaknya. Mungkin ini sudah tak berlaku di beberapa daerah, tapi nyatanya keluarga besar kaya raya seperti keluarga Pradipta masih memegang erat prinsip ini. Kakaknya harus menikah lebih dulu, baru kemudian Adara bisa menikah. Begitulah hukum mutlak yang berlaku di keluarganya.
"Kamu bertindak sejauh ini demi kepentinganmu saja, kan?" sarkas Alana yang kini mulai bersandar di kursinya.
Melirik kanan kiri atas dan kembali lagi kearah wajah masam Alana, Adara masih memasang tampang tak berdosanya sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Ya iyasih untuk kepentinganku juga. Tapi kan juga bukan hal buruk buat kalian," balasnya.
Masih Alana tak habis pikir, bagaimana bisa Adara menumbalkannya begini? Maksudnya, apa tak ada jalan keluar lainnya tanpa harus membuatnya terseret? Lagipula kalau memang harus menjodohkan kakaknya, kenapa harus Alana yang dipilih?
Berusaha menjernihkan pikirannya yang sudah kalang kabut sejak pagi, Alana kembali meneguk air yang sudah hampir habis di dalam gelasnya. "Kalau kamu menikah lebih dulu memangnya kenapa, sih?" tanya Alana penasaran.
Adara menggeleng cepat, "gak bisa! Aku gak akan mendapatkan bagianku sebagai ahli waris. Selain itu, aku bisa dikucilkan keluarga besar," tuturnya.
Alana mengetukkan jarinya diatas meja, "kalau misalnya kamu hamil duluan? Keluargamu tetap gak akan memberi restu?" tanya Alana lagi.
Ada jeda sebentar sebelum Adara bersuara, "itu sama saja aku mencoret namaku dari daftar ahli waris. Bukan hanya pasal harta, tapi aku mungkin juga dicoret permanen dari kartu keluarga," jawabnya lagi.
Alana Diandra Yasmin pikir keluarga kaya raya yang tersohor seperti keluarga Pradipta akan hidup lebih fleksibel. Tapi ternyata aturan turunan masih menjerat mereka bahkan seerat itu?
"Al, bantu aku, ya? Kamu tau secinta apa aku sama Mas Bayu. Kami juga sudah lama pacaran, kami benar-benar ingin menikah secepatnya," Adara memohon sembari meraih pergelangan tangan Alana. Mau tak mau Alana mengembalikan fokusnya lagi kearah gadis yang kini memandangnya penuh harap dengan mata kucing berkedip beberapa kali dibarengi bibirnya yang ikut mengerucut. Alana meringis, merasa geli melihat tingkah sok imut sahabatnya.
Ia menghempas pelan tangan Adara, "memang gak ada wanita lain, Dar? Katanya kakakmu itu tampan dan mapan, masa sih tak ada yang mau sama dia? Kamu bisa jodohkan dia dengan wanita lain, kan?" Alana masih berusaha menolak tentunya.
Gelengan kencang ia dapatkan sebagai penegas jawaban, "ada beberapa yang kulihat mendekati, tapi mereka semua menjijikkan. Silau harta, manja, dan tak benar-benar sayang keluarga. Duh, aku gakmau punya masalah dikemudian hari karena wanita- wanita tak pantas itu," ujarnya.
Terlalu mudah memberi label pada orang lain. Alana kini merotasikan bola matanya, "kalau kamu lupa, aku juga sangat mengejar harta loh, Dar! Kamu pikir kenapa aku kerja siang malam hingga jarang pulang? Semuanya demi cuan juga," balas Alana sarkas.
Ekspresi tak terima muncul lagi di wajah Adara, "kamu mandiri, kerja keras dan bisa menghasilkan pundi-pundimu sendiri. Beda dengan wanita-wanita yang hanya mau jalan mudah itu," Alana tau sebenarnya itu sebuah pujian, tapi kenapa ia justru merasa tak memerlukannya sekarang?
Kalau dipikir-pikir, masih banyak kok wanita mandiri yang lebih cantik diluaran sana. Kalau mau, bahkan Alana bisa saja memberikan rekomendasi dari beberapa kenalannya. Kenapa jadi harus Alana yang menjadi pilihannya, sih?
