Alana menganga ketika melihat di depan ruang kerjanya berjejer bunga dan aneka bentuk ucapan selamat entah dari pegawainya atau kiriman rekan kerja. Tadi juga sepanjang perjalanan menuju ruangan ia harus terus memasang senyum saat tiap orang menyapanya sembari memberi selamat. Memang Alana tak mengundang semua pegawainya, tapi siapa di kota ini yang tak tahu bahwa dirinya menikahi salah satu anak konglomerat paling hits?
Menghela nafas pelan sebelum mengambil beberapa bidikan foto menggunakan ponselnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengunggahnya ke salah satu media sosial dan melayangkan ucapan terimakasih. Tak perlu menandai siapapun, terlalu banyak nama yang harus disebutkan kalau dia mau menandai. Jadi sebagai wanita sibuk, Alana hanya mengunggahnya secara umum saja. Yap, untuk mempermanis dramanya, setidaknya dia harus melakukan ini bukan?
Hendak membuka pintu ruangannya, namun sulit karena dihalangi berbagai karangan bunga. Ia memanggil salah satu office boy untuk merapikan seluruhnya. Namun ketika sedang mengawasi bunga- bunga itu diangkut, pandangannya terarah pada salah satu kartu ucapan yang terikat di buket mawar putih. Tulisan standar happy wedding, namun tulisan tangan itu begitu melekat hingga dia bisa tahu siapa pengirimnya.
"Yang itu mau disimpan, bu?" tanya si OB yang kini menunjuk buket bunga di tangan Alana.
Alana tersadar lalu dia menyerahkannya dengan cepat, "khusus yang ini sebaiknya kamu buang paling jauh! Atau bakar saja sekalian!" ketusnya. Ia lalu masuk kedalam ruangannya, menyisakan sang office boy malang yang bingung akan perubahan mood bosnya.
***
Beberapa hari tak masuk kerja membuat Alana harus mengejar dengan cepat ketertinggalannya. Untung dia punya asisten cekatan yang dapat diandalkan, setidaknya perkerjaannya cukup diringankan.
"Permisi bu," Rosaline, si asisten kepercayaannya masuk sembari membawa teh hangat untuknya.
"Thanks," sahut Alana ketika Rosaline meletakkan cangkir kecil dengan asap mengepul itu di meja.
"Kenapa kamu senyum- senyum begitu?" tanya Alana yang merasa aneh dengan gelagat asisten utamanya yang terus menampakkan senyum aneh baginya.
Gadis yang lebih muda dua tahun darinya itu memberi tatapan meledek, "saya pikir bu Alana akan kembali lebih lama. Masa hanya cuti empat hari sih?" ujarnya.
Alana melotot, hanya? Meninggalkan kantor empat hari sudah sudah membuatnya mati kutu banyak pikiran.
"Kalau mau lebih juga tidak apa bu. Sebagai bos, ibu jarang mengambil libur dan kalaupun mau cuti sedikit lebih lama juga tidak masalah seharusnyaa," ucapan Rosaline sedikit menarik kabel emosi Alana. Sejujurnya, baik dia karyawan ataupun bos, bukannya aturan tetaplah aturan?
Mungkin karena pengaruh Rosaline sudah cukup lama bersamanya, makanya gadis itu jadi sedikit lebih berani bercanda dengan Alana yang dikenal jutek itu. "Rosa, kalau kamu bicara begitu, kedengarannya kurang baik di telinga karyawan. Mau saya bos ataupun karyawan, aturannya tetap sama," Alana memberi pengertian.
Rosaline mungkin sedikit tersentil dan merasa malu, ia lanjut senyum- senyum tak enak lalu meminta maaf.
Tak biasa berlarut- larut, Alana langsung meminta jadwal mingguannya pada Rosaline. Kembali membahas daftar pekerjaan yang harus mereka kerjakan kedepannya.
Ditengah pembahasan, ponselnya berdering. Ia meminta Rosaline untuk menghentikan sebentar penjelasannya dan menerima panggilan dari bundanya.
"Iya bunda?"
Alana menyapa dengan ramah. Selama menikah bundanya tak pernah menghubunginya secara langsung. Malah lebih sibuk video call dengan mama mertuanya dan juga Adara. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Al, kamu sudah balik kerja lagi, ya?" tanya si bunda diseberang telepon.
