“Apa-apaan sih, kamu pake acara nyusulin aku ke sini segala, Ra? Kamu udah bikin aku malu!” sentak Farhaaz kepada Zara ketika gadis itu berhasil diseretnya ke dalam mobil. Plak! Zara mendapatkan tamparan keras kembali oleh pacar barunya tersebut. Pria yang semula bermulut semanis tebu itu akhirnya menampakkan watak aslinya kepada Zara. Gadis lemah yang tengah berbadan dua itu langsung tersandar di kursi penumpang dengan darah segar yang mengalir dari ujung bibirnya. “Mas! Ya Allah, sakit banget, Mas! Kenapa kamu nggak henti-hentinya nyakitin aku begini, Mas?” lirih Zara lemah sambil memegangi bibirnya yang masih mengucurkan darah segar. “Kamu perempuan sialan! Perempuan yang selalu bikin aku kesal dan marah! Lancangnya kamu buntutin aku sampe ke kantornya Agni. Puas kamu udah bikin aku malu?” jerit Farhaaz lagi dan diakhiri dengan ludah yang mendarat mulus ke wajahnya Zara. Habis sudah harga diri Zara
“Ag, motormu tinggalin aja di kantor. Kamu pulang sama aku.” Saat aku hendak mengemasi mejaku karena sudah saatnya jam pulang, Mas Nat tiba-tiba saja menyembulkan kepalanya ke kubikelku. Tentu aku terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba itu. Sejak insiden memalukan tadi pagi, aku memang sempat masuk ke ruangan Mas Nat lagi dan melanjutkan pekerjaan kami yang tertunda. Namun, sepanjang berada di ruangannya Mas Nat, aku memilih buat bungkam. Begitu juga dengan Mas Nat. Ketika jam makan siang tiba pun, aku dan lelaki itu berpisah. Aku memilih buat makan di kantin bawah sendirian, bahkan tanpa Sandra yang entah kenapa tiba-tiba seperti sedang mendiamiku. Setelah jam makan siang, aku kembali ke kubikelku karena pekerjaan di ruangannya Mas Nat sudah kuselesaikan semua. Hingga jam kepulangan ini, aku baru bersua kembali dengan Mas Nat. Dan lelaki itu tiba-tiba saja datang dengan suaranya yang cukup keras. Aku bangkit dari kubikelku.
“Maaf, Mas Bagas,” jawabku gelagapan.Jujur, hatiku menjadi kalut. Takut kalau Mas Bagas berpikir yang aneh-aneh. Bukan apa-apa. Semalam kami bicara di ruang makan rumah Bu Sri tentang hubunganku yang baru kandas dengan mantan kekasih diakibatkan oleh perselingkuhannya dengan adikku sendiri.Masa sekarang aku sudah dipanggil sayang oleh pria lain lagi? Aku benar-benar takut reputasiku jadi buruk di mata orang lain. Apalagi di mata pemilik kostan tempatku tinggal sekarang.“Ck!” Mas Nat malah mendecak dari kursi kemudinya.Pria yang menggulung lengan kemejanya hingga siku tersebut mendadak merebut ponsel dari genggamanku. Aku ternganga. Terlalu syok buat sekadar protes kepada Mas Nat.“Halo, selamat sore. Maaf, ini dengan siapa?” Mas Nat berbicara dengan santainya kepada Mas Bagas lewat ponselku.“Oh, gitu. Maaf ya, ini aku calon suaminya, Nathan. Kita lagi di perjalanan. Bisa nggak, neleponnya nanti aja? Kasihan Agni baru balik kerja dan kelihatan lagi penat banget soalnya,” lanjut M
