Salah satu penjaga keamanan berlari-lari menembus hujan. Ia menghampiri Zakki.“Bang, kapal nggak bisa berangkat sekarang!” serunya. “Cuaca sangat buruk.”Zakki mengernyit. “Bukankah kalian punya kapten kapal yang handal? Aku tak bisa menunda waktu. Harus menemani ayahku!” Pakaian si penjaga tampak lumayan basah terkena tempias air, menandakan lebatnya hujan. Padahal, ia telah bernaung di bawah payung besar.“Justru karena nakhoda kami sangat piawai, makanya ia mampu memperkirakan risiko. Sehebat apa pun pelaut, tak ada yang akan mempertaruhkan nyawa menembus badai guntur di lautan. Gelombang laut amat sangat tak bersahabat dalam cuaca seperti ini, Pak. Ketinggiannya bisa mencapai lima meter. Jangan lupakan kemungkinan muncul angin puting beliung di tengah laut. Sangat berbahaya!”“Tapi ayahku kritis!”Ariana yang ikut menyimak, tergesa pula mendekat. “Kira-kira berapa lama kita harus menunggu? Apakah helikopter tadi bisa kembali lagi usai mengantar orang tua kami?”“Di tengah cuaca
Zakki menyaksikan air mata gadis itu jatuh sederas hujan. Wajah Ariana pucat dan bibirnya gemetar seperti mengucapkan sesuatu, yang suaranya tak dapat didengar. Gadis itu duduk bersimpuh, terlihat ringkih dan menderita. Zakki merasakan kesedihan yang sama. Siapa yang tidak berduka melihat ayah sendiri berada di ambang kematian, sementara sebagai anak, ia tak mampu mendampingi? Akan tetapi, sesedih-sedihnya, Zakki tak sampai terpuruk seperti Ariana. Ketimbang sedih, ia malah cenderung marah terhadap nasib yang menimpa diri dan keluarganya. Ia juga menyalahkan Zed Devandra dan bersumpah jika terjadi sesuatu pada ayahnya, ia tak akan mengampuni kakek jahat itu!Mobil jeep penjaga muncul di saat Zakki bimbang antara menghibur Ariana atau meninggalkannya. “Ikut ke mushola?” tawarnya, kaku.Ariana tak merespon. Gadis itu tak mendengar suara Zakki. Pikirannya pun tidak fokus. Tangisnya berubah menjadi sedu sedan hebat.Zakki makin bingung. Ia tak berpengalaman menghadapi gadis yang menang
"Lima ratus juta, sebagai upah mengemudikan kapal. Ditransfer begitu tiba di dermaga teluk,” kata Ariana pada nakhoda kapal milik keluarga Devandra.Saat itu, kegelapan telah menyelimuti bumi. Cuaca masih belum bersahabat. Sesekali petir bagai naga api berpijar, meliuk di tengah hitamnya langit. Sang nakhoda mencubit-cubit dagu. Tawaran tersebut luar biasa menggiurkan. Dengan uang sejumlah itu, ia bisa membeli rumah terbaik bagi anak istri, lengkap dengan isinya. Mungkin, juga bisa beli mobil yang sudah lama ia idamkan. “Buat awak kapal, kuberi masing-masing dua puluh juta.” Ariana memindai wajah-wajah di pos jaga keamanan pulau. Lima penjaga yang memiliki keahlian khusus sebagai anak buah kapal, saling memandang dengan ragu. Jika cuaca normal, jarak antara pulau itu dengan dermaga terdekat di teluk Jakarta, hanya butuh waktu 1,5 jam, dan paling lama 2 jam. Sangat mudah dan terjangkau. Akan tetapi, malam itu angin laut bertiup dengan kecepatan tertinggi yang dapat tertangkap radar
Zakki mengernyit, mengingat-ingat. “Terlalu banyak orang, aku juga tak ingat ada kamu di situ.”“Aku pun ingetnya baru sekarang.”Zakki mengganjur napas. “Kamu pasti menilaiku sangat buruk.”“Terus terang, iya. Kamu licik dan menghalalkan segala cara. Tapi apa kamu tau? Walaupun sangat gusar, Kakek mengakuimu sebagai jenius bisnis.”Kilau rumit melintas di mata Zakki. Ia hanya diam, lalu melempar pandangannya ke kegelapan yang ditimpa hujan.“Pasti sulit sekali hidup dalam keluarga seperti itu,” lirih Ariana. “Walau dimanjakan seperti berlian, hidupku pun sangat terkekang. Menjaga kehormatan keluarga itu sangat melelahkan. Kita tak menjadi diri sendiri.”Zakki pernah mendengar kalimat yang sama terlontar dari mulut Gavin, sebelum sepupunya itu memberontak dengan terbang ke Jerman. Dulu, kepergian Gavin, ia anggap sebagai peluang emas untuk mengambil hati kakeknya. Ia bekerja dengan giat dan mempersembahkan segudang prestasi. Akan tetapi, di mata kakek hanya ada Gavin. Seluruh upayany
