“Ag, motormu tinggalin aja di kantor. Kamu pulang sama aku.” Saat aku hendak mengemasi mejaku karena sudah saatnya jam pulang, Mas Nat tiba-tiba saja menyembulkan kepalanya ke kubikelku. Tentu aku terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba itu. Sejak insiden memalukan tadi pagi, aku memang sempat masuk ke ruangan Mas Nat lagi dan melanjutkan pekerjaan kami yang tertunda. Namun, sepanjang berada di ruangannya Mas Nat, aku memilih buat bungkam. Begitu juga dengan Mas Nat. Ketika jam makan siang tiba pun, aku dan lelaki itu berpisah. Aku memilih buat makan di kantin bawah sendirian, bahkan tanpa Sandra yang entah kenapa tiba-tiba seperti sedang mendiamiku. Setelah jam makan siang, aku kembali ke kubikelku karena pekerjaan di ruangannya Mas Nat sudah kuselesaikan semua. Hingga jam kepulangan ini, aku baru bersua kembali dengan Mas Nat. Dan lelaki itu tiba-tiba saja datang dengan suaranya yang cukup keras. Aku bangkit dari kubikelku.
“Maaf, Mas Bagas,” jawabku gelagapan.Jujur, hatiku menjadi kalut. Takut kalau Mas Bagas berpikir yang aneh-aneh. Bukan apa-apa. Semalam kami bicara di ruang makan rumah Bu Sri tentang hubunganku yang baru kandas dengan mantan kekasih diakibatkan oleh perselingkuhannya dengan adikku sendiri.Masa sekarang aku sudah dipanggil sayang oleh pria lain lagi? Aku benar-benar takut reputasiku jadi buruk di mata orang lain. Apalagi di mata pemilik kostan tempatku tinggal sekarang.“Ck!” Mas Nat malah mendecak dari kursi kemudinya.Pria yang menggulung lengan kemejanya hingga siku tersebut mendadak merebut ponsel dari genggamanku. Aku ternganga. Terlalu syok buat sekadar protes kepada Mas Nat.“Halo, selamat sore. Maaf, ini dengan siapa?” Mas Nat berbicara dengan santainya kepada Mas Bagas lewat ponselku.“Oh, gitu. Maaf ya, ini aku calon suaminya, Nathan. Kita lagi di perjalanan. Bisa nggak, neleponnya nanti aja? Kasihan Agni baru balik kerja dan kelihatan lagi penat banget soalnya,” lanjut M
“Zara! Kamu ngapain?!” Zara pikir, Farhaaz tak akan terbangun dari tidurnya dalam waktu secepat ini. Sialnya, dugaan Zara malah meleset. Farhaaz mendadak terkejut dan terjaga. Pria itu syok melihat Zara yang sudah menyampirkan tas selempangnya ke pundak sambil memegang ponsel di dekat pintu yang terkunci. Zara pun lebih syok lagi. Gadis yang sedang hamil muda itu tak sengaja menjatuhkan ponsel dari genggamannya. Sekujur tubuhnya melemah, saking takutnya melihat seringai di bibir Farhaaz yang sangat menyeramkan. Lelaki kejam itu bangkit dari ranjangnya. Gusar, Farhaaz berjalan cepat mendatangi Zara. Gadis itu tangannya dia tarik kasar, hingga tubuh kurus Zara terhuyung. “Mas, maaf! Jangan sakiti aku terus!” jerit Zara. Percuma Zara berteriak. Toh, suaranya tak bakalan terdengar oleh siapa pun. Kamar ini kedap suara tanpa ventilasi dan jendela. “Kamu mau kabur? Dasar perempuan gila! Dengar, Zara! Kamu ng
Udara sejuk dari luar kamar mandi langsung masuk menusuk kulit. Zara pun mandi dengan air dingin yang semakin membikin tubuhnya kesakitan. Memar di wajah, lengan, dan sekujur tubuhnya yang lain semakin terasa ngilu tatkala percikan air dari shower itu mengguyur. “Pakai dikit aja sabun sama samponya! Kamu pikir, harga sabun itu murah? Aku udah jadi pengangguran! Jadi, baiknya kamu berhemat!” maki Farhaaz saat Zara akan mengambil sabun cair dari wadah yang tertempel di dinding. Derai air mata Zara kini menyatu dengan percik air yang mengucuri kepalanya. Sedihnya, pilunya, kini tak ternilai lagi. Hancur betul perasaan Zara. Dia tak yakin akankah hidupnya akan bahagia lagi setelah ini atau tidak. “Kalau kamu udah dapet uangnya, baru boleh makan. Kalau nggak dapet uang, jangan harap boleh makan!” rutuk Farhaaz lagi ketika Zara telah menyelesaikan mandinya. “Mas, kenapa kamu nggak bunuh aku aja?” lirih Zara yang melilitkan handuk ke tu