Alana berdehem, "iya nih bun, sudah beberapa hari kutinggal, jadi banyak yang harus aku kejar. Bunda nelpon pagi- pagi, ada apa?"
"Bunda cuma mau tanya aja, minggu depan kamu bisa luangkan waktu sekitar tiga harian tidak?"
Alana mengernyit, "tiga hari? untuk apa bun?"
Diseberang bunda Alana mendesis kesal, "kamu itu kemarin kan masih di rumah mertua terus sibuk ngurus surat- surat ini itu sama Arkasa. Terus sekarang langsung balik kerja. Kamu belum bulan madu loh, nak!"
Astaga! Alana ingin menjerit keras sekarang. Bisa- bisanya bundanya membahas hal ini.
"Duh bunda! Jangan bahas itu dulu yaa! Aku baru balik kerja, Mas Arka juga baru mulai masuk hari ini. Kita sama- sama lagi sibuk sekarang."
"Gak bisa gitu dong sayang! Bunda sama mama mertua kamu udah pilih-pilih tempat dan survey juga. Tinggal menentukan waktu aja. Pokoknya bunda maunya paling lambat minggu depan kalian harus berangkat," kukuh sang bunda.
"Tapi bun--" telepon dimatikan secara sepihak. Alana menggerutu kesal. Dia menghubungi bundanya via chat namun tak dibalas. Masalahnya dia paham betul karakter sang bunda yang meskipun suka bercanda, namun jika sudah kukuh pada satu hal pasti akan mengusahakan berbagai jalan.
Sampai akhirnya dia mendengar dering telepon Rosaline. Gadis itu pamit sebentar keluar lalu tak lama masuk lagi dan memberikan tatapan aneh pada Alana.
"Tadi Bu Diandra menelepon, katanya saya diminta kosongkan jadwal bu Alana untuk minggu depan. Sudah saya iyakan," ujarnya.
Alana kembali melotot, "loh kenapa begituu?!"
Rosaline terkikik, daripada ia menerima omelan dari bosnya ini, lebih baik ia cepat- cepat pergi dari ruangan. Ia pamit sembari membawa beberapa pekerjannya, meninggalkan Alana yang masih melotot tidak terima.
Alana menghela nafasnya kasar. Bisa- bisanya para ibu melakukan ini padanya. Alana merengek sebelum meluruskan lengannya di meja dan menelungkupkan kepalanya disana. Setengah frustasi karena demi sandiwara ini pekerjaannya bisa- bisa ikut terseret.
Wanita dengan rambut hitam legam itu kembali meraih ponselnya ketika dering ponsel berbunyi lagi. Setelah tadi bundanya, kali ini sahabat sekaligus saudara ipar tersayangnya, Adara yang menelpon.
"Yaa kenapa, Dar?"
"Coba cek email yah kakak ipar, urgent !"
Terdengar tawa cekikikan adara dan sang ibu mertua. Setelah mengatakan kalimat itu, Adara mematikan telepon secara sepihak. Kenapa sih hari ini orang- orang yang menghubunginya suka mematikan sambungan secara sepihak? Alana lagi- lagi menggeram kesal sembari memeriksa apa yang Adara kirimkan di emailnya.
Mata si gadis kembali membulat. Gila, apa- apaan ini? Adara mengirimkan attachment dua tiket pesawat dan penginapan. Ditambah lagi destinasinya membuat Adara menganga. Serius Maldives?
Belum selesai kekagetannya, kini si suami tersayang yang giliran menghubunginya. Serius! Alana berjanji pokoknya kali ini dialah yang akan memutus sambungan secara sepihak. Egonya mengatakan demikian, hari ini dia sudah terlalu banyak tersakiti.
Ketika telepon terangkat, terdengar deheman yang seratus persen ia sadar merupakan suara khas milik suaminya. "Hm?"
"Mama telpon kamu juga tadi?" lelaki itu langsung memotong.
Alana memijat pelipisnya, "iya, terus gimana mas?"
Jawaban Arkasa membuat Alana bingung setengah mati, "ya sudah, memang mau gimana? Ikuti saja kemauannya."
"Loh kok kamu jadi pasrah?"
Arkasa tertawa kecil, "ya gimana, Al? Saya bahkan belum memulai isi kelas. Tapi rektor datang dengan senyum untuk mengatakan bahwa saya bisa pakai cuti tambahan minggu depan," lelaki itu merasa miris. Sadar bahwa itu pasti juga perbuatan keluarganya. Sejujurnya ini juga yang membuatnya jadi malas bekerja kembali di Indoneisa. Pengaruh orang tuanya terlalu besar, sih.