“Zara! Kamu ngapain?!” Zara pikir, Farhaaz tak akan terbangun dari tidurnya dalam waktu secepat ini. Sialnya, dugaan Zara malah meleset. Farhaaz mendadak terkejut dan terjaga. Pria itu syok melihat Zara yang sudah menyampirkan tas selempangnya ke pundak sambil memegang ponsel di dekat pintu yang terkunci. Zara pun lebih syok lagi. Gadis yang sedang hamil muda itu tak sengaja menjatuhkan ponsel dari genggamannya. Sekujur tubuhnya melemah, saking takutnya melihat seringai di bibir Farhaaz yang sangat menyeramkan. Lelaki kejam itu bangkit dari ranjangnya. Gusar, Farhaaz berjalan cepat mendatangi Zara. Gadis itu tangannya dia tarik kasar, hingga tubuh kurus Zara terhuyung. “Mas, maaf! Jangan sakiti aku terus!” jerit Zara. Percuma Zara berteriak. Toh, suaranya tak bakalan terdengar oleh siapa pun. Kamar ini kedap suara tanpa ventilasi dan jendela. “Kamu mau kabur? Dasar perempuan gila! Dengar, Zara! Kamu ng
Udara sejuk dari luar kamar mandi langsung masuk menusuk kulit. Zara pun mandi dengan air dingin yang semakin membikin tubuhnya kesakitan. Memar di wajah, lengan, dan sekujur tubuhnya yang lain semakin terasa ngilu tatkala percikan air dari shower itu mengguyur. “Pakai dikit aja sabun sama samponya! Kamu pikir, harga sabun itu murah? Aku udah jadi pengangguran! Jadi, baiknya kamu berhemat!” maki Farhaaz saat Zara akan mengambil sabun cair dari wadah yang tertempel di dinding. Derai air mata Zara kini menyatu dengan percik air yang mengucuri kepalanya. Sedihnya, pilunya, kini tak ternilai lagi. Hancur betul perasaan Zara. Dia tak yakin akankah hidupnya akan bahagia lagi setelah ini atau tidak. “Kalau kamu udah dapet uangnya, baru boleh makan. Kalau nggak dapet uang, jangan harap boleh makan!” rutuk Farhaaz lagi ketika Zara telah menyelesaikan mandinya. “Mas, kenapa kamu nggak bunuh aku aja?” lirih Zara yang melilitkan handuk ke tu
Mas Nat akhirnya menghentikan mobil di halaman parkir sebuah masjid jami dengan nama Alhikam. Di masjid Alhikam itulah kami salat Magrib berjamaah. Hatiku begitu tentram dengan pertemuan yang selalu saja membuatku dekat dengan Sang Pencipta. Selepas salat Magrib berjamaah, Mas Nat lalu membawaku makan malam di sebuah restoran yang menyajikan aneka masakan khas Nusantara. Restoran Gemah Ripah namanya. Letaknya berada tak jauh dari masjid Alhikam dan sangat ramai pengunjung, hingga kami terpaksa duduk di lantai tiga saking penuhnya. Mas Nat memesankanku banyak makanan. Ada nasi jinggo plus sate lilit, bebek betutu, sebakul nasi liwet lengkap dengan lalapan, sambal terasi, dan ikan peda asin yang menggugah selera. Perutku sampai mau pecah gara-gara suguhan Mas Nat yang begitu banyak. Aku jadi tertegun sendiri saat diperlakukan Mas Nat sespesial sekarang. Kuingat-ingat lagi saat kencan dengan Mas Farhaaz. Apakah pernah aku diajak ke restoran mahal
Aku benar-benar malu karena telah menjadi bebannya Mas Nat. Belum dikenalkan ke orangtua saja, sudah banyak rupiah yang Mas Nat gelontorkan buatku. Apalagi dia sampai rela mengusir sumber pemasukannya hanya supaya aku bisa tinggal di kontrakan mewahnya tersebut.“Maaf kalau aku merepotkan kamu, Mas,” sambungku seraya menghela napas dalam.“Nggak. Kamu sama sekali nggak ngerepotin aku. Mungkin udah jalannya kamu bisa dapetin kebahagiaan dari aku, Ag. Selama ini, pasti kamu sangat tersiksa ya, karena hidup sama orangtua angkat yang sinting kaya ibu sama bapakmu itu. Aku baru interaksi sekali sama mereka pas kejadian tadi pagi, tapi aku udah bisa nyimpulin kalau mereka itu orang nggak bener! Kelihatan matre, kejam, dan beringas!” dengus Mas Nat berapi-api.Aku tak bisa menampik pernyataan Mas Nat karena yang dia bilang itu 100% benar. Ibu dan Ayah selain matre, juga kejam dan beringas. Aku ingat sekali betapa kejamnya mereka mendidikku, hingga aku selalu merasa tak aman dan tak nyaman ke
