Mas Bagas mendecih. Pria dengan bentuk wajah lonjong dan rambut berpotongan pendek jabrik itu memperhatikanku dengan wajah jengkel. Lho, salahku di mana? “Aku pikir, kamu itu cewek sederhana yang nggak neko-neko! Nyatanya, mata duitan dan matre! Mandang orang dari luarnya doang. Gini ya, Ag. Kostanku itu bukan cuma ini doang! Masih ada tiga unit kontrakan lagi di gang Semangka yang nggak jauh dari sini.” Aku makin ternganga lebar. Ini yang sedang kuhadapi orang stres atau bagaimana, sih? Kok, makin lama, makin tidak beres ocehannya? “Mau punya kontrakan seratus ribu unit juga, nggak ngaruh sama aku lho, Mas! Dengar ya, aku nggak ada niatan buat deketin kamu, apalagi niatan buat jadi pacarmu. Aku nggak ngasih harapan apa pun. Bu Sri sendiri yang ngajak aku dan Sandra buat makan malam. Kalau aku tahu kamu malah mikirnya ke arah yang lain, aku juga nggak bakalan mau kok, makan malam ke rumah kalian!” Aku sudah berada di puncak keg
Mega sibuk berteriak meminta pertolongan, tapi tak ada satu pun yang mau datang ke rumahnya. Bukannya tetangga kiri dan kanan tidak mendengar. Suara pekik jerit penuh kepanikan sebab Zulkifli yang tiba-tiba ambruk di lantai sambil mengeluhkan nyeri dada itu terdengar nyaring sebenarnya. Namun, para tetangga kadung tak peduli kepada Mega. Keluarga Mega dan Zulkifli terlalu abai kepada tetangga sekitar. Terkecuali Agni. Gadis sederhana itu meski punya jabatan yang bagus di kantornya, tetap saja rendah hati dan acapkali menegur para tetangga. “Ayah, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Mega sambil mengusap keringat di pelipis dan dahi Zulkifli dengan ujung lengan dasternya. “B-bu, maaghku …. K-kambuh,” keluh Zulkifli makin memegangi dada kirinya. Penyakit gerd yang menyerang lambung Zulkifli memang akan segera kambuh setiap lelaki itu menerima kabar buruk ataupun syok seketika. Nyeri dada dan ulu hati yang dia rasakan seperti penyakit ja
Mega pun menuruti keinginan suaminya. Langsung dia telepon nomornya Andra. Namun, yang Mega dapatkan malah kekecewaan besar. Nomor tersebut sudah tidak aktif. “Yah, nggak aktif,” lirih Mega dengan mata yang makin merah dan berkaca. “Astaga …. Bu, kenapa anak kita jadi banyak musibah begini? Apa ini karma gara-gara Zara merebut Farhaaz dari Agni?” tanya Zulkifli pedih perasaannya. Mega pun menggeleng lemah. Kepalanya sudah terlalu sakit buat sekadar memikirkan jawaban atas pertanyaan suaminya. Diam-diam di berdoa di dalam hati, supaya Zara tak usah menikah saja dengan Farhaaz. Mega curiga, jika sampai pernikahan itu terjadi, mungkin saja hidupnya Zara bisa lebih sial ketimbang sekarang.
