“Sebentar! Aku kunci dulu pintunya!” Tanpa memakai alas kaki, Farhaaz berlari menuju rumahnya kembali. Cepat dia mengunci pintu rumah, kemudian kembali ke mobil miliknya Rifki. Baru kali ini Farhaaz merasa ketakutan luar biasa, sebab inilah kali pertamanya dia melihat seorang perempuan mengalami pendarahaan di saat hamil muda. “Ayo, jalan!” perintah Farhaaz sambil duduk gelisah di sebelah tubuh Zara. “I-iya.” Rifki tergagap-gagap. Tangannya masih tremor saat memegang setir. “Ke rumah sakit terdekat! Jangan yang jauh-jauh!” Ucapan Farhaaz membuat Rifki kian galau. Rumah sakit terdekat dari perumahan ini adalah RSIA Impian Bunda. Di mana Rifki sendiri juga praktik di rumah sakit tersebut. Setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu Rifki membuka praktik di poli obgyn RSIA Impian Bunda. Pasien yang ingin melakukan tindakan operasi sectio caesaria alias SC yang terencana atau elektif di RSIA Impian Bunda juga bisa ditangani
Plak! Wajah Mega ditampar berulang kali saat dirinya dan sang suami tiba di rumah. Zulkifli benar-benar kesetanan. Dia kesal campur malu atas kelakuan istrinya tadi saat di kantornya Agni. “Yah, ampun, Yah!” jerit Mega memohon kepada sang suami agar tamparan itu berakhir. Namun, Zulkifli malah semakin membabi buta. Semua yang terjadi hari ini, dinilai Zulkifli sebagai buah dari perbuatannya Mega. Padahal, yang bersalah sendiri bukan hanya Mega seorang, melainkan juga dengan campur tangan Zulkifli. “Agni bisa kabur dari rumah dan mulai curiga kalau dia bukan anak kita, semuanya gara-gara kamu, Bu!” Mega yang sudah tersungkur di lantai itu pun dijambak oleh Zulkifli. Lelaki tua itu beringasan menghadapi sang istri. Mega sudah tak lagi terlihat cantik di mata Zulkifli yang berbadan gempal dengan perut buncit tersebut. “Kenapa aku yang kamu salahkan, Yah? Kamu juga yang selama ini membuat Agni merasa diana
“Bu, sekarang tinggal beli kartu perdana, nih. Habis itu kamu masak yang enak. Nanti, telepon Zara. Suruh dia sama Farhaaz makan siang di rumah. Sesekali si Farhaaz dikasih makan enak, biar dia tahu kalau kita juga mampu seperti dia!” seru Zulkifkli mempelototi istrinya. Mega lagi-lagi diam. Mulutnya kelewat nyeri buat sekadar dibuka. Belum lagi ulu hatinya yang mulai nyeri karena kelaparan. Dari pagi belum sarapan soalnya. Pasutri nyeleneh itu pun mampir ke sebuah konter yang menjual pulsa maupun kartu perdana. Di situlah mereka memilih nomor baru buat menelepon Agni. Zulkifli memang terlalu niat untuk menjalankan skenario palsunya tersebut. Semua demi kepulangan Agni. Tak ada Agni, hidup mereka benar-benar sengsara. Setibanya di rumah, Mega masak seorang diri. Sedang Zulkifli, memilih untuk menikmati rokok dan sekaleng bir yang dia beli di minimarket sebelum mereka tiba ke rumah. Kebiasaan buruk Zulkifli muncul lagi, yakni minum minuman bera
“Masyaallah, Mas. Mas, jangan nangis. Aku jadi kepengen nangis juga,” lirihku sambil menyeka ujung pelupuk. Melihat Mas Nat meneteskan air matanya, jiwaku benar-benar terasa hanyut. Gelimang air mata itu menggambarkan betapa besarnya cinta Mas Nat padaku. Memang terlihat tidak masuk akal. Namun, inilah faktanya. “Iya, Ayang. Aku nggak nangis lagi.” Mas Nat menarik ingusnya sambil mengusap linangan sebak tangisnya dengan ujung lengan kemeja. “Nah, gitu, dong.” Suaraku jadi serak karena ikut-ikutan menangis. Masyaallah, inikah balasan atas kesabaranku selama ini? Dipungut dari panti asuhan, dihina hingga dicaci maki keluarga angkat, hingga dimanfaatkan habis-habisan, tapi kini Allah membalasnya dengan hujan berkah berupa cintanya Mas Nat. Tak pernah terbayang di benakku bisa dilamar dengan cincin berlian cantik di dalam mobil mewah oleh seorang general manager seperti malam ini. Ya Allah, terima kasih atas berkahmu! A