Alana merutuk, baru selesai cuti kenapa justru diminta libur lagi?
"Ya tapi masa kita mau menurut saja? Terus terang aku keberatan kalau ini mengganggu pekerjaan. Kita sama- sama baru kembali ke tempat kerja, lho!" protes Alana lagi.
Diseberang terdengar helaan nafas pelan dari Arkasa yang mungkin sama kesalnya. "Iya, paham. Saya juga inginnya bisa kerja normal dulu dan gak terdistract, tapi kamu tau kan seberapa besar power keluarga kita? Saya justru takutnya kalau kita gak jalanin ini, yang ada mereka menggunakan cara lain yang membuat kita makin sulit. Contohnya sudah kejadian di saya. Itu pasti mama yang kontak pak rektor untuk bilang begitu. Kamu mau justru mama kontak client kamu dan membuat perjanjian aneh lainnya?"
Jawaban panjang dari Arkasa kali ini ada benarnya. Setelah melihat sendiri bagaimana kerasnya keluarga Pradipta, kemungkinan seperti itu juga bisa saja terjadi. Apalagi dengan akses yang keluarga itu miliki pasti tak akan sulit untuk melakukan hal- hal diluar nalar juga. Alana jadi takut.
Tak mendengar jawaban dari Alana yang tengah berpikir keras, Arkasa menghela nafas sabar lagi. "Ya sudah, jangan dipikirkan dulu. Kamu fokus kerja aja hari ini. Nanti malam kita bahas lagi di rumah," ujar Arkasa.
Alana mengangguk lalu tertawa tanpa suara karena sadar akan hal yang baru dilakukannya. Bagaimana Arkasa bisa melihatnya mengangguk?
"Iya mas," jawabnya sebelum akhirnya mengakhiri panggilan. Alana mengusap kasar rambutnya lalu menghela nafas lagi entah untuk keberapa kalinya. Dia pikir bermain peran dengan menikahi Arkasa saja sudah menyelesaikan satu masalah. Tapi ternyata penyelesaiannya tak pendek dan justru merembet kemana-mana. Ada terlalu banyak hal yang harus dia lakukan selama menjadi istri seorang Arkasa Dean Pradipta.
Arkasa hampir memuntahkan kembali air yang baru saja dia teguk ketika rungunya menangkap suara tak biasa di pagi temaramnya. Setelah mengusap bibirnya, perlahan juga netranya makin terbuka. Arkasa menyingkirkan residu disekitar matanya untuk memperjelas penglihatan, melirik jam dinding yang menunjuk pukul enam pagi. Rambut laki- laki itu masih acak-acakan, mengenakan kaos hitam polos seadanya dan celana trening yang biasa nyaman ia pakai tidur. Kaki panjangnya melangkah mengikuti asal keributan. Tadinya Arkasa berada di dapur untuk minum air setelah bangun tidur. Namun suara kecipak air yang lumayan kencang cukup membuat rasa penasarannya membuncah. Dapur dan taman belakang hanya dibatasi satu pintu sliding besar. Arkasa membuka sedikit lalu menyembulkan kepalanya keluar guna mengamati. Benar saja, ada sosok yang tengah berenang jam enam pagi dengan brutal di kolam. Arkasa mengernyit heran namun beberapa saat kemudian sadar bahwa ia tak tinggal sendirian di rumah ini. Sia
Wanita bersurai hitam itu masih setia di depan laptop, berkutat pada rancangan terbarunya. Alisnya naik turun seiringan dengan pening yang tiba- tiba menyeruak dibarengi lantunan paduan suara dari perut. Mata kucingnya melirik jam dinding, pukul 11 lewat, ini sudah larut malam. Sial. Kenapa harus lapar selarut ini? Pikirnya.Alana baru ingat, terakhir ia menyentuh makanan hari ini saat makan siang. Itupun hanya setengah porsi pasta. Salahkan hari super sibuk dan hecticnya hingga sulit sekali rasanya untuk makan. Sekali lagi egonya berdebat, jam kritis mau makan apa? Kata orang, makan tengah malam bisa membuat berat badannya naik. Tapi suara dan alarm kelaparan itu terus mengganggu konsentrasinya. Setelah perdebatan batin itu, akhirnya dengan langkah berat Alana menuju dapur. Persetan dengan berat badan naik! Yang penting dia bisa konsentrasi lagi melanjutkan pekerjaannya yang harus dia selesaikan sebelum berangkat seminar tig
