Hana menggantung jawaban chat Reza. Matanya tertarik foto profil pemuda itu. Reza memajang foto akad nikah, saat bersalaman dengan babenya. Hatinya bergetar. Seserius itukah dokter mesum itu ingin memperistrinya, sampai-sampai menjadikan acara akad nikah sebagai foto profil? Apakah tidak khawatir dilihat rekan sejawat dan seluruh daftar kontaknya?Gadis itu mematikan ponsel, lalu merebahkan tubuh letihnya di kamar vila yang sejuk ber-AC. Babe dan enyaknya berkali-kali menelepon, sengaja ia abaikan juga. Ia tak ingin diganggu siapa pun.Setelah beristirahat selepas perjalanan dari Jakarta-Puncak yang melelahkan, kekeruhan pikiran Hana pelan-pelan mengendap dan jernih.Ada rasa marah menyusup ke dada, karena merasa dipaksa menerima situasi yang bukan pilihannya. Seumur hidup, Hana adalah putri tunggal yang dimanja dan selalu diratukan oleh orang tuanya. Kenapa soal jodoh, enyak babe malah merampas hak pilihnya? Ia bahkan tak diberi kesempatan berpikir!Hana juga merasa wajar jika ia me
“Berkali-kali percobaan bunuh diri. Kata psikiater, mentalnya lemah karena tertekan oleh tuntutan keluarga.” Saat itu, Wirawan betul-betul menangis. “Pulang, Za. Adikmu bipolar. Sekarang mulai amnesia, cuma inget kamu.”Reza bergegas pamitan pada mertuanya, lalu meluncur kembali ke pusat ibukota. Fokusnya beralih pada adik semata wayangnya yang malang.Hana memperhatikan kepergian Reza dari jendela. Ia menggigit bibir sambil mengepal tinju. Hati kecilnya berharap, Reza tetap gigih menanti. Tak disangka, suaminya pulang begitu saja.Wajar saja. Cowok macam dia mana betah setelah dapet yang dia mau. Hobinya emang mainin cewek. Perhatiannya palsu. Cintanya imitasi. Cuma cari muka doang di depan keluarga. Keesokan harinya, Hana mendapat telepon dari pihak kampus, agar berpindah magang kembali ke Mutiara Hospital. Harusnya ia senang, karena dengan demikian ia tak akan intens berjumpa dengan Reza lagi. Tapi, ia malah merasa hampa. Hana merasa dibuang, padahal pindah rumah sakit adalah kein
“Kami naik grab aja,” kata Reza, menolak tawaran pinjaman mobil dari Gavin. “Ngambil kendaraan gue yang ditinggal di parkiran rumah sakit, abis itu terus pulang.”“Kalo gitu, pilih saja di antara mobil gue, yang mana yang lo suka. Ambil aja. Itung-itung hadiah perkawinan. Baidewe, mestinya gue marah. Nikahan kok nggak ngasi kabar.” Gavin bersungut-sungut.“Itu karena Hana belum siap.” Reza berkata datar. “Hana atau lo yang belum siap? Setauku, lo antikomitmen. Trauma gegara liat pernikahan ortu lo yang ancur dan emak lo yang minggat gak ada kabar.”Wajah Reza berubah pucat. Kilau luka terpantul di matanya. Ia tak bercerita situasi terbaru yang dialami, karena Gavin terlalu sibuk. Selain itu, ia merasa tak perlu menceritakan masalah yang sudah selesai.“Sudahlah. Gue gak terima mobil lo.” Lantas, ia menoleh pada istrinya. “Ayo!”Hana hendak menggeleng, tapi tertahan saat mendapat sorotan tak senang dari Prisha.“Lo utang penjelasan ama gue, Han. Sekadar mempertegas hal yang udah kita
“Kita kemana?” Hana bertanya lagi tatkala telah naik ke sepeda motor dan membonceng di belakang Reza. Hana dihantui kata “nusyuz” atau pembangkangan istri yang terlarang, sehingga memaksa diri mematuhi keinginan suami yang mengajaknya pergi.“Pulang,” sahut Reza. Dan itu kata pertama yang diucapkannya kepada Hana sejak mereka berangkat dari rumah Gavin.“Pulang kemana?” Tanpa sadar Hana berteriak sambil setengah merapatkan diri, agar lebih jelas mendengar suara suaminya.Apel adam Reza naik turun. Tubuhnya memanas. Hana ... keterlaluan kamu menyiksaku ....Reza mempercepat laju kendaraannya, lalu berbelok menuju kawasan perumahan yang terletak tak jauh dari Rumah Sakit DIMS. Di situlah wilayah tempat tinggal pribadinya. Sengaja dipilih yang terdekat dengan tempat kerja, karena mobilitas kerjanya yang tinggi dan terkadang tak mengenal waktu.Hana menatap bangunan modern minimalis tipe 75 yang menjulang di hadapannya. Arsitekturnya mencerminkan kepribadian Reza yang sederhana, suka ke