Mas Bagas mendecih. Pria dengan bentuk wajah lonjong dan rambut berpotongan pendek jabrik itu memperhatikanku dengan wajah jengkel. Lho, salahku di mana? “Aku pikir, kamu itu cewek sederhana yang nggak neko-neko! Nyatanya, mata duitan dan matre! Mandang orang dari luarnya doang. Gini ya, Ag. Kostanku itu bukan cuma ini doang! Masih ada tiga unit kontrakan lagi di gang Semangka yang nggak jauh dari sini.” Aku makin ternganga lebar. Ini yang sedang kuhadapi orang stres atau bagaimana, sih? Kok, makin lama, makin tidak beres ocehannya? “Mau punya kontrakan seratus ribu unit juga, nggak ngaruh sama aku lho, Mas! Dengar ya, aku nggak ada niatan buat deketin kamu, apalagi niatan buat jadi pacarmu. Aku nggak ngasih harapan apa pun. Bu Sri sendiri yang ngajak aku dan Sandra buat makan malam. Kalau aku tahu kamu malah mikirnya ke arah yang lain, aku juga nggak bakalan mau kok, makan malam ke rumah kalian!” Aku sudah berada di puncak keg
Mega sibuk berteriak meminta pertolongan, tapi tak ada satu pun yang mau datang ke rumahnya. Bukannya tetangga kiri dan kanan tidak mendengar. Suara pekik jerit penuh kepanikan sebab Zulkifli yang tiba-tiba ambruk di lantai sambil mengeluhkan nyeri dada itu terdengar nyaring sebenarnya. Namun, para tetangga kadung tak peduli kepada Mega. Keluarga Mega dan Zulkifli terlalu abai kepada tetangga sekitar. Terkecuali Agni. Gadis sederhana itu meski punya jabatan yang bagus di kantornya, tetap saja rendah hati dan acapkali menegur para tetangga. “Ayah, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Mega sambil mengusap keringat di pelipis dan dahi Zulkifli dengan ujung lengan dasternya. “B-bu, maaghku …. K-kambuh,” keluh Zulkifli makin memegangi dada kirinya. Penyakit gerd yang menyerang lambung Zulkifli memang akan segera kambuh setiap lelaki itu menerima kabar buruk ataupun syok seketika. Nyeri dada dan ulu hati yang dia rasakan seperti penyakit ja
Mega pun menuruti keinginan suaminya. Langsung dia telepon nomornya Andra. Namun, yang Mega dapatkan malah kekecewaan besar. Nomor tersebut sudah tidak aktif. “Yah, nggak aktif,” lirih Mega dengan mata yang makin merah dan berkaca. “Astaga …. Bu, kenapa anak kita jadi banyak musibah begini? Apa ini karma gara-gara Zara merebut Farhaaz dari Agni?” tanya Zulkifli pedih perasaannya. Mega pun menggeleng lemah. Kepalanya sudah terlalu sakit buat sekadar memikirkan jawaban atas pertanyaan suaminya. Diam-diam di berdoa di dalam hati, supaya Zara tak usah menikah saja dengan Farhaaz. Mega curiga, jika sampai pernikahan itu terjadi, mungkin saja hidupnya Zara bisa lebih sial ketimbang sekarang.
“San, kok, kamu jadi pucet pasi gitu, sih?” tanyaku dengan senyuman yang meremehkan. Sandra yang kontan melepaskan pegangannya terhadap ujung plastik berisi makanan dari resto Gemah Ripah itu pun gelagapan. Dia tampaknya syok berat. Mungkin, dia hanya tidak habis pikir dan tak pernah akan menduga bahwa wanita yang selama ini diremehkannya, ternyata tak seperti yang dia duga. “Sorry, ya, San, kalau kesannya aku sok atau sombong. Sama sekali nggak niat buat nyombong ke kamu. Cuma ngasih kamu info biar nggak ada salah paham di antara kita aja,” sambungku lagi sembari menepuk pundaknya. “K-kamu … beneran serius sama Pak GM, Ag?” gagap Sandra masih saja tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Panjang lebar aku bercerita, nyatanya dia masih saja menganggapnya sebagai dongeng pengantar tidur. “T-terus … cincin itu cincin lamaran? Itu … asli? Apa jangan-jangan cuma cincin perak?” Aku tertawa mendengar tuduha