Mas Nat akhirnya menghentikan mobil di halaman parkir sebuah masjid jami dengan nama Alhikam. Di masjid Alhikam itulah kami salat Magrib berjamaah. Hatiku begitu tentram dengan pertemuan yang selalu saja membuatku dekat dengan Sang Pencipta. Selepas salat Magrib berjamaah, Mas Nat lalu membawaku makan malam di sebuah restoran yang menyajikan aneka masakan khas Nusantara. Restoran Gemah Ripah namanya. Letaknya berada tak jauh dari masjid Alhikam dan sangat ramai pengunjung, hingga kami terpaksa duduk di lantai tiga saking penuhnya. Mas Nat memesankanku banyak makanan. Ada nasi jinggo plus sate lilit, bebek betutu, sebakul nasi liwet lengkap dengan lalapan, sambal terasi, dan ikan peda asin yang menggugah selera. Perutku sampai mau pecah gara-gara suguhan Mas Nat yang begitu banyak. Aku jadi tertegun sendiri saat diperlakukan Mas Nat sespesial sekarang. Kuingat-ingat lagi saat kencan dengan Mas Farhaaz. Apakah pernah aku diajak ke restoran mahal
Aku benar-benar malu karena telah menjadi bebannya Mas Nat. Belum dikenalkan ke orangtua saja, sudah banyak rupiah yang Mas Nat gelontorkan buatku. Apalagi dia sampai rela mengusir sumber pemasukannya hanya supaya aku bisa tinggal di kontrakan mewahnya tersebut.“Maaf kalau aku merepotkan kamu, Mas,” sambungku seraya menghela napas dalam.“Nggak. Kamu sama sekali nggak ngerepotin aku. Mungkin udah jalannya kamu bisa dapetin kebahagiaan dari aku, Ag. Selama ini, pasti kamu sangat tersiksa ya, karena hidup sama orangtua angkat yang sinting kaya ibu sama bapakmu itu. Aku baru interaksi sekali sama mereka pas kejadian tadi pagi, tapi aku udah bisa nyimpulin kalau mereka itu orang nggak bener! Kelihatan matre, kejam, dan beringas!” dengus Mas Nat berapi-api.Aku tak bisa menampik pernyataan Mas Nat karena yang dia bilang itu 100% benar. Ibu dan Ayah selain matre, juga kejam dan beringas. Aku ingat sekali betapa kejamnya mereka mendidikku, hingga aku selalu merasa tak aman dan tak nyaman ke
“Zara! Kok, kamu diem aja sih, dari tadi?” Rifki yang sudah selesai menumpahkan hasrat terlarangnya itu pun mengguncang-guncang tubuh Zara. Gadis itu malah diam. Wajahnya kian tambah pucat dengan mata yang terpejam sempurna. Dokter spesialis obgyn yang juga merangkap sebagai dosen tetap di sekolah tinggi ilmu kesehatan alias STIKES Adhi Sempurna itu seketika panik. Cepat-cepat dia memakai kemeja dan celana jins miliknya. Mata Rifki pun tak lepas untuk mengawasi Zara. Diamatinya dada perempuan cantik itu, terlihat masih bernapas tetapi dengan napas dangkal. “Sial,” gumam Rifki semakin ketakutan. Lelaki tua bangka tak tahu diri itu pun gegas berjalan menuju pintu. Dia hendak keluar dari kamar, tanpa memastikan apakah Zara baik-baik saja setelah satu setengah jam digarapnya tanpa jeda. Rifki cemas apabila Zara pingsan dan mengalami masalah kesehatan serius. Saat Rifki hendak keluar, pintu malah terkunci. Jantung Rifki
“Sebentar! Aku kunci dulu pintunya!” Tanpa memakai alas kaki, Farhaaz berlari menuju rumahnya kembali. Cepat dia mengunci pintu rumah, kemudian kembali ke mobil miliknya Rifki. Baru kali ini Farhaaz merasa ketakutan luar biasa, sebab inilah kali pertamanya dia melihat seorang perempuan mengalami pendarahaan di saat hamil muda. “Ayo, jalan!” perintah Farhaaz sambil duduk gelisah di sebelah tubuh Zara. “I-iya.” Rifki tergagap-gagap. Tangannya masih tremor saat memegang setir. “Ke rumah sakit terdekat! Jangan yang jauh-jauh!” Ucapan Farhaaz membuat Rifki kian galau. Rumah sakit terdekat dari perumahan ini adalah RSIA Impian Bunda. Di mana Rifki sendiri juga praktik di rumah sakit tersebut. Setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu Rifki membuka praktik di poli obgyn RSIA Impian Bunda. Pasien yang ingin melakukan tindakan operasi sectio caesaria alias SC yang terencana atau elektif di RSIA Impian Bunda juga bisa ditangani