"Mau saya pesankan sesuatu, bu?"Lagi dan lagi hanya gelengan yang ia dapat sebagai jawaban. Rosaline untuk kesekian kalinya masuk dengan raut cemas kedalam ruangan bos utamanya. Ini pukul 2 siang dan bosnya itu tidak berpindah posisi sama sekali sejak pagi tadi. Beginilah Alana kalau sudah terlalu fokus pada pekerjaannya, makan dan istirahat sama sekali tak ia indahkan. Memang Alana bukan tipikal yang sering sakit dan bahkan dianggap punya daya tahan tubuh yang cukup bagus. Namun tetap saja, riwayat penyakit lambungnya dan terlebih dulu ia pernah kumat saat di kantor cukup membuat Rosaline was-was. Ia tentu tak mau bos kesayangannya itu jatuh sakit lagi."Tapi sebentar lagi akan ada meeting di ruangan utama. Bu Alana belum makan siang sedikitpun, kan?" Rosaline berusaha mengingatkan lagi.Kali ini Alana menatapnya, "ah iya, client itu sudah datang belum?" tanya Alana.Rosaline yang tadinya hampir tersenyum kini kembali melunturkan senyuman di bibirnya. D
Manhattan rasanya jauh sekali. Oh bukan rasanya, tapi memang benar- benar jauh. Hampir dua puluh empat jam berada di dalam pesawat termasuk transit dan segala macamnya membuat tubuh Alana rasanya hampir remuk. Sudah lama sekali ia tak mengikuti lokakarya dan semacamnya hingga sejauh ini, ke benua Amerika pula. Siapa sih yang memilih perhelatan tahunan ini dilaksanakan disini?Dengan sisa kekuatannya, Alana menarik koper milik suaminya itu. Dia telah disapa ramah oleh beberapa utusan yang bertugas menjemput para peserta lokakarya. Ada beberapa juga kenalannya yang pernah ia temui di beberapa kesempatan sebelumnya sehingga Alana tak merasa terlalu kesepian. Alana melirik Rosaline yang nampak jauh tertinggal dibelakangnya, gadis itu nampak sibuk dengan ponselnya sejak tadi. Mungkin sedang mengabari kekasihnya.Mereka masuk kedalam mobil yang disediakan panitia untuk diantar ke hotel tempat diadakannya acara yang akan digelar tiga hari kedepan. Yap, acara seriusnya hanya t
Alana menggenggam erat seminar kit dan tas bawaannya. Langkahnya masih terasa berat, apalagi ketika harus kembali masuk kedalam ruangan sesak yang telah menguras otaknya dua hari kemarin. Dia menghela nafas kasar dan menatap sekeliling, berusaha mengumpulkan kembali energi dan semangatnya setelah melewati aneka sesi focus group discussion dan serentetan acara lainnya. Perlahan senyuman cantiknya terpancar, ini adalah hari yang paling dia tunggu-tunggu.Tak seperti dua hari sebelumnya yang menghabiskan masing- masing sepuluh jam full di dalam ruangan untuk terus berpikir kritis, rundown hari ini jelas berbeda. Setelah memastikan kembali rundown yang dibagikan, Alana bisa bernafas sedikit lega. Hanya tersisa seminar motivasi dan upacara penutupan yang totalnya kurang lebih hanya dihelat selama lima jam. Ia mengembangkan senyumannya makin lebar, setelah ini dia bisa berlibur.Mempertahankan senyumnya kala menyapa beberapa panitia dan peserta lokakarya yang sudah
Satu tangan Arkasa menarik pinggang Alana untuk merapatkan tubuh keduanya, sementara tangan sebelahnya meraih gelas kaca ditangan wanita itu dan meletakkannya kembali di nakas. Setelah itu, tangannya kembali membuai pipi halus Alana tanpa melepaskan tautan mata keduanya sejak tadi."M-mas?" Terbata namun tak juga bisa melepaskan diri. Tangannya mengatung di udara sementara mata cantiknya mengelana seakan memindai ruangan—kemana saja asalkan menghindari tatapan panas milik Arkasa."Tiga hari tanpa kontak, kamu gak kangen saya?" Bertanya lagi seolah tak puas akan respon Alana sebelumnya yang justru mengalihkan percakapan. Perlahan tapi pasti, Arkasa mulai menunjukkan sosok dominannya yang tak mau diabaikan ataupun dibantah.Tapi satu yang membuat wanita pemilik hazel gelap itu heran, sejak kapan Arkasa jadi begini,sih?Alana berusaha bersikap sebiasa mungkin, seolah tak terpengaruh akan tindakan Arkasa. Meskipun sebena
