Hana tidak tahu, berapa jam sudah ia tertidur. Yang jelas, begitu bangun, ia menemukan dirinya sendirian di sebuah kamar yang wangi. Tempat tidurnya bertabur bunga-bunga mawar. Gadis itu terkejut. Siapa yang memindahkannya ke sini? Hawa dingin AC, merindingkan bulu kuduknya. Ia menyilangkan sepasang lengan di depan dada. Seketika Hana menyadari, pakaiannya telah berganti. Bukan lagi gamis berlapis snelli, melainkan gaun tidur berenda cantik transparan.“Hana ....”Satu panggilan rendah magnetik, sedikit serak, mengalun ke telinganya. Hana berpaling dan menemukan Reza sudah di sisinya. Pemuda itu duduk, menatapnya tenang dan dalam. “Kedinginan?” Reza bertanya lembut begitu melihat sedikit Hana menggigil. Ia meraih selimut bed cover. Lalu, menyelubungi sekujur tubuh Hana dengan selimut itu.Gadis itu tak bersuara, hanya memandang dengan binar tanya di matanya. Selimut ia rapatkan kuat-kuat menutupi tubuh dan kepalanya, menyisakan bagian muka.“Maaf, ini ulah nenek.” Reza mengganjur
Reza mencengkeram sepasang bahu Hana untuk menahan gerakannya, lalu menatap lurus-lurus ke matanya.“Sadar, nggak, yang kamu lakukan?”Nanar, Hana membalas tatapan Reza. “Kak Reza serius ngejar Hana?” Suara gadis itu lemah dan selembut desir angin.Reza berdebar-debar menyaksikan mata bintang istrinya yang meredup dan sayu. Ditangkupnya sepasang pipi Hana. “Serius.”Hana memejamkan mata. Rasa gerah di tubuhnya, mengalahkan dinginnya AC. Anehnya, kenyamanan muncul saat ia berdekatan dengan Reza. Hana berusaha menekan keinginan tak wajar itu. Bukankah ia membenci Reza? Bukankah ia ingin menghindar sejauh-jauhnya?“Kamu takut aku mencampakkanmu? Tak percaya padaku?” tanya Reza.Hana mengangguk. Lalu, membuka mata dan mendorong tubuh Reza. Pikiran jernihnya kembali walau hanya seujung jari. Reza tersenyum pahit, menyembunyikan rasa terpukul di hatinya. Wajar Hana tak percaya padanya. Niat awalnya memang seperti itu. Namun, siapa yang Maha Kuasa membolak-balikkan hati manusia? Getaran c
Sebakda Subuh, Hana mendapatkan pakaian ganti dari pelayan rumah keluarga ningrat Reza. Pelayan yang mengantarkan pakaian memperlihatkan ekspresi bahagia. “Mbak Hana dan Mas Reza, ditunggu keluarga untuk sarapan di ruang makan.” Si pelayan berpesan sebelum meninggalkan kamar. “Jangan mengejarku lagi.” Hana berkata dingin kepada Reza, usai berpakaian rapi. “Kamu udah dapetin yang kamu mau.” Kalimatnya formal dan sikapnya kaku seperti menghadapi orang asing.“Hana, kamu merendahkan aku.” Reza betul-betul tersinggung. “Sama sepertimu. Ini yang pertama bagiku.”“Anggap saja malam ini nggak terjadi apa-apa.” “Nggak terjadi apa-apa?” Hati Reza tercubit. “Hana, kamu keterlaluan!”“Tolong, Dok. Jauhi aku. Jangan membuatku tambah membencimu.” “Aku akan tetap mengejarmu.”“Please ....” Mata besar Hana kembali berair. “Jangan siksa aku lagi.” Gadis itu menengadah, agar embun bening yang melayang di pelupuknya tidak jatuh. Dilema batinnya terasa menyesakkan dada. Ia menunjukkan kemarahan pad
Setiba di ruangan THT, Hana berpapasan dengan Kinanti. Ia langsung menyeret temannya itu ke koridor yang lebih sepi.“Lo sok ngakrabin gue, ternyata jadi intel, ya? Kurang ajar! Dibayar berapa lo ama keluarganya Dokter Reza buat nyulik gue?” bentak Hana.Kinanti menepis tangan Hana. Bukannya minta maaf, ia malah melotot tak kalah galak. “Dasar kurang bersyukur! Jual mahal lo! Kalo bukan karena desakan nenek, kagak sudi gue nyulik elo! Lo pikir Mas Reza beneran suka ama lo? Gaklah! Dia cuma terpaksa, manfaatin lo karena desakan keluarga aja! Lo kepilih acak, ngasal doang, bukan karena dia emang suka elo! Elonya aja yang betingkah banget, sok alim, sok minta dikejar!”Hana geram sekali. Ucapan Kinanti memantik rasa terhinanya.Plakk!Tangan gadis ahli silat betawi itu mendarat keras di pipi kiri Kinanti.“Aduh!” Kinanti refleks memegangi pipinya yang perih. “Hana! Berani lo nampar gue?!”Kinanti melotot. Kemarahannya meledak. Sudah lama sebenarnya ia cemburu melihat sikap jual mahal Ha
