Reza menghubungi ayahnya, membuang gengsi, meminta resepsi perkawinan yang megah. Semua orang harus tahu, bahwa ia dan Hana sudah menikah. Demi Hana, ia menurunkan harga dirinya di hadapan keluarga. Wirawan bahagia sekali karena putra sulungnya bersedia meminta bantuannya. Bukan sekadar resepsi yang ia siapkan, melainkan juga sebuah mobil baru untuk memudahkan transportasi Reza. Tadinya ia juga ingin membelikan rumah, tapi sang anak menolak. Reza sudah merasa cukup dengan rumah minimalisnya. Terlebih lagi, Hana memiliki jiwa yang sama dengannya, tidak suka hal yang berlebihan. Hana sendiri akhirnya pindah dari kos, ke rumah suaminya.Reza akhirnya menerima hadiah mobil baru dari bapaknya, karena tak tega membawa istrinya yang hamil muda membonceng sepeda motor setiap hari. Meskipun Hana sangat sehat dan kuat serta tak keberatan naik motor, Reza tetap ingin memudahkan istrinya. Dari seluruh keluarga besar pihak Wirawan, nenek Reza dari pihak ayahnya, jelas yang paling bersuka cita.
Ekspresi lega dan senyum bahagia mekar di bibir Prisha menyaksikan Hana sahabatnya duduk di pelaminan dalam pakaian pengantin muslimah bernuansa adat Jawa. Ada setitik iri di hatinya, melihat tawa lepas Hana di sisi Mpok Nora dan mertua wanitanya. Meski keluarga Reza berdarah ningrat dan memiliki adat istiadat yang berbeda dengan tradisi keluarganya, Hana tak kelihatan canggung berada di antara mereka.Tak seperti Prisha yang tertindas di tangan maminya, Hana tetap menjadi dirinya sendiri. Prisha tahu, itu karena Reza mandiri, punya sikap dan prinsip kuat di depan keluarganya. Reza tak disetir siapa pun dan berani menolak sesuatu yang bertentangan dengan kemauannya. Maka itulah Reza mampu melindungi Hana dan Hana tak merasa tertekan menghadapi keluarga besar mertuanya.Hana dan Reza sama-sama berjiwa bebas. Mereka pasangan yang serasi. Prisha menilai dalam hati. Ia bersyukur, tapi tetap tak menafikkan rasa iri yang merambati dada. Lihat dirinya yang tak sekadar istri sultan, tapi memi
“Jangan panik.” Prisha justru menenangkan orang-orang yang berebut menawarkan bantuan untuk mengurangi nyeri. Sesakit apa pun, Prisha tidak cemas, karena sudah lebih sembilan bulan ia menanti kontraksi persalinan itu. Ia telah bersiap-siap dan penuh semangat.Nenek Diana memerintahkan perawat dan bidan yang mendampingi Prisha, agar segera membantu Prisha berjalan memasuki gerbang IGD bersalin yang terletak bersebelahan dengan gedung IGD utama. Dokter Desi telah menanti di ruang VK bersama beberapa bidan. Dokter spesialis kandungan wanita itu telah mempersiapkan ruang bersalin yang dilengkapi fasilitas canggih serta kenyamanan untuk ibu bersalin. Walaupun rumah sakit DIMS memfokuskan spesialisasi di bidang medikal bedah, tapi pimpinan rumah sakit—atas arahan CEO Healthy Light yang baru—menambah bangunan khusus untuk ibu hamil dan bersalin serta merekrut beberapa dokter spesialis kandungan, puluhan bidan, dan perawat. Dokter Gavin tak berkenan istrinya melahirkan di rumah sakit lain.
