Saat terbangun dari tidur nyenyak, Prisha masih sedikit disorientasi. Agak linglung, ia melihat jam dinding di ruangan yang terletak tepat menghadap ke tempat tidur. Jarum panjang jam telah menunjukkan pukul 10.00 wita. Ruangannya telah berubah. Rupanya saat ia ketiduran, ranjang berodanya telah dipindahkan. Saat itu ia telah berada di kamar rawat inap yang terbebas dari alat-alat medis kebidanan. Prisha agak menyesali tidurnya yang sering diejek Gavin seperti beruang hibernasi. Jika sudah terlalu nyenyak, Prisha tak terusik walaupun ada gempa di dekatnya.Prisha menggeliat hendak bangkit, tetapi rasa nyeri muncul, mengingatkannya pada perjuangan melahirkan buah hati tadi malam. Ditatapnya perut yang telah mengempis. Mata indahnya melebar.“Perutku .... bayiku!” Rasa panik bercampur paranoid menyerbu hatinya. Mengingat risiko teror yang membayangi kehidupan pernikahannya, bukan tanpa alasan Prisha khawatir bayinya diculik!Tiba-tiba Gavin muncul dan dengan cepat merangkul pundaknya.
“Kak Ariana sekarang lagi di mana? Apakah masih di Timur Tengah?” Prisha bertanya, penuh rasa ingin tahu. Mereka kadang-kadang chatting atau saling memberi kabar sebulan atau dua bulan sekali. Ariana selalu menunjukkan lokasi yang berbeda. Ya, karena dokter spesialis anak yang energik itu telah menjadi dokter relawan yang dikirim ke wilayah-wilayah konflik. “Aku di Gaza.” Ariana mengurai senyum lebar hingga gusinya terlihat. “Rumah sakit tempat kami bertugas, kena bom. Beberapa rekan sejawat, menjemput syahid. Alhamdulillah.”Air mata Prisha mengalir tak tertahan. Bisa-bisanya Ariana mengucap hamdalah di tengah konflik perang. Bukankah risiko bertugas di sana adalah kematian?“Kakak, pulanglah.” Prisha menghiba sekali lagi.“Aku lebih bahagia di sini.” Mata Ariana berbinar, menyembunyikan kabut duka. “Tak ada yang membutuhkanku di Indonesia. Tak ada juga yang menungguku. Aku merasa lebih berharga berada di antara anak-anak Gaza. Kami saling menyayangi.”Wajah Prisha kian banjir air m
“Vin, aku mau minta tolong.”Selisih waktu Gaza dan Jakarta adalah lima jam. Gavin menerima telepon dari Ariana pada pukul 07.45. Ia memperkirakan, saat itu baru pukul 02.45 di lokasi Ariana. “Akhirnya kamu minta tolong padaku. Pasti gawat sekali, sampai kamu meneleponku di jam segini. Di sana pasti masih dini hari.” Gavin saat itu sedang berada di mobil, dalam perjalanan menuju kantor. Mobilnya membelah jalan tol eksklusif yang sepi, terhindar dari kemacetan.“Benar. Apakah kamu punya koneksi agar aku bisa keluar dari lokasi dengan cepat? Jadwal pesawat khusus tim medis masih dua hari lagi. Aku tak bisa menunggu lama. Papaku kritis.”Gavin langsung mengerti apa yang dibutuhkan Ariana. “Oke,” sahutnya, tanpa bertanya apa pun lagi. Di ujung sana, Ariana mengembuskan napas lega. Itulah yang disukainya dari sang sepupu. Selain selalu bisa diandalkan, Gavin juga tidak kepoan. Sepupunya itu selalu terkesan tak acuh dan tak peduli. Namun, Ariana tahu, Gavin seperti itu karena sangat memp
Keringat membasahi sekujur tubuh Zakki yang bertelanjang dada tatkala berjalan menuju rumahnya. Semenjak tinggal di pulau terpencil, pemuda yang biasa perlente itu, tak lagi mempedulikan penampilannya. Toh, tak ada siapa pun selain ayahnya. Ada pun rumah kecil yang terletak di sebelah rumahnya, hanya dihuni sepasang suami istri tua yang jarang keluar rumah karena sakit-sakitan.Mendadak ada sesuatu yang menyita perhatiannya. Seorang gadis berhijab, berdiri di hadapan rumah tetangganya. Kehadiran seorang gadis di pulau terpencil yang kosong nyaris tak berpenghuni, sungguh pemandangan langka. Gadis itu sangat cantik. Tubuh tinggi semampainya terlindungi gaun panjang dan lebar yang serba tertutup. Sepasang mata berbentuk almond miliknya, dinaungi bulu mata lebat dan lentik. Zakki belum pernah memperhatikan seorang gadis. Hidupnya dihabiskan untuk bekerja, demi meraih pengakuan keluarga dan semua orang di Healthy Light. Ia terobsesi menyaingi Gavin dan memikirkan berbagai intrik untuk m