“Apa tidak sebaiknya menunggu langit sedikit lebih terang?” Kapten kapal masih ragu untuk berangkat. “Bahkan kapal medis pun biasanya menunggu sampai dua hari. Agar lebih yakin. Cuaca di tengah laut bisa berubah tak terduga.”“Tapi Bapak bilang, siap berangkat kalo hujan reda,” protes Ariana.“Saya lupa bilang, kita nunggu kabar laporan cuaca dari BMKG. Mat, coba cek siaran radio!” Sang kapten memberi perintah pada anak buahnya.“Kami udah mantau sejak tadi, Kapten. Hujan di perairan Laut Jawa udah reda, tapi kecepatan angin dan gelombang masih tinggi. Masih dipantau dulu beberapa jam ke depan.”Ariana merapatkan jaketnya ketika merasakan angin berembus dingin. “Besok pagi,” putus si kapten.“Kalo mesti nunggu lagi sampai besok, mending saya minta antarkan kapal medis. Gaji tak berlaku lagi,” ancam Ariana.Kapten kapal jadi setengah putus asa. Putri Danan itu sungguh keras kepala. Sang kapten menatap Zakki. Pemuda itu mengangguk, tanda menyepakati keinginan sepupunya. Zakki juga ing
Angin bertiup makin kencang. Ariana kewalahan merapikan kerudungnya yang berkibar-kibar hingga nyaris terbang meninggalkan mahkotanya. Hawa dingin udara mulai menembus sweater rajut yang dikenakannya. Ariana menggigil, lalu merapatkan sweater.Tiba-tiba seseorang memasangkan jaket tebal ke tubuhnya. “Kembalilah ke kamar.” Terdengar suara Zakki yang rendah dan dalam. Ariana mengangguk. Tadinya ia memang berada di kamar. Namun, kegelisahan yang menguasai hati, membuatnya merasa sesak dan pengap. Ariana memutuskan keluar untuk menghirup udara segar. Tak dinyana, belum setengah jam keluar, ia malah kedinginan. Samar-samar, Ariana menghidu aroma parfum woody maskulin yang terkesan mewah dan elegan dari jaket yang dipakaikan Zakki ke tubuhnya. Rupanya, meskipun berada di pulau terpencil, Zakki tidak kehilangan selera tingginya terhadap parfum berkelas.Ariana berdebar tanpa alasan, hingga jadi malu sendiri. Setelah patah hati, tak terhitung pria tampan dan hebat yang bekerja sama dengan
Sinar matahari terasa menusuk dan menyilaukan tatkala Ariana membuka matanya. Gadis itu cepat-cepat memejamkan mata lagi. Rasa pusing hebat menyerang kepalanya seiring dengan nyeri di sekujur tubuhnya. Ariana mengernyit dan mengaduh lemah.“Kamu udah sadar?” Sebuah suara familiar mengandung kecemasan, terdengar dekat telinganya.Ariana hanya mengangguk. Terasa seseorang melepaskan jaket pelampung, lalu mengangkat tubuhnya dengan susah payah. Saat tubuhnya kembali dibaringkan, Ariana didera rasa letih, pusing, dan mengantuk. Akhirnya ia jatuh tertidur.Saat terbangun, tahu-tahu tatapannya menemukan langit gelap. Apakah dirinya masih di tengah lautan? Tapi mengapa tak terasa ayunan gelombang. Suasana hening, hanya terdengar gemuruh ombak dan desau angin. “Terpaksa tidur di sini. Aku tak menemukan rumah penduduk atau tempat bernaung yang lebih nyaman.”Ariana bangkit perlahan. Pusingnya sudah hilang. Tersisa lemas dan sakit-sakit di seluruh badannya. Mungkin gara-gara terhempas sana-sin
“Bodoh!” cela Ariana dengan wajah memanas. “Aku tak mungkin pake bajumu.”“Oh?” Zakki menurunkan tangannya dengan ekspresi polos. “Aish ....” Pemuda itu menepuk dahi. “Aku lupa kalo Kakak pake jilbab.”“Nah, tu ngerti.” Ariana mendekatkan sepasang telapak tangan ke api. Lalu, mengusap-usapnya agar panas menyebar. Ditempelkannya tangan itu sesekali ke pipi demi menghangatkan muka. Zakki melanjutkan kegiatannya memberi isyarat sandi morse ke tengah lautan. Sesekali ia menambah kayu dan daun-daun kering ke api agar api membesar. “Zakki, ternyata kamu nggak sejahat yang aku pikirkan,” ungkap Ariana.“Licik, lebih tepatnya,” sahut Zakki, cuek. “Hati-hati berteman denganku. Aku pandai memanfaatkan orang demi kepentinganku. Jangan kaget kalo suatu saat aku memanipulasimu.”“Kalo dengan memanfaatkanku kamu bisa lebih baik, aku bersedia, kok,” sahut Ariana, spontan. Gerakan Zakki terhenti. “Kakak, omonganmu ambigu sekali.”Sepasang alis kecil Ariana bertaut di kedua ujungnya. Ia tak mengert