Ruangan bersalin telah didesain sedemikian rupa, khusus untuk Prisha, demi kenyamanan maksimal. Wangi udara yang menenangkan, kesejukan AC, dilengkapi pula ranjang dengan bantal-bantal empuk. Kemewahannya sekelas suite hotel bintang tujuh. Namun, tetap tak mampu mengurangi siksaan yang dialami Prisha. Terbayang wajah maminya. Ternyata sesakit itu Mami Nalini melahirkannya. Pasti sulit dengan mental tak sehat Mami Nalini, harus menanggung siksaan seperti sejumlah tulang sehat dipatahkan serentak. Mungkin gara-gara itulah Mami Nalini dulu sangat membencinya, tak sudi mengurusnya. Prisha yang telah mendapatkan guyuran kasih sayang suami dan telah siap mental saja, sudah cukup menderita, apalagi maminya.Saat itu, Prisha mengalami sendiri, perjuangan pertama jadi seorang ibu. Pantaslah ibu dimuliakan tiga kali di atas ayah, serta ada surga di bawah telapak kakinya. Dua jam kemudian, perkembangan kontraksi maju dengan cepat, di luar perkiraan. Dokter Desi meminta Prisha berbaring. “Pri
“Sha, aku di sini.” Gavin berbisik ke telinga istrinya. Hatinya perih oleh rasa bersalah.Mendengar suara pria yang diam-diam ditunggunya, semangat Prisha sedikit menyala dan pikirannya jadi agak jernih. Ia menoleh dan menatap Gavin. Kesedihan yang ia tak mengerti dari mana sumbernya, tiba-tiba datang menyesakkan dada.“Hubby ... Sha nggak sanggup. Susah banget melahirkan anak kita. Sha capek. Sakit juga ....”Nada lirih lemah istrinya, bagaikan tangan tak kasat mata yang meremas-remas jantung Gavin. Ekspresinya membeku, menciptakan aura dingin dan tampan, saat membelai wajah berkeringat Prisha. Samar-samar ia masih mampu menghidu aroma rempah manis yang dicandunya dari keringat sang istri. “Jika terlalu letih, aku akan mendampingimu di ruang operasi. Aku yang akan menyambut bayi yang telah menyiksamu, dan mengomelinya untukmu. Gimana?”Merasakan pembelaan sang suami, Prisha terharu dan serasa ingin mengadukan semua penderitaannya. Air mata membanjiri pipinya.“Sha masih ingin lahira
Saat terbangun dari tidur nyenyak, Prisha masih sedikit disorientasi. Agak linglung, ia melihat jam dinding di ruangan yang terletak tepat menghadap ke tempat tidur. Jarum panjang jam telah menunjukkan pukul 10.00 wita. Ruangannya telah berubah. Rupanya saat ia ketiduran, ranjang berodanya telah dipindahkan. Saat itu ia telah berada di kamar rawat inap yang terbebas dari alat-alat medis kebidanan. Prisha agak menyesali tidurnya yang sering diejek Gavin seperti beruang hibernasi. Jika sudah terlalu nyenyak, Prisha tak terusik walaupun ada gempa di dekatnya.Prisha menggeliat hendak bangkit, tetapi rasa nyeri muncul, mengingatkannya pada perjuangan melahirkan buah hati tadi malam. Ditatapnya perut yang telah mengempis. Mata indahnya melebar.“Perutku .... bayiku!” Rasa panik bercampur paranoid menyerbu hatinya. Mengingat risiko teror yang membayangi kehidupan pernikahannya, bukan tanpa alasan Prisha khawatir bayinya diculik!Tiba-tiba Gavin muncul dan dengan cepat merangkul pundaknya.
“Kak Ariana sekarang lagi di mana? Apakah masih di Timur Tengah?” Prisha bertanya, penuh rasa ingin tahu. Mereka kadang-kadang chatting atau saling memberi kabar sebulan atau dua bulan sekali. Ariana selalu menunjukkan lokasi yang berbeda. Ya, karena dokter spesialis anak yang energik itu telah menjadi dokter relawan yang dikirim ke wilayah-wilayah konflik. “Aku di Gaza.” Ariana mengurai senyum lebar hingga gusinya terlihat. “Rumah sakit tempat kami bertugas, kena bom. Beberapa rekan sejawat, menjemput syahid. Alhamdulillah.”Air mata Prisha mengalir tak tertahan. Bisa-bisanya Ariana mengucap hamdalah di tengah konflik perang. Bukankah risiko bertugas di sana adalah kematian?“Kakak, pulanglah.” Prisha menghiba sekali lagi.“Aku lebih bahagia di sini.” Mata Ariana berbinar, menyembunyikan kabut duka. “Tak ada yang membutuhkanku di Indonesia. Tak ada juga yang menungguku. Aku merasa lebih berharga berada di antara anak-anak Gaza. Kami saling menyayangi.”Wajah Prisha kian banjir air m
“Vin, aku mau minta tolong.”Selisih waktu Gaza dan Jakarta adalah lima jam. Gavin menerima telepon dari Ariana pada pukul 07.45. Ia memperkirakan, saat itu baru pukul 02.45 di lokasi Ariana. “Akhirnya kamu minta tolong padaku. Pasti gawat sekali, sampai kamu meneleponku di jam segini. Di sana pasti masih dini hari.” Gavin saat itu sedang berada di mobil, dalam perjalanan menuju kantor. Mobilnya membelah jalan tol eksklusif yang sepi, terhindar dari kemacetan.“Benar. Apakah kamu punya koneksi agar aku bisa keluar dari lokasi dengan cepat? Jadwal pesawat khusus tim medis masih dua hari lagi. Aku tak bisa menunggu lama. Papaku kritis.”Gavin langsung mengerti apa yang dibutuhkan Ariana. “Oke,” sahutnya, tanpa bertanya apa pun lagi. Di ujung sana, Ariana mengembuskan napas lega. Itulah yang disukainya dari sang sepupu. Selain selalu bisa diandalkan, Gavin juga tidak kepoan. Sepupunya itu selalu terkesan tak acuh dan tak peduli. Namun, Ariana tahu, Gavin seperti itu karena sangat memp