“Jujur, saya juga bingung, Pak. Saya nggak tau mau konfirmasi ke siapa.” Orang suruhan Gavin berkata dengan sungguh-sungguh.Gavin mengakhiri telepon, lalu lanjut menghubungi kakeknya.“Kakek mau bikin intrik apa lagi?” Ia bertanya dengan nada menyerang begitu si kakek menyambut panggilan teleponnya.“Kamu nuduh aku bikin intrik? Menyebalkan. Aku dan nenekmu baru saja datang berhaji. Kapan kamu berhenti meragukanku? Dasar bocah paranoid!”“Salah satu tim rahasia kakek memberi info soal Om Danan!”“Haish! Datang ke rumah! Jangan lewat telpon!” Sambungan telepon diputuskan Zed sepihak. Gavin menyimpan ponsel ke saku. Diamatinya sebentar wajah letih Prisha. Ada rasa berat di hatinya meninggalkan istri yang sedang keletihan. Namun, rasa cemas terhadap Ariana yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri, mendorongnya untuk mengejar informasi dari Kakek Zed.Gavin keluar, lalu berpesan pada dua ART nya agar menjaga Prisha dan Bakpao. Bik Iyam dan Bik Semi harus memastikan Prisha makan banya
Prisha tercenung sejenak mendengar penuturan suaminya. Setelah beberapa menit berpikir, barulah ia memberikan tanggapan.“Sha ngerti posisi Hubby.”“Kadang-kadang aku ingin seperti Reza, yang berani mengabaikan keluarga.”“Latar belakang dan situasi Hubby dan Reza tidak sama,” kata Prisha, lemah lembut. “Hubby tak mungkin mengambil sikap seperti Dokter Reza.”“Maksudmu, aku tak punya prinsip dan rela jadi boneka?” Intonasi suara Gavin sedikit meningkat.Prisha menyentuh lengan suaminya. “Bukan begitu. Setelah sekian lama Sha mengamati dan merenung, akhirnya Sha sadar. Hubby hanya terlalu baik hati dan tidak tegaan. Mematuhi orang tua dan kakek nenek, karena kasih sayang yang terlampau besar. Sampai mematikan impian sendiri.”Gavin terdiam sesaat. “Aku harus apa?” lirihnya pasrah, setelah beberapa menit.Prisha menatap iba. Gavin adalah dokter spesialis bedah ternama, sekaligus CEO perusahaan multinasional. Usianya pun lebih tua sebelas tahun dari Prisha. Namun, saat itu, sang suami ti
Salah satu penjaga keamanan berlari-lari menembus hujan. Ia menghampiri Zakki.“Bang, kapal nggak bisa berangkat sekarang!” serunya. “Cuaca sangat buruk.”Zakki mengernyit. “Bukankah kalian punya kapten kapal yang handal? Aku tak bisa menunda waktu. Harus menemani ayahku!” Pakaian si penjaga tampak lumayan basah terkena tempias air, menandakan lebatnya hujan. Padahal, ia telah bernaung di bawah payung besar.“Justru karena nakhoda kami sangat piawai, makanya ia mampu memperkirakan risiko. Sehebat apa pun pelaut, tak ada yang akan mempertaruhkan nyawa menembus badai guntur di lautan. Gelombang laut amat sangat tak bersahabat dalam cuaca seperti ini, Pak. Ketinggiannya bisa mencapai lima meter. Jangan lupakan kemungkinan muncul angin puting beliung di tengah laut. Sangat berbahaya!”“Tapi ayahku kritis!”Ariana yang ikut menyimak, tergesa pula mendekat. “Kira-kira berapa lama kita harus menunggu? Apakah helikopter tadi bisa kembali lagi usai mengantar orang tua kami?”“Di tengah cuaca
Zakki menyaksikan air mata gadis itu jatuh sederas hujan. Wajah Ariana pucat dan bibirnya gemetar seperti mengucapkan sesuatu, yang suaranya tak dapat didengar. Gadis itu duduk bersimpuh, terlihat ringkih dan menderita. Zakki merasakan kesedihan yang sama. Siapa yang tidak berduka melihat ayah sendiri berada di ambang kematian, sementara sebagai anak, ia tak mampu mendampingi? Akan tetapi, sesedih-sedihnya, Zakki tak sampai terpuruk seperti Ariana. Ketimbang sedih, ia malah cenderung marah terhadap nasib yang menimpa diri dan keluarganya. Ia juga menyalahkan Zed Devandra dan bersumpah jika terjadi sesuatu pada ayahnya, ia tak akan mengampuni kakek jahat itu!Mobil jeep penjaga muncul di saat Zakki bimbang antara menghibur Ariana atau meninggalkannya. “Ikut ke mushola?” tawarnya, kaku.Ariana tak merespon. Gadis itu tak mendengar suara Zakki. Pikirannya pun tidak fokus. Tangisnya berubah menjadi sedu sedan hebat.Zakki makin bingung. Ia tak berpengalaman menghadapi gadis yang menang