Reza menuntaskan jadwal operasi hari itu, dua jam setelah tragedi perundungan yang menimpa Hana. Saat mengecek ponsel, ia dapat kabar mengejutkan tersebut dari kepala pendidikan dan pelatihan nakes. Sebagai dokter penanggung jawab bimbingan klinik, tentu saja ia diminta menangani masalah tersebut.Reza gegas berlari ke IGD. Namun, Hana sudah tidak ada. Menurut dokter jaga, koas Hana sudah pulang dijemput sahabatnya, Keyko. Jantung Reza serasa diremas tangan tak kasatmata, membayangkan istrinya yang imut dan kekanak-kanakan, menderita luka-luka akibat bullying. Walaupun menurut dokter dan perawat IGD, Hana hanya menderita luka fisik yang tak terlalu parah, Reza tetap mencemaskannya.Ia menghubungi Hana berkali-kali via telepon, serta mengirim belasan chat. Telepon tak diangkat, chat tak dibalas. Namun, ponsel Hana aktif. Apakah istrinya sengaja tak ingin dihubungi? [Hana, kamu di mana?][Nimas, kamu nggak apa-apa?][Angkat telponku, Han!] [Hana .... Sayang, aku mau jemput kamu. Mau
Hana menggantung jawaban chat Reza. Matanya tertarik foto profil pemuda itu. Reza memajang foto akad nikah, saat bersalaman dengan babenya. Hatinya bergetar. Seserius itukah dokter mesum itu ingin memperistrinya, sampai-sampai menjadikan acara akad nikah sebagai foto profil? Apakah tidak khawatir dilihat rekan sejawat dan seluruh daftar kontaknya?Gadis itu mematikan ponsel, lalu merebahkan tubuh letihnya di kamar vila yang sejuk ber-AC. Babe dan enyaknya berkali-kali menelepon, sengaja ia abaikan juga. Ia tak ingin diganggu siapa pun.Setelah beristirahat selepas perjalanan dari Jakarta-Puncak yang melelahkan, kekeruhan pikiran Hana pelan-pelan mengendap dan jernih.Ada rasa marah menyusup ke dada, karena merasa dipaksa menerima situasi yang bukan pilihannya. Seumur hidup, Hana adalah putri tunggal yang dimanja dan selalu diratukan oleh orang tuanya. Kenapa soal jodoh, enyak babe malah merampas hak pilihnya? Ia bahkan tak diberi kesempatan berpikir!Hana juga merasa wajar jika ia me
“Berkali-kali percobaan bunuh diri. Kata psikiater, mentalnya lemah karena tertekan oleh tuntutan keluarga.” Saat itu, Wirawan betul-betul menangis. “Pulang, Za. Adikmu bipolar. Sekarang mulai amnesia, cuma inget kamu.”Reza bergegas pamitan pada mertuanya, lalu meluncur kembali ke pusat ibukota. Fokusnya beralih pada adik semata wayangnya yang malang.Hana memperhatikan kepergian Reza dari jendela. Ia menggigit bibir sambil mengepal tinju. Hati kecilnya berharap, Reza tetap gigih menanti. Tak disangka, suaminya pulang begitu saja.Wajar saja. Cowok macam dia mana betah setelah dapet yang dia mau. Hobinya emang mainin cewek. Perhatiannya palsu. Cintanya imitasi. Cuma cari muka doang di depan keluarga. Keesokan harinya, Hana mendapat telepon dari pihak kampus, agar berpindah magang kembali ke Mutiara Hospital. Harusnya ia senang, karena dengan demikian ia tak akan intens berjumpa dengan Reza lagi. Tapi, ia malah merasa hampa. Hana merasa dibuang, padahal pindah rumah sakit adalah kein
“Kami naik grab aja,” kata Reza, menolak tawaran pinjaman mobil dari Gavin. “Ngambil kendaraan gue yang ditinggal di parkiran rumah sakit, abis itu terus pulang.”“Kalo gitu, pilih saja di antara mobil gue, yang mana yang lo suka. Ambil aja. Itung-itung hadiah perkawinan. Baidewe, mestinya gue marah. Nikahan kok nggak ngasi kabar.” Gavin bersungut-sungut.“Itu karena Hana belum siap.” Reza berkata datar. “Hana atau lo yang belum siap? Setauku, lo antikomitmen. Trauma gegara liat pernikahan ortu lo yang ancur dan emak lo yang minggat gak ada kabar.”Wajah Reza berubah pucat. Kilau luka terpantul di matanya. Ia tak bercerita situasi terbaru yang dialami, karena Gavin terlalu sibuk. Selain itu, ia merasa tak perlu menceritakan masalah yang sudah selesai.“Sudahlah. Gue gak terima mobil lo.” Lantas, ia menoleh pada istrinya. “Ayo!”Hana hendak menggeleng, tapi tertahan saat mendapat sorotan tak senang dari Prisha.“Lo utang penjelasan ama gue, Han. Sekadar mempertegas hal yang udah kita