Namun sebelum Alana berhasil bersuara lagi, Adara memotongnya cepat.
"Pokoknya aku mau kamu yang menikah dengan kakakku! Lagipula kamu juga sudah kenal keluargaku meskipun kamu belum pernah ketemu kakak. Kamu tahu gimana senangnya ibuku ketika aku berencana menjodohkan kalian? Huh, tak pernah aku melihatnya sebahagia itu," tambah Adara lagi.
Alana makin pusing. Dia memang sering bertemu orang tua Adara dan mereka sangat senang anaknya berkawan dengan Alana. Bahkan ibu Adara kerap kali memberikannya hadiah dan memperlakukan dia layaknya putri sendiri. Ternyata hal baik tak selalu bisa berjalan beriringan ya. Ketika dia dekat dengan keluarga sahabatnya, kenapa justru ada efek samping begini?
Adara bangkit dari duduknya sebelum memasang wajah lebih serius daripada sebelumnya, "aku sebenarnya gak mau membahas ini. Tapi sebelum kamu menolak mentah-mentah permintaanku lagi, coba ingat apa yang kamu katakan padaku dulu," ujar wanita yang kerap disapa Dara itu.
Alana memicing menatap sahabatnya yang kini penuh raut serius itu. Sungguh tak sadar selama ini ia bersahabat dengan gadis yang bak punya seribu ekspresi. Bisa tiba- tiba kesal, terlihat gentar, tiba- tiba sok imut, lalu serius lagi dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Namun yang lebih mengagetkan Alana adalah menyadari seberapa serius permasalahannya kali ini karena untuk pertama kalinya Adara kembali menyinggung bahasan lama.
"Kamu bilang akan membayar bantuanku waktu itu dengan cara apapun, kan? Aku rasa kamu bisa membayarku dengan mengabulkan permintaanku yang satu ini,Al."
Kalau bukan karena Adara, wanita dengan rambut hitam panjang itu mungkin tak akan tergesa-gesa pulang ke rumah orang tuanya sekarang. Setelah menempuh dua jam perjalanan, Audi putih Alana memasuki pekarangan salah satu hunian megah di kota sebelah. Alana merapikan tasnya sebelum keluar mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah.Masih sama seperti biasanya, tatanan perabot di rumah megah ini seakan tak bergeser, tetap setia pada posisinya. Terakhir pulang dua bulan lalu, Alana ingat betul letak lukisan besar, perabot mahal, dan foto-foto di nakas. Bahkan vas di samping ruangan keluarga, bunga lily segar masih menjadi pilihannya. Semua itu selera ayahnya yang bagi Alana nampak monoton. Menurutnya, sang ayah terlalu kaku dan strict pada perubahan.Kaki jenjangnya melangkah kearah ruang televisi. Ruangan yang ia yakini saat ini dihuni bundanya. Benar saja, wanita parubaya itu nampak tengah serius menyaksikan kisah berderai air mata seorang istri di sala
Alana memulas pelan lipstik coral di bibirnya perlahan lalu merapikan sedikit tatanan rambutnya. Dress tanpa lengan sepanjang lutut dengan warna nude pilihan bunda membalut cantik tubuhnya. Tak lupa menyemprotkan sedikit parfum aroma favoritnya. Ia mematut dirinya di depan cermin, nampak sempurna seperti biasanya. Hanya satu yang kurang, sebuah senyuman tulus harusnya bisa menyempurnakan penampilannya malam ini.Suara mobil memasuki pekarangan lalu obrolan beberapa orang mulai menyeruak. Kembali menyadarkan Alana yang malam ini harus menghadapi pertemuan super mendadak di rumah orang tuanya ini. Kemarin setelah deep talk dengan bundanya, ia memilih untuk bermalam disini. Namun paginya ia justru harus menahan keterkejutan karena mendengar kabar kedatangan keluarga Pradipta sore ini.Masih meratapi nasib, suara pintu kamar terbuka menarik atensinya. Adara dengan senyum cerianya berdiri di depan pintu sembari menatapnya antusias. Hanya sebuah senyum k