"Mau kemana?"Wangi segar yang menyeruak mampu mengusik lelapnya Alana yang akhirnya berusaha membuka matanya. Gadis itu menggeliat dan mengusap wajahnya pelan, pandangannya perlahan makin jelas dan langsung terarah pada laki-laki yang tengah menyemprotkan parfum mahalnya di pergelangan tangan. Lelaki itu mengenakan pakaian casual, rambutnya pun masih setengah basah. Wajahnya nampak segar karena sepertinya sudah lebih dulu menyapa air dingin."Nanti malam kita akan menghadiri undangan pesta pembukaan perusahaan baru milik rekan bisnis ayah. Beliau yang mengutus kita untuk hadir kesana," Arkasa kini menyibak rambut basahnya kebelakang. Netra elang itu pada akhirnya berlabuh pada Alana yang masih menggulung dirinya dalam selimut persis kepompong. Jelas gadis itu masih setengah sadar, wajahnya nampak clueless dan hanya berdehem pelan sebagai sebuah tanggapan. Arkasa menahan senyum, Alana mode pagi seperti ini tentu nampak men
Satu-satunya poin menyebalkan yang Alana sesali adalah tidak mempertimbangkan kembali pasal kaitan dressnya yang ternyata sulit digapai. Wajah cantiknya yang telah dipoles glam makeup merengut kesal. Harusnya dia sudah siap sejak beberapa waktu lalu, namun ternyata waktunya harus tersita karena sulit baginya untuk mengaitkannya sendiri.Malas mendebat dan tak mau ambil pusing. Ternyata Adara dan mertuanya telah merekomendasikannya sebuah dress yang mereka anggap cocok. Adara jelas tahu seperti apa selera Alana tentang pakaian dan dress yang dipilihnya memang sangat masuk kualifikasi. Terlihat cantik dan elegan dengan warna hitam yang tak terlalu ramai. Benar-benar sesuai selera Alana. Saat fitting tadi dia dibantu oleh staf butik, bodohnya ia justru menganggapnya enteng. Sekarang ini lengan Alana hampir kram rasanya karena beberapa menit mencoba dan hampir salah urat. Ketukan pintu kamar mandi mulai terdengar, jelas A
Semua orang yang berada dalam perhelatan sederhana namun meriah malam ini jelas melihat binar kebahagiaan di wajah pasangan luar biasa itu, Arkasa Dean Pradipta dan istrinya Alana Diandra Yasmin. Ketika mereka menikah empat tahun lalu, seluruh kota membicarakan kombinasi luar biasa tersebut. Bagaimana tidak? Arkasa Dean Pradipta memang sudah digadang- gadang menjadi pewaris utama dan punya latar belakang yang bersih luar biasa. Tidak pernah ada media yang mengendus kedekatannya dengan gadis manapun. Padahal ada banyak sekali keluarga kaya dari kalangan pengusaha atau bahkan politisi yang berusaha menjadikannya sebagai menantu mereka. Nyatanya, keluarga Pradipta tak pernah terjebak ataupun berusaha menjodohkan Arkasa dengan siapapun. Sebab lelaki itu tinggal diluar negeri selama bertahun- tahun, orang- orang berpikir dia mungkin memiliki seorang kekasih disana. Sampai akhirnya dia kembali ke Indonesia dan langsung dikabarkan meminang Alana Diandra Yasmin, putri tunggal salah seorang a
"Sudahlah, pengantin baru tidak perlu diajak! Mereka pasti belum bangun," Tuan Pradipta menarik lengan istrinya yang hendak melangkah keluar pendopo. Seolah menjadi tradisi mereka, jikalau sedang berkumpul begini keluarga itu akan makan bersama. Namun menyadari situasi saat ini, besar kemungkinan Adara dan Bayu bahkan belum bangkit dari ranjang. Nyonya Pradipta terkikik saat aru menyadari bahwa telah ada beragam perubahan dalam tubuh keluarga itu. Kini sudah melingkar Tuan dan Nyonya utama Pradipta, Alana, Arkasa,dan tak lupa bayi mungil yang sibuk di meja bayi. Kehadirannya tentu bak sihir yang membuat suasana disini menjadi semakin ceria. Terbukti dari tawa gemas yang sangat jarang muncul dari Tuan Tua Pradipta. "Sandi semalam rewel tidak, nak?" Tanya Mama Tiana.Alana sibuk membersihkan sisa susu di sudut bibir putranya, ia tersenyum kecil pada mertuanya yang baru saja bertanya."Aman kok, ma. Dia sempat bangun sekali namun setelah diberi susu langsung tidur lagi," jawab Alana s