Masalah pelik di antara Reza dan Hana, akhirnya terurai dengan mudah tatkala masing-masing menyadari perasaannya dan bersedia menundukkan ego diri. Pada akhirnya, ikatan pernikahanlah yang mengandung kekuatan menumbuhkan cinta.Keesokan harinya, Reza meminta istrinya kembali magang di DIMS Hospital. ia juga akan kembali jadi dokter pembimbing Hana.Hana menerima dengan suka cita. Diam-diam ia memang merindukan saat-saat dibimbing oleh suaminya. Hana tak lagi bingung terhadap perubahan perasaannya. Semua sudah jelas. Ia harus menerima kenyataan, ikhlas tidak ikhlas, atau cinta tidak cinta.Hana tak berani lagi memikirkan perpisahan. Ada calon bayi dalam rahimnya. Tak sudi Hana anaknya lahir tanpa ayah. Praktis, Hana tak punya pilihan selain melunakkan hati dan menyambut cinta Dokter Reza.Saat membawa Hana kontrol kandungan, seisi rumah sakit gempar. Reza dan Hana nyaris di-bully, dianggap gaul bebas sampai kebobolan. Dengan cepat, berita kehamilan Hana menyebar seperti api yang merem
“Gue pernah baca quote yang bunyinya gini,” ungkap Prisha. “Seorang istri bagai babu di tangan lelaki jahat yang nggak mencintainya. Sebaliknya, seorang istri bakal diratukan lelaki baik yang mencintainya. See ... contohnya gue. Pak suami udah berubah 180 derajat sekarang. Baek banget. Sayaang banget. Cintaa banget. Gue dimanjain ngalah-ngalahin putri raja. Sampe gue bosen.” Prisha setengah menyombong, memanas-manasi Hana.“Huu pameer. Ati-ati riya, loh!” Hana cemberut. “Eh, Sha, lo tau gak, abis Dokter Reza ketemu Kak Akmal, dia langsung ngasi pengumuman di speaker rumah sakit kalo Hana miliknya, dan gak seorang pun boleh ngejar Hana selain dirinya! Amazing, kan! Makanya gue gak abis thinking, kok, Hana tega jutekin dia, nolak dia, maksa pisah rumah segala ... hadeeh!” Keyko nyaris berbusa-busa menceritakan kronologis pengejaran Dokter Reza yang ia saksikan serta ia dengar gosipnya di kalangan rekan sejawat. “Amazing apanya? Dia emang segila itu.” Hana bersungut-sungut. Teringat in
Reza menghubungi ayahnya, membuang gengsi, meminta resepsi perkawinan yang megah. Semua orang harus tahu, bahwa ia dan Hana sudah menikah. Demi Hana, ia menurunkan harga dirinya di hadapan keluarga. Wirawan bahagia sekali karena putra sulungnya bersedia meminta bantuannya. Bukan sekadar resepsi yang ia siapkan, melainkan juga sebuah mobil baru untuk memudahkan transportasi Reza. Tadinya ia juga ingin membelikan rumah, tapi sang anak menolak. Reza sudah merasa cukup dengan rumah minimalisnya. Terlebih lagi, Hana memiliki jiwa yang sama dengannya, tidak suka hal yang berlebihan. Hana sendiri akhirnya pindah dari kos, ke rumah suaminya.Reza akhirnya menerima hadiah mobil baru dari bapaknya, karena tak tega membawa istrinya yang hamil muda membonceng sepeda motor setiap hari. Meskipun Hana sangat sehat dan kuat serta tak keberatan naik motor, Reza tetap ingin memudahkan istrinya. Dari seluruh keluarga besar pihak Wirawan, nenek Reza dari pihak ayahnya, jelas yang paling bersuka cita.
Ekspresi lega dan senyum bahagia mekar di bibir Prisha menyaksikan Hana sahabatnya duduk di pelaminan dalam pakaian pengantin muslimah bernuansa adat Jawa. Ada setitik iri di hatinya, melihat tawa lepas Hana di sisi Mpok Nora dan mertua wanitanya. Meski keluarga Reza berdarah ningrat dan memiliki adat istiadat yang berbeda dengan tradisi keluarganya, Hana tak kelihatan canggung berada di antara mereka.Tak seperti Prisha yang tertindas di tangan maminya, Hana tetap menjadi dirinya sendiri. Prisha tahu, itu karena Reza mandiri, punya sikap dan prinsip kuat di depan keluarganya. Reza tak disetir siapa pun dan berani menolak sesuatu yang bertentangan dengan kemauannya. Maka itulah Reza mampu melindungi Hana dan Hana tak merasa tertekan menghadapi keluarga besar mertuanya.Hana dan Reza sama-sama berjiwa bebas. Mereka pasangan yang serasi. Prisha menilai dalam hati. Ia bersyukur, tapi tetap tak menafikkan rasa iri yang merambati dada. Lihat dirinya yang tak sekadar istri sultan, tapi memi