“Zara! Kok, kamu diem aja sih, dari tadi?” Rifki yang sudah selesai menumpahkan hasrat terlarangnya itu pun mengguncang-guncang tubuh Zara. Gadis itu malah diam. Wajahnya kian tambah pucat dengan mata yang terpejam sempurna. Dokter spesialis obgyn yang juga merangkap sebagai dosen tetap di sekolah tinggi ilmu kesehatan alias STIKES Adhi Sempurna itu seketika panik. Cepat-cepat dia memakai kemeja dan celana jins miliknya. Mata Rifki pun tak lepas untuk mengawasi Zara. Diamatinya dada perempuan cantik itu, terlihat masih bernapas tetapi dengan napas dangkal. “Sial,” gumam Rifki semakin ketakutan. Lelaki tua bangka tak tahu diri itu pun gegas berjalan menuju pintu. Dia hendak keluar dari kamar, tanpa memastikan apakah Zara baik-baik saja setelah satu setengah jam digarapnya tanpa jeda. Rifki cemas apabila Zara pingsan dan mengalami masalah kesehatan serius. Saat Rifki hendak keluar, pintu malah terkunci. Jantung Rifki
Dua Bulan Seusai Kematian Zulkifli dan Zara “Saya terima nikahnya Agnia Kemilau Rembulan dengan mas kawin satu unit rumah di Jalan Melati Kusuma nomor 17, logam mulia seberat dua ratus gram, dan sebuah mobil All New Toyota Land Cruiser dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Debaran kencang di dadaku yang sedari pagi buta tak bisa diredakan itu, kini perlahan normal iramanya. Desah napas lega keluar dari mulutku. Kedua tanganku yang gemetar pun kontan langsung tengadah, memanjatkan doa-doa suci yang tanpa sadar malah membuat kedua mata ini berlinang. Sosok pria yang duduk di kursi tepat di sebelahku itu tampak tersedu-sedu setelah mengucapkan ijab qabul di hadapan wali hakim dan dua orang saksi yang tak lain adalah Hartawan Surya Wijaya, om dari Mas Nathan yang juga ayah dari CEO dan direktur perusahaan tempatku bekerja. Selain Om Hartawan, yang menjadi saksi pernikahan kami lainnya adalah Mas G
“Ayang, bangun ya, Ay. Aku udah di sini. Aku nggak mau kamu terus-terusan pingsan kaya gini, Ay.” Sebuah suara yang terdengar begitu pilu, tiba-tiba menembus masuk ke telingaku. Perlahan, aku mulai menggeliat. Kedua kelopak mataku pun membuka seperti kuncup bunga yang mekar ketika pagi menyapa. Silau. Satu kata itulah yang kurasa ketika berkas cahaya lampu di atas sana menembus ke pupil mata. Aku mengerang. Mencoba menerka, di mana aku sekarang. “Agni!” Panggilan itu membuatku campur aduk rasanya. Kenapa aku? Kenapa suara itu terdengar sangat khawatir? “A-aku d-di mana?” gagapku pelan. Mendadak lidah dan kerongkonganku terasa begitu kering kerontang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? “Ayang, kamu udah sadar?! Alhamdulillah! Ya Allah, makasih!” Jeritan penuh gegap gempita itu kudengar jelas. Aku mencoba membuka kelopak mata lagi meski awalnya begitu berat. Kuedarkan p