Jika memang sudah garis yang ditentukan tuhan, maka terjadilah. Mungkin itu juga yang terjadi pada kisah Adara. Setelah penghianatan dan kesalah pahaman di masa lalu, ada banyak sekali jalan yang pada akhirnya kembali mempertemukannya dengan Bayu. Sekalipun Adara telah berusaha menolak berulang kali, kegigihan Bayu pada akhirnya berbuah manis. Bayu bahkan berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Tuan Pradipta setelah sebelumnya sempat bersitegang. Semua itu tidak terjadi secara instan, ada proses panjang yang melatarbelakangi semuanya. Alana tak banyak ikut campur dengan kisah cinta bersemi kembali antara Adara dengan Bayu. Dia ingat tiga bulan lalu saat Adara ke rumahnya untuk seperti biasa bermain bersama Sandi. Bedanya, hari itu Adara membawa serta Bayu ke hadapannya dan Arkasa. Seolah berusaha mendapatkan restu dari Alana dan Arkasa lebih dahulu sebelum akhirnya kembali mengais restu dari orang tua. Alana dan Arkasa sepakat untuk tidak banyak mengambil andil. Mereka membiarkan
"Astaga Mas Arka!"Alana menggeleng- gelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia baru saja selesai menyiapkan setelan pakaian untuk keluarga kecilnya ketika menyadari bahwa dua jagoannya belum juga keluar dari kamar mandi setelah hampir tiga puluh menit. "Mas! Sudah selesai belum?""Sepuluh menit lagi, Al!"Ibu satu anak itu berdecak sembari berkacak pinggang. Sebelumnya juga Arkasa sudah memberikan jawaban yang sama, namun sampai sekarang mereka berdua tidak kunjung keluar kamar mandi. Dari luar saja Alana sudah bisa mendengar riuh tawa dua jagoannya itu berpadu dengan suara air, putranya bahkan sampai cekikikan senang. Alana memang memberikan mandat pada sang suami untuk memandikan Sandi selagi dia menyiapkan pakaian dan beberapa keperluan untuk dibawa. Namun sepertinya dia lupa bahwa setiap kali Arkasa dan putranya itu bersatu pasti akan ada keriuhan dari kekompakan nakalnya mereka."Lho, belum selesai mandinya?"Alana setengah melotot saat membuka pintu kamar mandi. Menemukan bahwa
"Baju yang biru aja deh, Al! Lebih lucu! Eh tapi yang kuning kelihatan lebih mencolok! Duh, yang mana ya?"Adara saat ini turut membantu atau lebih tepatnya merecoki Alana di rumahnya. Dia sedari tadi bingung sendiri menentukan baju mana yang akan digunakan Arsena hari ini. Padahal seluruh baju yang dipilih merupakan hadiah dari Adara. Saking banyaknya, Adara sendiri jadi bingung mau memilih yang mana untuk dipakai ponakannya itu hari ini.Alana hanya bisa menggeleng- gelengkan kepala karena tingkah adik ipar sekaligus sahabatnya itu. Dia sudah selesai mengoleskan telon dan lain- lain di tubuh putranya, namun Adara yang sedari tadi kekeuh ingin memilihkan baju justru masih bingung sampai mengeluarkan semua pakaian di atas tempat tidur."Yang mana aja, Dar! Kita kan lagi gak mau kemana- mana juga. Kenapa kamu jadi rumit begitu??"Alana melangkah melewati kebingungan Adara sembari mengambil satu stel pakaian berwarna biru cerah disebelah sahabatnya. Melihat Alana menentukan pilihan memb