“San, kok, kamu jadi pucet pasi gitu, sih?” tanyaku dengan senyuman yang meremehkan. Sandra yang kontan melepaskan pegangannya terhadap ujung plastik berisi makanan dari resto Gemah Ripah itu pun gelagapan. Dia tampaknya syok berat. Mungkin, dia hanya tidak habis pikir dan tak pernah akan menduga bahwa wanita yang selama ini diremehkannya, ternyata tak seperti yang dia duga. “Sorry, ya, San, kalau kesannya aku sok atau sombong. Sama sekali nggak niat buat nyombong ke kamu. Cuma ngasih kamu info biar nggak ada salah paham di antara kita aja,” sambungku lagi sembari menepuk pundaknya. “K-kamu … beneran serius sama Pak GM, Ag?” gagap Sandra masih saja tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Panjang lebar aku bercerita, nyatanya dia masih saja menganggapnya sebagai dongeng pengantar tidur. “T-terus … cincin itu cincin lamaran? Itu … asli? Apa jangan-jangan cuma cincin perak?” Aku tertawa mendengar tuduha
“Iya, San. Aku juga minta maaf kalau ada salah-salah kata. Mulai besok, aku nggak di sini lagi. Aku harus pindah ke rumahnya calon suamiku. Kami emang belom satu rumah. Tapi, aku mau nggak mau harus ikut kata-kata dia buat nempatin rumahnya dia yang sempat dikontrakan itu, San. Sorry ya, San, kemarin bikin kamu repot sampai harus ngebayarin duit DP kostanku segala,” sahutku sambil balik mendekapnya. “Santai aja, Ag. Nggak apa-apa, kok. Aku harus ikutan seneng dengan kebahagiaanmu. Kayanya, aku mau balikan aja sama Nino. Doain ya, Ag, dia mau nerima aku lagi.” Aku pun melepaskan diri dari dekapannya Sandra. Kuanggukkan kepala. Kuulas senyuman kecil pada Sandra. “Pasti mau, San. Aku tahu, kalau Nino itu cinta matinya sama kamu doang. Nanti kamu coba aja hubungin dia. Bilang, kalau kemarin kamu mutusin dia itu karena lagi pusing sama kerjaan aja.” Sandra mengangguk-angguk. Dia mengusap buliran bening di sudut mata sendunya. Gadis it
“Ag, kenapa adikmu?” Sandra bertanya dengan wajah yang pias dan mimik terkaget-kaget. “San, si Zara pendarahan sampe koma ini! Ya Allah, Zara! Aku nggak nyangka bisa kaya gini!” ucapku sesak sambil terus meneteskan air mata. “Astaghfirullah! Kok, bisa, sih?” Sandra terlihat makin panik. Membuatku kian berdebar-debar, takut terjadi sesuatu hal yang lebih menakutkan ketimbang kabar Zara yang sekarang. “Kata ibuku disiksa sama Farhaaz, San. Ya Allah, setega itu Farhaaz ampe bikin adikku koma. San, tolong aku, San. Bisa nggak boncengin aku ke rumah sakit Impian Bunda? Aku lemes banget. Lututku gemetar saking kagetnya,” pintaku dengan suara yang parau dan penuh sesak di dada. “Gila! Sinting apa si Farhaaz, Ag? Wah, tindak kriminal ini. Bisa dipenjarain, tuh!” teriak Sandra menggebu-gebu. “Tapi, Ag, apa ini bukan strateginya orangtua angkatmu? M-maksudku … apa bukan akal-akalan mereka buat ngejebak kamu doang?” tanya Sand
Sandra memacu vespanya dengan kecepatan sedang saat dia membawaku menuju RSIA Impian Bunda. Rumah sakit ibu dan anak tersebut memang lokasinya dekat dengan rumah pribadi milik Farhaaz. Maka, semakin sakitlah hatiku membayangkannya. Apa mungkin, Farhaaz menyetubuhi adikku di rumahnya hingga anak itu sekarat dan pendarahan? Apa hanya disetubuhi tok atau dengan tindak kekerasan lain seperti dipukuli atau dihantam bagian kemaluannya dengan benda tumpul yang berbahaya? Astaghfirullah! Nyeri hatiku memikirkannya. Kasihan Zara kalau memang dia betul-betul sakaratul maut saat ini. Farhaaz benar-benar harus bertanggung jawab! Kalau perlu masuk ke penjara jika memang dia melakukan tindakan gila itu. Yang aku heran, kok, bisa Farhaaz memiliki sikap layaknya psikopat, padahal saat bersamaku, dia tidak begitu. “San, kok, bisa ya, Farhaaz sekejam itu sama Zara? Pas sama aku, Farhaaz nggak pernah kasar, San. Dia cuma senangnya morotin duitku
“Ya Allah, Zara!” pekikku histeris sembari menghambur ke arah ranjang Zara. Gadis malang itu tengah terbaring lemah dan masih diberikan tindakan medis dengan semaksimal mungkin. Tangannya dipasangi infus hingga dua jalur. Dadanya penuh terpasang kabel. Sedang mulutnya, kini terpasang selang yang terhubung dengan sebuah balon yang tengah ditekan-tekan oleh seorang perawat pria. Seorang perawat lagi kini sibuk menekan dada Zara berkali-kali. Mereka berdua benar-benar fokus memberikan pertolongan supaya Zara bisa hidup dan tetap bernapas. Hatiku hancur saat melihat betapa lemahnya Zara saat ini. Suara ‘tut’ panjang itu masih saja terdengar memekik keras. Sedang gambar di monitor hanya garis lurus saja. Tubu Zara makin pucat kulihat. Apalagi wajahnya.Ibu berada di dalam de