Paduan aroma citrus dan wood mendominasi penciuman Alana ketika angin berhembus sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Wanita itu masih menatap tanpa gentar si pemilik aroma, lelaki tiga puluhan yang berdiri dihadapannya. Setelah tiga menit lalu pamit dari ruangan dan menyisakan tanya di benak semua orang, kini Alana dan Arkasa telah berada di taman belakang. Dari jarak sedekat ini, ketampanan Arkasa Dean Pradipta makin jelas tercetak. Alana menarik nafas pelan, berusaha menghalau pikiran- pikiran buruknya."Maaf, kamu mungkin terkejut," suara pertama Arkasa setelah beberapa saat terdiam akhirnya terdengar.Alana berusaha sopan karena biar bagaimanapun, sosok dihadapannya lebih tua darinya. "Sebenarnya tidak juga," balasnya singkat.Arkasa tersenyum simpul. Ia mencuri pandang kearah ruang makan dimana lima manusia di dalamnya nampak harap- harap cemas lalu kembali memandang lamat Alana."Jadi, sudah berapa lama kamu ber
"Aku bisa bawa sendiri, mas!"Arkasa melepaskan tangannya dari koper besar berwarna silver, membiarkan Alana kini sibuk mengatur beberapa tombol di kopernya dan mulai menariknya. Belum genap seminggu resmi menjadi suami Alana, sedikit banyak ia mulai paham bagaimana wanita itu begitu tak mau terlihat lemah. Arkasa mungkin juga tak akan kaget nantinya kalau melihat Alana mengangkat dan mengganti galon sendiri atau mungkin membenahi rumah bocor.Yap, setelah pertemuan keluarga malam itu, semuanya sepakat bahwa pernikahan Alana dan Arkasa dilaksanakan dua minggu setelahnya. Kenapa? Karena keluarga percaya itu adalah hari baik terdekat. Mereka tak mau menunda- nunda pernikahan Arkasa dan Alana. Lagipula, bagi keluarga super kaya raya seperti keluarga Pradipta, mengurus satu acara pernikahan bukanlah hal sulit.Arkasa dan Alana tinggal terima jadi. Mereka hanya diharuskan memilih satu konsep dan langsung memilih yang paling sederhana. Perhelatannya pun dilaksan
Alana menganga ketika melihat di depan ruang kerjanya berjejer bunga dan aneka bentuk ucapan selamat entah dari pegawainya atau kiriman rekan kerja. Tadi juga sepanjang perjalanan menuju ruangan ia harus terus memasang senyum saat tiap orang menyapanya sembari memberi selamat. Memang Alana tak mengundang semua pegawainya, tapi siapa di kota ini yang tak tahu bahwa dirinya menikahi salah satu anak konglomerat paling hits?Menghela nafas pelan sebelum mengambil beberapa bidikan foto menggunakan ponselnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengunggahnya ke salah satu media sosial dan melayangkan ucapan terimakasih. Tak perlu menandai siapapun, terlalu banyak nama yang harus disebutkan kalau dia mau menandai. Jadi sebagai wanita sibuk, Alana hanya mengunggahnya secara umum saja. Yap, untuk mempermanis dramanya, setidaknya dia harus melakukan ini bukan?Hendak membuka pintu ruangannya, namun sulit karena dihalangi berbagai karangan bunga. Ia memanggil salah satu office boy
Arkasa hampir memuntahkan kembali air yang baru saja dia teguk ketika rungunya menangkap suara tak biasa di pagi temaramnya. Setelah mengusap bibirnya, perlahan juga netranya makin terbuka. Arkasa menyingkirkan residu disekitar matanya untuk memperjelas penglihatan, melirik jam dinding yang menunjuk pukul enam pagi. Rambut laki- laki itu masih acak-acakan, mengenakan kaos hitam polos seadanya dan celana trening yang biasa nyaman ia pakai tidur. Kaki panjangnya melangkah mengikuti asal keributan. Tadinya Arkasa berada di dapur untuk minum air setelah bangun tidur. Namun suara kecipak air yang lumayan kencang cukup membuat rasa penasarannya membuncah. Dapur dan taman belakang hanya dibatasi satu pintu sliding besar. Arkasa membuka sedikit lalu menyembulkan kepalanya keluar guna mengamati. Benar saja, ada sosok yang tengah berenang jam enam pagi dengan brutal di kolam. Arkasa mengernyit heran namun beberapa saat kemudian sadar bahwa ia tak tinggal sendirian di rumah ini. Sia