Alana Point of View "Makan dulu yuk, Al!" Mas Arka muncul dari balik pintu sembari tersenyum teduh kearahku. Aku yang baru saja meletakkan Arsena di ranjang bayi hanya membalasnya dengan sebuah senyuman simpul. Dia merangkul bahuku hangat sembari menggiring menuju ruang makan. Ini sudah pukul sebelas malam. Keluarga kami baru saja pamit kembali ke rumah masing- masing setelah hampir seharian bermain bersama disini. Tadinya mama, bunda, dan Adara mau tinggal, namun kompak aku dan Mas Arkasa larang. Kami tahu, kalau mereka semalaman disini pasti akan ikut begadang dan lelah. Mama dan Bunda sudah terus berada di rumah sakit selama aku dirawat disana, sementara Adara benar- benar baru saja sampai setelah sekian belas jam penerbangan. Akan lebih baik jika mereka istirahat dengan nyaman malam ini. Banyak sekali ilmu yang kudapat dari mereka yang tentu sudah lebih berpengalaman. Mama dan bunda terutama banyak memberikan wejangan dan tips tentang dasar- dasar merawat bayi. Sebelumnya a
Beberapa manusia dengan pakaian serba hitam mulai berjalan menjauhi pusara. Aneka karangan bunga turut menghiasi disana. Suasana haru juga terasa karena sedari tadi terdengar isakan tangis di beberapa sudut. Dibawah langit cerah yang tak begitu terik, seorang laki- laki bertubuh atletis meletakkan karangan bunganya. Duduk bersimpuh menatap pusara yang benar- benar baru ini. Dia menundukkan kepalanya, memberikan doa dan sebuah penghormatan terakhir untuk yang berada dibawah batu nisan. "Aku harap, kamu dapat beristirahat dengan tenang." Ia meletakkan buket bunga putih menemani karangan yang lainnya juga. Tubuh jangkungnya sempat tersentak kaget saat merasakan sepasang tangan dengan jemari lentik menekan bahunya. Arkasa menengadah menatap kaget sosok yang kini tersenyum kecil kearahnya. "Aku juga ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya." Meskipun ada banyak yang berkecamuk di kepala, Arkasa membiarkan wanita disebelahnya untuk mulai bersimpuh. Menyentuh nisan dan tersenyum
Masih percaya kekuatan takdir?Katanya, tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dalam hidup ini. Bahkan ketika manusia mengklaim telah melakukan beragam usaha hingga titik darah penghabisan. Jika memang bukan itu jalan yang digariskan, maka tak akan tercapai jua.Di satu sisi, kalimat tak ada hasil yang menghianati proses juga masih relevan. Banyak orang yang harus melewati beragam kesulitan dan rintangan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang diperlukan pun tidak main- main. Namun pada akhirnya dia juga mencapai hasil akhir yang indah. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan rencana awalnya.Namun yang menjadi benang merahnya sekarang adalah seberapa realistis tujuan yang ingin manusia capai? Sekalipun telah berusaha dengan keras, apakah cara yang digunakan memang cara yang benar dan sudah seharusnya?Hidup itu mudah dan juga sekaligus sulit. Manusia dituntut untuk tidak mudah menyerah, namun juga diminta untuk tetap realistis. Sejatinya, tak ada usaha yang sia- sia. Kadangkala ki
Derap langkah flatshoes mahal itu menyerbu lorong dengan tergesa. Ditengah keramaian yang cukup padat, wanita parubaya itu membelah lorong buru- buru. Bau khas rumah sakit menemaninya sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai dalam sebuah lorong yang lebih sepi. Diatasnya tertulis ruangan utama khusus VVIP.Nyonya Pradipta masuk kedalam ruangan tanpa bisa membendung kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya. Segera setelah ia menerima kabar mengenai kejadian naas tersebut, dia langsung mengambil penerbangan tercepat untuk kembali ke kota asalnya. Dia berhambur memeluk suaminya yang sudah lebih dulu berdiri cemas di depan pintu bersama dengan besannya. Ayah dan bunda Alana jelas nampak terpukul akibat kejadian yang begitu tiba- tiba ini. Nampak juga Arta yang Rosaline mondar- mandir panik sembari sesekali menerima telepon entah dari siapa."Bagaimana keadaan mereka?" Sebagai satu- satunya yang masih bisa menampakkan sedikit ketenangan, Tuan Pradipta membelai punggung istrinya yang