“Ayah dengar kan, apa yang aku bilang?” tanyaku dingin dengan tatapan setajam silet. Ayah kini tertunduk lemas. Napasnya kelihatan tak beraturan. Matanya tiba-tiba terpejam, kemudian kedua tangannya menangkupi wajahnya yang berubah pucat pasi. “Z-zara,” gagapnya terisak-isak dengan kedua bahu yang berguncang. “Yah, Ibu juga lagi dipasangi oksigen di ranjang sebelahnya Zara. Ibu syok dan pingsan.” Aku sengaja memberi tahu semuanya. Buat apalagi ditutup-tutupi. Supaya Ayah tahu apa yang tengah terjadi pada hidupnya dan keluarga kecil kebanggaannya itu. Tangisan Ayah semakin tersedu-sedu. Entah sehancur apa perasaan Ayah, aku juga tak mau mengerti. Sedangkan dia saja, bisa melontarkan kalimat sadis nan hina ke arahku. Anak hasil zinalah, apalah. Subhanallah! Hanya Allah saja yang tahu betapa leburnya perasaanku saat mendengarkan umpatan Ayah tadi! “Oh, ya. Calon suamiku, Mas Nat, akan datang ke sini bersa
“Agni … kamu mau kan, maafin Ibu, Ayah, dan Zara?” lirih Ibu dengan wajah yang tertekan. Sendu wajahnya Ibu, lirih suaranya, dan sesak isak tangisnya mendadak hatiku jadi hancur lebur berkeping. Aku jadi tak tega luar biasa. Benar-benar menyesal dan frustrasi karena telah menipu beliau. “B-bu … sebenarnya ….” Aku tergagap dengan napas yang tercekat. “Kenapa, Ag? Sebenarnya apa?” tanya Ibu yang bengkak matanya karena terlalu banyak menangis. Kulirik sejenak tubuh Zara yang masih dikemaskan oleh dua perawat yang kini berganti menjadi perawat wanita. Tadinya yang melakukan pertolongan bantuan napas pada Zara adalah perawat lelaki. Kini, jenazah gadis cantik itu tengah dikemasi oleh dua perawat wanita yang sungguh lembut mengikat dagunya, kedua pergelangan tangan, dan ujung kaki-kakinya dengan kain kasa. Ya Allah, sungguh tak tega hatiku melihatnya. “Bu, sebenarnya … uang seratus dua puluh lima juta itu b
Kepala Farhaaz kutendang dengan kakiku saking geramnya. Kemarahanku kini mencapai ubun-ubun. Meskipun Zara adalah adik angkat yang telah menghancurkan hubunganku dengan Farhaaz dan menjadi penyebab mengapa aku kabur dari rumah, tetapi bagaimanapun juga, dia pernah berbuat manis di dalam hidupnya. Tetap saja bagiku dia adalah seorang adik kecil yang memerlukan uluran bantuanku ketika dia terpuruk. Apalagi, sekarang Zara sudah tiada. Sakit sekali perasaanku membayangkan betapa menderitanya dia sebelum nyawanya lepas dari raga. Kasihan. Karena salah kenal pria, hidupnya jadi hancur seperti ini. Aku langsung merogoh ponselku. Kutelepon Mas Nat demi meminta pertolongannya. Aku tahu dia orang baik. Meskipun keluargaku bejat, tapi aku yakin bahwa pria tampan itu pasti mau menolong Zara buat mendapatkan keadilan. Setidakn
“Ya Allah, Zara!” pekikku histeris sembari menghambur ke arah ranjang Zara. Gadis malang itu tengah terbaring lemah dan masih diberikan tindakan medis dengan semaksimal mungkin. Tangannya dipasangi infus hingga dua jalur. Dadanya penuh terpasang kabel. Sedang mulutnya, kini terpasang selang yang terhubung dengan sebuah balon yang tengah ditekan-tekan oleh seorang perawat pria. Seorang perawat lagi kini sibuk menekan dada Zara berkali-kali. Mereka berdua benar-benar fokus memberikan pertolongan supaya Zara bisa hidup dan tetap bernapas. Hatiku hancur saat melihat betapa lemahnya Zara saat ini. Suara ‘tut’ panjang itu masih saja terdengar memekik keras. Sedang gambar di monitor hanya garis lurus saja. Tubu Zara makin pucat kulihat. Apalagi wajahnya.Ibu berada di dalam de