Wanita bersurai hitam itu masih setia di depan laptop, berkutat pada rancangan terbarunya. Alisnya naik turun seiringan dengan pening yang tiba- tiba menyeruak dibarengi lantunan paduan suara dari perut. Mata kucingnya melirik jam dinding, pukul 11 lewat, ini sudah larut malam. Sial. Kenapa harus lapar selarut ini? Pikirnya.Alana baru ingat, terakhir ia menyentuh makanan hari ini saat makan siang. Itupun hanya setengah porsi pasta. Salahkan hari super sibuk dan hecticnya hingga sulit sekali rasanya untuk makan. Sekali lagi egonya berdebat, jam kritis mau makan apa? Kata orang, makan tengah malam bisa membuat berat badannya naik. Tapi suara dan alarm kelaparan itu terus mengganggu konsentrasinya. Setelah perdebatan batin itu, akhirnya dengan langkah berat Alana menuju dapur. Persetan dengan berat badan naik! Yang penting dia bisa konsentrasi lagi melanjutkan pekerjaannya yang harus dia selesaikan sebelum berangkat seminar tig
"Mau saya pesankan sesuatu, bu?"Lagi dan lagi hanya gelengan yang ia dapat sebagai jawaban. Rosaline untuk kesekian kalinya masuk dengan raut cemas kedalam ruangan bos utamanya. Ini pukul 2 siang dan bosnya itu tidak berpindah posisi sama sekali sejak pagi tadi. Beginilah Alana kalau sudah terlalu fokus pada pekerjaannya, makan dan istirahat sama sekali tak ia indahkan. Memang Alana bukan tipikal yang sering sakit dan bahkan dianggap punya daya tahan tubuh yang cukup bagus. Namun tetap saja, riwayat penyakit lambungnya dan terlebih dulu ia pernah kumat saat di kantor cukup membuat Rosaline was-was. Ia tentu tak mau bos kesayangannya itu jatuh sakit lagi."Tapi sebentar lagi akan ada meeting di ruangan utama. Bu Alana belum makan siang sedikitpun, kan?" Rosaline berusaha mengingatkan lagi.Kali ini Alana menatapnya, "ah iya, client itu sudah datang belum?" tanya Alana.Rosaline yang tadinya hampir tersenyum kini kembali melunturkan senyuman di bibirnya. D
Semua orang yang berada dalam perhelatan sederhana namun meriah malam ini jelas melihat binar kebahagiaan di wajah pasangan luar biasa itu, Arkasa Dean Pradipta dan istrinya Alana Diandra Yasmin. Ketika mereka menikah empat tahun lalu, seluruh kota membicarakan kombinasi luar biasa tersebut. Bagaimana tidak? Arkasa Dean Pradipta memang sudah digadang- gadang menjadi pewaris utama dan punya latar belakang yang bersih luar biasa. Tidak pernah ada media yang mengendus kedekatannya dengan gadis manapun. Padahal ada banyak sekali keluarga kaya dari kalangan pengusaha atau bahkan politisi yang berusaha menjadikannya sebagai menantu mereka. Nyatanya, keluarga Pradipta tak pernah terjebak ataupun berusaha menjodohkan Arkasa dengan siapapun. Sebab lelaki itu tinggal diluar negeri selama bertahun- tahun, orang- orang berpikir dia mungkin memiliki seorang kekasih disana. Sampai akhirnya dia kembali ke Indonesia dan langsung dikabarkan meminang Alana Diandra Yasmin, putri tunggal salah seorang a
"Sudahlah, pengantin baru tidak perlu diajak! Mereka pasti belum bangun," Tuan Pradipta menarik lengan istrinya yang hendak melangkah keluar pendopo. Seolah menjadi tradisi mereka, jikalau sedang berkumpul begini keluarga itu akan makan bersama. Namun menyadari situasi saat ini, besar kemungkinan Adara dan Bayu bahkan belum bangkit dari ranjang. Nyonya Pradipta terkikik saat aru menyadari bahwa telah ada beragam perubahan dalam tubuh keluarga itu. Kini sudah melingkar Tuan dan Nyonya utama Pradipta, Alana, Arkasa,dan tak lupa bayi mungil yang sibuk di meja bayi. Kehadirannya tentu bak sihir yang membuat suasana disini menjadi semakin ceria. Terbukti dari tawa gemas yang sangat jarang muncul dari Tuan Tua Pradipta. "Sandi semalam rewel tidak, nak?" Tanya Mama Tiana.Alana sibuk membersihkan sisa susu di sudut bibir putranya, ia tersenyum kecil pada mertuanya yang baru saja bertanya."Aman kok, ma. Dia sempat bangun sekali namun setelah diberi susu langsung tidur lagi," jawab Alana s