Sandra memacu vespanya dengan kecepatan sedang saat dia membawaku menuju RSIA Impian Bunda. Rumah sakit ibu dan anak tersebut memang lokasinya dekat dengan rumah pribadi milik Farhaaz. Maka, semakin sakitlah hatiku membayangkannya. Apa mungkin, Farhaaz menyetubuhi adikku di rumahnya hingga anak itu sekarat dan pendarahan? Apa hanya disetubuhi tok atau dengan tindak kekerasan lain seperti dipukuli atau dihantam bagian kemaluannya dengan benda tumpul yang berbahaya? Astaghfirullah! Nyeri hatiku memikirkannya. Kasihan Zara kalau memang dia betul-betul sakaratul maut saat ini. Farhaaz benar-benar harus bertanggung jawab! Kalau perlu masuk ke penjara jika memang dia melakukan tindakan gila itu. Yang aku heran, kok, bisa Farhaaz memiliki sikap layaknya psikopat, padahal saat bersamaku, dia tidak begitu. “San, kok, bisa ya, Farhaaz sekejam itu sama Zara? Pas sama aku, Farhaaz nggak pernah kasar, San. Dia cuma senangnya morotin duitku
“Ag, kenapa adikmu?” Sandra bertanya dengan wajah yang pias dan mimik terkaget-kaget. “San, si Zara pendarahan sampe koma ini! Ya Allah, Zara! Aku nggak nyangka bisa kaya gini!” ucapku sesak sambil terus meneteskan air mata. “Astaghfirullah! Kok, bisa, sih?” Sandra terlihat makin panik. Membuatku kian berdebar-debar, takut terjadi sesuatu hal yang lebih menakutkan ketimbang kabar Zara yang sekarang. “Kata ibuku disiksa sama Farhaaz, San. Ya Allah, setega itu Farhaaz ampe bikin adikku koma. San, tolong aku, San. Bisa nggak boncengin aku ke rumah sakit Impian Bunda? Aku lemes banget. Lututku gemetar saking kagetnya,” pintaku dengan suara yang parau dan penuh sesak di dada. “Gila! Sinting apa si Farhaaz, Ag? Wah, tindak kriminal ini. Bisa dipenjarain, tuh!” teriak Sandra menggebu-gebu. “Tapi, Ag, apa ini bukan strateginya orangtua angkatmu? M-maksudku … apa bukan akal-akalan mereka buat ngejebak kamu doang?” tanya Sand
“Iya, San. Aku juga minta maaf kalau ada salah-salah kata. Mulai besok, aku nggak di sini lagi. Aku harus pindah ke rumahnya calon suamiku. Kami emang belom satu rumah. Tapi, aku mau nggak mau harus ikut kata-kata dia buat nempatin rumahnya dia yang sempat dikontrakan itu, San. Sorry ya, San, kemarin bikin kamu repot sampai harus ngebayarin duit DP kostanku segala,” sahutku sambil balik mendekapnya. “Santai aja, Ag. Nggak apa-apa, kok. Aku harus ikutan seneng dengan kebahagiaanmu. Kayanya, aku mau balikan aja sama Nino. Doain ya, Ag, dia mau nerima aku lagi.” Aku pun melepaskan diri dari dekapannya Sandra. Kuanggukkan kepala. Kuulas senyuman kecil pada Sandra. “Pasti mau, San. Aku tahu, kalau Nino itu cinta matinya sama kamu doang. Nanti kamu coba aja hubungin dia. Bilang, kalau kemarin kamu mutusin dia itu karena lagi pusing sama kerjaan aja.” Sandra mengangguk-angguk. Dia mengusap buliran bening di sudut mata sendunya. Gadis it