Jika memang sudah garis yang ditentukan tuhan, maka terjadilah. Mungkin itu juga yang terjadi pada kisah Adara. Setelah penghianatan dan kesalah pahaman di masa lalu, ada banyak sekali jalan yang pada akhirnya kembali mempertemukannya dengan Bayu. Sekalipun Adara telah berusaha menolak berulang kali, kegigihan Bayu pada akhirnya berbuah manis. Bayu bahkan berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Tuan Pradipta setelah sebelumnya sempat bersitegang. Semua itu tidak terjadi secara instan, ada proses panjang yang melatarbelakangi semuanya. Alana tak banyak ikut campur dengan kisah cinta bersemi kembali antara Adara dengan Bayu. Dia ingat tiga bulan lalu saat Adara ke rumahnya untuk seperti biasa bermain bersama Sandi. Bedanya, hari itu Adara membawa serta Bayu ke hadapannya dan Arkasa. Seolah berusaha mendapatkan restu dari Alana dan Arkasa lebih dahulu sebelum akhirnya kembali mengais restu dari orang tua. Alana dan Arkasa sepakat untuk tidak banyak mengambil andil. Mereka membiarkan
"Astaga Mas Arka!"Alana menggeleng- gelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia baru saja selesai menyiapkan setelan pakaian untuk keluarga kecilnya ketika menyadari bahwa dua jagoannya belum juga keluar dari kamar mandi setelah hampir tiga puluh menit. "Mas! Sudah selesai belum?""Sepuluh menit lagi, Al!"Ibu satu anak itu berdecak sembari berkacak pinggang. Sebelumnya juga Arkasa sudah memberikan jawaban yang sama, namun sampai sekarang mereka berdua tidak kunjung keluar kamar mandi. Dari luar saja Alana sudah bisa mendengar riuh tawa dua jagoannya itu berpadu dengan suara air, putranya bahkan sampai cekikikan senang. Alana memang memberikan mandat pada sang suami untuk memandikan Sandi selagi dia menyiapkan pakaian dan beberapa keperluan untuk dibawa. Namun sepertinya dia lupa bahwa setiap kali Arkasa dan putranya itu bersatu pasti akan ada keriuhan dari kekompakan nakalnya mereka."Lho, belum selesai mandinya?"Alana setengah melotot saat membuka pintu kamar mandi. Menemukan bahwa
"Baju yang biru aja deh, Al! Lebih lucu! Eh tapi yang kuning kelihatan lebih mencolok! Duh, yang mana ya?"Adara saat ini turut membantu atau lebih tepatnya merecoki Alana di rumahnya. Dia sedari tadi bingung sendiri menentukan baju mana yang akan digunakan Arsena hari ini. Padahal seluruh baju yang dipilih merupakan hadiah dari Adara. Saking banyaknya, Adara sendiri jadi bingung mau memilih yang mana untuk dipakai ponakannya itu hari ini.Alana hanya bisa menggeleng- gelengkan kepala karena tingkah adik ipar sekaligus sahabatnya itu. Dia sudah selesai mengoleskan telon dan lain- lain di tubuh putranya, namun Adara yang sedari tadi kekeuh ingin memilihkan baju justru masih bingung sampai mengeluarkan semua pakaian di atas tempat tidur."Yang mana aja, Dar! Kita kan lagi gak mau kemana- mana juga. Kenapa kamu jadi rumit begitu??"Alana melangkah melewati kebingungan Adara sembari mengambil satu stel pakaian berwarna biru cerah disebelah sahabatnya. Melihat Alana menentukan pilihan memb
Alana Point of View "Makan dulu yuk, Al!" Mas Arka muncul dari balik pintu sembari tersenyum teduh kearahku. Aku yang baru saja meletakkan Arsena di ranjang bayi hanya membalasnya dengan sebuah senyuman simpul. Dia merangkul bahuku hangat sembari menggiring menuju ruang makan. Ini sudah pukul sebelas malam. Keluarga kami baru saja pamit kembali ke rumah masing- masing setelah hampir seharian bermain bersama disini. Tadinya mama, bunda, dan Adara mau tinggal, namun kompak aku dan Mas Arkasa larang. Kami tahu, kalau mereka semalaman disini pasti akan ikut begadang dan lelah. Mama dan Bunda sudah terus berada di rumah sakit selama aku dirawat disana, sementara Adara benar- benar baru saja sampai setelah sekian belas jam penerbangan. Akan lebih baik jika mereka istirahat dengan nyaman malam ini. Banyak sekali ilmu yang kudapat dari mereka yang tentu sudah lebih berpengalaman. Mama dan bunda terutama banyak memberikan wejangan dan tips tentang dasar- dasar merawat bayi. Sebelumnya a
Beberapa manusia dengan pakaian serba hitam mulai berjalan menjauhi pusara. Aneka karangan bunga turut menghiasi disana. Suasana haru juga terasa karena sedari tadi terdengar isakan tangis di beberapa sudut. Dibawah langit cerah yang tak begitu terik, seorang laki- laki bertubuh atletis meletakkan karangan bunganya. Duduk bersimpuh menatap pusara yang benar- benar baru ini. Dia menundukkan kepalanya, memberikan doa dan sebuah penghormatan terakhir untuk yang berada dibawah batu nisan. "Aku harap, kamu dapat beristirahat dengan tenang." Ia meletakkan buket bunga putih menemani karangan yang lainnya juga. Tubuh jangkungnya sempat tersentak kaget saat merasakan sepasang tangan dengan jemari lentik menekan bahunya. Arkasa menengadah menatap kaget sosok yang kini tersenyum kecil kearahnya. "Aku juga ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya." Meskipun ada banyak yang berkecamuk di kepala, Arkasa membiarkan wanita disebelahnya untuk mulai bersimpuh. Menyentuh nisan dan tersenyum
Masih percaya kekuatan takdir?Katanya, tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dalam hidup ini. Bahkan ketika manusia mengklaim telah melakukan beragam usaha hingga titik darah penghabisan. Jika memang bukan itu jalan yang digariskan, maka tak akan tercapai jua.Di satu sisi, kalimat tak ada hasil yang menghianati proses juga masih relevan. Banyak orang yang harus melewati beragam kesulitan dan rintangan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang diperlukan pun tidak main- main. Namun pada akhirnya dia juga mencapai hasil akhir yang indah. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan rencana awalnya.Namun yang menjadi benang merahnya sekarang adalah seberapa realistis tujuan yang ingin manusia capai? Sekalipun telah berusaha dengan keras, apakah cara yang digunakan memang cara yang benar dan sudah seharusnya?Hidup itu mudah dan juga sekaligus sulit. Manusia dituntut untuk tidak mudah menyerah, namun juga diminta untuk tetap realistis. Sejatinya, tak ada usaha yang sia- sia. Kadangkala ki
Derap langkah flatshoes mahal itu menyerbu lorong dengan tergesa. Ditengah keramaian yang cukup padat, wanita parubaya itu membelah lorong buru- buru. Bau khas rumah sakit menemaninya sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai dalam sebuah lorong yang lebih sepi. Diatasnya tertulis ruangan utama khusus VVIP.Nyonya Pradipta masuk kedalam ruangan tanpa bisa membendung kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya. Segera setelah ia menerima kabar mengenai kejadian naas tersebut, dia langsung mengambil penerbangan tercepat untuk kembali ke kota asalnya. Dia berhambur memeluk suaminya yang sudah lebih dulu berdiri cemas di depan pintu bersama dengan besannya. Ayah dan bunda Alana jelas nampak terpukul akibat kejadian yang begitu tiba- tiba ini. Nampak juga Arta yang Rosaline mondar- mandir panik sembari sesekali menerima telepon entah dari siapa."Bagaimana keadaan mereka?" Sebagai satu- satunya yang masih bisa menampakkan sedikit ketenangan, Tuan Pradipta membelai punggung istrinya yang